32 - DIMULAI DARI SINI?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagaimanapun, semua manusia berhak jatuh cinta dan memperjuangkan cintanya masing-masing, kan? -Sofia Z. Callista-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kita harus ketemu lagi. Di tempat kemarin, nanti jam setengah sepuluh.

Send.

Keputusan Sofi kini sudah bulat, ia ingin bertemu lagi dengan Panji. Ada yang ingin dibicarakannya.

Sementara itu, Luna masih berbincang dengan Rascal yang asyik mengutak atik novel Alive miliknya.

"Gimana ceritanya? Ceritain dong ke gue." Rascal memasang wajah penasaran.

Luna menarik nafas sedalam yang ia bisa, lalu menghembuskannya. Bersiap memulai kisah panjang cerita itu, dengan durasi beberapa menit.

"Ceritanya, ada adik kakak, umurnya cuma beda dua tahun. Namanya Olivia Aleya dan Azlea Aleya. Oliv itu sayang banget sama Azlea, gak peduli seberapa besar sayangnya, yang Oliv tau, Azlea harus selalu bahagia, sampai suatu ketika, Azlea jatuh cinta sama sahabat Oliv, Gilang namanya. Sebenarnya diam-diam Oliv dan Gilang itu punya perasaan yang gak bisa diungkapkan, lebih dari sahabat dari kecil, Gilang takut kalo dia menyatakan perasaannya ke Oliv, nanti hubungan persahabatan, perasaan, dan air mata yang mereka bangun selama ini hancur. Padahal Gilang gak tau kalo ternyata hal itu yang dinanti-nanti Oliv."

Cerita Luna berhenti di tengah jalan. "Bego banget sih jadi cowok, orang mah coba dulu, hasil akhirnya nanti." Wajah Rascal berubah menjadi jengkel sewaktu Luna menceritakan bagian itu.

Luna terkekeh. "Lanjut gak nih?"

Rascal menangguk mantap.

"Nah, si Azlea berusaha terus-terusan buat ngejauhin Oliv dan Gilang. Tanpa dia tahu, Oliv dan Gilang yang lebih dulu lahir ke dunia itu udah melewati banyak masa-masa yang gak bisa mereka lupain dari kecil. Kayak memori yang tak bisa terlupakan gitu deh. Azlea datang dan menghancurkan segalanya, Azlea merebut Gilang yang saat itu belum bisa menyatakan perasaannya ke Oliv. Untung, Oliv punya dua teman cerita lagi, Kanya dan Gibran. Oliv cerita ke mereka, sebenernya sih Oliv pernah coba jadiin Gibran pelarian, tapi gagal. Akhirnya mereka pasang badan, mereka siap membantu, memberi solusi dan pemecahan masalah, namun sepertinya tak ada yang dapat benar-benar memecahkan masalah Oliv. Oliv akhirnya menyerah, membiarkan harapan, cinta, dan cita-citanya di Gilang terambil oleh adiknya sendiri. Ditambah lagi Azlea makin dibanggakan karena prestasinya yang meningkat gemilang, orang-orang kecuali kedua sahabat Oliv menganggap Azlea hebat dan makin membelakangi Oliv yang kian murung dan prestasinya menurun. Hingga satu-satunya jalan adalah Oliv pergi meninggalkan mereka, pergi ke London. Tanpa tak satupun kecuali Gibran dan Kanya peduli akan kepergian Oliv. Padahal sebenarnya kalau boleh jujur, Gilang sendiri sangat menyesal, namun ia menutupi penyesalannya itu dengan menjadikan Azlea pelarian utamanya."

Luna berhenti sebentar. Mulutnya lelah bercerita. "Terus, akhirnya pernah suatu kali, Oliv nemuin tanda-tanda penyakit di dalam tubuhnya. Oliv akhirnya check ke dokter terdekat dari apartement nya, eh ternyata setelah cek darah, hasilnya Oliv positif terkena kanker darah. Oliv kaget, dia gak ngerti lagi harus apa, hidup sendiri jauh dari keluarga yang benar-benar tidak mencintainya, membuat kesempatan hidup Oliv menurun terus hingga kesempatan itu tinggal 30 persen. Oliv hanya memberitahu tentang ini kepada Gibran dan Kanya. Beberapa hari kemudian, dia dapat e-mail dari adiknya kalau adiknya mau menikah dengan sahabatnya. Hatinya sudah sangat rapuh, dan langsung hancur begitu saja, harapannya benar-benar hilang. Ia sudah tak setegar dulu, kini adik yang sangat ia cintai ternyata yang paling bisa membuatnya tenggelam dalam palung laut terdalam. Oliv sempat kembali untuk menghadiri acara tersebut, namun saat ia sudah di gerbang kepulangan..."

Ucapan Luna terhenti. Wajah Rascal tiba-tiba kebingungan. "Lanjutin...kan gue gak nyuruh lo berhenti cerita."

"Lo baca aja lanjutannya, ada di halaman 195, tapi kalo mau baca dari awal sih gak apa-apa."

"Anjay lo hafal halamannya, saking baper bacanya ya?"

"Enggak juga, ya udah intinya lo baca aja lanjutannya, gak seru kalo gue spoiler terus." Luna tertawa.

Namun tawanya tiba-tiba terhenti saat menyadari sesuatu, Rascal menggenggam erat pergelangan tangannya. Otomatis Luna kebingungan dengan tingkah tiba-tiba sahabatnya itu.

"Lo kenapa deh?"

"Gue takut, Lun. Sejak lo cerita, yang ada di pikiran gue cuma lo. Gue takut lo yang ngalamin itu semua."

Luna tersentak, benar juga, kisah ini mirip dengan kisahnya, dimana ia punya sahabat cewek dan cowok, adik yang umurnya hanya dua langkah lebih muda dari dirinya, dan sahabat, perasaan terhadap sahabatnya yang ia simpan dalam-dalam. Namun alur ceritanya malah terlihat menonjol akan masa depannya, ia pernah mimisan, bahkan terbilang sering. Luna juga ikut takut.

"Gak mungkin lah, Sofi gak se-jahat itu, lagian lo mau apa kalo gue sakit terus—"

"Ya enggak lah!"

"Ya udah, berhenti berimajinasi yang gak masuk akal!" nada suara Luna meninggi.

Rascal menoleh. "Lun, gue janji kok, gue gak bakal bikin kisah lo sama kayak kisah di novel itu. Gue janji akan bikin lo bahagai terus."

Luna tertawa keras. "Emangnya bisa? Hahaha, jangan janji yang engga-engga kalo lo belum tentu bisa menepati janji itu."

"Ya gue berusaha lah."

"Oke oke, gue terima janji lo. Gara-gara cerita doang sampe kebawa gitu ya?"

Rascal agak malu memang, masa bisa nyali cowok seperti dia ciut seperti itu hanya gara-gara novel? Tapi entah kenapa, ada angin yang berbisik di telinganya bahwa kisah itu bisa saja menjadi kisah hidup Luna juga.

***

"Kenapa lagi? Masih ada yang mau lo ceritain?"

Kali ini, Sofi tidak menunduk gelisah, atau tingkah apapun yang membuatnya terlihat misterius.

"Gak ada sih sebenernya, gue cuma mau nanya deh, sedeket apa sih Kak Luna sama dua sahabatnya itu?"

"Vanya sama Fay?"

"Iya, deket banget?"

Panji mengangguk.

"Kak, masa ya, hati gue ngomong, kalo sebenernya lo itu gak ikhlas Luna deket sama Rascal, karena menurut gue, bagaimanapun, semua manusia berhak jatuh cinta dan memperjuangkan cintanya masing-masing, kan?"

Panjii refleks menoleh tajam kearah Sofi.

"Wow wow, santai, itu sih firasat aja, soalnya keliatan gitu dari muka lo. Lo yakin mau nyerah gitu aja? Gue jadi lo sih gak yakin, Kak."

"Udah! Lo pikir dengan ngomong gitu, lo bisa pengaruhin pikiran gue buat deketin Luna dan jauhin Rascal dari dia? Oh gue tau, apa lo mau ngajak gue berkomplot sama lo buat jauhin mereka? Gak akan."

Sofi bukannya takut atau apa, malah reaksi lain tampak di wajahnya. Dia tertawa.

"Bohong lo kak, lo bisa baca pikiran gue juga ya? Haha. Liat aja nanti, selanjutnya akan kaya gimana kisah ini." Lalu ia pergi menggeloyor begitu saja, meninggalkan Panji yang masih bimbang

***

"Bego lo bego!" Panji terus memaki dirinya sambil terduduk dipinggir tempat tidurnya.

"Kenapa lo gak ngaku aja sih kalo lo emang punya niat yang sama? Biar lo bisa dapetin Luna! Bodoh banget!" Tangannya selalu memukuli kepalanya sendiri, tak ada henti-hentinya, hingga ia merasa kepusingan.

Tubuhnya langsung berbaring menatap langit-langit kamar. Memang sempat terbesit sebuah keinginan untuk menghancurkan kebersamaan antara Luna dan Rascal, namun ia rasa, perbuatan itu sangat salah. Bukan hanya dosa, namun ia bisa merusak kehidupan seseorang jika seperti itu. Selain itu, kasihan Luna yang sudah pasti kehidupannya akan terusik jika kedatangan seorang atau dua orang 'PHO'. Oh, sungguh, hati kecil Panji berkata ia tak pernah ingin melakukan hal hina seperti itu. Harus dipikirkan berulang kali untuk melakukannya.

"Bagaimanapun, semua manusia berhak jatuh cinta dan memperjuangkan cintanya masing-masing, kan?"

Pikirannya terus dipenuhi oleh kata-kata yang tadi terlontar dari mulut Sofi. Ada benarnya juga, tak ada seorangpun yang tahu menahu mengenai takdir. "Masa iya gue harus Gay dulu dan jadi banci supaya Luna mau sama gue? Gila ah enggak."

Mau tidak mau, suka tidak suka, Panji bisa saja mengikuti nafsunya untuk ikut dengan rencana jahat Sofi.

***

"Kak, ada bacaan gak? Novel gitu atau apa?" Sofi langsung masuk ke kamar Luna tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.

"Kamu kebiasaan nih, ketuk pintu dulu baru masuk, kalo kakak lagi ganti baju gimana?"

"Iya deh. Maaf ya Kakak Luna yang cantiiiiiik."

Luna hanya bersungut, lalu bangkit dari posisi telentangnya. Ia langsung meletakkan Handphone yang sedari tadi dimainkannya ke atas bedside table.

"Apa?"

"Ada novel gak buat dibaca?"

Luna memegangi dagu nya, tanda ia berpikir, bola matanya juga ikut berputar-putar ke segala arah. Lalu ia menjentikkan jarinya. "Ada!"

Wajah Sofi pun sudah menunjukkan kesenangan.

"Tapi lagi dipinjem Rascal..." Lanjutnya.

"Yah, Rascal lagi, Rascal lagi." Sofi langsung bersungut dan berbalik, bersiap kembali ke kamar.

Sebelum tiba-tiba, ponsel di bedside table Luna bergetar. Ada telepon yang masuk kesana. Dengan cepat, tangannya langsung menyambar handphone miliknya. Ada videocall masuk, dari seseorang.

"Siapa?"

"Rascal." Luna tersenyum sumringah saat membaca nama siapa yang tertera disana.

Sejurus kemudian, Sofi langsung memasang tampang datar. Tak mengenakkan.

Namun tiba-tiba handphone yang berada di tangannya juga ikut bergetar.

Panji Oliver (temen kakak)

Ini Sofi kan? ini gue Panji. Gue setuju dan mau ikut rencana lo.

***

Matahari menyorot wajah seorang gadis cantik yang tengah terlelap. Memaksa matanya agar terbuka dan memandang sekeliling. Ia sadar, semalam, kegiatan komunikasinya dengan Rascal berakhir karena ia ketiduran, saat melihat handphonenya, ternyata videocall LINE mereka, belum berakhir. Ada wajah seorang cowok yang terlelap dalam tidurnya, handphone yang sepertinya tersandar di bantal, dengan pemilik yang masih saja belum membuka matanya. Luna segera sadar dan tersenyum. Ia mengamati setiap inci wajah laki-laki itu, lalu bergumam.

"Bisa gak ya, selamanya, setiap gue buka mata di pagi hari dan mau menutup mata lagi saat malam, orang yang gue sayang yang gue liat duluan?"

Luna terkekeh, dan segera bersuara.

"Bangun!! Jangan tidur mulu, kuota lo abis lama-lama! Dipake videocall semaleman."

Tak ada gerakan.

"RASCAAAAL!"

Ia berteriak, walaupun ia sadar, sekeras apapun ia berteriak lewat videocall, tetap saja suaranya tidak sebesar jika ia benar-benar berhadapan dengan orang itu. Namun anehnya, Rascal menunjukkan respons. Rascal mengadahkan kepalanya, menggerakkan tangannya, dan sepertinya baru sadar jika ada handphone yang menunjukkan layar dua wajah manusia disana. Lalu tertawa malu.

"Halo..." Ucapnya sambil mengerling dan tersenyum. Lalu mengucek-ucek kedua matanya layaknya anak kecil yang baru terbangun dari tidur nyenyaknya.

Rambutnya awut-awutan, tidak beda jauh dengan rambut Luna yang acak-acakan.

"Gila lo ya, kuota lo gak abis buat videocall gue apa?"

"Kan ada Wi-Fi dirumah gue. Lagian gak lama kan? Lo semalem tidur jam dua gara-gara gue videocall lo, alesannya buat nyari ngantuk, eh bablas kan? Sekarang juga udah jam...tujuh. Lima jam aja kok."

"Aja. Gak gitu juga sih harusnya..."

Luna menggaruk-garuk kepalanya bingung. Mereka masih sama-sama belum nyambung jika diajak ngobrol, jadi Luna hanya bengong terfokus pandangannya ke layar handphone, sementara kesempatan itu digunakan Rascal untuk memperhatikan wajah Luna secara detail. Matanya yang halus, sorotnya yang terlihat jujur, manik mata yang indah, bibir yang berbeda dari cewek kebanyakan, cantik. Kesan natural masih terlihat didalam diri Luna. Rascal yakin, siapapun laki-laki yang bisa mendapatkan hatinya, pasti beruntung. Berbeda dengan Sofi yang memiliki wajah agak tajam, Luna terlihat lebih ramah dan halus. Tapi Rascal sayang Luna bukan karena fisik, namun dari segala sisi. Sifat, gerak tubuh, cara bicara, nada suara, dan hatinya yang selalu baik.

"Bisa gak ya, setiap pagi saat gue buka mata, dan setiap malem saat mata gue mau menutup lagi, yang gue liat itu lo, orang yang gue sayang, kayak sekarang?"

Luna mengucek-ucek matanya dan menguap. "Apaan?"

"Enggak. Udah mandi sana, nanti ketemuan ya, di depan rumah lo..."

"Oke." Luna mengangkat ibu jarinya kearah Rascal, lalu mematikan videocall tersebut. Berhubung masih ngantuk, dan tak mau lama-kelamaan boros Wi-Fi nya Rascal, Luna setuju untuk mengakhiri obrolan videocall mereka.

***

"Eh tuh Luna!" Panji berseru ketika mendapati seorang gadis menuju keluar rumahnya.

"Ya udah samperin sana!"

Ternyata, Sofi dan Panji sudah siaga dari pagi, mereka tahu Luna dan Rascal pasti akan bertemu sekitar pukul delapan atau sembilan. Dari jam setengah tujuh, mereka berdua sudah siap di halaman depan rumah Luna. Entah rencana picik apa yang mereka siapkan, dan entah bujuk rayu seperti apa lagi yang nanti akan dilakukan Panji ataupun Sofi ke kedua belah pihak. Sesegera mungkin Panji berlari kearah Luna yang menunggu di depan pintu.

"Hai.."

Luna agak terperanjat saat mendapati Panji disana. "Loh kok tumben lo ada disini pagi-pagi, Ji?"

"Iya dong, buat Tuan Puteri apa sih yang enggak."

Bukannya senang, Luna malah bergidik ngeri. "Lo kenapa sih? Semalem sakit ya? Jujur gue jijik aja sih."

"Kok jijik? Romantis tau."

"Romantis pala lo mletak, udah ah..."

Mata Luna lalu mengedar pandang kearah halaman rumah Rascal, dari jauh, rumah itu terlihat kokoh dengan pintu putihnya. Namun belum ada seseorang yang ia tunggu membuka pintu tersebut.

"Lo nungguin siapa sih?"

"Rascal. Sahabat lo tuh."

Panji lalu memikirkan cara untuk mengubah diri Luna yang cuek akan dirinya, menjadi lebih perhatian kepadanya ketimbang dengan Rascal. Karena bingung, ia lalu memanggil Sofi dengan sebuah siulan, dan tepat, gadis itu menengok.

"Gimana?"

Sofi lalu bangkit dari duduknya, dan melangkah kearah mereka berdua.

"Eh, Kak Luna ini ada temennya kok malah dicuekin gitu sih? Gak baik. Ajak masuk lah..."

Luna tetap cuek, malah semakin menajamkan pandangannya kearah pintu putih dirumah sebrang. Menanti seseorang yang tak kunjung tampak batang hidungnya.

"Kak..dengerin aku gak sih? Ini loh ajak masuk temennya, ngobrol di dalem, ngapain nunggu yang gak pasti?"

Luna menoleh tajam, lalu kembali melempar pandang kearah berlainan.

"Udah ah sana masuk..." Sofi mendorong tubuh Luna dan Panji untuk masuk kedalam.

"Ih apaan sih?"

"Masuk kak, itu Kak Panji kasian masa nunggu diluar?" Panji memasang tampang licik, namun tersenyum. Sejak kapan Panji berubah jahat seperti ini? Sejak nafsu mengalahkan akal sehatnya.

Luna tetap menolak, ia memaksakan dirinya untuk maju kearah pintu yang kelamaan terasa jauh. Lalu ia berhenti. "Kalo dia mau masuk, ya masuk aja. Kan masih ada kamu, kenapa gak kamu yang nemenin?"

Sofi terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. "Umm—aku kan—aku mau kerumah Intan! Iya, temen aku."

"Sejak kapan kamu punya temen yang namanya Intan?"

"Sejak—"

"Ayo, Lun. Gue kan maunya lo yang nemenin, lagian gue gak lama kok. Ayo, bentar aja...ya?"

Panji mulai merajuk. Luna kan memang tidak tahan jika dirajuk seperti itu, ia tak pernah suka melihat orang memohon-mohon sesuatu kepadanya. Maka dari itu ia mengalah.

"Bentar doang kan?"

Panji mengangguk. Akhirnya Luna mengikuti kemauannya, masuk kedalam, duduk diruang tamu, di sofa. Dan diam masing-masing.

Terjadi kecanggungan diantara mereka. Tak seperti biasanya, Luna malah asik dengan handphone nya, mengetik sesuatu, dan mengirimnya. Sofi? Sebenarnya Sofi diluar, menunggu Rascal. Menggantikan posisi Luna saat itu.

"Lun, lo kenapa sih suka banget deket-deket Rascal? Suka ya?"

"Emangnya kenapa? Kalo suka ya wajar, dia sahabat gue, udah gue anggep abang sendiri kadang, atau...lo cemburu ya gue sama dia?"

Panji kaget saat itu, mungkin bagi Luna, ucapannya tadi asal saja, namun bagi Panji, itu benar. "Hmm—mungkin. Lagian lo kenapa sih demen banget sama mantan badboy macem dia? Kalo tingkah jeleknya kambuh, lo kan gak bisa apa-apa, nanti kalo dia nyakitin lo gimana?"

"Rascal gak akan sekasar itu sama gue."

"Tapi lo liat deh, cowok mana sih yang udah gede masih aja main boneka, apa baiknya kalo gitu? Gak ada bedanya sama anak kecil yang sok dewasa."

"Lagian ya, gak macho. Masa iya mantan badboy kaya gitu. Kalo gue perhatiin, dia manja juga sama lo. Mana ada cowok yang manja kayak gitu."

"Dari waktu ulangan harian fisika beberapa waktu lalu juga dia gak mau kan bantuin lo? Malah gue yang bantuin, sahabat macem apa sih itu?"

Luna mulai naik pitam. Hujatan demi hujatan di hujamkan untuk Rascal kepada Luna, mungkin Panji berniat menjatuhkan harga diri sahabatnya itu di depan Luna. Panji tidak seharusnya berkata demikian. "Ji, denger gue. Selama gue sahabatan sama Rascal, jauh lebih lama sebelum gue atau dia kenal sama lo, gue gak pernah denger sedikitpun kata-kata jelek keluar dari mulut Rascal untuk mengejek atau menjatuhkan sahabatnya sendiri. Lo gak sepantasnya ngejek dia, yang juga sahabat lo, didepan sahabat dia yang lebih lama kenal dia daripada lo. Itu bener-bener menunjukkan sikap lo yang gak punya attitude."

Menohok, tajam, menyakitkan. Seperti itu kalau Luna sudah benar-benar marah batin. Bukan banyak omong atau cerewet seperti cewek kebanyakan, benar kata Rascal, Luna itu berbeda.

"Tapi—"

"Satu lagi, lo gak pernah bisa memaksa gue ngerubah pandangan gue tentang dia dengan cara lo ngejek dia. Itu bukannya ngerendahin diri dia di depan gue, tapi itu sama aja lo ngejatuhin diri lo sendiri di mata gue. Gue sekarang tau, ternyata sifat lo kayak gitu. Makasih, udah bantuin gue waktu ulangan Fisika waktu itu. Dan makasih, gue salah pilih sahabat." Luna lalu berdiri dan beranjak pergi. Meninggalkan Panji yang masih—mungkin—merasakan nyeri di dada karena omongan Luna barusan. Kata-kata yang masih saja terngiang-ngiang di telinganya.

Panji lalu menoleh, Luna sudah ada didepan pintu. Aneh, ia diam saja, seperti melihat sesuatu.

Panji lalu menghampirinya. Baru saja laki-laki itu ingin menepuk pundaknya, ia terlebih dulu memandang kearah Luna melihat suatu hal. Dan ia terlihat mengerti kenapa Luna daritadi diam saja.

Disana, di sebrang rumahnya, ada Sofi yang menggelayut manja di lengan Rascal sambil tertawa-tawa, entah apa yang lucu, anehnya Rascal juga ikut tertawa, dan merangkul tubuh Sofi. Seperti bahagia, namun Luna malah merasa sakit, sakit yang sampai membuatnya merasa sesak. Pikirannya menerawang kosong, matanya menatap lurus kedepan, seperti melayang tanpa beban, entah sudah sejauh apa pikirannya, namun getir rasanya, Luna ingin menangis saat itu juga.

"Lun?"

Luna menoleh, sudah tampak ada genangan air di pelupuk matanya.

"Lun, lo gak boleh nangis cuma gara-gara itu...kan ada gue..."

Luna diam tak bergeming. "Lo gak tau rasanya, Ji."

"Iya gue emang gak tau. Pokoknya lo harus kuat, Lun. Luna yang gue kenal gak cengeng kok."

Luna bukannya termotivasi, malah membuang muka, hingga wajahnya tertutup rambut. Sementara Rascal disana, tidak sengaja menatap kearah Panji dan Luna di pintu rumah Luna. Ia lalu melepas rangkulannya dengan Sofi.

"Mau kemana, kak?"

"I—itu Luna kenapa?"

Sofi menoleh, ia tahu Luna melihat mereka. Tapi bukan menyurh Rascal mendekati Luna, Sofi malah menahannya. "Udah sih, paling dia sedih denger cerita apa gitu dari Panji."

"Eng—"

"Sini aja temenin aku. Aku masih bingung harus ngomong apa sama dia..cuma Kak Rascal yang bisa bantuin aku dan bikin aku ketawa lagi..." Sofi berpura-pura memasang tampang murung. Sofi mulai buta karena—cinta?—atau hal lain, yang ia anggap cinta.

"Enggak. Luna lebih penting. Maaf, Sof." Ujar Rascal sambil melepas sentuhan Sofi dan bergegas pergi ke rumah Luna.

"Lun, Rascal kesini. Jangan nangis...nanti gue yang disalahin..." Panji mulai panik saat mendengar Luna terisak sedikit demi sedikit.

Namun Luna tak bisa menghentikan tangisnya. Kalau beberapa hari lalu Rascal membuatnya menangis bahagia, lain halnya dengan saat ini.

"Lun..Luna lo kenapa?" Rascal langsung menghampiri mereka berdua.

"Lo apain Luna?"

Panji menggeleng. Sofi hanya bisa berlari kecil dan berniat menengahi mereka.

Sementara Luna menoleh, walau tidak terlalu sembap, namun matanya memerah. Ia menyibakkan rambutnya, terlihat sekali. Tak lama, Luna langsung berlari kedalam rumah, melempar handphone nya ke sofa, dan menaiki tangga menuju kamar. Begitu di depan kamar, ia sempat melihat tiga orang—tiga orang yang mulai dibencinya—ada dibawah. Lalu masuk sambil menggebrak pintu rumah.

"Nyokap Bokap ada?"

"Eng—engga."

Rascal langsung bersiap masuk kerumah Luna, namun tertahan oleh mata yang memandang handphone Luna di sofa. Ia meraih handphone itu terlebih dahulu, lalu kembali mengecek handphone nya. Luna ternyata sudah memenuhi ruang obrolan mereka dengan spam nama Rascal. Setelahnya, Rascal kembali menaruh ponsel itu dan ingin berlari keatas, sayangnya langkah kakinya dicekal oleh Panji.

"Lo bodoh kalo bikin dia nangis kayak tadi."

"Gue?"

"Gara-gara lo, sama Sofi!" Panji menunjuk kasar cewek yang berlindung dibalik tubuh Rascal. Namun Rascal tak menghiraukannya, dan malah langsung berlari menaiki tangga, menggedor-gedor pintu kamar Luna, namun nihil.

Dibawah, Panji masih menatap Rascal yang sekarang sudah berada didepan pintu kamar Luna. Menunggu gadis itu keluar sambil berteriak memanggil Luna seperti orang gila.

"Kak!"

Panji menoleh.

"Gue gak ngerti, bego banget sih, kok lo malah nyalahin gue? Ini kan rencana kita!"

"Gue gak bisa liat dia sedih kayak gitu."

"Lemah banget lo jadi cowok! Gak bisa tegasan dikit, hah?!" Sofi memaki Panji yang menurutnya 'tidak becus' dalam menjalankan tugas.

Panji mendorong Sofi keluar, agar percakapan mereka aman, dan Rascal ataupun Luna tidak mendengarnya.

"Bukan masalah lemah atau enggak, tapi kalau sampe Luna ngerubah pandangannya dia ke gue? Apa kalo kayak gitu lo masih bisa bilang gue lemah kalo gue nyerah gara-gara hal itu?!"

"Ngerubah gimana?"

"Dia, yang dulu dia anggep gue baik, dia anggep gue gak jahat, sekarang malah mikir sebaliknya. Kalo otak lo gak nyampe, cukup itu yang lo tau. Dia udah gak akan lagi anggep gue baik, sampai kapanpun itu. Cuma gara-gara nafsu gue milikin dia, ngerebut dia dari sahabat gue sendiri, dan gara-gara rencana gila lo yang udah bikin gue buta sama logika!"

Sofi terdiam.

"Diri gue ngikutin apa maunya, tapi logika sama hati gue perang. Logika gue bilang kalo gue gak pantes ngelakuin ini, tapi hati gue maksa gue terus buat dapetin dia. Dan gara-gara rencana lo yang mendukung keinginan hati gue, dia jadi egois dan gak lagi mikir pake otak dan logika, bergerak sesuka hatinya, tanpa mikirin perasaan orang yang akan jadi korbannya! Dia gak suka sama gue."

Panji lalu menggeloyor pergi begitu saja, tanpa permisi, tanpa aba-aba, dan tanpa tanda. Sementara Sofi mengusap kasar wajahnya dan meringis kencang. Ia masuk kedalam lalu bergegas berlari menghampiri Rascal yang tetap menunggu Luna keluar.

"Lun, gue bawa novel lo nih! Gue suka ceritanya, sama kayak lo yang suka banget cerita ini. Kita satu selera, inget? Kenapa lo gak juga juga bukain pintu untuk gue sih?"

"Kak..pulang..."

"Kenapa? Orangtua lo udah balik? Sekalian aja gue mau nginep disini nunggu dia keluar...gue izin ke mereka. Mana?"

"Enggak, orangtua gue pergi ke Puncak, urusan kantor Papa selama 3 hari, lo gak usah nginep disini, pulang sekarang."

"Tapi gue mau nunggu dia keluar."

"Enggak bisa. Pulang sekarang. Ini masih pagi, gue gak mau ribut-ribut disini."

Rascal diam dan menurut. Ia tak punya hak untuk tetap tinggal disana, pacar bukan, saudara juga bukan. Hingga akhirnya ia sadar, ia adalah orang asing, yang sudah masuk ke kehidupan orang lain, dan mengacak-acak kehidupan orang itu.

"Ini, gue nitip buat dia. Pastiin sampe ke tangannya." Rascal memberikan benda yang daritadi sebenarnya sudah ia pegang-pegang. Novel 'Alive'. Novel kesukaan Luna.

Sofi hanya mengangguk.

Di dalam kamarnya, Luna masih sedikit terisak, namun mencoba menenangkan diri, pelan-pelan namun bisa.

"Halo..."

Suaranya parau.

"Luna? Lo kenapa? Lo abis nangis? Kenapa? Cerita sama gue..."

"Fay...kita ketemu di Café Palazzo..ajak Vanya ya...ada yang pengen gue ceritain..."

"Iya iya iya...secepat mungkin gue ajak Vanya kesana, untung dia jadi tinggal disini. Sekarang kan? Tenang ya Luna, sabar, gue pasti dateng..."

Fay itu sebenarnya tipe-tipe sahabat yang baik, mungkin dulu, hormon pubertasnya belum bekerja maksimal, jadi tingkahnya masih sama seperti anak kecil.

Tapi sedari tadi Luna merenung, ia jadi ingat kata-kata Rascal beberapa waktu lalu, setelah terakhir kali pertemuan tidak baiknya dengan Dion, beberapa saat setelah Rascal menyelamatkannya dari 'peristiwa' itu.

"Gue kasih tau ya, lo itu jangan percaya banget, jangan berharap banget, jangan sayang banget, jangan cinta banget, dan jangan terlalu bersandar di seorang cowok. Inget, semua yang berlebihan itu bisa bikin 'sakit banget'."

"Iya bener."

Kehancuran, dimulai dari sini.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 

Gils, baru nyadar gue ini 3600++ kata. Hahah.

Makasih buat bbrp readers yang udh support cerita ini dengan vote nya, atau beberapa komenan kalian, temen-temen gue juga hehe:)

Jangan lupa untuk terus Vote and comment yah! Vote juga berarti banget kok:)

Dank~~

JAKARTA, 2 JUNI 2017 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro