22 - DUA TAHUN LALU (SPIN OFF PART 4)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cewek itu punya derajat yang lebih tinggi, dan lo harus menghargainya! -Rascal A.P.-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Luna duduk di atas rumah pohon tempatnya biasa bersantai. Ia menggantungkan kakinya ke bawah. Lalu menatap lurus kedepan, menikmati angin semilir yang menyapa ujung-ujung rambutnya. Merasakan bulu tangan yang berdiri merasakan hawa dingin tak menentu. Tatapannya kosong. Semua pikirannya berputar. Masa lalu yang hanya dinikmati beberapa saat. Dion itu ibarat first love nya Luna. Tapi saat ia tahu bahwa cinta pertamanya direbut oleh sahabatnya sendiri, rasanya bagai ditenggelamkan di palung laut terdalam di dunia.

Ia ingat saat-saat bersama Dion. Walaupun cuma sementara, tapi saat pertamakali masuk SMA ini Luna mudah baper. Semuanya seperti film yang berputar tanpa henti di otaknya. Dion yang menggendongnya ke UKS, Dion yang menemaninya, Dion yang pertamakali membantunya di kedai es krim, Dion yang mengajaknya ngobrol saat ia mengabsen, dan Dion-Dion lainnya. Termasuk saat Dion menyelamatkannya dari para buaya darat—Utha dkk.

Ia ingat satu perkataan Dion di UKS. Saat mereka tengah bercengkrama dan tertawa sambil menikmati es krim bersama.

"Lun. Saya gak pernah pacaran loh. Saya pengen banget punya cewek yang tipe nya kayak kamu gitu."

"Hah? Kenapa?" tanya gadis itu sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Ya gitu. Kamu itu baik banget sama temen kamu. Terus kamu cantik."

Luna mendengus kesal.

"Gombal hih. Jijik banget ew."

Dion sok memasang wajah kebingungan. "Saya serius. Saya pernah mikir gini, gimana kalo suatu saat nyawa saya tiba-tiba aja udah diambil sama tuhan. Terus emang tuhan gak kasih saya kesempatan buat hidup lagi. Entah karena tuhan gak mau saya punya cewek, atau emang saya ditakdirin buat gak ngerasain sakit hati. Gimana kalo tiba-tiba saya tidur, dan saya udah bangun di tempat yang berbeda. Tempat asing yang gak pernah saya kunjungi."

Luna terdiam. Merasakan es krim nya agak meleleh. Suasana disana terasa panas. Namun juga sendu. Perkataan Dion berhasil membuat Luna berpikir, bahwa mungkin ia juga ditakdirkan sesuatu yang sama, gak bisa punya cowok, atau emang gak di izinin untuk ngerasain sakit hati. "Gak boleh ngomong gitu, kak. Luna yakin kok Kak Dion pasti bisa dapetin seorang cewek untuk dampingin hidup Kak Dion. Entah itu untuk sementara, atau untuk selamanya."

Dion tertawa. "Kalo gitu, kamu aja yang jadi pacar saya, mau?"

Nafas nya tertahan. Hatinya terus berdetak tak stabil. Emosinya naik turun. Harus secepat itu? Sementara ia saja belum kenal dekat dengan Dion. Belum tahu seluk beluk anak itu. Dan masih bingung tentang apa yang harus dikatakannya.

Dion yang merasa ada atmosfer terguncang diantara mereka, langsung mengalihkan perhatian. "Kebahagiaan terbesar adalah saat melihat orang yang kita cintai bahagia. Jadi jangan pikirin omongan saya, nanti kamu stress terus lupa bahagia, saya bercanda aja kok hahah."

Sama ae dung dung.

"Oh kirain beneran hahaha." Tawa garing keluar dari mulut Luna tanpa ia sadari. Tapi justru itu yang membuat Dion tertawa senang, ia senang melihat Luna tersenyum. Ia juga senang melihatnya tertawa, terlebih mendengar tawa nya yang lucu.

"Gimana kalo tuhan emang gak ngasih kesempatan gue buat hidup lagi? Entah karena tuhan emang gak mau gue punya cowok, atau gue di takdirin buat gak sakit hati. Tapi sakit hati soal apa? cinta? Cinta itu sebenernya apa sih?" ujarnya mengulang kata-kata Dion yang terlintas hebat di benaknya. Mengalir begitu saja. Sampai saat ini, Luna masih tak mengerti apa tujuan ia diberikan ujian semacam ini.

Tiba-tiba seseorang datang dari bawah. Membuatnya yang sedang bengong menjadi kaget dan memiringkan tubuhnya, menghindar dari tangga gantung tempat masuk ke rumah pohon.

"Halooo Tuan Put—ri. Lo kenapa, Lun? Galau?" Rascal menyembulkan kepalanya dari tangga gantung sambil terkekeh geli. Antara masih kaget dan merasa lucu, ia baru ingat kalau ia memiliki seorang sahabat baik. Sangat baik. Tak pernah meninggalkannya, tak pernah melukai perasaannya, dan yang terpenting, tak pernah membuatnya sakit hati. Cowok itu lalu mengambil posisi duduk disamping sahabatnya sambil menggantungkan kakinya kebawah. Sama seperti Luna.

"Eh, Cal. Kebetulan lo dateng..." ia menatap Rascal sebentar lalu beralih ke depan.

"Iya. Gue denger, Vanya jadian sama Dion? Bukannya lo suka sama dia? Gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja disini." Rascal terkekeh. Namun cewek itu masih bergeming.

"Gue baik-baik aja."

Rascal tahu Luna berbohong.

"Gak mungkin lo gak apa-apa. Buktinya, ngapain lo kesini? Sendirian sambil ngelamun."

Hati Luna berusara, ia harus menceritakan semuanya ke sahabat baiknya. Ia harus jujur, mau bagaimanapun ia berbohong, Rascal pasti akan tetap menguak kebenaran isi hati Luna.

"Cal"

"Ya?"

"Gimana sih, rasanya lo punya sahabat, tapi sahabat itu malah jadian sama gebetan lo. Padahal kalian jelas-jelas udah deket. Gimana rasanya?"

Rascal tahu inti dari semua permasalahan ini. Pertama, Luna sakit hati dengan Dion, kedua ia sakit hati dengan sahabatnya sendiri.

"Ya pasti gak nyaman. Orang yang harusnya selalu ada disamping lo saat lo butuh malah ninggalin lo, seakan dia anggep lo—sorry—sampah."

Luna mengangguk.

"No probs. Lagian gue ada lo kok. Jadi gak apa-apa deh, sahabat gue bukan cuma dia-dia aja. Lo juga sahabat gue, malah lo itu lebih lebih dari mereka."

Rascal tertawa. "Oh ya, jujur aja nih, feeling gue sama si Dion agak gak enak. Aura nya beda gitu."

Dan kalimat nya kembali membuat Luna—sedikit—naik darah. "Ya enggak lah, feeling apa coba, orang dia biasa aja kok."

Rascal tersenyum kembali. "Tuh kan, belom move on namanya."

Luna malu mendengar ucapan Rascal, yang ternyata benar.

"Jadi lo nge tes gue? Ngejebak nih ceritanya?"

"Udah lah. Lo tau gak kenapa mereka bisa dengan mudahnya jatuhin lo?"

"Kenapa?"

"Gini, Lun. Terkadang, orang yang paling deket sama lo, yang paling tau semua rahasia lo, yang paling lo sayang satu sama lain itu...adalah orang yang paling tau kelemahan lo. Dan orang itu bisa aja manfaatin kelemahan lo buat jatuhin lo sedalem-dalemnya."

Luna terdiam. Ia berpikir. Benar juga kata Rascal. Orang yang paling kita rasa dekat itu adalah orang yang paling bisa bikin kita jatuh dan sakit hati karena dia yang paling tahu titik kelemahan kita. Tapi—tunggu.

"Gue kan belum sempet kasih tau mereka kalo gue suka sama Kak Dion. Lo doang yang baru tau, kenapa bisa salah satu dari mereka nikung gue?"

Rascal pintar mulai bekerja. "Nah. Mereka kan ada di deket lo terus kan? Apalagi pas lo sama Dion. Gue aja yang se-idiot ini peka kok kalo lo suka sama dia. Masa mereka yang cewek gak peka sih? Bukannya hati cewek lebih peka dari cowok?"

"Iya—tapi kan..."

"Lagian gerak gerik lo pas sama Dion itu beda banget. Kayak bukan Luna. Gak kayak lo sama gue, yang terbuka banget."

Luna memaksa otak nya untuk tidak bekerja. Sengaja, agar ia tak memikirkan hal negative yang diucapkan Rascal tadi. Tapi percuma, rasanya kalau untuk perasaan, mau sebagaimanapun ia mencoba untuk tak mengerti, pastilah tetap ia akan merasakannya.

"Lo bener. Iya lo bener. Gue yang salah, dari kemarin gue gak pernah dengerin kata-kata lo tentang Dion yang ini itu, gue cuma mikir satu hal. Dion itu orang baik. Padahal gue kenal dia baru, sedangkan gue udah kenal lo bertahun-tahun, gue tau lo gak mungkin bohong dan ngehasut gue yang engga-engga."

"Satu lagi"

"Kenapa?"

"Lo ngasih nomor handphone gue ke Fay ya?"

Luna mencoba mengingat-ingat sesuatu. "Oh iya! Kenapa?" ia menepuk dahi nya. Rascal merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Lalu segera disodrokan kepada Luna tanpa sepatah kata apapun.

Beberapa menit yang lalu...

Ini Rascal ya? Ini gue Fay. Gue dapet nomor ini dari Luna. Lo gak keberatan kan gue SMS-in terus? Abisnya lo kalo main sama Luna suka banget tebar pesona kearah gue sih, atau gue nya aja yang ngerasa? Tapi gak apa-apa kan ya gue bilang gini? Toh jodoh gak ada yang tau.

"It's ok. Cuma lo gak takut gue di embat sama dia? Terus kalo gue jadian sama dia lo terlupakan gitu. Padahal lo tau sendiri, waktu Vanya jadian sama Dion, diantara temen-temen cewek lo dikelas yang pertama kali nyamperin lo buat tenangin lo siapa? Gak ada kan? Bahkan gak ada satupun yang tau lo juga mendam perasaan ke Dion. Terus lo gak mikir kalo gue jadian sama Fay, lo gak takut gue kebawa cuek dan gue gak pernah sapa lo lagi."Luna menepuk dahinya. Memang, semenjak Fay naksir Rascal, Fay selalu berusaha mencari informasi tentang dirinya, bahkan ia rela bermain ke rumah Luna hanya untuk melihat cowok itu. Luna tersenyum ke arah Rascal yang mulai terlihat bete. "Iya...hehe, maaf yaaa maaaf banget. Jangan marah ya?"

Luna termakan omongan Rascal. Lalu meninju kecil cowok itu. "Jangan ngomong gitu! Sahabat itu sama pacar beda. Kalo lo tega lakuin itu ke gue, berarti lo bukan sahabat gue."

Rascal terkekeh geli melihat wajah Luna. Pipi chubby nya menambah kesan lucu ketika ia marah. "Enggak kok, tenang aja, gue gak akan pacaran dulu selama lo belum pacaran. Gue pengen ada terus disamping lo, sampai pada suatu titik, akan ada orang yang bisa gantiin posisi gue buat terus nemenin lo."

Seketika semua rasa kesal atau bahagia di wajah Luna lenyap begitu saja. Tergantikan oleh sendu tak berujung, yang datang tanpa ketuk pintu, dan pergi tanpa pamit. "Jangan bilang gitu...gak akan ada yang bisa gantiin lo...lo tetep jadi sahabat terbaik gue, lo selalu jadi nomor satu di hati gue dibanding temen-temen gue..."

"Liat gue sekarang." Tangan Rascal menekan kembali kedua pipi Luna. Bersikeras untuk membuat Luna menatap matanya.

"Sekarang lo liat gue kayak gini. Idiot, gak jelas, aneh, garing, ataupun..ganteng. Tapi pandangan lo bisa berubah kan? Seiring waktu, lo bakal ngeliat diri gue berubah. Entah itu fisik, atau pola pikir. Sama kayak yang lo bilang, sekarang lo boleh bilang gue tetep jadi yang nomor satu di hati lo, di bagian hidup lo, tapi nanti? Mungkin kalau lo kenal seseorang yang lebih baik dari gue, lebih pinter, tajir dengan usahanya sendiri, romantis, atau apapun, lo bisa aja sewaktu-waktu menaruh dia di posisi yang paling atas. Jadiin dia yang nomor satu buat gantiin posisi gue." Rascal menepuk pipi itu dua kali.

"Gak. Lo salah, bagi gue, orang yang selalu ada dan bikin gue seneng karena apa adanya diri orang itu bakalan kalah sama orang yang romantis, lo kira enak dikasih bunga tiap hari? berasa orang mati. Itu sih pandangan gue. Jadi lo jangan pernah pikir gue bakal bikin posisi lo tergeser dengan orang lain." Tangan Luna menyentuh kedua telapak tangan Rascal, air mata sedikit membendung di pelupuknya. Namun ia langsung mendongak menahan agar air itu tak turun.

"Gue sih berharap begitu. Gue sama lo seneng terus, berdua. Itu yang selalu pengen gue liat setiap hari." Rascal tertawa senang. Walau sebenarnya hatinya terlalu sedih untuk tertawa, namun rasa sedih itu ia utarakan dengan tawa dan senyum. Kini Luna mengerti, tak ada yang harus disesali lagi, sekarang ia sudah kehilangan Vanya dan Dion sekaligus, tapi ia masih mempunyai Rascal. Berdiri menghadapnya, dengan tangan terentang lebar, bersiap mendekapnya, Rascal yang lembut untuknya, seperti matahari dengan segala kehangatannya.

Tanpa terasa, angin menerbangkan poni samping—yang biasanya tak pernah Rascal tunjukkan—yang kali ini menutupi dahi nya. Sesuatu lebam terlihat di pojok kanan kepalanya. Luna yang tadi merenung, kini terfokus kepada luka lebam itu.

"Ini kenapa?" tangan Luna yang halus menyentuh dahi yang lebam. Cukup parah.

"Duh!"

"Lo ngapain? Berantem lagi? Sama siapa?," Rascal diam seribu bahasa. Luna masih berusaha meraih luka itu, mengusapnya pelan.

"Gue ambilin kompres dulu, lo tunggu sini." Belum sempat Luna turun dari tangga rumah pohon, Rascal menahan tangannya. "Gak usah."

"Gak usah gimana? Lo udah luka lebam gitu, kalo parah, ya harus di kompres."

Luna bergegas pergi turun dan tak menghiraukan Rascal yang mencegah langkahnya. Saat ini yang terpenting adalah, Rascal sembuh dulu.

Tak lama, Luna kembali dengan baskom kecil berisi air hangat dengan sapu tangan untuk mengompres. Sapu tangan yang baru kemarin ia beli di toko aksesoris, niatnya untuk dekorasi kamar, tapi kali ini, karena danger jadi ia gunakan dulu.

"Ceritain ke gue, kenapa lo bisa kayak gini."

Tadinya Rascal enggan sekali untuk menceritakan masalah yang sudah berlalu. Namun logikanya mengatakan bahwa ia harus menceritakannya.

BUGH!

"BANGUN!" Rascal berteriak kasar kepada laki-laki dihadapannya.

Cowok itu bangkit sambil memegangi rahang kirinya yang sakit. "Gue gak tau salah gue apa, lo tiba-tiba bawa gue ke gudang ini terus nyerang gue gini? Maksud lo apa? mau sok junioritas, hah?!"

"Salah lo? Banyak! Segudang! Lebih luas dari gudang ini malahan!" Rascal berputar merentangkan tangannya, lalu menghempaskannya ke udara.

"Lo gak tau kan, kalo sahabat gue suka sama lo? Lo itu cinta pertamanya! tapi lo udah bikin dia patah hati!" Suara Rascal menggema di dalam ruangan itu.

"Luna maksud lo?"

"Siapa lagi lo pikir, hah?!"

"Oh dia. Ya ilah, bro, gue kasih tau sesuatu, cinta itu gak ada di dunia ini. Yang ada cuma nafsu memiliki, rasa nyaman, dan rasa suka, lalu terbang tinggi ke udara yang disalah artikan jadi cinta. Masalah gue mau jadian sama siapa itu hak gue!" Dion tertawa.

BUGH!

Satu hantaman lagi mendarat kasar di perut Dion. Membuat darah mengucur lewat bibir cowok itu.

"Emang itu hak lo, tapi seenggaknya hargain perasaan sahabat gue juga! Jangan macarin orang yang jelas-jelas orang itu sahabatnya Luna juga!"

"Ini sama sekali gak ada hubungannya sama lo! Bukan urusan lo!" kali ini berganti Dion yang tak mau kalah, ia mendaratkan sebuah pukulan ke rahang Rascal dan satu hantaman keras ke kepalanya. Menghasilkan luka lebam berwarna ungu kehitaman.

"Ini urusan gue! Gue gak mau liat dia sedih. Gue sahabatnya. Gue cinta sama dia! Gue sayang sama dia dan gue gak suka ada cowok yang lukain hatinya! Gue mati-matian bikin dia ketawa, setengah idup bikin dia tenang, tapi dengan mudahnya lo bikin dia sedih? Lo orang apa setan?! Kelakuan lo kayak banci!" Begitu terus. Pukulan baku hantam terjadi silih berganti. Bak dua blok yang bermusuhan.

Dion malah tertawa puas. "Udah bawelnya? Lo cinta sama dia? Emang dianya cinta sama lo? Enggak kan? Sahabat doang. Lagian lo masih muda, harusnya lo puas-puasin dulu bandelnya, mainin dulu cewek selama lo masih 'pacaran' sama dia atau 'PDKT' sama dia, toh mereka juga seneng kan pernah menyandang status sebagai 'pacar' atau 'mantan' dari gue, gak ada masalah tuh. Masalah serius itu gampang!"

"Brengsek! Gue peringatin sekali lagi, kalo lo sayang sama cewek, lo harus hargain perasaan dia. Cewek bukan boneka atau mainan yang bisa lo mainin sesuka hati lo. Mereka punya perasaan istimewa yang harusnya dijaga! Kodrat semua perempuan itu lebih tinggi." Rascal selalu diajarkan oleh Mamanya bahwa ia saat besar harus menghargai perempuan manapun, karena jika ia melukai perasaan seorang perempuan, sama saja seperti melukai perasaan Mamanya. Makanya dia ngebela banget Luna.

"Mulai sekarang, gue gak mau lagi liat Luna sedih gara-gara lo. Ini baru permulaan, kalo sampe gue tau Luna kayak gini lagi apalagi sampe nangis gara-gara lo, lo bakal abis di tangan gue!" Rascal menggenggam lengan Dion yang melemah—tadinya berniat untuk melintir lengan itu, namun posisi Dion terlihat lebih lemah dari biasanya. Jadi ia hanya mengancam dengan harapan ancamannya berhasil menaklukan Ketua OSIS yang kelakuan nya bejad itu.

Rascal melangkah keluar gudang, menutup gudang itu kasar tanpa menguncinya, lalu berlalu pergi.

"Hah? Berani banget lo...ya ampun gue harus bilang berapa kali sih? Jangan berantem—jangan berantem—jangan berantem! Lo tuh anak rumahan, kenapa jadi bandel gini sih?," Luna kembali mencelupkan kompresan itu, namun mata nya tidak beralih dari wajah Rascal.

Rascal tertawa geli. "Maaf deh, gak lagi. Abis nya tangan gue gatel. Gak tahan sama orang kayak gitu. Dia gak mikir kalo cewek juga butuh perasaan balasan, bukannya perasaan main-main. Gue yakin lo tegar kok, lo bukan tipe orang yang mengumbar kesedihan lo, tapi lo tipe cewek yang diam ketika banyak orang nyakitin lo. Lo tau karma asli dan lo tau semua ini ada balasannya kan?"

"Nah. Udah pokoknya besok jangan ada berantem-berantem lagi!"

"Siap Tuan Putri!" Rascal menyimbolkan tanda hormat di kepalanya, namun ia menyadari bahwa dahi nya masih sakit—ia langsung mengaduh kesakitan.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

Capek? Enggak kok demi kalian mah.

Asal gak di copas aja, dan yang ngopas (mau itu ngopas tanggal terbit, alur cerita, cover, atau inti cerita) sadar diri mah, bodsam yak.

Sabar....puasa.

Oke deh, Vote n Comment ya!

Dank~~

JAKARTA, 27 MEI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro