3 - HEART ATTACK!!! (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hati-hati dengan cinta. Cinta tak selamanya indah, terkadang bisa bersifat mematikan. -sisterhood-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Monday, 7th August 2017.

23.00 P.M.

"Kak, maafin Sofi..." Gadis itu duduk di ranjang Kakaknya. Namun Luna membalikkan tubuh dan tak ingin menatap adiknya sama sekali.

"Kaak ih..." Ia berjalan menuju arah sebaliknya. Mencoba membujuk bayi raksasa yang sedang merajuk diatas kasurnya.

"Kak Sofi janji deh gak bakal naik ataupun nyentuh rumah pohon itu lagi...tapi please, jangan marah sama Sofi..." Suara Sofi tersendat. Seperti anak kecil yang meminta sebuah balon.

Tetap tak ada pergerakan dari Luna. Dihatinya, ada 2 rasa yang mengganjal. Yang satu antara ia yang masih kesal dengan kejadian siang tadi. Kedua yang lebih besar, mood nya berubah drastis saat mendengar pernyataan dari Rascal. Bahwa ia, menyukai Sofia. Entah ada apa yang kambuh dalam dirinya, Luna tetap merasa ucapan Rascal tadi seperti api. Omongan yang tanpa ia tahu sebab karenanya keluar begitu saja dari bibir cowok itu. Apalah hak Luna? Pacar bukan, cuma sahabat. Mau marah buat apa? mau nangis gak bisa, mau kesel kayak apapun, tetap ia tak memiliki hak di hati Rascal. Ia tak bisa melarang Rascal ini itu. Termasuk urusan mencintai seseorang. Why? Bcs ia tahu diri, Luna bukanlah siapapun bagi Rascal kecuali sahabat.

"Kak..."

"Yaudah, maaf kalo aku salah. Intinya, Sofi udah minta maaf. Tapi, kata Mama kita ini kan saudara. Harus saling menghargai. Jadi, terserah mau Kakak maafin aku atau enggak."

Sofi kali ini menyerah. Ia melangkah keluar dari kamar Luna. Baru saja memegang gagang pintu, Luna memanggil Sofi pelan. Sontak menyebabkan wajah Sofi kembali tersenyum dan langsung berbalik.

"Lo bikin ulah apa sih sama Rascal?"

"Apanya? Apaan?"

"Sofi ngapain sama Rascal?"

Sofi kaku kebingungan. Maksudnya apa?.

"Apa sih kak?"

"Bener gak tau?"

Sofi menggeleng. Luna berbalik dan duduk. Kamar tersebut gelap dan dingin. Menambah suasana mencekam diantara keduanya. Luna sengaja mematikan lampu kamar dan menyalakan AC. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Rascal suka sama lo. Cinta. Tau?"

Sofi benar-benar beku. Dingin. Angin semilir hanya numpang lewat disekitarnya. Dengan keadaan masih terdiam di pintu kamar. Tanpa ada siapapun di rumah tersebut. Mbok Darmi sudah Pulang, Mama dan Papa belum kunjung kembali.

"Hah?"

"Iya, RASCAL SUKA SAMA LO! DIA SUKA SAMA LO! DIA NAKSIR, D—an bahkan... dia cinta sama lo."

Sedetik kemudian, Luna langsung memeluk lututnya dan menangis. Tak pernah ia kasar dihadapan adik kecilnya, namun kali ini berbeda. Di depan mata Sofi, pandangannya tentang Luna seketika berubah. Luna yang sering terlihat sok tegar bahkan saat kakak sepupu mereka yang sangat Luna cintai meninggal karena suatu penyakit, Luna masih bisa tersenyum. Tapi kali ini? Apa memang reaksi patah hati itu lebih kuat?. Seketika pula, lututnya melemas. Sofi berjalan pelan menuju kursi dekat kasur Luna.

Antara dua dunia. Percaya dan tak percaya. Apa memang Rascal benar menyukainya? Cinta?.

"Kak? Karena ini Kak Luna jadi marah sama aku? Aku janji deh gak bakalan suka ataupun cinta sama Rascal. Sedikitpun enggak bakal. Tapi maafin aku..."

"Keluar..."

Tangannya mengepal. Ia ingin sekali meninju adik kecilnya itu. Menusuk atau bahkan apapun ia lakukan untuk melampiaskan kemarahannya. Tapi rasanya, hal itu sanatlah tak mungkin dilakukan oleh manusia normal hanya karena serangan hati. Heart Attack. Tau?

"Tapi aku janji, Kak!"

"KELUAR!" Suaranya meninggi kembali. Memecah keheningan diantara mereka. Suara yang tersendat dan terdengar serak. Dipaksa untuk keluar dari pita suaranya.

Dengan hampa, Sofi melangkah keluar dari kamar Luna. Tanpa jawaban, tanpa kejelasan, tanpa apapun ia tak dapatkan. Lalu perlahan, ditutupnya pintu itu. Tangannya gemetar saat menggenggam knop pintu tersebut. Air mata juga ikut menitik dan jatuh ke baju nya. Ia telah betul-betul keluar, membiarkan Luna terlarut sedih dalam kesendirian. Terisak tanpa ada yang dapat mengusap punggungnya ataupun memeluknya.

***

Tuesday, 8th August 2017

Ia berlari menuju rumah yang berada persis disebrangnya. Lalu mengetuk pintu putih yang terhampar di depan matanya secara perlahan. Jangan tanya kenapa hari ini mereka tak ada yang sekolah. Tak lain alasannya, sering sekali ada rapat di sekolah mereka.

"Eh, Sofia, tumben main kesini. Sini masuk." Ucap seorang wanita ramah dari dalam. Walaupun sudah sepantaran dengan Mama Luna dan Sofi, wanita itu masih memiliki wajah muda dan cantik terawat.

"Gak usah tante, aku nyari Kak Rascal. Ada?"

"Oh, Rascal ada di kamarnya. Sebentar ya, tante panggilin, sini masuk dulu dong."

"Diluar teras aja tan, adem hehe."

Wanita yang diketahui merupakan Mami Rascal segera tersenyum dan bergegas memanggil putra tunggalnya. Mami? Ya. Rascal lebih nyaman memanggil Sang Mama dengan sebutan 'Mami'. Bayangkan, bagaimana jadinya saat dulu ia sedang menjabat sebagai seorang 'badboy' tapi harus memanggil Mama nya dengan sebutan Mami. Tapi tak perlu heran. Wajarlah, seorang anak tunggal dengan orangtua workaholic tapi masih bisa overprotektif terhadapnya.

"Eh, Sofi? Ngapain?," sambut sebuah suara dari dalam. Refleks Sofi langsung menengok ke asal suara.

"Kak, lo harus tau ini Tapi jangan disini, bawa gue kemana aja deh, tapi jangan sampe ada yang denger. Jangan ada."

"Ada apaan sih?"

"Udah bawa aja gue. Cepet." Sofi langsung menghampiri motor yang terparkir manis didepan rumah Rascal. Sofi kalau panik, suka agak sembarangan, apapun ia lakukan dibawah kesadarannya.

"Yaudah lah." Dengan sigap, Rascal yang tak tahu apa-apa langsung menaiki motornya dan siap mengendarai motor itu bersama Sofi. Menuju ke suatu tempat yang bahkan Sofi tak tahu.

***

Selimut di kasurnya berantakan. Bekas air mata kering dimana-mana. Tisu bertebaran di sekeliling kamar. Matanya perlahan terbuka. Menyadari ada sesuatu yang salah.

"Udah jam berapa sih?"

Matanya mengerjap sesekali. Lalu, melirik kearah jam dinding berbentuk love putih. Jam 11. Ia langsung melompat bangun dari kasurnya. Matanya masih menatap lurus. Kosong dan terasa kering. Ia mencoba mengingat-ingat hal apa yang telah terjadi semalam.

"Wut? OH IYA! Eh gue harus minta maaf nih ke Sofi. Keliatan banget kalo gue jealous semalem. Ish! Gue berasa orang gila semaleman."

Ia langsung pergi menuju kamar mandi. Setelah selesai bersiap-siap ia turun kebawah menemui Mama dan Papa.

"Sofi mana?," terlihat sekali kepanikan di wajahnya.

"Udah keluar tadi sekitar jam 10. Mau main sama temen katanya. Emang kenapa, sayang?." Tanya Papa.

"Oh yaudah, makasih, Pa!."

Luna langsung mengambil tas kecilnya. Ia bergegas pergi. Mungkin Sofi sedang kumpul dengan teman-temannya di mall sekitar sini.

***

"Ini gedung apa sih? Terbengkalai gini."

"Biasanya sih buat photoshoot, bisa dijadiin rooftop buat ngumpul juga. Tapi jarang dipake kalo pagi. Penuh sekitar siang-malem gitu."

"Oh..."

Sofi lalu berkeliling diatas gedung tersebut. Meninggalkan Rascal yang terdiam dari sisi kanan atas gedung. Gedung yang letaknya tak jauh dari mall sekitar rumah mereka. Penampakannya agak menyeramkan. Bekas spray pilok yang di semprot di tembok-tembok gedung menambah kesan terbengkalai disana. Apalagi, selama mereka menaiki tangga lusuh yang rusak menuju atas, beberapa ruangan ada yang atapnya sudah bolong. Disini juga sebenarnya sering dijadikan tempat uji nyali, tapi sengaja tak Rascal beritahukan kepada Sofi. Anak itu kan terkenal juga dengan penakut. Tapi of all, gedung bekas itu terlihat sangat apik dan photogenic. Bagus dan indah. Pemandangan ibukota bisa terlihat dari atasnya. Menghipnotis siapa saja yang datang kesana.

"Eh, tadi mau ngomong apa?." Tanya Rascal mendadak. Mengagetkan Sofi yang tengah asyik mengedar pandang ke sekeliling dari bagian atas gedung tersebut. Seperti menyiratkan perintah untuk membuat Sofi kembali ke sebelah Rascal.

"Oh iya. Ini serius ya, lo kemarin ngomong apa sih ke Kak Luna? Sampe..."

"Sampe apa?"

"Jawab dulu."

"Kemarin?"

Sofi mengangguk yakin.

"Oh, gue cuma bilang ke dia, kalo gue suka...cinta gitu sama lo. Kenapa?."

Wajah Sofi terlihat kaget. Ia langsung menusap kasar wajahnya. Ke-idiotan-Rascal kambuh lagi. Apakah perasaan itu memang benar adanya?.

"Tapi...jangan salah dulu, Sof. Gak beneran kok."

"Apanya gak beneran?"

"Lo lupa? Tanggal 12 Agustus besok kan Luna ulang tahun."

Sofi sempat terdiam. Rascal lalu membisikkan sesuatu ke telinga nya. Sedetik kemudian, kakinya melangkah mundur beberapa pijakan dan langsung memukul kepalanya sendiri. Memberi hukuman yang tepat diatas logika dan hati yang jarang sejalan.

"Gue lupa!. But, I guess gue ngerti maksud dari semua ini."

Sofi tersenyum cerdik. Begitu pula dengan Rascal yang memperlihatkan senyum licik nya.

"Tapi, ada beberapa hal yang gue pengen tanya lagi...Pertama, itu gimana aja rencananya? Kedua, itu..."

"Gak usah banyak nanya neng, ikutin arus air nya aja. Nanti juga ngerti."

"Lah kan aku gak tau gimana atau apa rencananya. Arus air? Permainan maksudnya?"

"Lo cukup tau kalo gue pengen ke Lombok buat jalanin rencana itu. And, you're right!."

"Niat banget, kak. Kok baik banget sama dia. Kenapa?"

"Ini sweet seventeen yang harus bermakna di hidup dia. Orangtua kalian kan workaholic, paling gak lebih dari party di ballroom atau rooftop surprise kan?. Nah, justru ini kesempatan gue, seorang Rascal—yang dia kenal gak berguna di hidup dia—buat bikin dia punya sweet seventeen nya sendiri." Ucap Rascal sambil berdiri memandang lurus kedepan. Memandang gedung-gedung pencakar langit. Terlihat ukiran senyum yang indah merekah di bibirnya. Memang, in the real, Rascal suka kesel kalau Luna bilang Rascal itu gak guna. Dari itu, Rascal punya suatu keinginan buat nunjukkin ke Luna kalau dia itu adalah seorang yang bisa juga berguna. Dan tanggal tadi adalah saksi kesempatan Rascal menyatakan bukti tersebut.

Sofi duduk di pinggir gedung sambil tersenyum miris ke arah cowok itu. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, Sofi ingin sekali bertukar posisi menjadi Luna. Ia ingin sekali memiliki seorang Rascal di hidupnya.

"Oh iya, tadi lo mau bilang apa? Sampe apa?."

Suara Rascal membangunkan Sofi dari lamunannya.

"Ah, gak ada apa-apa."

"Yaudah, turun sini, lo naik ke pinggir gedung gitu, kesenggol dikit is det lo." Rascal mengulurkan tangannya, menyediakan harapan untuk sebuah genggaman yang seharusnya fatal.

"Bantuin ceritanya?," baru saja Sofi menggenggam tangan kiri Rascal dan menurunkan sebelah kakinya, kaki belakang Rascal tersandung batu yang cukup besar.

Dan...

BRUK.

Yak sip.

Kini, tubuh Sofi ikut terpelanting kebawah dan menindih tubuh Rascal. Ada sebuah perasaan yang berkecamuk di dalam diri mereka. Tangan yang bersentuhan. Dan bahkan embusan napas yang hanya berjarak 5 cm dari masing-masing mereka dapat saling terasakan. Jantung Sofi berdebar kala itu. Sementara Rascal? Tak tahu harus berbuat apa.

Mata coklat terang dan mata hitam pekat itu bersatu. Memberi sebuah zona terlarang yang sebenarnya tak boleh mereka lakukan. Karena sebenarnya Sofi tahu, ada yang lebih berjuang lebih banyak dahulu semasa hidupnya. Sebelum ia muncul dan terlihat mulai mengacaukan segalanya. Cinta dan kosong. Antara harapan yang tabu dengan si pemberi tak berkepastian.

Sebelum seorang dari arah belakang terdengar menjatuhkan sesuatu dari genggamannya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Haloooooo i'm back!

Maaf baru muncul again.

Abis UAS Mematikan soalnya HAHA.

I know ini kayanya aneh.

But i really need vote and comments!

Kamsahamnida~~


JAKARTA, 18 SEPTEMBER 2016

PS : Ini jg ikutan di post ulang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro