Bab 14. Masalah Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕
.
.
.

Dua orang yang hanya diam itu, larut dalam pikiran masing-masing selama perjalanan.

Mereka menuju kantor tempat Raga bekerja. Bukan sebuah perusahaan besar, karena ini hanya cabang dari salah satu perusahaan milik sang papa. Raga dipercaya memegang cabang ini sejak dia masih menjadi mahasiswa tingkat akhir. Kemampuannya cukup diakui oleh beberapa klien yang sempat ditanganinya selama dia membantu papanya dulu.

Hingga setelah lulus, Raga membuat timnya sendiri dan mengurus cabang ini bersama sahabatnya yang sama-sama memiliki kemampuan luar biasa, Erlangga, Ardith, dan Dean.

Proyek yang mereka tangani belumlah besar seperti halnya perusahan inti. Namun, perlahan Raga dan timnya bisa mendapatkan klien yang percaya dengan kinerja mereka. Seperti proyek yang sedang mereka tangani kali ini, sebelum Raga kecelakaan. Mereka mendapatkan proyek untuk mengerjakan sebuah kawasan hunian di pinggiran kota. Raga mengerjakan hampir sebagian besar desain untuk itu.

Sebelum kecelakaan itu terjadi.
Sebelum dunianya gelap seperti sekarang.

"Apa kita udah sampai? Kita ada di Jalan Darmawangsa sekarang, jadi di gedung sebelah mana letak kantornya?" Suara Lily menyela keheningan yang sedari tadi bertahan di antara mereka.

"Gedung di ujung paling Barat dari jalan masuk utama sebelum persimpangan," arah Raga memberi instruksi sesuai dengan ingatan yang ada di kepalanya.

"Oke."

Lily melajukan mobilnya pelan menyusuri sepanjang jalan mencari gedung kantor yang dimaksud. Tak lama kemudian, dia berhenti.

"Di sini? Yang depan pintu kaca bertuliskan 'Cubic Property'?"

"Ya."

"Oke, aku akan bantu kamu turun—"

"Nggak perlu. Kamu turun, dan temui seseorang bernama Erlangga. Bawa dia kemari."

"Aku sendirian?" tanyanya bingung.

"Kamu mau aku keluar, dan terlihat menyedihkan di dalam sana?"

"Iya, baiklah, nggak perlu marah-marah." Lily membuka pintu lalu menutupnya kembali, meninggalkan Raga sendirian.

Baiklah.
Aku tidak ingin orang-orang tahu bahwa aku buta.
Aku tidak mau dipandang rendah, atau diremehkan karena keadaanku.
Aku tidak mau jadi bahan gosip orang-orang.

***

"Raga? Lo datang ke sini? Astaga!"

Seorang pemuda berwajah lembut dan ramah, kini sedang menatap terkejut pada Raga. Keduanya ada di bangku belakang mobil sementara Lily berada di bangku depan di balik kemudi, mereka sudah berpindah ke area parkiran gedung.

"Lo kenapa batu banget sih, nggak mau dijenguk saat di Rumah sakit? Gue panik, ngerasa bersalah, trus lo sekarang malah datang kemari," ucapnya sambil menepuk-nepuk pelan bahu Raga.

"Santai aja, Er, gue nggak apa-apa, kok. Buktinya gue bisa datang ke sini dengan cepat setelah mendengar kepanikan lo di telepon." Raga terkekeh kecil, meski sangat terlihat bahwa senyum itu hanya di bibirnya tak sampai ke hati.

Lily menghela napas kecil, menatap pria itu dari kaca, dengan tak percaya. Mudah sekali dia mengatakan hal itu, padahal sebelumnya dia menolak mentah-mentah bantuannya.

"Jadi gimana? Gue mesti melakukan apa? Jujur sih, Er, keadaan gue sekarang nggak bisa berguna banyak buat kerjaan kita. Gue rasa lebih baik kalau gue mengundurkan diri dari pekerjaan ini."

"Kenapa lo ngomong kayak gitu, sih! Lo adalah yang terbaik dari kita berempat. Lagipula lo adalah orang yang berusaha sangat keras untuk pekerjaan ini. Lo bahkan mati-matian berusaha untuk mendapatkan klien, dan membesarkan nama kantor kita."

Raga tersenyum samar mendengar ucapan Erlangga. "Tapi kita nggak bisa mengingkari, dengan keadaan gue yang sekarang kan, Er? Gue buta. Dan nggak ada arsitek buta di dunia ini."

"Raga ...." Erlangga tak bisa melanjutkan kata-katanya, menatap sahabatnya itu sejenak, dia sama sekali tidak menyangka nasib buruk akan terjadi pada Raga. Sahabat yang sangat dihormatinya.

"Tapi lo—" ucapannya terputus ketika melihat dua orang tiba-tiba mengetuk kaca mobil, menyipitkan pandang ke arah dalam.

"Erlangga, itu lo, kan? Kita berdua udah nyari lo ke mana-mana tau."

"Ya, kita harus segera mendapatkan solusi soal—Raga?" Salah seorang dari mereka tampak terkejut menyadari sosok yang ada di samping Erlangga.

"Ini beneran lo?" Pemuda berwajah cindo dan bertubuh jangkung segera membuka pintu mobil dan duduk di kursi sebelah Raga, merangkulnya dengan senyum lebar.

"Hai, Dit, hai, Dean." Raga menarik segaris senyum di ujung bibirnya menyapa dua orang yang tiba-tiba memergoki mereka.

"Gue nggak menyangka akan ketemu lo di sini. Sorry, Brother, gue nggak sempat menjenguk lo di Rumah sakit."

"Nggak apa-apa, santai ajalah. Gue baik-baik aja, kok."

Tiba-tiba keheningan menyeruak di antara mereka, setelah saling bertukar kabar.

"Sorry, tapi gue denger lo kehilangan indera penglihatan, ya?" tanya pemuda berkulit putih yang sejak tadi hanya diam.

"Tapi Ga, lo keliatan baik-baik aja dan normal kok, cuma kayak orang ngelamun aja."

Lily melirik ke arah Raga yang masih bertahan dengan wajah tanpa ekspresinya. Sementara tiga yang lain saling menatap sekilas sebelum memilih untuk diam dan menunduk.

"Seperti yang kalian lihat sekarang, gue memang buta, gue nggak tahu gimana harus menjelaskannya ke kalian," jawab Raga setelah memaksakan kembali seulas senyuman di wajahnya.

"Ga, maafin kita ya, bagi gue lo tetap Raga yang biasanya, kok."

"Kenapa jadi seriusan begini sih, ngomongnya? Kita seneng bisa liat lo lagi, Brother." Erlangga menepuk punggung Raga memberi semangat.

"Lo adalah seseorang yang membuat kita semua bisa kerja sama, sampai di titik ini, jadi apa pun itu, kita semua butuh lo, Ga."

"Iya, lo santai aja. Kita nggak masalah kok. Iya, kan?" ucap si pemuda cindo yang diangguki oleh kedua temannya.

"Ini kenapa kita ngobrol di parkiran, sih? Kenapa nggak masuk dan ngobrol di atas?"

"Ini tadi kalau kita berdua nggak jalan ke sini nyari Erlangga, lo nggak akan ketemu kita, kan."

"Eh, tapi dari tadi sebenernya gue penasaran. Siapa cewek yang duduk di bangku depan? Kita nggak pernah liat sebelumnya," bisik pemuda cindo pada Raga, yang tentu saja terdengar oleh Lily.

"Aku juga mau nanya dari tadi sih, tapi kamu ini, Lily bukan, sih?" tanya Erlangga akhirnya membuat Lily kaget, menoleh pada Erlangga.

"Kenapa... kamu siapa?" tanya Lily ragu.

"Jadi kamu beneran Lily? Astaga, kamu lupa sama aku? Aku Erlangga, temannya Adel yang beberapa waktu lalu pernah ketemu kamu di kafe saat jam makan siang," jelas Erlangga dengan mata berbinar senang, sementara gadis di hadapannya itu mengingat.

"O-oh, kamu yang waktu itu, ya?" ucap Lily yang jujur lupa dengan Erlangga. "Maaf ya, aku nggak ingat tadi."

"Er, kamu kenal dia?" sela Raga yang mengernyit heran.

"Iya, pernah ketemu sekali. Dia temannya temanku," jelas Erlangga.

"Wah, apa, nih? Kok, lo udah kenal duluan, sih, Er? Dia siapanya lo, Ga?" Kali ini si pemuda berkulit putih yang bertanya.

"Dia asisten Mama. Tadi gue minta tolong untuk anterin ke sini." Raga mengatakannya dengan suara yang datar, membuat Lily sedikit heran tentu saja.

Asisten ibunya, katanya?
Apakah pemuda ini sudah tidak waras dan kehilangan akal?
Sejak kapan Lily menjadi asisten ibunya?

Lily menatapnya dengan tatapan 'awas!' Namun, pemuda itu tidak akan melihat ekspresinya sekarang, Lily tentu saja harus bersikap sopan di hadapan teman-teman Raga.

Mendengar penjelasan Raga barusan, tentu membuat Erlangga mengernyit heran, karena setahunya Lily bekerja di kafe, kan? Apa dia sudah pindah bekerja di butik Mamanya Raga?

"Kenalin, mereka adalah teman-temanku. Erlangga, Ardith, sama Dean," lanjut Raga memperkenalkan.

"Hai. Senang bertemu kalian. Aku—"

"Jadi bagaimana dengan proyeknya?" Raga dengan cepat memotong kalimat Lily yang akan memperkenalkan diri.

Gadis itu mendelik kesal pada Raga yang menurutnya sangat tidak sopan, Lily kemudian hanya mengangguk sopan sebagai sapaan pada ketiganya.

"Jadi begini, proyek itu mengalami sedikit masalah semenjak nggak ada. Klien ingin gambaran desain terakhir yang sebelumnya udah kita bicarakan. Masalah utamanya adalah, terakhir yang ketemuan sama klien waktu itu adalah lo, Ga. Cuma lo yang tahu detail dari desainnya kayak gimana."

"Kita udah usahakan untuk mengulang kembali pembahasan desainnya, tapi klien menolak. Dia mau desain yang sama persis seperti yang lo jelaskan ke dia. Tentu aja kita semua bingung, kita nggak mungkin mengganggu lo karena keadaan, dan masa pemulihan yang harus lo jalani," jelas Ardith.

Raga hanya terdiam mendengar penjelasan itu. Entah apa yang dia pikirkan sekarang.

"Makanya, pas tau kalau lo udah pulang ke rumah, gue memutuskan untuk menghubungi. Kita sudah menghadapi jalan buntu karena klien terus menolak semua upaya kita untuk membicarakan perubahan desainnya," jelas Erlangga.

Semua orang terdiam, begitu juga Lily yang kini mengamati perubahan ekspresi Raga. Lily sadar bahwa sepertinya dia sudah menimbulkan masalah besar untuk Raga.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro