31 - AKSI REAKSI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gue aja yang cuma sahabat, bisa sewaktu-waktu nyerah buat dapetin Luna karena gue tau, setiap orang punya hati dan pemiliknya masing-masing, mereka tahu dimana hati itu akan berlabuh. Kalo lo nikung Luna, sama aja lo merenggut hak kepemilikan hati itu sendiri, sama aja kayak lo membiarkan kakak lo sendiri kehilangan prioritas nya dia. -Panji Oliver-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Kenapa mau ketemu sama gue?," Panji bersandar di bangku taman sambil menoleh sekali kearah gadis yang berada di sebelahnya.

"Gue cuma mau cerita sesuatu aja."

Cowok itu menganggukkan kepalanya sambil menikmati kunyahan permen karet rasa bubblegum di dalam mulutnya. Di taman senja itu, Sofi tengah duduk berdua dengan seorang perjaka bernama Panji. Panji yang cuek, Panji yang pintar, Panji yang terkadang kutu buku, dan Panji yang suka membantu.

"Kak, lo suka gak sama Kak Luna?,"

Pertanyaan yang datang tiba-tiba membuat Panji tersedak permen karetnya sendiri. Lalu berupaya keras memuntahkannya. Ia membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Entah karena tegang atau kaget.

"Kok tiba-tiba lo nanya gitu?"

"Karena gue pengen tahu yang sebenernya."

"Ada noh di tukang sayur seribu satu. Ada tahu kuning sama putih, tinggal pilih." Panji masih berpura-pura cuek dengan omongan Sofi.

Sofi memasang ekspresi aneh terhadap jawaban Panji. "Serius ih, ini bukan guyon."

"Lagian sih lo ada-ada aja. Mana mungkin gue suka sama Luna yang jelas-jelas disukai juga sama Rascal."

Sofi mengernyitkan dahi. Ternyata selama ini rencananya untuk menjauhkan Rascal dengan Luna tidak meleset, karena mereka memang pantas untuk dijauhkan agar Sofi bisa mendapatkan Rascal.

"Apa hubungannya sama Rascal?"

"Nanya lagi. Eh, Rascal tuh sahabat gue, gak mungkin lah gue ngambil cewek yang dia suka, sama aja gue nikung dia dong? Harusnya gue malah bantuin."

"Terus kenapa lo gak bantuin dia, Kak?"

Panji bungkam seribu bahasa. Kau tahu alasannya kenapa? Karena orang yang selama ini Panji suka adalah orang yang sama dengan orang yang Rascal suka. Sunshine yang sering disebut-sebut Panji tak lain adalah, Luna.

"Yaa udahlah gak usah dibahas. Lagian kenapa sih? Lo suka sama Rascal?"

Kenapa terlalu banyak suasana awkward sih diantara mereka?

Sofi menarik nafasnya dalam-dalam. Bersiap memulai segala cerita panjangnya. Dengan satu kata singkat. Satu kata yang memiliki ribuan arti, mewakili jutaan perasaan, dan mengangkat seluruh kenyataan yang ada. Tanpa dilebih-lebihkan, atau dikurangi.

"Iya."

***

Sore itu. Hanya sebuah rumah pohon yang berdiri kokoh yang menjadi saksi bisu percakapan antara Rascal dengan Luna. Rumah pohon yang dibangun dari mereka masih polos-polosnya, hingga kini mereka mengetahui banyak hal tentang perasaan, sakit hati, dan jatuh cinta. Rumah pohon kokoh setiap diterpa panas atau hujan. Rumah pohon yang tak pernah ambruk saat dihujani dengan banyak cobaan. Rumah pohon yang harusnya mulai rapuh termakan usia dan waktu malah semakin membuatnya kuat. Rumah pohon besar dan tegar. Rumah pohon yang telah melihat segala hal yang terjadi. Rumah pohon yang biasanya jadi pelampiasan amarah Luna, atau tempat biasa Luna menangis. Rumah pohon itu jika diibaratkan dengan suatu hubungan, ia sangat mirip dengan hubungan antara Rascal dengan Luna.

Senja sudah berakhir, rumah pohon itu harus merasakan kedinginan sendiri diluar sana. Sementara si pemilik masing-masing sudah masuk ke dalam rumah, bahkan Luna sudah mengambil posisi paling nyaman untuk mendengarkan lagu lewat earphone putih miliknya sambil membaca novel Alive. Novel yang belum pernah ia sentuh lagi sejak hari itu.

"Alive. Hati yang remuk, janji yang terbang, dan harapan yang sirna. Kita mulai dari prolog."

Luna membaca satu kata ke kata lainnya. Dari satu kalimat ke kalimat lainnya. Berjam-jam. Lunamenghayati setiap kalimat, setiap kata, setiap huruf yang dirangkai menjadi cerita yang menyentuh. Tiba-tiba, ada satu bagian yang membuatnya menitikkan air mata. Bagian yang nyaris mendekati ending, Luna sengaja berniat untuk menghabiskan satu buku tebal itu pada saat itu juga. Itulah Luna, begitu mendapat bahan bacaan baru, rasanya ingin langsung menghabiskannya agar tidak termakan rasa penasaran.

"Oliv, begitulah. Ia selalu mengorbankan segala sesuatu demi Azlea. Adik kesayangannya. Oliv merasa, dunia ini terlalu tidak adil baginya, Azlea banyak mendapat perhatian dari siapapun, Azlea istimewa, Azlea anak emas, Azlea, Azlea, dan Azlea. Sementara Oliv semakin tidak dipandang. Azlea mendapatkan cita-citanya, kebahagiaannya, bahkan cintanya. Sayang, cinta yang didapat Azlea adalah cinta yang selama ini dibangun antara Oliv dengan Gilang. Azlea merusak semuanya, Azlea menghancurkan segalanya, merebutnya. Hingga Oliv berakhir diatas ranjang rumah sakit. Mati di tanah orang, London. Meninggalkan seberkas luka pada dirinya, yang mungkin tidak bisa lagi diobati, bahkan jika ada yang rela menangis darah untuknya, karena apa? Karena Oliv sudah merelakan semuanya, dan membiarkan jiwa nya melayang bebas ke udara, tanpa beban, dan tersenyum puas. Meninggalkan ketidak adilan, dan bersiap datang untuk di adili di tempat yang lebih layak untuknya. Tamat."

Luna mengernyitkan alisnya, menghapus sedikit jejak air matanya. Sad ending, terkadang sad ending membuatnya kesal dan marah, membuat sebuah cerita terkesan menggantung, dan membuat pembaca tidak puas. Tapi kali ini berbeda, ia merasa ada sesuatu yang mirip dengan kisah hidupnya. Agak mirip, atau memang sama? Cerita Alive bagaikan penggambaran masa depan Luna, jika Luna tidak berusaha merubah masa depannya sendiri.

Tapi Luna tidak terlalu memikirkannya, berharap mimpinya dapat membayar rasa penasaran itu, ia meninggalkan buku tersebut di bedside table miliknya dan berbalik membelakangi buku itu. Tanpa ia tahu, ada tiga lembar lagi dibelakang ending yang belum terbaca. Seperti sebuah epilog. Namun Luna terlalu cepat tertidur dan membiarkan buku itu tergeletak menghadap sinar sang bulan. Oliv, masih hidup dan terbangun dari mimpi buruk panjang nya.

Di sisi lain, ada Sofi yang sedang mencoba untuk tidur, namun sulit sekali rasanya. Ia hanya sibuk membolak balikkan tubuhnya tanpa tahu apa lagi yang harus dilakukannya agar bisa tidur dengan nyaman. Setelah mendengar pernyataan Panji tadi, Sofi sibuk menyiapkan rencana-rencana jahat untuk merebut Rascal. Sebelum terlambat. Semangat jahatnya bergejolak tiba-tiba, ada nafsu besar untuk memiliki, ia sendiri tahu bahwa itu bukan cinta, hanya rasa serakah untuk memiliki Rascal seutuhnya. Tapi di sisi lain, ia juga merenungkan kata-kata Panji.

"Gue suka sama Luna. Bahkan udah dari lama. Tapi gue gak berani untuk menyatakan itu."

"Kenapa harus takut?"

"Karena gue gak mau sakitin hati sahabat gue sendiri."

"Selama dia cuma berstatus sahabat lo, gak apa-apa lah. Lo bayangin kalo gue sama Kak Luna, dia Kakak gue sendiri, gue gak bisa gitu aja sakitin hati dia dengan ambil Rascal tiba-tiba. Cowok itu aja mungkin gak akan mau sama gue. Padahal mah gue pengen banget ngerebut Rascal dari dia, dengan seribu cara agar cowok itu ikut gue dan Kak Luna ngerelain dia. Gue udah nyiapin banyak rencana malah."

Panji mengelap dahi nya yang sedikit berkeringat karena kepanasan, entah karena aura Sofi yang panas, atau hawa disana yang memang terasa mulai memanas. "Masih banyak ikan di laut. Gue aja yang cuma sahabat, bisa sewaktu-waktu nyerah buat dapetin Luna karena gue tau, setiap orang punya hati dan pemiliknya masing-masing, mereka tahu dimana hati itu akan berlabuh. Kalo lo nikung Luna, sama aja lo merenggut hak kepemilikan hati itu sendiri, sama aja kayak lo membiarkan kakak lo sendiri kehilangan prioritas nya dia. Kita gak ada yang tau rahasia besar Luna itu apa, kalo seandainya ternyata rahasia Luna itu hanya dia yang mau hidup kalo cuma ada Rascal di dekatnya, lo ambil Rascal dan lo biarin Luna sendiri, kalo Luna orangnya frustasian, mungkin aja dia udah bunuh diri. Tapi gue tau Luna, dia gak mungkin ngelakuin hal sebodoh itu cuma karena cowok, dia bisa masang seribu kedok berpura-pura agar cuma dia dan Tuhan yang tahu tentang kepura-puraannya itu. Lo gak akan bisa bedain mana Luna yang ikhlas Rascal nya diambil dan mana Luna yang berpura-pura gak sakit saat ngeliat orang yang dia sayang diambil. Gue ngomong gini karena gue sendiri tau kalo Luna suka sama Rascal, kelihatan dari tingkah laku nya. Dan satu lagi, jangan pernah lo sakitin Luna, dia kakak lo, inget? Dia sayang banget sama lo, kalian punya hubungan darah, kalian saudara, dan gak sepantasnya lo nyakitin dia cuma gara-gara cinta."

Panjang dan menyakitkan. Panji seolah bisa membaca apa yang ada di pikiran Sofi. Awalnya Sofi semangat mengambil Rascal karena ia tahu, Luna kakak nya dan tidak mungkin sikap dewasa Luna berubah menjadi egois dan tidak membiarkan Sofi bahagia dengan Rascal. Namun ia ingat kalau Luna begitu menyayanginya. Ia tahu bagaimana sakit hatinya saat orang yang kau sukai dan kau cintai bisa membangun rasa itu bertahun lamanya, dan berusaha menahan rasa itu agar tidak membludak tiba-tiba, diambil begitu saja dengan orang yang baru lahir ke dunia, tanpa tahu masalah terdahulu, tanpa tahu apapun. Sofi tak pantas buat berbuat seperti itu kepada sosok Luna. Sofi kecil sering sekali meminta perlindungan dari Luna, dan Luna selalu melakukan itu, setiap ada anak laki-laki yang melempari Sofi dengan batu, Luna bisa muncul begitu saja, memarahi anak kecil itu, kadang terkena lemparan batu atau kalau sial malah Luna yang terkena marah dengan Mama karena aduan anak-anak kecil itu ke mamanya masing-masing lalu melapor ke Mama Luna.

Sederhana, namun berarti.

Sofi jadi bimbang. Apakah ia harus melanjutkan aksinya, atau malah berhenti di tengah jalan?

Panji tadi bukan membuka semua rahasia Luna, ia sengaja melindungi Luna dari ancaman Sofi. Ia tak mau melihat Luna sakit hati, ia selalu ingin melihat Luna tersenyum. Walau senyum Luna, bukan untuknya. Ia dan Rascal mati-matian berusaha membuat gadis itu tertawa dengan cara yang berbeda, tetapi kalau ada yang membuat tawa itu berganti jadi air mata, rasanya sungguh tidak layak.

***

"Pagi Luna! Sinar matahari bagus loh buat cewek, bangun pagi-pagi gak ada salahnya kan?"

Sebuah suara datang dari telinga kanan Luna. Gadis itu tersentak kaget lalu menoleh.

"Eh, lo kok bisa masuk kesini?!"

"Lah pintu gak dikunci." Rascal menunjuk kearah pintu kamar Luna.

Luna melongo kebingungan, dengan muka baru bangun tidur dan mata yang masih sayu ia menengok keadaan pintu kamarnya. Benar saja, memang belum dikunci. Bahkan sepertinya tidak dikunci semalaman.

Ia lalu kembali memusatkan perhatiannya kepada Rascal. Cowok itu terlihat sedang mengutak atik bedside table nya, lalu mengambil sebuah novel diatasnya. Novel Alive, yang baru dibacanya semalam. "Itu tangan gak bisa diem sehari aja ya?"

"Gak." Ucap cowok itu masih sambil membolak-balikkan halaman novel tersebut. Lalu wajahnya memandangi Luna.

"Ini cerita apa sih?"

Luna terperangah mendengar ucapan Rascal. "Lo pengen tau? Tumben."

"Iya, soalnya gue suka liat sampul depannya. Ini dari Fay kan?"

Luna mengagguk. Kali ini, ia sudah tak lagi menyimpan dendam atau rasa kesal terhadap Fay, Rascal belum tahu itu, baru hari ini niatnya Luna akan menceritakan semuanya.

"Gue mandi bentar, lo keluar sana!"

Luna mendorong tubuh cowok itu yang masih asyik menunduk sambil membaca sinopsis di belakang novel tersebut. Rascal lalu berdiri, tapi masih fokus ke jajaran kalimat di novel itu, Luna terus bersikeras mendorong tubuh laki-laki itu hingga benar-benar keluar kamar Luna. Lucu memang.

"Tunggu disini jangan kemana-mana."

"Tapi nanti ceritain ya?"

"Iya, sekalian ada yang mau gue omongin."

"Apa?"

"Udah nanti aja." Luna lalu menutup pintu kamarnya, ia dengan sigap mandi, berpakaian, menyisir rambutnya, dan kali ini ia sedikit memoles wajahnya dengan lip ice merah muda dan sedikit bedak.

Tak lama, ia keluar kamar dengan parfum yang sangat wangi. "Lo mau kondangan?"

Luna mengendus kesal lalu mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan menghadap kearah Rascal. "Kalo gak suka, besok-besok gak usah nyamperin gue pagi-pagi."

Rascal terkekeh, lalu mengusap kepala Luna. "Ya elah baperan banget sih anak curut." Lalu berlari turun dari tangga. Luna yang merasa diremehkan layaknya seorang gadis kecil langsung mengejar langkah cepat laki-laki itu. Rascal tertawa puas mengejek Luna. Hingga mereka sampai di halaman belakang rumah Luna.

"Udah udah stop! Haha.." Rascal tertawa sambil menghentikan Luna.

"Lagian ngatain seenaknya. Gue kan orang."

"Iya iya maaf. Ya udah ayo keatas." Rascal menyeret tangan Luna menuju ke atas rumah pohon. Memaksa gadis itu untuk membuntutinya dari belakang.

Rascal naik terlebih dahulu, diikuti Luna dibawahnya, begitu sampai, ia mengulurkan tangan untuk membantu Luna yang masih agak jengkel. Begitu sampai diatas, mereka mengambil posisi tersantai mereka seperti biasanya.

Luna menarik nafas dalam-dalam, hanya disana ia dapat melupakan segala masalahnya. Hanya disana. Di rumah pohon itu.

"Nah, mau cerita gue atau mau cerita novel itu dulu." Luna menunjuk novel yang sedari tadi digenggam Rascal. Laki-laki itu menimbang-nimbang.

"Cerita lo dulu deh."

Luna bersiap memulai kisah panjangnya. "Waktu itu gue ketemu Fay sama Vanya."

Rascal mendadak serius. "Kapan? Dimana? Kok gak bilang gue? Vanya yang waktu itu nikung lo kan?"

Luna tertawa. "Eh bahasanya benerin dikit, mereka kan udah jadi sahabat gue lagi, jangan gitu ah gak enak, nanti orangnya kesandung batu lagi. Haha."

"Lagian lo baru ngasih tau, gimana gue gak kaget coba. Lanjut, lo ketemu dimana? Ngomongin apa?"

"Gue ketemu di café yang waktu itu, Sofi ikut sih, tapi paling jadi nyamuk, hehe. Gue cuma cerita flashback dikit tentang Dion dan kelakuannya. Lo tau gak? Ternyata dulu Vanya dan Dion jadian itu diatas perjanjian, jadi bukan karena ikhlas saling cinta atau suka. Cuma biar waktu Dion yang punya rencana brengsek di otaknya dan manfaatin temen-temennya buat jalanin rencana itu gak ketauan sama gue, Vanya ngasih syarat mereka harus jadian. Karena Vanya doang yang waktu itu kebetulan lewat dan denger rencana mereka, dia nguping dan ketauan, ya gitu. Tapi karena Vanya gak tahan sama ancaman Dion, gue gak ngerti jelas sih apa ancamannya, tapi Vanya bilang dia takut, dan pindah."

Rascal memutar otaknya, menemukan jalan keluar, lalu ia mulai mengerti permasalahan itu.

"Dia gak di Amsterdam. Selama ini emang dia sempet ke Amsterdam sebentar, tapi jatuhnya dia balik ke Indo dan tinggal di Bandung. Dia menenangkan diri gitu lah di rumah nenek nya, terus dia kebetulan lagi kesini, ke Jakarta. Dan dia minta ketemu sama gue lewat perantara Fay."

"Jadi, berarti selama ini Fay tau dong kalo Vanya disini, bukan di Amsterdam?"

"Fay awalnya gak tau, tapi dia yang pertama tau dibanding gue. Gak ngerti gimana caranya, yang penting kita udah baikan dan lupain tentang Dion."

Rascal tersenyum, "Ya iyalah, lupain aja cowok kayak gitu. Mending sama gue, ya kan?"

Luna bergidik geli melihat seseorang disebelahnya. "Jujur deh sama gue, lo sebenernya kangen mereka kan? Fay dan Vanya. Lo kangen pas pertamakali ketemu mereka dan ngobrol sama mereka."

"Gak juga sih. Biasa aja."

"Udah jangan ditutupin gitu, gue pernah baca, menurut penelitian seorang psikolog luar, berpura-pura tidak merindukan seseorang sebenarnya berarti kita merindukannya jauh lebih banyak. Jangan bohongin perasaan lo sendiri deh." Ia tertawa. Benar, Luna sempat pernah merindukan indahnya saat mereka mengobrol bersama.

Luna mengangguk, "Iya deh, lo menang. Gue pernah sih kangen mereka, tapi rasa kangen itu keburu tertutup oleh rasa sakit hati gue sama mereka."

"Nah kan."

"Tapi kan yang penting udah bareng lagi." Luna tersenyum puas mengingat bahwa mereka sudah kembali bersama sekarang.

Rascal tersenyum, ia melempar rotan kecil yang terkelupas dari rumah pohon itu kebawah. "Berarti lo gak butuhin gue lagi dong?"

Pertanyaan yang sangat menohok Luna. "Eh marmut, lo ngomong gak disaring, ya jelas gue lebih butuh lo. Ngaco aja ah, awas lo ngomong gitu lagi."

Rascal tertawa makin keras. "Iya iyaaa jangan marah, gitu doang marah. Lo segitu takutnya ya, kalo gue hilang dari hidup lo?"

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 

Males cuap-cuap. Keabisan kata-kata.

Intinya, jangan pernah lupa untuk Vote and Comment ya! Vote aja juga udah berarti banget kok buat gue ehehe...

Dank~~

JAKARTA, 1 JUNI 2017 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro