Bab 11. Awalan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕
.
.
.

"Kalian dari mana aja? Sesore ini baru pulang. Aku udah nyari kalian di kafe, tapi kata Pandu kalian pergi keluar. Kenapa nggak ngajak aku? Aku kan kesepian di rumah sepulang dari Rumah sakit."

Omelan Ares langsung menyambut Lily dan Farrel di depan pintu begitu keduanya sampai di rumah.

Kusarankan kalian jangan tertipu dengan wajah tampannya yang menurut Adel mirip grup idol Korea. Karena di balik wajah tampannya itu Ares sangat menyebalkan terutama pada kedua saudaranya. Sikap wibawa dan kharismanya saat menjadi dokter akan punah begitu dia sampai di rumah, dia akan mulai bersikap kekanakan, cerewet, usil, bahkan kadang merajuk. Namun, di luar itu semua, dia adalah kakak yang sangat baik dan bisa diandalkan. Sedikit mengherankan sampai sekarang dia menolak untuk memiliki seorang kekasih. Padahal, sikapnya pada wanita sangat perhatian dan penuh kasih sayang, setidaknya begitulah dia memperlakukan Lily dan pasiennya.

"Kenapa nggak ada yang jawab?" Ares masih membuntuti kedua saudaranya menuju ruang tengah.

Farrel menghempaskan dirinya di atas sofa kemudian berbaring di sana sementara Lily berjalan naik menuju kamarnya di lantai atas.

"Oke, sekarang nggak ada seorang pun yang menganggap keberadaanku di sini dan bahkan nggak menjawab pertanyaanku. Keterlaluan tahu nggak, kalian pergi nggak bilang dan sekarang kalian nyuekin aku. Aku—"

"Berisik!" teriak Farrel kesal sementara Ares kemudian duduk di sofa sebelahnya dan menatap sang kakak dengan wajah merengut.

"Gue masih capek, Res. Ntar gue jelasin deh, lo berisik banget. Gue laper," ucap Farrel masih dengan wajah tertanam di bantal sofa.

"Lily, kenapa kamu ikut nyebelin dan cuekin Kak Ares juga?" tanya Ares masih tidak terima.

"Lily mandi dulu ya, Kak, nanti turun lagi kok. Aku jelasin nanti," jawab gadis itu lalu berderap menuju kamarnya sebelum Ares bertanya lagi.

"Udah, sekarang lo siapin makan malam, deh. Nanti sekalian cerita pas makan malam."

"Nggak mau."

"Buruan, gue dan Lily belum makan nih. Laper banget!" omel Farrel yang akhirnya dituruti oleh Ares meski dengan terpaksa dan menggerutu.

***

"Jadi kalian ke mana?" tanya Ares lagi melanjutkan perbincangan di tengah makan malam.

Farrel menatap Lily sekilas, lalu melanjutkan. "Lo janji dulu nggak akan berisik karena gue nggak mau telinga gue sakit mendengar suara teriakan lo yang berlebihan," ancam Bang Farrel.

"Ya, tergantung dong, kan itu spontanitas Rel, masa iya gue harus ngerem?" sahut Kak Ares.

Perlu kalian tahu, karena keduanya hanya terpaut usia 2 tahun dan sering sekali meributkan banyak hal, mereka berbicara santai seperti teman yaitu lo-gue. Bukan seperti adik kakak pada umumnya.

"Gue sama Lily tadi pergi ke rumah Raga," ucap Farrel mengawali.

"Eh? Ada keperluan apa?" tanya Ares yang terlihat kaget mendengar penjelasan sang kakak.

"Lily sudah memutuskan untuk membantu Raga sampai dia berhasil mendapatkan donor mata," jawab Lily akhirnya, menatap Ares yang seketika meletakkan sendoknya dan balas memandang adiknya dengan tatapan tidak percaya.

"Bukannya itu sudah dilakukan? Aku udah mendaftarkan namanya untuk mendapatkan donor mata."

"Iya, dan Lily akan membantunya sampai mendapatkan pendonor saat dia memerlukan bantuan. Apa pun itu."

Lily mengedikkan bahunya seolah itu bukan hal besar karena dia takut Ares akan marah.

"Kamu bukan asistennya, Ly. Tidak perlu melakukan hal seperti itu," tegas Ares jelas tidak menyukai ide itu.

Lily sudah menduganya saat Farrel memandang Ares dengan tatapan menegur dan memperingatkan, tapi sepertinya Are bersikeras tidak setuju.

"Setidaknya biarkan Lily melakukan apa yang dia inginkan, Res, dia sudah bisa memutuskan sendiri." Farrel menegaskan dan membuat Ares menutup mulutnya kesal dan diam. Jelas dia tidak akan membantah saat sorot mata sang kakak sudah berubah serius.

"Terserah."

Lily tersenyum melihat kedua kakaknya itu, dia selalu berterima kasih atas kehadiran keduanya.

"Lily janji tidak akan membuat kalian khawatir."

***

Hari ini Lily bermaksud menemui Raga, tapi sebelumnya gadis itu akan menemui Diany dulu di butiknya.

"Lily, kamu datang tepat waktu," sapa Diany begitu melihat gadis itu memasuki butiknya.

"Sebenarnya Lily bingung harus datang pagi atau siang, Tante."

Lily membalas pelukan Diany dengan senyum canggung karena tiba-tiba Diany lebih ramah dibandingkan sebelumnya.

"Maafkan saya, ya, tidak ada maksud apa pun jika kamu berpikir seolah ini memanfaatkan."

Mereka berdua duduk sejenak di ruangan kerja Diany.

"Kemarin saya berpikir seharian mengenai masa depan Raga, apa yang akan kami lakukan selanjutnya dan semua pikiran itu membuat saya merasa sangat tertekan mengingat donor mata bukanlah hal yang mudah didapatkan di sini. Saya juga memikirkan kamu, tentang penawaran kamu untuk membantu Raga dalam keadaannya sekarang. Sulit bagi saya melihat Raga tidak berdaya sementara sebelumnya dia adalah anak yang selalu bisa diandalkan. Saya meminta pendapat papanya Raga mengenai kamu dan menurutnya mungkin tidak apa-apa untuk saat ini mengizinkan kamu membantu Raga dari shock dan mungkin trauma yang sekarang dia rasakan. Saya sempat berpikir untuk berhenti bekerja dan merawat Raga di rumah, tapi menurut papanya hal itu hanya akan membuat Raga merasa lebih frustasi karena dia pasti akan merasa tidak berdaya dengan merepotkan dan menjadi beban pada kami."

Lily terdiam mendengar semua penuturan Diany, memerhatikan betapa lelahnya wajah wanita di hadapannya itu.

"Saya juga berpikir bahwa kehadiran orang lain yang tidak dikenalnya mungkin akan membantu memulihkan psikis dan emosi Raga karena dia tidak akan merasa merepotkan keluarganya. Saya sempat berpikir akan mempekerjakan seorang perawat untuknya, tetapi pasti Raga akan menolak. Jadi kali ini saya yang memohon, tolong bantu Raga. Hanya kamu yang bisa membantunya." Wanita itu menggenggam tangan Lily dengan lembut.

Sementara Lily dengan perasaan campur aduk hanya bisa membalas dengan anggukan dan senyum yang sedikit lega. Setidaknya niat baiknya disambut dengan tangan terbuka oleh keluarga Raga.

"Lily yang berterima kasih karena Tante dan keluarga mau menerima bantuan saya."

"Tentu saja, Nak, saya juga minta maaf karena harus membebankan ini pada kamu." Diany tersenyum dan mengelus puncak kepala Lily dengan lembut.

"Di jam seperti ini dia hanya sendirian di rumah karena Kean masih sekolah, papanya belum kembali dari tugas luar kota dan saya juga harus bekerja," jelas Diany. "Eh, apa kamu tidak pergi kuliah?"

"Saya masih dalam masa cuti penyembuhan, Tante."

"Tapi kamu justru repot-repot bantu Raga?"

"Nggak apa-apa, Tante. Ini tanggung jawab Lily juga."

"Ini beneran tidak apa-apa? Saya juga tidak mau kuliah kamu terganggu."

Lily menggeleng dan menyunggingkan seulas senyum.

"Ya sudah, kamu boleh menemui Raga sekarang."

"Kalau begitu Lily akan berangkat sekarang." Gadis itu beranjak lalu berpamitan.

"Lily, tunggu. Ini kunci rumah, bisa kamu gunakan untuk membuka pintu depan karena Raga tidak bisa membuka pintu." Diany menyerahkan sebuah kunci ke tangan Lily.

"Tapi bukankah terlalu lancang jika Lily harus masuk sendiri ke dalam8 rumah, Tante?"

"Saya sudah memberi izin, jadi tidak apa-apa."

"Nggak usah, Tante, saya tunggu saja jawaban Raga nanti."

Bagi Lily rasanya akan aneh jika dia tiba-tiba masuk ke dalam rumah orang lain dan pasti Raga akan semakin berprasangka buruk padanya jika dia tiba-tiba menyelinap masuk rumahnya. Gadis itu kembali merasa bersalah dan khawatir membayangkan betapa sulitnya jika Raga harus berjalan mencari arah pintu. Akan tetapi, mungkin itu lebih baik daripada menyelinap seperti pencuri.

Lily sampai di rumah Raga dan berjalan membuka pintu pagar yang tidak dikunci menuju pintu depan. Dihelanya napas pelan dan mulai menekan bel pintu.

Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.

Lily menghitung dalam hati, menunggu.

Raga mungkin tidak akan pergi untuk membuka pintu, pasti sulit baginya melakukan hal itu.

Kenapa aku malah mempersulit dirinya dengan menolak bantuan Tante Diany tadi?

Tapi 'kan jika aku menerima kunci rumah lalu tiba-tiba masuk pasti Raga tidak akan merasa nyaman.

Saat Lily berpikir untuk kembali ke butik tiba-tiba dilihatnya mobil Diany berhenti di depan rumah.

"Tante kenapa ada di sini?" tanyanya bingung melihat Diany berjalan menghampirinya.

"Saya khawatir sama kamu. Saya pikir mungkin Raga tidak akan membuka pintu. Dan ternyata benar 'kan?"

Lily tersenyum membenarkan perkataan Diany.

"Baiklah biar saya yang mengawalinya untuk kamu." Kemudian Diany membuka pintu dan mempersilahkan Lily untuk masuk.

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro