Bab 2a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nadine berdiri menunduk, tidak mampu menatap orang di depannya. Ia bisa merasakan ruangan yang dingin mencekam, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan AC. Sikap laki-laki di depannya yang membuat udara seakan membeku.

“Siapa nama kamu?” Suara laki-laki itu terdengar tenang tapi tetap membuat Nadine takut.

“Nadine, Pak,” ia menjawab pelan.

“Kamu ada masalah dengan ku?”

“Tidak, Pak.”

“Lalu, kenapa kamu menabrak mobilku?”

“Bukan saya, Pak.” Nadine mendongak sambil menggeleng kencang. “Bapak lihat sendiri saya tadi ikut rapat.”

Dave menaikkan sebelah alis, menatap wanita berambut merah di depannya.  Ia memang tidak salah lihat, wanita di depannya adalah orang yang sama yang dilihat malam itu. Bedanya hanya rambut wanita ini sekarang merah bukan hitam. Gaun sexy yang provokatif diganti dengan setelan ungu.

“Aku tidak memperhatikan orang dalam ruangan,” jawabnya acuh. “yang aku tahu sekarang adalah bagian depan mobilku hancur. Itu butuh uang yang tidak sedikit untuk memperbaiki. Kata orang-orang di sini, itu motor kamu?”

“Iya, Pak. Tapi buk--,”

“Tapi itu motor kamu,’kan?”

Menelan ludah, Nadine mengangguk. “Iya, Pak. Itu motor saya.”

“Kamu masih menghindari masalah? Mobilku terparkir di sana dari pagi. Lalu, ada motor besar yang menghajarnya dan mengakibatkan kerusakan yang tidak sedikit!”

Nadine menghela napas panjang, merasakan dadanya sesak seketika. Persoalan motornya yang menabrak mobil Dave membuatnya masuk dalam lubang penderitaan. Dalam hati ia mengutuk Anto, karena tahu semua pasti karena ulah laki-laki itu. Mengimbaskan persoalan yang buruk padanya.

“Bagaimana kamu akan mengganti kerusakan itu? Kamu tahu harga sparepat mobilku tidak murah.”

Kali ini, Nadine bergidik ngeri. Membayangkan harus keluar uang jutaan untuk mengganti mobil Dave yang mewah dan mahal itu.

“Pak, bisakah kita lihat CCTV untuk membuktikan kalau i-itu bukan ulah saya?”

“Apa gunannya untukku?” ucap Dave dingin. “Semua di sini tahu, itu motormu.”

Nadine memejam, dada berdebar keras dan lututnya lemas. Ia bisa merasakan tatapan Dave yang dingin mengarah padanya. Sikap laki-laki itu sangat berbeda saat mereka bertemu di pesta.

“Pak, beri saya waktu menyelesaikan masalah.” Ia berucap lirih.

“Termasuk menyediakan uang. Karena aku tidak mau lama-lama membiarkan mobilku rusak.”

Dave menatap ke arah Nadine yang menunduk. Rambut merah wanita itu bertabrakan dengan setelan ungu yang dipakainya. Membuat tangannya gatal seakan ingin merapikannya menjadi satu warna standar. Hitam misalnya. Mungkin wanita itu akan terlihat lebih formal dan menyerupai agen real estate yang bertanggung jawab jika rambutnya dicat hitam.

“Pak, saya minta waktu.”

Permohonan Nadine yang diucapkan dengan lirih membuatnya menarik napas panjang. Jauh dalam hati, Dave merasa jika tidak akan mudah untuk mendapatkan ganti rugi sekarang juga dari wanita di depannya.

“Masukkan nomor ponselmu ke sini.” Dengan enggan Dave menyodorkan ponselnya. “Masukkan semua yang kamu punya, mau dua atau tiga sekalipun.”

Tanpa perlawanan, Nadine memasukkan nomornya dan mengembalikan ponsel pada sang pemilik.

“Aku akan memperbaiki mobil itu dan tagihan akan aku kirim ke kamu.”

Nadine merintih dalam hati. Bayangan tentang tagihan berjuta-juta membuat hatinya nyeri. Saat ini, ingin rasanya ia mencari Anto dan menghajar laki-laki itu hingga babak belur. Namun, ia tahu itu hanya buang-buang tenaga dan waktu. Karena Anto pasti mengatakan tidak punya uang.

Ia tetap terdiam di tempatnya, saat Dave bangkit dari sofa dan melewatinya menuju pintu. Tanpa berpamitan, laki-laki itu meninggalkannya sendiri di ruang direktur. Tempat mereka sedari tadi bicara. Nadine tertunduk lemas. Bukannya hanya semangatnya yang melemas tapi juga seluruh tubuhnya. Harus membayar untuk suatu kesalahan yang tidak ia lakukan.

Sepanjang hari itu, Nadine sama sekali tidak konsentrasi dalam bekerja. Ia sering kali melamun dengan pikiran mengembara tak tentu arah. Beberapa kali klienya menegur karena ia terdiam saat ditanya hal penting. Teguran itu membuatnya harus meminta maaf berkali-kali karena tidak enak hati. Meski begitu, ia  bernapas lega karena sang klien setuju untuk mengambil unit yang ditawarkan. Ia berjanji mengurus surat menyurat segera agar pembayaran bisa dilakukan.

Di sela-sela hatinya yang berteriak bahagia, ia mengingatkan diri sendiri untuk membawa motornya ke bengkel.
**
“Bagaimana? Parah ngggak?”

“Kamu apain sih motor ini?”

“Bukan aku, ini kerjaan Anto sialan itu!”

Nadine berjongkok di samping pemuda berambut cepak yang sedang mengutak-atik motornya.

“Ini lumayan parah Nadine. Kayaknya jatuh dua kali dan stir ngebanting ke kanan.”

“Ah, aku juga ngrasain itu!” ucap Nadine sengit. “hampir saja aku jatuh tadi di jalan gara-gara motor ini nggak enak banget dipakai. Prima, tolong bantu aku, ya?”

Prima tidak mengalihkan pandangannya dari motor di depannya. Ia menggerutu panjang pendek tentang bagaimana cerobohnya Nadine dalam merawat motornya.

“Lagian, kamu ada-ada aja. Pakai minjemin motor sama orang yang nggak bisa naik motor!”

“Aku nggak mau minjemin, tapi dia maksa. Akibatnya aku harus bayar dua kali ganti rugi.”

Mendengar kata dua kali ganti rugi membuat Prima mengernyit. Ia bangkit dari lantai dan melangkah menuju meja kecil di dekat dinding. Meraih botol air minum dan meneguknya lalu mengangkat kotak kayu berisi peralatan yang diletakkan di samping meja.

“Kenapa dua kali? Palingan juga kamu bayar sparepart doang.”

Nadine mendesah lemah, menekuri lantai.”Anto nabrak mobil sport mahal seorang dorektur, akibatnya aku yang harus ganti rugi.”

“What? Mobil apaan? Kenapa kamu yang harus ganti?!” Tanpa sadar Prima bertanya dengan nada tinggi.

“Kenapa aku yang harus ganti? Karenaa, pas direktur keluar,  motorku lagi nangkring depan mobilnya. Dan kalau itu belum cukup parah, Anto hari itu kabur. Dia mendadak cuti dengan alasan bini-nya yang hamil masuk rumah sakit. Kamu mau aku gimana? Barang bukti ada di depan mataaa!” Nadine berucap dramatis, dengan nada sedih bercampur kesal.

“Mobilnya apaan?” tanya Prima.

“Itu, Ferari. Nggak tahu model apaan.”

“What the … ah! Kamu gilaa! Itu mobil mahal, gimana kamu mau ganti kerusakannya?!” Kali ini Prima bertanya dengan suara tinggi. “Kamu beli sparepart motor ini aja, udah bikin jatah bulanan kamu berkurang. Sekarang harus ganti biaya perbaikan Ferari!”

Nadine menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mendadak merasakan pusing kepala. Terlebih saat mendengar, ia akan mengeluarkan uang yang banyak demi biaya perbaikan. Habis sudah dirinya tak tersisa. Kini, harus menahan diri mendengar omelan Prima.

“Aku tahu udah bersikap bego karena minjamin motor.  Kira-kira, aku harus keluar biaya berapa buat mobil itu?”

Prima menatap sahabatnya dengan keprihatinan terpantul di bola mata. Ia tahu persis situasi keuangan Nadine, dan berani bertaruh jika biaya perbaikan mobil akan membuat gadis di depannya bangkrut.

“Bisa belasan juta,” jawabnya perlahan.”bisa jadi puluhan atau ratusan, tergantung tingkat kerusakan.”

Nadine terduduk lemas. Meletakkan kepala di antara kedua lututnya. Ia merutuki nasib buruk yang membawa kesialan seperti sekarang. Ibarat manusia tanpa tahu apa salah dan dosa, ia menanggung hukuman langsung masuk ke neraka.

“Aku dapat duit dari mana?” desah Nadine sedih.

“Entahlah, mungkin kamu bisa nyicil.”

Saran nyicil adalah hal yang tidak mungkin terjadi, mengingat sikap Dave yang kaku dan tegas. Ia tahu kalau laki-laki itu tidak akan pernah memberinya kesempatan untuk nyicil.

“Prim, tolong benerin dulu motorku, biar bisa dipakai buat cari duit.”

Nadine berucap memohon pada Prima. Ia tahu sahabatnya bisa diandalkan. Setidaknya membantunya mengurangi biaya yang bisa dikeluarkan untuk perbaikan motor. Ia bangkit saat merasakan ponselnya bergetar. Nama Anina tertera di layar berikut sebuah pesan.

“Jangan lupa acara besok malam. Dress code-nya serba merah.”

Menarik napas panjang, ia kembali memasukkan ponselnya ke saku. Mencatat dalam hati untuk menelepon Anina saat di rumah , agar wanita itu membantunya mencari klien lebih banyak. Demi uang yang akan ia gunakan untuk memperbaiki mobil Dave.

Tak lama ponsel kembali bergetar, sebuah pesan masuk. Ia membaca dengan hati berdenyut nyeri.

“Jangan lupa uang bulanan untuk Nenek. Susu, pampers, vitamin sudah habis. Jangan coba-coba kabur dari tanggung jawab!”

Mendesah resah. Nadine merasa hidupnya di ambang kehancuran.
.
.
Tersedia di Karyakarsa dan Playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro