33 - KESUNYIAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dipikiranku yang sudah tak menentu, kau akan selalu hidup sebagai sesuatu yang membuatku bersyukur bahwa hidup adalah tentang seimbang.

Ketika kau mencintai dengan baik, maka kau akan dicintai dengan lebih baik.

-unknown-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Yang gue lakuin tadi bego gak sih?"

Panji menutup wajahnya menggunakan bantal. Ia merenungkan soal kejadian tadi. Apakah yang dilakukannya sudah benar, menolak secara halus dan pamit untuk tidak melakukan aksi jahatnya itu. Ia tak mungkin melanjutkannya, karena ia tahu, akan lebih banyak lagi air mata yang nanti dikeluarkan Luna ketika tahu sahabatnya, yang sangat ia sayangi, yang sepertia juga ia cintai, akan diambil oleh adiknya sendiri. Ia juga tahu, walaupun ia jadian dengan Luna, ujung-ujungnya Panji hanya pelariannya Luna semata.

Kemudian laki-laki berumur delapan belas tahun itu duduk di pinggir kasur. Lalu mengangguk. "Iya udah bener. Gue emang gak bisa nyegah Sofi untuk gak ngelakuin keinginannya, tapi gue bisa, bantuin Luna bangkit saat dia terpuruk karena Sofi, karena adiknya sendiri." Panji yakin dengan keputusannya saat ini.

"Oh iya..."

Ada satu hal lagi yang harus dilakukannya. Kembali merubah pandangan Luna seperti sediakala. Ia harus jujur, dengan tidak membawa-bawa Sofi. Gadis kecil itu hanya belum dewasa dan belum merasakan sakitnya, nanti mungkin Sofi juga mengerti.

***

"Kenapa?"

Luna diam, memperhatikan wajah kedua sahabatnya yang kini terlihat haus akan kisah.

"Gue tadi ngeliat Rascal, sama adek gue rangkulan gitu, Sofinya sih juga malah megangin tangan dia. Gelayutan manja gitu."

"Terus?" Vanya masih belum peka, sementara Fay sudah mengerti kalau sebenarnya Luna memang sudah lama mempertahankan Rascal, itu alasannya tidak mau melepas Rascal jadian dengan dirinya. Ya, tak lain, karena Luna sayang dengan sahabatnya itu. Rasa sayang yang lain.

"Pantes gak sih gue cemburu?"

"Pantes." Fay menjentikkan jarinya.

"Pantes sih kata gue. Emm—dari cerita lo beberapa waktu lalu, dan sekarang, gue simpulin lo cinta ya sama dia?" Vanya menambahkan.

"Enggak. Cinta itu gak ada. Yang mereka anggap cinta sebenarnya hanya ilusi perasaan semata. Merasa sayang dan nyaman, lalu terbang tinggi-tinggi ke udara, itu sebuah definisi yang disalah artikan menjadi cinta."

"Iya deh iya, apa kata lo. Terus mau gimana? Lo mau larang Sofi deket sama Rascal?"

Luna mengangkat kepalanya. Menggeleng, lalu tersenyum.

"Enggak. Gue cuma butuh kalian disini, butuh temen cerita dan ngasih saran ke gue. Umm—Fay, Vanya...mau nginep di rumah gue selama dua hari kedepan gak?"

"Bonyok?"

"Ke Puncak tiga hari ini. Mau ya?"

"Oke sih gue." Vanya setuju-setuju saja dengan ajakan Luna.

"Boleh deh. Nanti sore gue dateng ke rumah lo jam empat."

"Gue juga."

Luna tertawa senang, ia bahagia, kini mereka tumbuh dewasa, sahabat-sahabatnya kini mulai baik kepadanya.

"Oh iya sekalian, lusa kita sekolah bareng ya?" Vanya mengagetkan Luna dan Fay.

"Lo balik lagi?"

"Iya! Kita bisa deket lagi!"

"Yeeeey!!! Vanya sayanggg makasih yaaa udah mau balik!" Luna bersorak gembira saat mendengar pernyataan dari Vanya.

"Yuhu!!!" Diikuti sorakan Fay setelahnya.

Tiba-tiba Luna kembali terdiam.

"Dipikiranku yang sudah tak menentu, kalian akan selalu hidup sebagai sesuatu yang membuatku bersyukur bahwa hidup adalah tentang seimbang. Ketika kau mencintai dengan baik, maka kau akan dicintai dengan lebih baik. Dan gue ngerasain itu, cinta kita bertiga yang berbeda. Cinta kita sebagai sahabat." Ia berucap sedemikian rupa dengan hati-hati. Kata-kata itu meluncur mulus lewat bibirnya begitu saja.

Mereka bertiga langsung berpelukan penuh rasa. Walau Luna terpisah satu meja dengan Vanya dan Fay, tapi itu tak menghalangi mereka untuk sama-sama merasakan kehangatan. Setidaknya, saat Luna merasakan kesunyian dirumah, ia masih memiliki sahabat-sahabat terbaiknya, yaitu Fay dan Vanya.

Siapa bilang kalau persahabatan hanya soal bahagia terus? Tidak. Buktinya, konflik panjang menerpa mereka selama menahun, namun mereka, tetap bisa kembali bersatu. Takdir, adalah penentu kehidupan seseorang yang terbaik.

***

Laki-laki itu terbaring menatap langit-langit kamarnya. Menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya beraturan.

"Dia kenapa sih..."

Rascal menggaruk-garuk kepalanya. Susah untuk mengerti keadaan tadi.

"Gue salah apaan? Toh tadi kan gue cuma ngehibur Sofi yang katanya galau..."

Rascal masih mondar-mandir di kamar, sampai saat ia tak sengaja menoleh kearah jendela, ia melihat ada dua orang perempuan muda turun dari taksi dan membawa tas punggung. Mereka seperti memanggil-manggil orang di dalam. Ia segera keluar kamar dan turun untuk mendekati kedua orang itu.

Dibawah, diluar rumahnya, Rascal segera menyebrang dan menghampiri mereka.

"Nyari siapa?"

"Eh, ketemu lagi. Ini Luna gak keluar-keluar..."

Fay tersenyum melihat Rascal yang kini berada di belakang mereka, sementara yang satunya—Vanya—masih sibuk mengutak-atik handphonenya untuk menghubungi Luna lewat chat.

"Vany...ini loh temen lama..." Fay menyenggol seseorang disampingnya, ia menoleh dan menengok ke belakang.

"Loh ini siapa?"

"Ini Vanya, Cal..."

Vanyaa tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Lama gak ketemu..."

"Oh iya inget, Luna waktu itu ngasih tau gue kalo kalian udah balik kesini dan udah temenan lagi kan ya?"

Mereka berdua mengangguk. "Eh ini panggilin dong..."

"Lo berdua bawa tas punggung mau ngapain?"

"Mau nginep." Vanya masih mengalihkan perhatian kearah handphone nya.

Rascal mengangguk dan segera memanggil nama Luna. Sekeras apapun, namun tak ada jawaban dari dalam. Yang kelaur malah gadis lain, gadis yang tadi sempat cekcok dengan Luna.

"Wah, ada tamu...nyari Kak Luna ya?"

"Iya, Luna nya mana?" Fay agak sinis melihat Sofi, yang tak lain adalah adik dari sahabatnya itu.

"Bentar panggilin dulu."

"Eh, Sof..."

Rascal menahan tangan Sofi, gadis itu mendadak seperti merasakan terbang tinggi ke udara, sebelum akhirnya ia menoleh. "Iyaa?"

"Luna masih marah sama gue? Dia masih gak mau keluar kamar?"

"Kirain apaan." Sofi mengibaskan tangan Rascal dan berlalu kedalam rumah.

"Yeh, bocah..." Fay bersungut. Ia sudah kesal sebenarnya saat mendengar cerita yang keluar dari mulut Luna tadi di café.

"Sabar Fay..." Vanya menenangkan sahabatnya itu.

Sementara Sofi sibuk mengetuk-ngetuk pintu kamar Luna yang tak kunjung terbuka. Sebenarnya ia mulai malas saat itu, karena mesti berurusan kembali dengan Luna yang ia tahu sudah mulai membencinya. Tak lama kemudian, Luna keluar. Tanpa senyum, tidak sehangat dulu.

"Kakak keluar, bukan karena kamu ya. Vanya yang nge-chat kakak."

Lalu berlalu begitu saja. Sofi mendadak gemas dengan tingkah Sang Kakak.

"Haiiiii!!! Masuk masuk!"

Fay dan Vanya segera berlari menghampiri pintu rumah Luna dan memeluk sahabatnya itu. Sementara Rascal hanya memandangi dua gadis itu dari gerbang rumah Luna.

"Gue gak disuruh masuk?"

Luna hanya melirik sesaat, lalu menarik kedua temannya masuk kedalam rumah, tanpa menjawab sedikitpun pertanyaan 'sahabat' nya itu. Rascal masuk begitu saja ke pekarangan rumah Luna, melewati pagar, dan berdiri di depan pintu, memandangi punggung Luna yang sibuk membantu kedua sahabatnya untuk masuk dan membawa tas mereka ke kamarnya. Setelah itu, sepertinya Fay dan Vanya masuk ke kamar Luna sementara Luna menghampiri Rascal.

"Lo mau disini, atau balik?"

"Disini lah!"

"Ngapain?"

"Yaaa mau sama lo. Kenapa sih?"

"Gue sibuk, mau ke kamar."

"Ikut ya?"

"Engga boleh." Luna bersiap menutup pintu, namun tangannya ditahan oleh Rascal.

"Lo kenapa sih?"

"Kenapa? Emang gue kenapa?"

Rascal menjadi bingung sendiri. Tak habis pikir dengan Luna.

"Lo marah ya?" Luna menggeleng.

"Terus kok gue gak dibolehin masuk?"

Luna sendiri bingung dengan perasaannya. Bukan bermaksud tidak mengizinkan Rascal masuk, tapi entah apa yang membuatnya tidak ingin bertemu Rascal dulu. "Oke gue minta maaaaaaaf banget yaaaaaa, kalo gue ada salah...tapi plis, bolehin gue masuk ya?"

"Cal, disini cewek semua ah, kalo mau ngomong diluar aja sekalian, gak usah disini."

"Gue mau main lagi sama lo, kayak yang biasa kita lakuin. Lo kenapa sih ilah bingung gue..." Rascal terlihat menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Luna tetap menggeleng keras.

"Ya udah, kalo mau main, tunggu tiga hari lagi. Mending lo pulang sana..." Luna mendorong tubuh Rascal keluar dan menjauhi pintu. Rascal mengelak, tapi Luna seperti mendapat bantuan tenaga untuk tetap mendorong laki-laki itu keluar dari rumahnya. Lalu ia menutup pintu dan berhasil mengunci pintu tersebut.

DOK!DOK!

"Lun bukain elah! Lo kalo gak suka sama sesuatu dari gue, ngomong aja!"

"Lun lo gak kaya biasanya! Bukain dulu! Gue gak akan tau salah gue dimana kalo gitu!"

"Lun! Ih kal—"

Luna menutup telinganya, menunggu suara teriakan seseorang diluar sana berhenti. Begitu juga gedoran yang sedaritadi terus bergulir. Beberapa saat setelahnya, tepat setelah ia menurunkan tangannya yang daritadi untuk menutup telinga, suara itu berhenti. Digantikan oleh kesunyian yang tak berujung. Luna duduk dibalik pintu, memegangi kepalanya, sambil meringis.

"Gue ini kenapa sih!"

Ia bangkit, perlahan membuka kunci pintu tersebut, lalu mengedar pandang keluar. Dilihatnya seseorang yang berjalan menjauh dari rumah Luna, sempat laki-laki itu menoleh lesu, lalu kembali berlari kearah rumahnya. Luna terduduk di kursi depan, menikmati kesunyian ini. Benar-benar merasakannya, menikmatinya. Tumben, hanya karena kejadian tadi pagi, ia dan Rascal jadi tidak banyak berkomunikasi, yang biasanya dari buka mata sampai menutup mata selalu ada, suaranya, tawanya, kini cuma beberapa teriakan yang ia dengar keluar dari mulut cowok itu. Lalu, kesepian menyergapnya.

"Lun..." Sentuhan halus dari belakang tubuh Luna membuat gadis itu menoleh.

"Ayo..." Vanya dan Fay menuntun Luna untuk masuk kedalam. Luna malah langsung memeluk mereka.

"Lo kenapa?"

"Gue sendiri bingung gue kenapa..."

"Ayo naik..."Fay langsung menuntun Luna keatas kamarnya.

Hanya sesama perempuan, yang dapat merasakan sakitnya. Terkadang, itulah enaknya punya sahabat perempuan.

***

Mereka bertiga duduk di lantai kamar dengan kepala berpenopang pada window seat jendela kamar Luna. Menghadap kaca. Dengan jendela yang sengaja dibuka lebar-lebar, untuk menikmati langit saat itu. Lama kelamaan, ada rintik-rintik air yang mulai menghiasi jendela kamar Luna. Aroma petrichor mulai tercium masuk kedalam lewat jendela yang terbuka.

"Yah hujan..." Vanya mengeluh, meratapi hujan yang terus-terusan turun menimpa tanah.

"Hmm...kata orang, hujan itu bikin inget masa lalu loh, flashback, nostalgia..." Fay menambahkan.

Nostalgia, ya?

Luna tak mengeluarkan sedikitpun suara, sepatah kata pun tidak. Hanya hatinya yang kini bersuara. Menatap beberapa kecil air yang turun bersamaan. Bersama-sama dengan tape putih milik Luna yang tiba-tiba saja melantunkan lagu yang beat nya pelan. Vanya yang sengaja menyalakannya, tiba-tiba kesepian itu kembali menyergapnya, memutar ulang memori masa lalu yang sudah lama dipendamnya dalam-dalam.

~~~spin off~~~

When the rain is blowing in your face

"Lun..."

And the whole world is on your case

Gadis yang dimaksud menoleh. "Iya?"

I could offer you a warm embrace

"Main hujan yuk." Tangannya menarik gadis itu keluar rumah, ia masih membawa tape putih miliknya keluar, lalu menaruhnya di teras halaman belakang, dan masih memutar lagu yang sama.

To make you feel my love

"Besok-besok, kita gini lagi ya?" Luna mengangguk sambil tertawa menikmati rintik hujan yang turun mengenai tubuhnya.

Mendengar bait selanjutnya, pikiran Luna terputar ulang kembali ke memori yang lebih lama dari saat itu. Saat kakak sepupu laki-laki Luna pergi meninggalkan keluarga besar itu untuk selamanya.

When the evening shadows and the stars appear

"Lun, Bang Ardi harus tenang disana, jangan nangis ya. Dia mungkin udah jadi bagian dari bintang-bintang itu." Ujar laki-laki itu sambil mengusap punggung Luna dan menunjuk kearah langit berhiaskan ratusan bintang.

And there is no one there to dry your tears

Luna masih terisak, kini tak akan ada lagi yang bisa menenangkannya saat sedih, menghapus air matanya, dan membelanya disaat orang lain sibuk membela Sofi. Ardiansyah Kevin Pratama, terlalu berarti untuk Luna.

I could hold you for a million years

Rascal tiba-tiba memeluk Luna sangat erat, seolah menyalurkan energi damai dan tenang kedalam hati Luna. Meyakinkan Luna bahwa jika mati satu tumbuh seribu. Saat Tuhan mengambil nyawa seseorang yang berarti untuknya, maka Tuhan akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih berarti dari itu.

To make you feel my love

Dan sesuatu itu, selama ini ada di dekatnya. Tengah memberinya semangat, dan memberinya kepercayaan penuh dengan janji-janji manisnya.

Dan kembali terbang melayang, ke beberapa waktu lalu. Belum lama, dan masih membekas di ingatan.

I know you haven't made your mind up yet

"I love you to the moon and back, to infinity and beyond forever and ever." Tangannya gemetar saat membaca dua kalimat terakhir di surat itu. Surat dengan kertas merah muda. Surat yang akan sangat ia jaga kelak.

But I would never do you wrong

Rascal menepuk Luna dari belakang. "Lun, waktu lo pingsan, itu diluar rencana, kita kaget banget loh, mana tiba-tiba lo mimisan. Eh gue lupa kalo sebenernya lo itu kan gak bisa capek ya? Maaf lun."

"Yang ada gue yang minta maaf, kalo itu diluar rencana, gue ngerepotin dong sebenernya?"

Rascal tertawa dan menggeleng. "Lo bahagia banget ya? Seneng banget banget?"

I've known it from the moment that we met

Aku tahu sejak pertama kita jumpa.

No doubt in my mind where you belong

Tak ada keraguan di sisiku lah tempatmu.

Kembali ke beberapa menit sebelum itu.

I'd go hungry, I'd go black and blue
Luna tak bisa mendefinisikan lebih jelas lagi, ia hanya mundur beberapa langkah, merasakan semua yang dihadapannya berputar-putar seperti...entahlah. Ia benar-benar merasakan sakit kepala yang hebat, keringat dingin dan disertai dinginnya udara malam membuat tubuhnya merasa makin tidak enak, mual, karena kelaparan, dan gelapnya malam.

I'd go crawling down the avenue

Hingga akhirnya Luna tumbang juga.

No, there's nothing that I wouldn't do
Luna terlonjak kaget, matanya menatap angkasa, banyak kembang api bermekaran disana. Bersama ratusan bintang yang bersinar jauh lebih indah dibandingkan pelangi.

"Luna, Happy Birthday."

Ia menoleh. Kini, ada seorang laki-laki, tengah bersimpuh dihadapannya, menyerahkan sebucket bunga mawar merah sambil tersenyum.

To make you feel my love

Tanpa sadar, Luna langsung menghambur memeluk sahabatnya itu, walaupun ia masih sibuk memegang bucket bunga, boneka, dan kalung. Masih menangis, bahkan bisa disebut terisak. Pelukan itu dibalas oleh Rascal. "Nangis aja gak papa. Gue tau lo capek, hehe."

Tanpa terasa, air hangat mengaliri pipi dara berumur tujuh belas tahun itu. Kejadian beberapa bulan lalu kembali teringat di otaknya begitu bait selanjutnya dinyanyikan. Kejadian lucu dan memalukan, tapi tak pernah hilang dari bayangan pikiran Luna.

Saat bulan-bulannya cewek lagi kesel-keselnya.

The storms are raging on the rolling sea

"Awas awas!!!" Sebuah penghapus papan tulis terlempar mengenai bahu cowok itu, membuatnya mengaduh kesakitan dan menatap Luna.

And on the highway of regret

"Aduh anjir! Nyesel gue deket-deket lo. Kenapa sih, Lun?"

Though winds of change are blowing wild and free

"Sakit perut gueee!!!" Luna langsung mendorong tubuh Rascal yang menghalangi pintu keluar kelas, dan berlalu menuju toilet.

"Lo laper?! Buka aja, puasa setengah hari gak apa-apa!" Rascal berteriak di koridor kelas.

"Bukan itu!"

You ain't seen nothing like me yet

Laki-laki itu menggaruk-garuk kepalanya. "Unik. Gak pernah gue nemu cewek kayak dia."

Seperti mesin waktu, untuk beberapa bait terakhir, Luna mengingat kata-kata yang terlintas di benaknya. Saat ia sakit sebelum pesta, saat Rascal menjaganya, dan saat ia sebenarnya terjaga dari tidur. Semua perkataan cowok itu, terdengar di telinganya, dengan sangat jelas.

I could make you happy, make your dreams come true

"Lun, bangun dong. Jangan tidur mulu. Lo harus sehat ya. Biar bisa main lagi bareng gue. Kalo lo sehat, gue janji bakal liatin lo 1001 pelangi. Mungkin gak semuanya di langit, tapi ada beberapa di tempat lain."

Nothing that I wouldn't do

"Yaudah intinya, gue mau jagain lo terus disini. Bahkan sampai hujan selesai, gue masih tetep mau jagain lo. Inget kan, cinta itu ibarat hati dengan sayapnya, bisa terbang setinggi apapun. Namun jika hati sudah retak, sayap pun akan ikut jatuh dan segalanya akan hancur." Kepala Rascal terkulai lemas ia nyaris saja tertidur setelah mengucapkan kata-kata itu. Ditengah dinginnya hujan, dan tiba-tiba saja Luna terbangun.

Go to the ends of the earth for you

To make you feel my love

To make you feel my love.

~~~spin off back~~~

"Luna? Lo kenapa? Hei, kenapa?" Vanya yang baru sadar mendengar isakan Luna di sebelahnya. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Luna, wajahnya langsung masuk kedalam bantal, menenggelamkan tangisnya, dan mencoba meredakan air yang tak mau berhenti mengalir dari kedua pelupuk matanya.

Fay menoleh dan menyadari Vanya yang panik akan keadaan Luna.

Ia berusaha menelisik wajah gadis itu, tanpa harus diselidiki lebih dalam, Luna mengangkat kepalanya. Terlihat mata yang sembap. Ia menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Ketiga gadis itu tengah benar-benar menikmati hawa tenang disana. Luna hanya menggeleng dan menggosok kasar kedua matanya.

Di dalam pupil matanya, ibaratnya ada sebuah tulisan. Tulisan isyarat dari hati ke otak, lalu disalurkan ke mata. Mata yang selalu jujur.

Rindu. Sakit.

Tulisan itu seperti terpampang disana. Di manik mata kiri dan kanan.

"Gue...kangen aja.."

Vanya dan Fay bertatapan, seolah menghiraukan Luna yang berada di tengah-tengah mereka.

"Kenapa? Kangen siapa?" Fay mencoba meng-interogasi Luna.

"Yaa lo pikir siapa lagi sih, Fay..." Vanya menunjuk jendela kamar di rumah sebrang. Terlihat seorang laki-laki tengah berusaha mengintip mereka bertiga secara diam-diam.

Luna dan Fay sontak mengalihkan pandangan ke jendela itu, benar saja, disana Rascal sedang mencoba mencuri pandang akan mereka bertiga, atau Luna saja. Entah mungkin karena aksinya yang keburu ketahuan sebelum tuntas, ia muncul secara terang-terangan tepat di tengah-tengah jendela. Lalu merentangkan kedua tangannya seolah-olah berkata, "ya, memang aku."

Fay lalu mengangguk-angguk mengerti.

"Luna, mending lo cerita deh. Ih gue gak ngerti, lo itu kenapa sih sebenernya?" Fay menyenggol-nyenggol bahu sahabatnya. Berharap Luna mau mengeluarkan sepatah dua patah kata untuk menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. Tapi tak ada respon, yang ada malah Luna melempar pandangan kearah lain.

"Eh, lo bisa ngomong kan?" Fay menepuk-nepuk pipi Luna.

"Udah sih Fay, tungguin dia mau ngomong aja, entar juga keluar tuh suara." Vanya masih bersikap cuek dan andil dalam hal ini. Sementara Luna memutuskan perang di hatinya, dan mulai bercerita.

"Menurut lo berdua, pentingan sahabat, atau pacar?"

Fay dan Vanya sontak langsung menoleh. Lalu kembali tenang seperti sebelumnya setelah Luna juga ikutan kaget dan menengok ke kanan-kiri nya.

"Lo suka ya sama Rascal?" Vanya langsung menembak Luna dengan pertanyaan 'mematikan' nya itu. Luna langsung menegakkan duduknya dan menghadap Vanya, lalu menggeleng keras.

Vanya mendelik kearah Luna sambil menunjuk-nunjuk hidung gadis itu. "Bohong, mata lo keliatan, apalagi gara-gara—"

"Iya ege, Luna mah suka sama Rascal!" Fay tak mau kalah berpendapat.

"Nah kan. Keliatan sih udah..." Vanya langsung mengambil kesimpulan.

Luna menggaruk-garuk kepalanya, bingung dengan kedua sahabatnya yang kini terlihat seperti paranormal. Asik meramalkan perasaan yang sebenarnya hanya Luna yang tahu. "Ih apaan sih...ngaco lo, lo berdua pikir, kalian dukun seenaknya nebak-nebak gitu?" Luna kini merajuk, seperti seorang anak kecil yang menginginkan balon.

Fay dan Vanya malah terkekeh, lalu kembali menatap ke jendela, kini laki-laki itu sudah tidak ditempatnya, jendela di sebrang sana sudah tertutup rapat dan hanya tampak gorden yang melapisinya.

"Oke oke gue jujur. Gue emang suka sama dia."

Kedua gadis disebelahnya tampak tidak kaget, karena mereka sudah tahu tanpa Luna harus mengeluarkan kata-kata tadi dari mulutnya. Gerak-gerik Luna itu sangat tampak.

"Gue rasa nih ya, Rascal-nya juga suka kok sama lo..." Vanya mengambil bantal kecil dari kursi kecil disebelah mereka lalu memeluknya sambil menghadap Luna.

"Iya setuju. Keliatan juga dari dianya. Kayak masih care gitu sama lo..." Fay menambahkan.

Luna memutar otaknya. Masa iya? Kalo benar, tidak akan mungkin laki-laki itu dengan mesranya merangkul Sang Adik tadi, atau sewaktu ia menemui mereka berdua di balkon gedung tua beberapa waktu lampau, tidak mungkin hal 'tindihan' seperti itu terjadi dengan durasi lama.

"Oke kalo iya, gue mau nanya. How to make someone like him stay with me?"

Vanya menjentikkan jarinya. "Nggak perlu. Biarkan dia memilih."

"Kok gitu?" Fay mewakilkan pertanyaan Luna.

"If he care, he will stay. If he leave, lo akan tau siapa sebenernya diri lo di hidupnya." Mereka bertiga tersenyum, seakan mengerti maksud omongan Vanya.

"Udah, berarti lo gak pelu anti-anti lagi sama dia. Kalo dia ngedeket, ya syukur, kalo ngejauh, ya udah biarin..." Fay menepuk pundak Luna.

Benar juga, people changes, kalo dia mendekat, Luna harusnya senang, tapi kalau ia menjauh, Luna harus siap dengan kesunyian di depan matanya.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Besok lebaran yey~ 

Mohon maaf lahir dan batin kalo author punya salah yaa!!!

Maafin yaaa!

Ini up khusus buat bacaan hari raya ehehe:)

Maaf lama gak up ya...

Vote and comment! thx.

Dank~~

JAKARTA, 24 JUNI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro