Bab 12. Pertimbangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕
.
.
.

"Raga, Nak. Mama pulang," ucap Diany sedikit lebih keras memanggil Raga.

"Mama? Kenapa kembali pulang? Bukannya Mama baru aja berangkat, apa ada yang ketinggalan?" Raga menjawab dan muncul dari dalam kamarnya berjalan pelan menggunakan tongkatnya.

"Iya, ada data pelanggan Mama yang ketinggalan. Trus tadi pas Mama dalam perjalanan pulang, Mama bertemu seseorang. Kebetulan tujuan kita sama, jadi Mama mengajaknya barengan." Diany tersenyum dan mengangguk pada Lily.

"Siapa, Ma?" tanya Raga.

"Hai Raga, ini aku lagi," sapa Lily pada Raga yang seketika langsung mengubah ekspresinya.

"Sayang, Mama harus segera kembali. Kamu di rumah dengan Lily, ya?"

Belum sempat Raga menjawab, Diany mengusap pelan wajah putranya sebelum pergi dan tersenyum pada Lily memberi semangat.

"Tapi, Ma, Raga nggak perlu ...," bantah Raga, tapi sang mama sudah menutup pintu depan meninggalkan mereka berdua.

Beberapa saat tidak ada yang berbicara hingga rasanya suasana membeku, tidak menyenangkan.

"Ada perlu apa datang lagi?" tanya Raga kemudian memecah keheningan.

"Aku sudah bilang kalau aku mau bantu kamu. Jadi, aku datang untuk menepati janjiku," jawab Lily menatap ekspresi Raga yang berubah kesal.

"Aku tidak perlu bantuan. Pulang sana."

Lily tertegun mendengar kata-kata Raga yang dingin dan ketus. Belum sempat dirinya membalas ucapan Raga, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi dering telepon rumah.

"Biar aku saja!" Lalu Lily bergegas melangkah untuk menjawab telepon di ruang tengah.

"Halo, dengan kediaman Ibu Diany. Ada yang bisa dibantu?" jawab gadis itu.

"Ah, iya, tunggu sebentar." Gadis itu lalu berjalan mendekati Raga yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. "Hei, ada telepon untuk kamu dari seseorang bernama Erlangga," ucapnya pada Raga yang kemudian berjalan menuju ruang tengah untuk menjawab telepon, tapi salah arah.

"Hei, ke arah sini." Lily menggandeng tangannya untuk membawa pemuda itu ke ruang tengah, tetapi Raga menarik tangannya dengan kesal.

"Pergi, aku tidak butuh bantuanmu," ucapnya lagi dengan ketus dan dingin.

"Tapi kamu butuh bantuan, Raga," gerutu gadis itu dan mengikuti Raga dari belakang.

Raga mendecak kesal lalu segera menjawab telepon. Untuk beberapa saat dia hanya mendengarkan dan menjawab dengan kata-kata pendek seperti 'ya', 'tidak'. Lalu setelahnya dia menutup pembicaraan dan terdiam.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Lily pelan saat pemuda itu tak kunjung bergerak.

"Kenapa masih ada di sini? Pulang sana."

Lily menatap agak kesal. "Kenapa kamu terus mengusirku? Aku hanya ingin membantu."

"Aku tidak butuh bantuan."

"Aku tidak mau pulang. Aku ada di sini untuk membantumu, lagi pula ibumu sudah memberi izin," jawab gadis itu keras kepala.

"Terserah."

Lalu Raga perlahan berjalan menuju kamarnya dan menutup pintunya keras.

Apa-apaan dia?

Lily menggelengkan kepalanya, tak habis pikir kenapa dia bersikeras ingin membantu pemuda yang jelas-jelas sangat membencinya. Meski Lily sebenarnya memahami alasan sikap Raga begitu. Dia pasti sangat tertekan dengan kondisinya.

Menghela napasnya pelan, Lily berjalan menuju ruang tamu dan duduk di sana. Mengambil ponsel dari dalam tasnya lalu mengirimkan pesan pada Diany.

Tante Diany, maaf merepotkan dan terima kasih atas bantuannya tadi.

Tidak apa-apa. Bagaimana? Apakah Raga marah-marah?

Ya, dia kesal, tapi tidak semarah sebelumnya.

Lalu apa yang kalian lakukan sekarang?

Dia meminta saya untuk pulang dan sekarang dia mengurung dirinya di dalam kamar.

Astaga! Maaf ya Lily, saya akan bicara padanya. Lalu kamu bagaimana sekarang?

Saya menunggu di ruang tamu. Saya tidak mau pulang, tidak apa-apa kan, Tante?

Tentu saja, saya tidak merasa keberatan hanya saja saya khawatir tentang sikap Raga. Sekarang saya tidak bisa meninggalkan butik karena ada pelanggan yang datang. Namun kamu bisa hubungi saya jika perlu bantuan.

Ya, terima kasih, Tante Diany.

Lily menutup ponselnya lalu kembali menatap pintu kamar Raga yang tertutup. Dia benar-benar keras kepala, meski dia butuh bantuan, tapi dengan harga diri yang tinggi dia berusaha untuk tidak meminta pertolongan dan melakukannya sendiri.

Sejak awal Lily tahu ini akan sulit, tapi rasa bersalahnya lebih besar hingga membuatnya sangat ingin melakukan ini. Mungkin ini bisa disebut pembalasan atas sikapnya di masa lalu. Sikap yang sebelumnya lari dari kenyataan yang ada di depan mata.

Sambil menunggu Raga, Lily melayangkan pandangan mengamati setiap sudut dinding. Ada sebuah foto keluarga dalam ukuran besar yang di pasang di dinding, lalu foto masing-masing anggota keluarga, foto masa kecil maupun foto masa kini. Dilihatnya ada foto Raga di sana yang tersenyum dengan beberapa orang yang mungkin teman-temannya, dia terlihat begitu bersemangat sangat berbeda dengan yang sosoknya sekarang. Keluarga ini memiliki empat anggota keluarga.

Terdengar suara pintu dibuka dan Lily mendapati Raga keluar dari kamarnya lalu berhenti di ambang pintu.

"Hei."

Lily menatapnya sejenak, berpikir apa Raga sedang bicara padanya.

"Ya?" jawab gadis itu menjawab ragu.

"Bukannya aku menyuruhmu pulang? Kenapa masih ada di sini?" tanyanya masih dengan nada dingin dan ketus.

"Bukannya aku juga sudah mengatakan kalau aku di sini untuk bantu kamu? Aku tidak akan pulang," jawab Lily tidak kalah keras kepala.

Jika Raga bersikeras untuk mengusirnya, dia juga akan bersikeras untuk tetap ada di sini. Dia masih diam di ambang pintu kamarnya.

"Apa kamu butuh sesuatu untuk kubantu?" tanya gadis itu hati-hati bersiap jika Raga mulai ketus.

Diam. Tak ada jawaban.

Namun, ekspresinya terlihat begitu serius entah apa yang sedang dia pikirkan.

"Kamu kasihan padaku, ya? Apa aku terlihat sangat menyedihkan di matamu?" Lagi-lagi dengan nada yang dingin.

Lily menghela napas pelan menatapnya. "Aku kan sudah mengatakannya padamu, aku membantumu karena rasa bersalah dan tanggung jawab. Bukan karena aku kasihan, kenapa kamu terus menanyakan hal itu dan tidak mempercayaiku?"

"Jika kamu ada dalam posisiku, apa kamu akan begitu saja percaya padaku jika aku membantumu? Apa kamu akan merasa baik-baik saja menerima bantuan tanpa merasa bahwa keadaanmu tidak menyedihkan?" tanyanya ketus.

Lily terdiam, dia tahu sulit menerima jika tiba-tiba menjadi cacat dan itu akan terasa begitu menyedihkan.

"Jika aku yang ada dalam posisimu, aku berpikir dengan baik untuk belajar menerima keadaan meski itu sangat sulit. Tentu saja aku akan menerima bantuan orang lain bahkan mungkin memanfaatkan kebaikanmu untuk membalas sakit dan kemarahanku."

"Itu artinya kamu nggak peduli untuk memanfaatkan orang lain yang membantumu?"

"Ya, itu lebih baik kan daripada aku menolak bantuan dan memperburuk keadaanku dengan amarah serta sibuk mengasihani diri sendiri," jawab gadis itu tegas, dia sengaja mengatakan hal yang sedikit kasar dengan kiasan 'memanfaatkan orang lain' agar Raga mau berpikir dan menerima bantuannya meskipun nantinya Raga benar-benar berpikir begitu.

Lily tidak peduli bagaimana Raga akan memanfaatkannya nanti, tapi apa pun itu asal pemuda itu mau menerima bantuannya.

Raga masih diam bersandar di ambang pintu dan menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Ekspresinya memang tidak bisa ditebak, hanya saja kerutan di keningnya membuktikan dia memikirkan sesuatu. Dan Lily berharap pemuda itu mau menerima bantuannya.

.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro