30 - AKU BENCI DIA !

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena nafsu dan ego adalah musuh terbesar setiap orang yang mampu meretakkan hubungan diantara dia dan orang-orang yang disayang. -Author-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Matahari siang bagai membakar pori-pori kulit gadis itu. Sudah beberapa hari semenjak kejadian bersatunya Luna, Fay, dan Vanya, ia disana hanya menjadi pengamat tanpa ingin tahu yang terjadi. Yang penting, sekarang bukan itu tujuannya.

Jam pelajaran olahraga kali ini memang terlihat akan melelahkan. Basket adalah salah satu yang tidak disukai Sofi. Bukan, bukan karena Sofi tak bisa bermain basket, melainkan ia tidak suka kalau kulitnya menghitam karena matahari. Menyebalkan baginya.

"Sof, kita duluan ya." Pamit dua orang temannya. Sofi mengagguk dan tersenyum sambil sibuk merapikan baju seragam putih abu-abu nya ke dalam loker.

Begitu selesai, ia menyusul semuanya ke lapangan.

"Hari ini adalah pengambilan nilai! Kalian harus bisa memasukkan bola basket kedalam ring selama minimal lima kali dalam tiga menit setiap satu anak! Kalau tidak, nilai kalian akan dibawah KKM. Mengerti?!" Suara guru olahraga mereka yang tegas menggema di lapangan besar itu. Suaranya besar dan berat, siapapun yang mendengarnya pasti kaget.

*Priiiit!*

"MULAI!"

Semua murid disana dibagi menjadi dua tim. Yang pertama tim perempuan, yang kedua tim laki-laki. Mereka saling adu cepat memasukkan bola basket kedalam ring. Menghitung masing-masing, apakah sudah cukup lima, atau bahkan lebih bola basket yang dimasukkan. Tapi, tentu saja hal itu tak luput dari kecurangan. Sebut saja Andi, anak paling bandel di kelas Sofi itu malah dengan cuek nya menyatakan diri di depan guru olahraga mereka bahwa ia sudah berhasil memasukkan bola basket kedalam ring selama sepuluh kali sebelum tiga menit. Tentu saja, Pak Fazrun—nama guru olahraga mereka—tidak percaya begitu saja dengan Andi.

"Bohong kamu, saya gak percaya!" 

 "Yeh si bapak, saya mah gak bohong pak. Sumpah deh, percaya dong pak sama saya...sejak kapan saya bohong sama bapak kece ini?"

"Banyak omong!" Ujar guru mereka sambil menjewer telinga Andi. Otomatis, laki-laki itu mengaduh kesakitan. Pak Fazrun segera membawa Andi pergi, meninggalkan tawa anak-anak sekelas di lapangan. Dan meninggalkan bola yang terjatuh begitu saja dari tangan Andi.

Bel pertama pun berbunyi, namun sang guru olahraga tidak kunjung kembali untuk memberitahu apakah waktu mereka memasukkan bola basket kedalam ring sudah cukup tiga menit atau belum. Namun entah karena apa, mereka semua memutuskan untuk bubar. Sofi pun ikut-ikutan bubar karena ia kecewa hanya dapat memasukkan bola basket selama tujuh kali ke ring, sementara teman-temannya ada yang hanya lima, enam, bahkan ada juga yang dapat memasukkannya selama dua belas kali.

Sofi memutuskan pergi ke kantin bersama kedua orang temannya, Alya dan Yuka.

"Mau apa? Gue pesenin,"

"Bayarin juga?"

"Ya enggak lah, lo kira gue bawa uang berapa."

"Yah kita kira lo mau bayarin, Sof."

Sofi memutar bola matanya malas. Uang jajan yang diberikan orangtuanya hari ini pas-pas an. Kata Mama, beliau belum sempat bayar uang arisan komplek. Ya, kalian tahu lah.

"Cepetan, mau enggak?"

"Gak usah deh, lo aja, hehe." Yuka nyengir-nyengir sok cantik ala ala.

"Kanker ya lo berdua?," goda Sofi sambil terkekeh.

"Kanker? Sehat gue." Alya nyeletuk asal.

"Kantong kering maksudnya. Lo mah ah, lemot banget sih, Al." Alya terkekeh. Sofi lalu pergi meninggalkan Alya dan Yuka yang asyik kipas-kipas tubuh dengan telapak tangan mereka. Hari ini terasa begitu panas. Sangat panas bahkan sampai Sofi nyaris bagaikan tak bisa bernafas

DUK!

"Aduh," gadis itu mengaduh begitu merasa ada seseorang yang menabrak nya.

"Eh sori—gue gak sengaja. Maaf ya?," laki-laki itu menunduk untuk melihat siapa yang ia tabrak.

"Iy—eh? Loh kak? Ngapain disini? Bukannya masih jam pelajaran?"

"Iya nih, gue buru-buru, disuruh beli minum sama Pak Aji, dikasih uangnya kelebihan, jadi gue beli minumnya dua. Mau satu?," ujar Rascal sembari menyodorkan sebotol air mineral dingin. Kali ini, air dingin itu terlihat lebih menggoda di mata Sofi ketimbang siapa yang ada di hadapannya.

"Tapi itu kan uang Pak Aji, nanti kalo dimarahin gimana?"

"Biarin, entar gue yang ganti."

"Ya udah, mau deh. Makasih kak!"

"Tenang aja," Rascal mengusap kepala Sofi.

Gadis itu merasakan dirinya melayang. Pipinya merona, ia tak pernah merasakan ada sesuatu yang membludak begitu saja dari hatinya. Jantungnya berdegup cepat, seperti ada jutaan semut yang sedang berlomba marathon. Terlebih saat Rascal tersenyum. Senyum yang dapat membuat siapapun jatuh cinta. Eum—cinta?.

"Lo kan udah gue anggep adik sendiri."

***

"Tadi gue ketemu Sofi."

"Iya? Dimana?"

"Di kantin."

"Dia lagi ngapain?"

Rascal mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Lalu kembali fokus ke pelajaran di papan tulis. Uang Pak Aji tidak jadi diganti, Rascal beralasan membeli minum untuknya juga namun keburu habis di kantin sebelum kembali ke kelas. Sekalian saja, Pak Aji anggap itu upah jalan Rascal. Padahal, minum itu justru ia berikan ke Sofi—Adik Luna.

Pelajaran Kimia. Pelajaran yang super duper susah, membosankan, dan bikin bete bagi sebagian anak. Namun kali ini, entah apa yang menggerayangi pikiran Luna, ia malah khawatir dengan cerita Rascal. Khawatir kenapa? Luna sendiri juga tidak tahu. Apa karena Rascal yang terdengar tidak mau terbuka soal kejadian ia bertemu Sofi tadi? Entahlah. Yang jelas, itu tak terlalu penting.

Detik demi detik terus berjalan. Dan Luna masih melamun. "Masa sih gue suka sama dia? Gue gak beneran suka kan?"

"Aluna Zee! Absen sembilan. Maju kedepan, kerjakan soal ini."

"Luna!"

Namun gadis itu, masih memperhatikan kearah jendela sambil melamunkan sesuatu. Sebelum seseorang disampingnya menepuk pundak Luna.

"Hah?!"

Rascal menunjuk-nunjuk kearah Pak Aji yang sudah memasang tampang sangar. Kalau diibaratkan singa, Luna bisa dimakan.

"Apaan?"

Luna menoleh kearah yang dimaksud cowok itu. Dan langsung memasang tampang sok manis. Sementara Pak Aji menepuk-nepuk papan tulis di sebelahnya menggunakan spidol. Untung cewek. Cewek selalu benar. Cowok selalu salah dan ngalah. Kalau cewek salah, cowok harus inget dua kalimat sebelumnya.

Mati gue nih.

Luna memelankan laju kaki nya. Menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan nya sesekali. Iyap, lima...

"Luna! Cepat. Kamu kerjakan ini lalu jelaskan ke teman-teman kamu!"

Empat...

"Gimana gue mau ngerti, tadi aja gue gak dengerin dia ngomong apaan."

Tiga...

"Kamu ini kayak siput! Cepat atau spidol ini melayang kearah kamu!"

Dua...

"Iya—iya pak!"

*Teeetttt*

Luna mengelus dadanya. Diikuti sorak sorai anak-anak sekelas, seperti tanda bahwa perang telah selesai, juga penderitaan hari ini selesai. Walau besok masih bertemu dengan Pak Aji, namun setidaknya mereka dapat lega untuk beberapa saat.

"Ya sudah, Luna, besok kamu harus kerjakan soal ini. Belajar, jangan melamun seperti tadi!"

Luna tertawa garing. Lalu memberi tanda hormat dengan tangan kanan nya di kepala. Pak Aji lalu pergi meninggalkan kelas itu.

"Luna, ayo!"

Rascal menarik tangan Luna yang baru saja selesai menggendong tas.

"Ngapain?"

"Pulang sama gue ya. Jangan naik bus sekolah, nanti sore kita belajar soal yang tadi di rumah lo." Ucapan Rascal cukup membuat Luna terheran.

***

"Nih kayak gini."

Rascal membenarkan jawaban yang tertera di buku tulis Luna. Di atas rumah pohon, mereka dapat belajar dengan tenang. Menikmati semuanya, terhindar dari segala macam gangguan, termasuk 'menghindar' dari Sofi.

"Tunggu, gue mau nanya."

"Apa?"

"Lo kenapa tiba-tiba ngajak gue pulang bareng?"

"Kangen aja, dulu kelas sepuluh kan kita setiap pulang sekolah selalu bareng, tapi sejak bus sekolah di operasiin, lo udah gak mau lagi naik motor sama gue."

Luna hanya bisa ber-oh ria sambil tertawa kecil. Ia tak menyangka, kenangan kecil seperti itu bisa menjadi kesenangan sederhana tersendiri yang di rindu kan bagi cowok pecinta boneka beruang itu.

"Tadi gue harus nyari alesan buat bohong ke Sofi. Seandainya gue bilang gue pulang bareng lo, dia bisa marah."

"Kenapa harus marah?"

"Lo kayak gak tau Sofi aja, kalau pulang naik bus sekolah kan dia selalu maunya sama gue, gak pernah baur sama temen-temen nya."

Iya, di sekolah Sofi dan Luna ada bus sekolah. Fungsinya seperti jemputan sekolah namun khusus untuk mengantar murid pulang ke rumah masing-masing, tidak berlaku pada jam berangkat sekolah. Dan itu khusus anak sekolah mereka. Enaknya, murid-murid bisa naik bus sekolah tanpa harus desak-desakan di angkutan umum, nah, biasanya Sofi dan Luna naik itu setiap pulang sekolah. Luna dan Sofi—terutama—merasa lebih beruntung karena tidak harus naik angkutan umum lagi.

"Kadang, kejadian-kejadian kecil di masa lalu kayak gitu bisa bikin seseorang bahagia dan merindukannya ya." Luna menghentikan aktivitas menulisnya lalu menatap keluar rumah pohon.

"Lo tau gak sih, sebenarnya kita sekarang juga sedang menjalani masa lalu. Sadar gak sadar, saat ini, detik ini, dan waktu kita lagi ngobrol juga akan jadi masa lalu di detik selanjutnya, dan di masa depan." Rascal ikut-ikutan memandang kearah luar. Menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Luna.

"Lun, gue pernah baca quote kayak gini." Rascal membuat wajahnya seolah-olah seperti orang bijak. Sementara Luna memasang wajah penasaran.

"Disaat dua orang mantan kekasih menjadi sahabat itulah sebuah kedewasaan. Tapi saat dua orang sahabat menjadi kekasih, itu sebuah ketulusan."

Luna harus memutar otak untuk dapat mengerti apa yang dimaksud Rascal. "Gue gak pernah denger tuh."

Rascal tertawa menatap gadis itu.

"Ah gue gak ngerti. Hehe."

"Ya udah lah gak usah dipikirin."

Rascal bersandar ke salah satu sisi rumah pohon. Luna lalu membuka mulutnya, mungkin ini saatnya ia mengungkapkan sesuatu yang membuatnya sempat khawatir.

"Cal, kadang gue takut deh."

"Takut kenapa?," ujar cowok itu masih dnegna cuek nya yang tiba-tiba.

"Takut ada orang lain yang datang ke hidup lo, mungkin dia cewek, dan dia lebih asik dari gue, lebih bisa ngerti semua omongan lo, lebih peka sama suasana, lebih bisa nempatin diri, lebih baik, yang bisa nemenin lo terus, yang bisa bikin lo ketawa lepas saat gue gak bisa bikin lo ketawa, yang lebih sempurna, dan dia lebih prioritasin lo dibandingkan gue butuhin lo. Kadang suka khawatir aja, takut lo lebih suka deket-deket sama dia dan akhirnya gue ditinggalin."

Nada suara Luna melemah, ia masih menatap kedepan, hanya bahu kirinya yang mudah bersandar ke sisi sebaliknya di rumah pohon. Tatapannya kosong.

"Lun,"

Luna menoleh.

"Gak akan ada yang kayak gitu."

Rascal seolah berucap sedemikian rupa. Seperti ingin meyakinkan Luna, bahwa Luna lah yang terbaik, yang paling ia utamakan.

"Kalau ada?"

"Gak ada hati sebenarnya laki-laki yang ingin mengulang hubungan baru dengan perempuan yang baru lagi. Belajar merasa nyaman lagi, memberikan pikiran dan jiwanya kepada perempuan baru, mengungkapkan rahasia ke permukaan, menampakkan ribuan emosi baru nya, melawan semua isu dan percaya pada perempuan baru lagi, memberikan hati dan cinta nya sepenuh hati lagi. Gue gak akan utamain dia kayak gue utamain lo. Kita kenal dari kecil, lo tau gue sampai seluk beluknya, begitu juga gue tau lo, kita tumbuh bareng, dan saling menjaga. Gue udah sayang sama lo kayak gue sayang Mami. Itu kenapa gue mau bertahan sahabatan deket gini sama lo, gak peduli seberapa buruk lo karena lo yang selama ini sama gue telah melewati semuanya bersama." Rascal menyentuh pergelangan tangan Luna. Mereka berdua menjadi emosional. Kini kau mulai mengerti? Atau belum? Inti dari permasalahan semua ini hanyalah rasa cinta dan sayang yang tertahan. Cinta yang di mata Luna itu tidak ada. Hingga tak satupun diantara mereka berani mengungkapkannya.

"Sekalipun misalkan orang itu Sofi?"

Rascal mengernyitkan dahi. Tak percaya akan ucapan Luna.

Di sisi lain, di bawah, ada orang yang sedang mengamati mereka dari jarak yang terbilang jauh.

Ia mengumpat kecil.

Dadanya terasa sesak, pelupuk matanya nyaris mengelurkan air.

"Aku benci dia."

***

    ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bener kan, kutakbohong.

Vote dan comment ya!

Dank~~

JAKARTA, 1 JUNI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro