Bab 2b

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kantor yang berada di gedung bertingkat di tengah kota itu terlihat damai. Banyak pegawai sibuk dengan pekerjaan mereka hingga tidak ada waktu untuk mengobrol. Setiap orang seperti tersembunyi dalam kubikel masing-masing. Sesekali terdengar dering telepon dan juga suara lirih orang mengobrol. Selebihnya, semua terlihat serius.
Di dalam ruangan berdinding putih dengan perabot berwarna senada, seorang laki-laki duduk di balik meja besar.  Di belakangnya, berdiri rak besar dan kokoh yang berisik buku-buku dan dokumen. Ada satu set sofa dengan alas permadani di depannya dengan jendela kaca berada di samping rak. Dari lantai 15, pemandangan gedung terpampang sepanjang mata memandang.

Laki-laki itu mendongak saat pintu diketuk dari luar. Masuk seorang wanita awal tiga puluhan dengan rambut disanggul rapi. Di lengan wanita itu, memeluk setumpuk dokumen.

“Tuan, ini dokumen perjanjian dengan beberapa agen penjualan yang bekerja sama dengan kita.”

“Sudah kamu perbaiki pasal-pasal yang aku minta?” Dave meraih satu dokumen dan memeriksa isinya.

“Sudah, Tuan. Tinggak diperiksa dan kalau ada yang kurang, saya bisa perbaiki.”

Dave mengernyit, membaca satu per satu pasal yang tertera. Sebenarnya, ia tidak terlalu masalah dengan para agen yang sudah lama bekerja sama dengannya. Namun, beberapa agen baru yang ingin bergabung harus dibuatkan batasan-batasan dan peraturan khusus.

“Tuan, saya mau mengingatkan soal pesta keluarga. Minggu depan jangan lupa.”

Dave menatap sang sekretaris dan tanpa sadar mendesah. “Untung kamu ingatkan. Pesta itu jelas-jelas membuatku pusing, Mitha. Apalagi ada grandma di sana.”

Mitha mengangguk sambil tersenyum. “Maaf, tapi yang Tuan bisa lakukan adalah datang bersama pasangan.”

“Itu dia, mau bawa siapa? Terus terang masalah pasangan ini membuatku kesal. Keluarga besarku mengatur-atur bahkan berencana mengenalkan aku dengan seorang wanita dari entah berantah.”

“Perjodohan lagi?”

“Siapa yang tahu? Papaku tidak pernah kehabisan stok wanita untuk dikenalkan padaku. Lama-lama membuat muak.”

“Saya paham. Dan kalau tidak salah menebak, wanita yang akan dikenalkan kali ini adalah anak keluarga Adira, pemilik perusahaan telekomunikasi terbesar di negara kita.”

Dave mengangkat sebelah alis. “Dari mana kamu tahu?”

Mitha tersenyum. “Baru saja saya membaca berita tentang Tuan Kevlar mengadakan pertemuan dengan keluarga Adira.”

“Sial! Sepertinya itu benar.”

“Sebelum itu, ada satu pesta yang lebih mendesak untuk dihadiri.” Mitha mengulukan undangan. “Dari Wanajaya Group.”

“Kapan?”

“Sabtu malam.”

“Mau tidak mau aku harus datang. Kita sedang bekerja sama dengan mereka untuk proyek baru kita.”

Sepeninggal sekretarisnya, Dave mencopot kacamatanya dan bangkit dari kursi untuk meregangkan tubuh. Ia berdiri menghadap jendela yang terbuka dengan pikiran menerawang tentang pesta dan acara perkenalan dengan wanita. Ia tahu, dirinya tidak mungkin berkelit terlalu lama dalam masalah perjodohan ini. Setidaknya harus mencari satu jalan keluar yang tepat.

Memikirkan soal cinta membuat hatinya berdenyut. Perih samar menguar dari sanubari. Ingatan masa lalu berkelebat dan kembali menghujani pikirannya dengan rasa kehilangan yang teramat sangat. Ia pernah mencintai dan memiliki rasa ingin bersama dengan seseorang begitu dalam. Namun akhirnya, takdir berkata lain. Meski telah berlalu hampir tiga tahun, ia belum siap melepaskan diri dari duka. Setidaknya, itu yang ia pikirkan.
**
Beberapa hari berlalu dalam keadaan sedih dan jengkel bagi Nadine. Ia mendapati motornya memerlukan uang lebih banyak dari yang dibutuhkan. Sedangkan tabungannya sudah menipis. Belum lagi kebutuhan lain yang harus ia tanggung.

Semenjak neneknya jatuh sakit dan dirawat sang bibi, ia harus menanggung beban hidup satu keluarga. Bagaimana tidak? Sang paman yang biasa bekerja sebagai buruh pabrik, kini di PHK dan hanya punya penghasilan pas-pasan dari menjual bensin eceran. Sementara bibinya hanya ibu rumah tangga biasa. Dua anak mereka sama sekali tidak bisa diharapkan untuk membantu. Jadilah, ia yang harus berjuang sendirian untuk mereka.

Di dalam kamar kos berdiameter  3x3 meter dengan kipas angin besar terpaku di dinding. Nadine mematut diri di depan cermin dengan gaun merah yang ia pakai. Malam ini, ia harus menemani seseorang datang ke pesta. Ia sudah memakai wig panjang kecoklatan untuk menutupi rambut aslinya. Jujur dalam hati, ia enggan melakukan semua ini jika bukan karena membutuhkan uang. Kejadian terakhir kali dengan Rama, masih membuatnya truma.

Waktu menunjukkan pukul 7.30 saat ia keluar dari kamar di lantai dua dan menuruni tangga dengan anggun. Ruang tamu dan lorong kos sepi. Bisa jadi banyak penghuninya sedang keluar.

Di dekat pintu masuk, hampir saja ia menabrak seorang laki-laki jika tidak sigap menghindar.

“Aduh, Nadine makin hari makin sexy, ya?”
Ucapan laki-laki itu hanya dijawab dengan senyum kecil olehnya.

“Mau ke mana, Sayang? Aku antar, yuk!” Tubuh laki-laki itu kini menghalangi jalan, membuatnya tidak bisa lewat.

“Tolong, minggir, Pak. Saya ada urusan penting!”

“Urusan apa? Kamu pikir aku tidak tahu apa urusanmu, Nadine? Pergi malam pulang pagi, semua orang juga bisa menebak.”

Laki-laki itu tertawa mesum. Nadine menggertakan gigi, menahan keinginann untuk tidak merontokkan gigi laki-laki itu. Namanya Lesmana, pemilik kos-kosan. Itulah yang membuatnya menahan diri.

“Sebaiknya ingat istrimu sebelum mengurusi orang lain. Tolong, minggir! Jangan sampai saya berbuat kasar!”

“Bagimana kalau aku nggak mau? Kamu mau apa? Hah!” Bersikap seperti anak kecil, Lesama merentangkan tangan untuk menutup jalan.

Nadine menggelengkan kepala, merasa waktunya terbuang percuma karena meladeni orang bodoh. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Saat dirasa aman, ia mendekati Lesmana. Laki-laki itu menatapnya dengan gembira.

“Ah, akhirnya kamu mau mendekat padaku, Nadine. Ayo, Sayang. Kita ke mana malam ini?”

Tangan laki-laki itu terulur, dengan cepat Nadine meraihnya. Sebelum Lesmana sempat berkelit, ia menginjak kaki laki-laki itu dengan keras dan memiting tangannya. Suara jeritan terdengar dari mulut pemilik kos. Nadine tidak peduli. Ia membenturkan tubuh laki-laki itu ke pintu dan berbisik.

“Jangan macam-macam lagi denganku, Lesmana. Aku bisa berbuat lebih dari ini.”

Lesmana tersengal, kesakitan. “Le-lepaskan aku. Ku-kurang ajar! Aku akan lapor polisi!”

“Oh, mau lapor? Silakan! Kita lihat saja bagaimana reaksi istrimu saat membaca pesan-pesam cabul yang kamu kirim untukku. Belum kuhapus.”

“Si-siaal!” Lesmana merintih saat pitingan Nadine makin kuat.

“Laki-laki nggak berguna!” Melonggarkan pitingannya, Nadine mengempaskan laki-laki itu ke lantai. Terdengar suara rintihan dan makian, mengiringi langkahnya meninggalkan kos-an.

Ia memesan mobil online yang membawanya ke tempat pertemuan. Bukan di pesta melainkan di sebuah halte yang lumayan jauh dari kos-nya. Sudah menjadi peraturan dalam dirinya, ia tidak akan membawa klienya ke rumah. Karena tidak ingin mencampur adukan pekerjaan dengan hal pribadi.

Sebuah mobil mewah menepi dengan kaca jendela terbuka. Pengemudinya melambai dari belakang setir. Nadine tersenyum ramah, dan membuka pintu lalu mengucapkan salam.

“Selamat malam, Pak. Anda ingin saya bernama siapa?” tanyanya tanpa basa-basi. Aroma parfum yang menyengat, menyergap penciumannya.

Laki-laki di sampingnya adalah pria berumur awal empat puluhan dengan jas abu-abu dan dasi hitam. Bisa jadi karena beban hidup atau juga bawaan, kepala laki-laki itu botak sebagian.

“Pertama, jangan panggil aku, Pak. Tapi, Mas.” Laki-laki itu membuka suara dan Nadine dibuat tercengang karena kehalusan tutur bicara laki-laki itu.”namaku Guntur. Panggil aku Mas Guntur.”

“Baik, Mas,” jawabnya lembut.

“Kedua, nama kamu Amelia. Dan malam ini aku ingin kamu membuat cemburu seorang wanita bernama Seruni. Nanti aku kasih tahu kamu yang mana Seruni itu.”

“Iya, Mas.”

“Kalau kamu bersikap baik malam ini dan berhasil menjalankan tugas, akan ada bonus untukmu.”

Nadine tersenyum tipis. “Terima kasih sebelumnya tapi saya ingin mengajukan satu syarat  untuk kita.”

“Ya, Amel?” tanya Guntur dari belakang kemudi.

“Dilarang kontak fisik melebihi pegang tangan. Sekali Mas melanggar, saya pulang.”

“Oke, nggak masalah.”

“Oh, ya. Sebelum kita masuk ke ruangan pesta, saya mengharapkan pembayaran dilunasi.”

“Nggak masalah, dengan senang hati Amel. Pasti kamu bingung kenapa aku memintamu memakai gaun merah? Itu karena Seruni benci dengan warna merah yang dia anggap hanya dipakai wanita penggoda.”

“Oh, begitu. Semoga rencana kita berjalan mulus malam ini,” ucap Nadine.

Mobil meluncur mulus di jalan raya yang masih lumayan padat. Bisa jadi karena efek weekend. Nadine mendengarkan dengan tekun setiap perkataan dan rencana yang keluar dari mulut Guntur. Ia mencatat dalam hati karena baginya, sekecil apa pun informasi tentang laki-laki yang akan didampingi malam ini, sangat berharga.

Percakapan terputus saat mereka memasuki sebuah bangunan yang sepertinya diperuntukan khusus untuk pesta. Sebelum turun dari mobil, Guntur memberikan bukti pada Nadine berupa pembayaran lunas untuk jasa menemani malam ini.
Melangkah anggun dengan tangan memegang siku Guntur, Nadine membiarkan dirinya dituntun masuk ke dalam tempat pesta. Mereka disambut oleh dua orang wanita penerima tamu dan dibawa masuk ke bagian dalam bangunan yang sudah didekorasi dengan berbagai macam bunga, kain, tule, dan lampu warna-warni yang menggantung indah di langit-langit.

“Amelia, itu yang namanya Seruni.” Guntur menunjuk seorang wanita bertubuh padat berisi yang memakai gaun putih polos. Lekukan tubuhnya terlihat menonjol.

Nadine mengangguk tanpa kata. Matanya menatap seantero ruangan yang penuh dengan orang-orang yang mengobrol dengan penampilan terbaik mereka.

“Ayo, kita sapa tuan rumah.”

Nadine tetap diam dan hanya mengangguk kecil saat dirinya diperkenalkan pada penyelenggara pesta. Mereka adalah orang-orang yang bergerak di bidang jasa keuangan. Tuan rumah adalah sepasang suami istri awal enam puluhan dan pemilik bank tempat Guntur bekerja. Sedangkan Seruni adalah ponakan dari istri pemilik bank.

“Seruni, kenalkan ini Amel.” Guntur berucap gugup sambil menunjuk Nadine.

“Apa kabar, Kakak?” Nadine menyapa ramah. Ia tersenyum kecil saat Seruni tidak membalas salamnya dan hanya memandang dengan tatapan mata yang tajam menyelidik.

“Siapa dia, Guntur?” tanya Seruni tanpa basa-basi dan mengabaikan Nadine.

Guntur menggaruk kepalanya salah tingkah. “Eh, Amel ini adalah tetanggaku saat kecil dulu dan itu--,”

“Ooh, cewek yang ngejar-ngejar kamu dari dulu?!” tukas Seruni tajam.

“Yah, begitulah.” Guntur terlihat menahan gugup.
Seruni melemparkan senyum sinis lalu menarik tangan Guntur. “Ayo, sini. Aku mau bicara!”

Keduanya pergi dan meninggalkan Nadine sendiri. Sedikit bingung dengan apa yang terjadi, Nadine melangkah mendekati meja prasmanan. Berencana untuk mengambil minuman  karena tenggorokannya terasa kering. Saat ia membalikkan tubuh, hampir saja menabrak seseorang yang datang dari arah belakang punggungnya.

Ia ternganga saat mendapati Dave menatapnya dari balik kacamata. Jantungnya berdetak tak karuan karena kaget dan ia berdiri kaku karena tidak mengira akan bertemu dengan sang direktur di tempat ini.

“Se-selamat malam, Tuan?” Ia menyapa gugup.
Dave mengamati penampilan Nadine dalam balutan gaun merah tanpa lengan. Tubuh wanita itu terlihat memesona dengan rambut kecoklatan. Ah, jadi dia selalu memakai rambut palsu untuk menutupi rambut aslinya yang merah.

“Kamu hebat, ya? Bisa ada di tiap pesta orang penting.”

Nadine tidak menjawab. Ia mengutuk nasibnya yang apes karena harus bertemu Dave malam ini.

“Kenapa kamu bisa kenal dengan keluarga Wanajaya?”

Kali ini ia menggeleng. “Nggak kenal, Tuan. Hanya menemani teman.”

“Teman? Yang mana temanmu?”

Belum sempat Nadine menjawab, terdengar teguran dari samping.

“Amel, kamu di sini? Ayo, ikut aku!”

Guntur datang meraih sikunya dan tanpa basa-basi menyeret Nadine pergi. Meninggalkan Dave yang kebingungan.

“Tuan, ingin makan sesuatu?”

Dave mengalihkan pandangannya dari Nadine ke arah asistennya yang entah kapan berdiri di belakangnya.

“Wildan, aku ingin minum cocktail. Bawa ke teras samping. Gedung ini terasa sesak.”

Wildan mengangguk dan pergi ke arah bar. Sepeninggal asistennya, Dave melangkah menuju teras samping. Sudah cukup malam ini ia berbasa-basi dengan banyak orang. Ia ingin mengisap cerutu.

Nadine berdiri bingung, di depan Seruni dan Guntur. Keduanya menatap tajam dengan pandangan Seruni terlihat menghakimi.

“Kamu, jadi wanita nggak tahu malu banget, ya? Mengejar laki-laki dan memaksa pula.”

Tercengang, Nadine mendongak. Matanya bersirobok dengan Guntur dan ada semacam permohonan di sana.

“Maksudnya?”

Seruni mengangkat lengannya yang besar dan mendorong bahu Nadine.

“Guntur sudah mengatakan semuanya padaku. Kamu yang ngejar-ngejar dia sampai dia nggak berkutik. Kenapa, sih, semua wanita berbaju merah itu sama? Gatel!”

Makian Seruni yang diucapkan dengan agak keras, menarik perhatian beberapa orang. Nadine merasa bulu kuduknya merinding. Lagi-lagi, dia harus menanggung malu di hadapan banyak orang. Semua demi uang.

Guntur maju, kali ini berada di samping Seruni.

“Jangan memarahinya, Seruni. Dia masih belum dewasa.”

Seruni mencebik. “Belum dewasa dari mana? Kamu jangan membelanya terus!”

“Bukan aku membela, tapi Amel banyak memberiku support saat aku sendiri.”

“Ada akuu, Guntur. Kenapa harus curhat dengan wanita penggoda ini!”

Nadine memijat kepalanya. Ia ingin melarikan diri dari dua orang yang sekarang sedang berdebat.

“Karena kamu selalu menghindariku, Seruni? Kenapa? Karena aku hanya pegawai biasa, sedangkan kamu kaya raya?”

Seruni menggeleng. “Bu-bukan begitu.”

Mendesah dramatis, Guntur meraih lengan Nadine dan berucap sendu pada Seruni. “Aku hanya mencintaimu apa adanya. Tapi, kamu berpikir aku ada maksud lain. Maaf, aku pergi dulu.” Ia berbalik, dengan lengan Nadine di genggamannya.

“Jangan pergi, Guntur!” Seruni menghardik. Tanpa aba-aba, wanita itu melepaskan tangan Guntur dari lengan Nadine.

“Kenapa?” tanya Guntur.

Nadine menghela napas kesal. “Kalian drama banget, tahu! Bilang cinta lalu jadian. Kalau kamu nggak mau? Ya sudah. Jangan sok jual mahal!” ucapnya keras ke arah Seruni.

Seruni melotot. “Siapa kamu berani mengataiku jual mahal? Siapa kamu! Dasar Jalang!”

Tanpa diduga, sebuah tamparan dilayangkan Seruni ke arah Nadine. Saat Nadine berdiri shock dengan pipi yang terasa perih, Seruni meraih lengan Guntur dan menyeret laki-laki itu pergi.

“Aku mencintamu, Guntur. Ayo, menikah denganku. Abaikan jalang itu!”

“Benarkah? Kamu mau terima cintaku, Seruni?”

Seruan bahagia Guntur terdengar di antara hiruk pikuk musik yang kini terdengar dari dalam ruang pesta. Laki-laki itu bahkan mengabaikan Nadine yang berdiri sambil meraba pipinya yang perih. Tanpa terasa, bulir bening menetes di pipi.

Menunduk untuk menghindari pandangan orang-orang yang melihat kejadian tadi, ia merasa amat sangat tak berharga.

“Kamu baik-baik saja?”

Nadine mengenali suara yang menegurnya. Ia menoleh dan bertatapan dengan Dave. Rasanya, kesialannya bertambah tiap kali bertemu laki-laki ini. Tidak ingin  terlibat dalam masalah yang lain, ia melangkah gontai meninggalkan teras menuju pintu. Saat ini, yang ia inginkan hanya menjauh dari keramaian dan menangis sendiri. Meratapi nasib.

Dave mengamati sosok wanita bergaun merah yang melangkah gontai, menuju pintu. Sedikit banyak ia mendengar pertengkaran wanita itu dengan sepasang kekasih yang entah kini berada di mana. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya tentang sosok Nadine. Kenapa wanita itu selalu ada di tiap pesta dan dengan laki-laki yang berbeda.

“Wildan.”

“Iya, Tuan?” Sang asisten yang sedari tadi berdiri di belakang Dave, kali ini melangkah ke samping.
“Aku ingin kamu menyelidiki satu hal. Wanita bergaun merah tadi. Cari tahu, apa pekerjaan sampingannya.”

Wilda mengamati arah pandang tuannya dan menatap sosok Nadine yang menghilang di keremangan.

“Baik, Tuan. Segera akan saya beritahu hasilnya.”
Dave terdiam. Ia tidak tahu apa yang mendasari niat mencari tahu tentang Nadine. Namun, sosok wanita itu sedikit mengganggu pikirannya. Dan, dia bukan orang yang suka diganggu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro