Bab 3a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nadine berdiri gamang, di depan rumah sederhana dengan tembok bata yang sudah rontok di sana sini. Cat tembok yang semula berwarna birupun, sudah banyak terkelupas karena waktu dan cuaca. Ia memandag dengan sedih, menyadari jika rumah ini akan hancur jika tidak diselamatkan.

Mengembuskan napas panjang, ia melangkahkan kaki ke dalam. Memberi salam dan masuk tanpa disuruh. Langkahnya tertuju langsung ke kamar kecil di bagian belakang dan terhenti di depan pintu. Ia menatap iba pada sesosok renta yang berbaring di ranjang kecil.

“Nenek, ini aku datang.” Meraih kursi kecil di dekat pintu, Nadine duduk dan meraih tangan sang nenek lalu menciumnya. “Nenek tidur, ya? Dengar suaraku nggak?”

Tidak ada jawaban, sang nenek tetap berbaring tak bergerak. Meletakkan tas di atas ranjang,  Nadine mendesah, menatap sekeliling kamar yang suram tanpa penerangan berarti. Tangannya meraba-raba kasur dan mendapati betapa tipis busanya.

Ia mengelus tangan keriput, bergerak lembut ke atas lengan dan meletakkan kepalanya di sana. Ingatannya berputar tentang Nenek Sarmi yang baik hati dan penyayang. Orang tua yang banyak membantunya hingga seperti sekarang. Ia menyesal, tidak cukup banyak uang untuk membantu sang nenek, agar mendapatkan perawatan lebih baik.

Sekarang, ia merasa prihatin dengan kondisi sang nenek yang penyakitan, dan harus tinggal di kamar sempit.

“Oh, kamu sudah datang? Mana uangnya? Mau ke warung sekarang!”

Nadine mendongak, menatap wanita setengah baya memakai daster biru dan mengulurkan tangan ke arahnya. Ia tidak menjawab, bangkit dari kursi dan melangkah keluar diikuti wanita itu.

“Kamu budek, ya! Diminta uang diam saja!”

“Bibi, bukannya bulan lalu aku kasih uang buat beli kasur? Kenapa sampai sekarang kasur Nenek belum diganti?”

Kurnia tersenyum simpul, matanya menyipit ke arah Nadine. “Maksud kamu apa? Memang bulan lalu kamu kasih lebih tapi kami juga butuh untuk biaya sekolah Marisca.”

“Biaya sekolah Marisca? Bukannya itu sudah dibayar lunas dua bulan lalu? Biaya apa lagi?”

“Hei, kayak kamu nggak pernah sekolah saja!” Kurnia berkacak pinggang. “Ingat, ya! Dulu saat kamu sekolah, Nenek Sarni juga meminta bantuan kami!”

“Ini bukan masalah bantuan, ini masalahnya kenapa setiap uang yang aku kasih ke Bibi, nggak pernah cukup.”

“Hei, kamu pikir murah biaya perawatan nenekmu? Belum lagi harus bayar air dan listrik! Seenak saja kamu mau ingkar, mana uangnya!” Kurnia membentak, mengulurkan tangan ke arah Nadine.

“Tolonglah, Bi. Tiap bulan aku kasih bisa 4-5 juta, masa, iya, nggak cukup untuk Nenek.”

Kurnia tersenyum kecil, mendekat ke arah Nadine dan menunjuk. “Uang segitu kecil untukmu Nadine. Pikirkan lagi kalau Nenek dirawat di RS, kamu pikir 4-5 juta cukup? Masih syukur aku yang ngrawat! Kamu, sudah dipungut. Banyak tingkah lagi!”

Rasa geram merambati hati Nadine. Ia menatap wanita di depannya dengan benci.

“Mana uangnya? Malah bengong!”

Kurnia membentak dengan mata menatap ke arah kamar. Ia tersenyum licik dan bergerak gesit ke samping Nadine.

“Bibi, jangaaan!”

Terlambat Nadine bertindak, karena Kurnia berhasil mengambil tas-nya. Ia meloncat, berusaha meraih tas tapi genggaman sang bibi terlalu kuat. Untuk sesaat mereka saling tarik, hingga tali tas putus dan isinya berhamburan keluar.

Nadine terbelalak, berlutut dan mengumpulkan barang-barang pribadinya yang berserak di atas lantai. Tidak menyadari dompetnya kini berpindah ke tangan Kurnia. Dengan serakah, wanita itu mengosongkan isinya lalu melemparkan dompet Nadine ke lantai.

“Bibi, jangan diambil semua. Aku perlu untuk biaya service motor,” rintih Nadine dengan tangan berusaha menggapai tangan bibinya.

“Hahaha. Urusan apa aku sama motormu. Uang segini bisa kamu dapatkan dengan mudah!”

“Nggak, bibi salah. Nggak mudah untuk dapat uang segitu.” Menegakkan tubuh, Nadine memandang bibinya dengan wajah terluka dan mata memanas.

“Aku sedang banyak musibah, Bi. Tolonglah.”

Permohonannya sia-sia. Kurnia melemparkan tatapan tak peduli. “Cari lagi, jangan lupa buat beli kasur sama kipas angin.” Ia pun berlalu, meninggalkan Nadine berdiri termangu. “Ah, ya satu lagi. Hutang warung bayari juga. Aku biasa ambil beras buat bubur nenekmu di sana.” Sosoknya menghilang di balik pintu dengan uang di tangan.

Menarik napas panjang, Nadine membalikkan tubuh. Dengan tas yang robek di tangan. Ia merintih saat menyadari tak lagi ada uang tersisa di dompet. Harusnya, ia tidak mengambil banyak uang dan kini, lima juta sudah berpindah tangan.

“Aduh, sepupuku yang cantik datang rupanya. Kok nggak ngabarin aku, sih?”

Dari arah pintu, masuk pemuda memakai celana jin sobek-sobek dan kaos hitam. Ada banyak tindikan di telinga pemuda itu, dengan rambut dicat merah menyala.

“Lihat, aku. Demi kamu aku cat merah rambutku. Biar kita couple-an.”

Nadine memandang jijik pemuda yang baru saja datang. Terlebih saat pemuda itu mengulurkan tangan untuk meraih lengannya.

“Berani pegang, kupatahkan tanganmu, Aji,” desisnya memperingatkan.

“Aw-aw, hatiku terpotek.” Aji meraba dadanya lalu tertawa. Mengedipkan sebelah mata, ia berucap mesum. “Makin lama, kamu makin sexy, Nadine. Sayang sekali kamu nggak tinggak di sini. Kalau nggak, kita pasti bermesraan setiap saat.”

Perkataan Aji membuat Nadine bergidik ngeri. Ia tidak ingin meladeninya.

“Minggir! Aku mau pulang!”

“Cium dulu, baru aku kasih jalan,” ucap Aji sambil merentangkan kedua lengannya.

“Minggir, kataku!”

“Oh, nggak mau. Ayo, cium dulu!”

“Jangan salahkan aku kalau membuatmu melolong kesakitan,” ancam Nadine.

Aji tertawa dan memoyongkan mulutnya.“Aku rela disakiti sama kamu, Nadine. Ayo, sakiti akuuu. Asalkan bisa menciummu.”

Habis sudah kesabaran Nadine. Ia mendekati Aji dan mengayunkan tangan ke arah perut pemuda itu.

Aji yang tidak menduga datangnya serangan, menunduk kesakitan dengan mulut mengeluarkan sumpah serapah.

“Breng-sek!”

“Itu belum seberapa. Ini lebih sakit.” Tanpa aba-aba, Nadine menggunakan siku dan menyikut punggung Aji sekuat tenaga. Membuat pemuda itu terhuyung lalu ambruk ke lantai dan melolong kesakitaan.

“Aduuuh, sakiiit! Awas, ka-muuu. Aku adukan Ma-maaa! Aaah!”

Nadine berdecak, menatap Aji yang tergeletak di lantai. “Kamu lupa, kalau itu keingianmu. Ingin melolong? Rasakan sekarang. Dasar pecundang!”

Tanpa berpamitan, Nadine melesat keluar dengan suara makian Aji mengiringi langkahnya. Ia naik ke atas motornya yang sedari tadi terparkir di pinggir jalan kecil. Menstarter mesinnya dan membawa kendaan melaju di antara gang-gang sempit dan kotor.

Saat motor keluar dari gang dan melaju di jalan raya, Nadine memacu lebih kencang. Hatinya merintih sedih, teringat akan kondisi sang nenek. Namun, ia tidak ada daya untuk membantu sekarang. Ingatannya berkelebat pada masa lalu, tentang Nenek Sarni yang memberinya kasih sayang. Hanya sang nenek satu-satunya orang di dunia yang mencintainya dengan tulus. Saat air mata menggenang di pelupuk, Nadine menggeber mesin dan motor sportnya melaju kencang di jalanan.
***
Dave menatap asistennya yang berdiri tegap dengan wajah serius.  Wildan baru saja datang dan mengatakan beberapa hal tentang penyelidikannya. Makin banyak yang ia dengar dari mulut sang asisten, makin bingung Dave dibuatnya.

“Wanita bayaran?” tanyanya bingung.

Wildan menggeleng. “Bukan, Tuan. Lebih tepatnya wanita pendamping bayaran.”

“Semacam lady escort.”

“Betul, hanya saja dia bukan untuk bisnis melainkan perseorangan. Banyal laki-laki yang menewa jasanya sebagai partner ke pesta atau undangan pernikahan. Tarifnya per jam dengan perjanjian khusus.”

“Apakah itu termasuk melayani di tempat tidur?” Dave bertanya terus terang.

Lagi-lagi Wildan menggeleng.”Dari informasi yang saya dapat, hanya sekadar menemani. Perjanjian khusus yang dimaksud adalah, Nadine harus berperan menjadi siapa dan bersikap sesuai dengan permintaan klien-nya.”

Pemahaman muncul dalam benak Dave. “Pantas saja, dia rela dipukul. Demi uang ternyata.” Ia mendongak dan menatap Wildan. “Kamu tahu berapa tarifnya?”

“Satu juta per dua jam, dipotong komisi 20%. Kalau ada permintaan khusus, biasanya mendapat bonus pribadi.”

“Kecil,” decak Dave. Ia tidak habis pikir, Nadine berani menemani seorang laki-laki hanya demi 800 ribu.

Wildan tertawa melihat bossnya mengatakan uang 800 ribu itu kecil.

“Kenapa? Ada yang salah?”

“Tidak, Tuan. Bagi Anda mungkin 800 ribu kecil, kadang kala satu kali makan siang pun lebih dari itu. Namun, bagi Nadine itu besar. Dia termasuk popular karena kecantikannya dan bertarif lebih mahal dari yang lain. Banyak lady escort yang tarifnya lebih kecil.”

Bisa jadi pemikiran dia salah, Dave merenung. Seharusnya, sebagai agen real estate, penghasilan Nadine tidaklah kecil. Namun, ia tidak habis pikir kenapa wanita itu mau melakukan pekerjaan sampingan yang membayakan diri. Bagaimana kalau bertemu seorang bajingan yang akan melukainya? Atau pun seperti kemarin, dia terluka karena dipukul? Entah apa yang menyebabkan Nadine menjalani pekerjaan itu, ia tidak mengerti.

“Tuan, kalau boleh saya tahu. Kenapa Anda begitu tertarik dengan Nadine?”

Dave menimbang perkataannya, sebelum menjawab pertanyaan sang asisten. “Dia merusak mobilku. Sampai sekarang bahkan belum membayar karena dia mengatakan tidak punya uang. Tapi, aku melihatnya di mana-mana, di tiap pesta yang aku hadiri. Itu membuat pikiranku bertanya-tanya.”

Wilda mengangguk. “Saya paham, Tuan.”

Percakapan mereka terputus saat ponsel Dave berdering. Nama sang papa tertera di layar. Dengan enggan ia mengangkat dan menyapa pelan.

“Iya, Pa.”

“Aku kirim foto dan profile wanita, anak keluarga Adira. Kamu pelajari. Malam minggu ini jangan sampai tidak datang. Awas kamu!”

Belum sempat ia menjawab, panggilan terputus. Dengan enggan ia membuka aplikasi pesan dan melihat foto-foto yang dikirim sang papa. Ia bergidik ngeri saat melihat wanita yang ingin dikenalkan sang papa untuknya. Ia tidak ada maksud menghina, hanya saja penampilan wanita itu sungguh luar biasa. Dengan gaun bercorak macan tutul, dan riasan tebal di wajah, wanita itu terlihat seperti memamerkan tubuhnya yang berlemak. Karena pola gaun yang terbuka, membuat postur tubuhnya terlihat jelas.

“Wildan.”

“Iya, Tuan.”

Dave menyorongkan ponselnya. “Ada nomor Nadine di situ. Telepon dan buat janji dengannya sore ini. Suruh dia datang kemari jam 6.30.”

Wildan mengangguk, menerima ponsel di tangan dan mencatat nomor Nadine. Setelah itu, ia pamit keluar untuk menelepon. Sepuluh menit kemudian, ia kembali menghadap Dave dan mengatakan kalau Nadine bersedia datang nanti sore.

Dave mengangguk, mulai membentuk rencana di otaknya. Setelah Wildan pergi, ia merenung. Meraih laci dan mengeluarkan satu buah satu buah kalung dengan liontin bertahtakan batu permata.  Ia mengusap permukaan liontin dengan lembut.  Seketika, banjiran kenangan merasuki otaknya. Tentang seorang wanita cantik dan lembut yang pernah mengisi  hari-harinya. Wanita itulah satu-satunya yang mengisi hatinya, hingga sekarang saat mereka tak lagi bersama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro