29 - MENYATU KEMBALI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau hanya sanggup di sembuhkan oleh yang pernah terluka,

Diperbaiki oleh yang pernah patah.

Karena mustahil ia mengerti tanpa pernah merasa. -Unknown-

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Orang itu mengadahkan kepala. Menghadap kearah Luna. Tersenyum. Iya, senyum itu sangat dikenali Luna.

"Luna, kan?"

Vanya, menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Dengan gugup Luna menyambutnya.

"I—ya." Lalu Luna tersenyum.

"Umm—kok krik banget. Ayo dong ngobrol ngobrol apa kek gitu." Ucap Fay sambil setelahnya tertawa renyah. Ia tahu, sangat sulit bertemu dengan orang yang memiliki ribuan kenangan pahit tentang kita. Kenapa? Iya, secara Luna pertama lost contac adalah dengan Fay. Kalau saja sewaktu ia dengan Luna bertemu di pesta ulang tahunnya Luna, Fay bertingkah kaku dan menganggap Luna sebagai musuh atau orang yang baru kenal, mereka mungkin tidak akan kembali dekat. Untungnya, ia mampu mencairkan suasana dengan melakukan hal 'tak terduga'.

Sayangnya kali ini, Vanya terlalu kaku, begitu juga dengan Luna.

Begitu lagu terhenti, konsentrasi Sofi pun menghilang. Lalu ia sadar sesuatu begitu menoleh kearah orang-orang di dekatnya.

Gue tau ini susah.

Ia tahu suasana seperti ini bukanlah dambaan seseorang. Jadi,

"Wah halo kak, aku Sofi. Kakak temennya Kak Luna ya?"

Terlihat sok kenal memang, dengan cuek nya ia langsung bersalaman dengan Vanya. Vanya pun masih bingung dengan yang diperlakukan Sofi terhadap dirinya.

Ia hanya tersenyum. "Vanya. Temennya Luna."

Sofi langsung berpura-pura mengusap pipi kanannya sambil diam-diam berbicara sesuatu, dan memberi kode mata kepada Fay, yang ada di hadapannya sekaligus agar tak terlihat oleh Vanya dan Luna yang berada di samping dan depan kanannya. Fay mengangguk, ia mengerti perlakuan Sofi ini semata-mata hanya untuk mencairkan suasana.

"Sofi! Gak boleh gitu ah kamu, gak sopan tau." Luna menyenggol Sofi dan berbisik di telinganya.

"Ye—"

"Udah, gak apa-apa, Lun. Lagian dia kan cuma pengen kenal sama gue, ya kan?"

Sofi mengangguk.

"Tau nih, Lun, biarin aja Sofi."

"Iya deh iya..." Luna mengalah sambil terkekeh, merasa dirinya di pojokkan, namun hanya sekedar candaan.

Luna tahu, ia harus bertanya sesuatu kepada Vanya.

"Vany—"

"Iya?"

"Lo berapa lama di Amsterdam?"

Vanya meletakkan handphonenya dalam keadaan mati. Merasakan sesuatu yang mulai privasi, Sofi segera mengerti. Ini adalah privasi diantara tiga perempuan itu.

"Gue—"

"Kak, aku mesenin kalian makan atau minum ya, ada yang mau apa gitu?"

Omongan Vanya terpotong. Suasana serius seketika hancur. Ya, ini terpaksa ia lakukan agar ada alasan untuknya pergi.

"Gue mau lemon tea satu!" Fay masih bersikap biasa saja, padahal ia menyembunyikan suatu kekhawatiran.

"Ya udah deh, Milkshake coklat aja."

"Lo apa, Van?," Luna bertanya kepada gadis di depannya.

Vanya berpikir, ia menghembuskan nafas. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya.

"Hot Coffe satu."

Sofi segera mengambil tas selempangnya dan pergi ke meja bar di café itu. Di dalam hati, Sofi pun lega karena ia tak harus ikut campur dengan urusan kakaknya. Bukan, bukan karena tidak mau membantu, tapi ia tahu, semua orang pasti punya privasi yang harus mereka jaga, entah itu antara satu orang atau lebih, jika itu bukan urusannya, ia memilih menghindar. Ia sendiri tidak suka jika privasi nya di usik, buat apa ia harus mengusik privasi orang lain? Tak bermanfaat.

"Gue lanjutin ya, gue mau jujur sama lo, Lun." Vanya menatap Luna.

"Jujur kenapa?"

"Selama ini, gue tinggal di Bandung, bukan Amsterdam."

Luna mengernyitkan dahi nya. Tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. "Kok—"

"Tunggu, gue belum selesai. Emang awalnya gue beneran ke Amsterdam, tapi itu cuma satu semester, sekalian sekolah disana, setelah itu gue pulang ke Indonesia dan tinggal di Bandung sama nenek, sementara orangtua gue masih disana. Gue sempetin kesini buat ketemu lo sama Fay. Ke Jakarta. Gue kangen sama lo, Lun. Kangen banget."

Luna diam seribu bahasa. Begitu juga dengan Fay.

"Kalaupun lo kangen, kenapa lo harus pergi?," Luna menancapkan sebuah pertanyaan yang jawabannya bisa terbilang panjang.

"Gue rasa ini saatnya. Fay yang pertama tau semua ini, dan lo akan jadi orang kedua dan terakhir yang tau tentang ini. Sebelum itu gue mau nanya, kenapa setelah lo sama Fay berantem, lo menjauh dari dia, terus kenapa setelah gue jadian sama Dion keadaan makin parah. Lo udah gak pernah mau ketemu gue, menghindar setiap ada gue atau Fay, gak pernah lagi tegur sapa, seakan-akan kita ini orang yang gak pernah saling mengenal satu sama lain."

Luna mengunci mulutnya rapat-rapat. Pertanyaan menjebak, yang sama sekali tak bisa ia jawab. Ini bukan saat yang tepat untuknya. Kenapa pertanyaan ini harus datang menimpa dirinya? Hanya segelintir kata yang mampu membuat orang tersengat mendengarnya.

"Gue gak bisa jelasin itu disini."

"Pertanyaan Vanya juga mewakili pertanyaan gue, please lo jawab sekarang, mumpung kita masih bisa ketemu." Fay menjentikkan jarinya.

Di sisi lain.

"Malam, mau pesan apa?"

"Apa ya tadi, oh iya, lemon tea satu, milkshake coklat satu, hot coffe satu, sama apa ya..." Sofi mengetuk-ngetuk kaca meja bar dengan kuku jari telunjuknya. Ia melihat ke daftar minuman yang terpampang diatas dinding dan ditulis dengan kapur.

"Green tea."

"Silakan di tunggu di meja anda ya."

"Mbak, maaf, hehe—saya disini aja boleh?"

"Oh iya tidak apa-apa." Jawabnya dengan baku.

Sofi sesekali melirik kearah tiga dara itu. Menyaksikan obrolan mereka, dan Luna yang terlihat super gugup. Ia ingin sekali menolong kakak nya itu, tapi ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Maka ia hanya mengawasi mereka, sekaligus mengedar pandang, siapa tau ada orang yang bisa dibuat pencuci mata.

"Hai neng geulis. Malem-malem begini kesini sama siapa? Pacar?"

Tiba-tiba seorang barista mengagetkannya. Ia membawa sebuah gelas kaca kosong yang sedang di lap menggunakan kain baru—karena terlihat masih putih.

"Ah, enggak. Sama itu." Sofi menunjuk kearah Luna, Vanya, dan Fay.

"Oh sama temen nya. Kalo gitu berarti neng geulis lagi gak ada gandengan dong? A'a mau kok di gandeng sama neng." Nada bicaranya seakan-akan meledek. Sementara Sofi sendiri bergidik geli.

Seorang barista itu mengeluarkan sebuah pena dan kertas. Ia mulai menulis sesuatu diatas kertas kecil itu. Seperti sebuah angka.

Sementara Sofi menunggu pesanan di meja bar dan di goda oleh barista kece, Fay, Luna, dan Vanya sibuk dengan urusan mereka bertiga.

Luna menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara teratur. Jantungnya begitu berdebar. Ia tak tahu harus menjelaskan darimana.

"Gue udah gak mau bahas-bahas ini lagi...apalagi bahas orang yang bersangkutan di masalah ini. Udah masa lalu juga, gak usah di ungkit lagi lah."

Vanya menepuk dahi nya sementara Fay mengusap kasar wajahnya. "Tapi tanpa lo jelasin, masalah ini gak akan beres. Bayangin kalau kita baikan dan jadi sahabat tapi masih ada masalah yang jadi rahasia salah satu diantara kita, padahal masalah itu menyangkut kita. Enak? Enggak." Fay mulai menceramahi Luna.

"Oke gue jelasin, tapi lo berdua jangan kaget." Luna meletakkan kedua tangannya diatas meja. Tubuhnya tegak, ia menyelipkan rambutnya di belakang telinga.

Fay dan Vanya segera memasang wajah serius.

"Waktu gue sama Fay jauh, awalnya karena dia sinis gitu sama gue. Cuma karena gue takut Fay marah-marah dan jadi musuh gue gara-gara gue gak jadi bantuin dia jadian sama Rascal, gue mutusin buat menjauh dan lost contac tanpa status. Daripada gue tetep kenal sama dia tapi berstatus musuh, kan? Lebih bagus gue yang pergi."

Fay langsung berubah lesu. Ia tahu ini semua kesalahannya, hanya sedikit noda kecil dan akhirnya memutuskan hubungan selama satu hingga dua tahun.

"Terus yang masalah sama gue?," Vanya bertanya dengan nada serius. Atmosfer disana terasa panas begitu saja, Luna memegangi tengkuk nya yang malah terasa dingin.

"Gue suka sama Dion waktu itu."

Ucapan Luna diibaratkan bagai petir yang menyambar Vanya dan Fay sekaligus. 6 kata yang mengandung banyak arti. Memutar ulang memori masa lalu mereka. Menempatkan mereka pada keadaan dimana rasa canggung satu sama lain tak ada ujungnya. Lidah mereka bertiga tiba-tiba saja langsung terasa kelu. Udara dingin merayap ke permukaan kulit mereka yang halus.

"Wh—why? Kenapa lo gak bilang? Hell, tau gitu gue gak akan jadi pacar dia." Vanya dengan sedikit logat barat nya berbicara gugup.

"Ya—gue gak berani. Gue takut, gue gak suka jadi perusak hubungan orang—"

"Tapi Lunaaaa....kalo udah tau kayak gini kan kebalik jadinya. Kesan nya Vanya yang jadi PHO antara lo dan Dion." Fay menoleh kearah Vanya—yang ternyata setuju dan tidak tersinggung sama sekali.

Luna menunduk resah. Ia gelisah, tampak dari sorot matanya dan gerak gerik tubuhnya. Luna mulai tak nyaman dengan situasi seperti ini.

"Kalo udah gini, kembali ke pernyataan gue tadi. Gue bakal bilang sesuatu dan cuma lo sama Fay yang akan tau." Vanya membuka suara. Gadis itu menelan salivanya dan menegakkan kepalanya.

Otomatis, Fay dan Luna langsung menatap Vanya serius.

"Gue jadian sama Dion karena perkara serius. Bukan karena saling suka, gue akuin gue suka sama Dion, tapi dia? Sama sekali gak suka gue."

"Ah rese. Fay pake segala gak mau nemenin. Udah tau gue kebelet." Vanya menggerutu sepanjang jalan menuju toilet perempuan—yang terletak di dekat koridor kelas dua belas. Ia kesal karena ditinggal jemputan sendirian. Masih mending kalau ada Fay—jadi mereka bisa naik angkutan umum bareng kalaupun tertinggal. Tapi saat ini, Fay beralasan ada acara jadi ia harus pulang cepat.

Langkahnya begitu cepat dan terburu-buru. Sampai pada satu titik, ia berhenti karena menyadari ada sekumpulan orang di depannya.

I—itu bukannya Kak Dion, Tio, Vero, dan Rezi? Sedang apa mereka disana? Aneh. Karena itu, Vanya mencoba untuk mengintip lewat tembok koridor ruang kelas yang memisahkan mereka.

Dion terlihat membagikan dua lembar seratus ribu kepada masing-masing mereka. Vanya tercengang. Bukannya kata Luna, Dion habis ribut dengan teman-temannya itu. Setelah baku hantam karena misi Dion menyelamatkan Luna dari Utha dkk, kenapa semudah itu mereka baikan? Vanya geleng-geleng kepala. Tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Maka, ia memasang pendengaran lebih tajam lagi.

"Thanks, bro. Udah pada bantuin gue narik perhatian tuh cewek." Dion memberikan dua lembar seratus ribu secara teratur dari saku nya.

"Gila gila, boss kita bisa kepikiran sampe situ ya. Sadis." Tio menepuk pundak Dion sambil tertawa. Seakan bangga dengan 'boss' nya.

Ternyata, Dion semata-mata melakukan itu hanya untuk menarik perhatian Luna Ia menghalalkan segala cara agar cewek yang ia dekati—sahabat Vanya yang baru, bisa tertarik dengannya. Dan mungkin, agar Luna lebih memilihnya dibandingkan dengan Rascal. Cowok yang sempat adu mulu dengan Dion di lapangan waktu itu.

Rasa ingin buang hajat Vanya tiba-tiba menghilang. Ia jadi penasaran akan apa yang menjadi rencana Dion. Rasa ketertarikannya kepada Dion langsung memuncak, namun disertai ketakutan berlebih. Namun ia sadar, Utha tidak ada disitu.

"Eh satu lagi mana nih? Masih sisa dua ratus di tangan gue."

"Buat gue aja." Vero berusaha menggapai uang yang langsung dimasukkan kembali keadalam saku celana oleh Dion.

Mendadak hawa belakang Vanya panas. Ada yang tiba-tiba menepuk pundaknya.

Ia menoleh perlahan.

Dan, "L—loh?"

"Ternyata ada yang nguping ya." Utha bersorak keras. Mengagetkan Dion dan kawanannya. Ia mencengkram erat lengan Vanya.

"Aw, eh!" Vanya memukul-mukul jemari Tio.

"Sini ikut." Mau bagaimanapun gadis itu mengelak, ia tetap saja terseret oleh tenaga Utha. Yang pastinya tenaga Utha lebih besar dari tenaga nya. Dion menoleh ke asal suara. Menunggu siapa yang akan datang.

"Jangan ngelak! Udah salah, gak mau ngaku lagi."

"Eh sadar dong! Bukan gue yang salah, kalian yang salah. Lo sama temen-temen lo dan BOSS lo itu udah bikin rencana yang gila! Cuma biar dia dapet ketertarikan sahabat gue, otak kalian dimana sih?! Mau aja di babu in sama dia."

Amarah Utha membludak. Ia mendekatkan wajahnya dan makin mengeraskan cengkraman tangannya.

"Sakit ih!" Vanya berusaha memberontak.

"Dengerin gue, lo jangan sampe bocorin ini ke siapapun, kalo lo bocorin, lo bakal tau akibatnya." Ancam Utha.

PLOK! PLOK!

Sebuah suara tepukan tangan muncul dari arah belakang mereka. Cengkraman Utha mereda, lalu mereka menyadari siapa yang sudah menunggu daritadi. Utha langsung mendorong tubuh Vanya kearah tubuh Dion, untung saja Vanya tertangkap dan tidak jatuh.

"Kak, so—sori, gue gak ada maksud nguping, tapi—" Vanya memohon dengan menempelkan kedua tangannya di wajahnya.

Dion tersenyum licik. "It's ok, babe. Gue maafin. Tapi lo jangan sampe bocorin ini ke siapapun. Apalagi ke Luna!" Tunjuk Dion kearah wajah Vanya.

"Tapi dia sah—"

"Lo mau gue apa-apain, atau jangan kasih tau Luna?"

Vanya bergidik. Dikelilingi cowok kelas dua belas itu memang tidak enak, apalagi mendengar ancaman macam-macam yang keluar begitu saja dari mulut mereka.

"Iya, gue bisa gak kasih tau dia, tapi ada syaratnya." Vanya tersenyum picik. Ekspresinya berubah tiba-tiba. Mendatar, licik, atau bahkan takut.

"Syarat? Apaan lagi?"

"Lo harus mau jadi pacar gue."

Luna tercengang mendengar barisan kata yang membentuk sebuah cerita. Kisah lampau yang merupakan rahasia baru terungkap. Fay yang awalnya lebih dulu tahu pun tak menyangka bahwa kejadiannya menjadi seperti ini.

"Dan dia terima. Tapi setelah beberapa bulan jadian, gue sama dia putus. Dia ngancem gue, dia bilang kalo dia gak bisa terus-terusan jadi pacar bohongan gue, kalo gue masih maksa balikan atau sampai bocorin rahasia waktu itu ke lo, dia bakal—ya you know, cowok pikirannya gimana sih? Jadi gue pindah, menjauh dari dia, dan menjauh dari kecanggungan setiap kita ketemu."

"Vany—gue gak nyangka."

"Lun, plis jangan marah dulu..gue tau waktu itu gue salah sama lo, gue lebih mentingin ego dan nafsu daripada rasa persahabatan kita. Dan itu udah bikin kita terpecah belah. Kadang cinta selucu itu, membutakan segalanya, membuat yang erat menjadi terpisah."

Luna menggeleng. "Gue gak marah. Makasih karena lo udah nunjukkin ke gue dia itu orang yang seperti apa, gue waktu itu ketemu Dion lagi, kita jadi temen lagi, sebelum suatu peristiwa juga ikut menyadarkan gue bahwa dia gak baik." Luna menggenggam erat tangan Vanya. Membuat suasana disana menjadi mellow. Tambah mellow karena lagu 'Menangis Semalam - Audy' yang di cover oleh penyanyi café wanita di malam itu.

"Gue seneng kita bisa sahabatan lagi. Kalo gini, gue bakal minta tinggal di Jakarta selamanya deh, gue bakal pindah ke sekolah kalian lagi!" Vanya tersenyum tulus. Kini ia telah dewasa. Sifatnya telah berubah tiga ratus enam puluh derajat. Menjadi lebih jujur, dan tidak mendahului ego. Disamping itu, Fay tersenyum penuh arti dan ikut menggenggam tangan mereka.

"Satu lagi, bukan benci yang membuat kita menjauh dari orang yang kita sayang. Tapi kecewa. Dan rasa kecewa gue sekarang udah pudar karena semuanya udah jelas." Luna tertawa kecil.

"Akting lo bagus, Luna. Bahkan lo masih bisa senyum sama dia dengan tulus ketika dia udah nyakitin lo. Bahkan lo masih bisa melangkah mundur dengan teratur pas liat sahabat lo sendiri ditembak sama dia. Lo hebat." Fay terkekeh geli. Menyinggung Vanya yang tiba-tiba memajukan bibirnya.

Sofi tiba-tiba datang membawa nampan berisi minuman pesanan mereka. "Wah kenapa nih? Kayaknya udah pada happy yah, minum dulu deh." Ujarnya sambil menyodorkan gelas-gelas itu dan ikut duduk di samping Luna.

"Engga, anak kecil gak usah tahu, hehe. Makasih ya Sofi, berapa nih?," Vanya bersiap mengambil uang dari tas nya. Sofi menggeleng dan berkata bahwa tak usah dig anti. Karena ia tahu, uang tak dapat membayar waktu nya yang habis untuk menunggu mereka kembali menjadi sahabat. Untung ia bawa uang, meskipun pas-pasan, tapi tadi ia ditolong oleh barista genit. Barista yang dengan pedenya memberikan nnomor handphone untuk dihubungi Sofi. Cakep sih iya, tapi genitnya. Untung mau bayarin.

"Terus, Lun, lo bisa move on dari Dion karena apa?," Fay menyeruput minumannya dari sedotan. Lalu bertanya pertanyaan seperti itu langsung ke Luna.

Sofi hanya geleng-geleng kepala, ternyata masalah itu.

"Karena sifatnya."

"Dan karena Rascal."

"Uhuk!" Sofi tersedak minuman yang baru ia teguk sedikit saat mendengar pernyataan Luna. Bukan, bukan karena iseng menjodohkannya, melainkan ia benar-benar kaget. Ia tahu, sepertinya Luna mulai main perasaan dengan cowok incaran Sofi.

"Kamu kenapa deh?," Luna menepuk-nepuk pundak Sofi sambil tertawa, diikuti tawa yang lainnya.

"Eh, enggak, ini green tea nya gak enak." Terkekeh, palsu.

Luna tersenyum meyakinkan, "makanya jangan suka sok beli minuman yang kamu gak suka." Ia menghentikan tepukannya dan beralih mengusap kepala adiknya. Sofi tersenyum.

Kakaknya adalah orang yang baik. Penuh perhatian. Ia jadi bimbang. Haruskah ia menghancurkan hubungan baik Luna dengan Rascal? Memisahkan keduanya, dan mengambil salah satunya. Sedangkan ia tahu Luna sangat sayang dengannya dan mungkin akan sangat kecewa jika tahu hal itu. Merebut suatu prioritas di hidup Luna, yang pernah menyadarkan Luna banyak hal, dan yang selalu membuat mimpi Luna terwujud.

***

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 

Vote n comment ya

Maaf kalo mungkin malem ini bakal boom chapter again, biar menjadi penghilang stress mikirin nem bsk.

Babay~

Dank~~ 

JAKARTA, 1 JUNI 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro