Bab 15. Support Sistem

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Lily baru saja merebahkan dirinya di atas tempat tidur, ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka menampakkan sosok Ares yang berdiri di ambang pintu dengan satu tangan berkacak pinggang, serta raut wajah kesal.

"Dari mana saja, Ly? Kenapa seharian nggak jawab telepon dari Kakak? Kenapa pulang semalam ini, kamu ke mana aja?" Ares mulai memberondong Lily dengan pertanyaan, berjalan menghampiri Lily yang kini merubah posisinya menjadi duduk di tempat tidurnya.

"Lily nggak ke mana-mana, Kak, tadi juga sudah minta izin ke Bang Farrel. Kan Kak Ares tadi pagi nggak ada, udah berangkat kerja, maaf, ya." Lily tersenyum menatap kakaknya yang masih merengut kesal.

"Iya, tapi kan kamu bisa telepon dulu. Dan lagi, kamu juga tadi nggak menjawab telepon dari Kakak. Kenapa?"

"Maaf Kak, janji deh nggak akan seperti itu lagi." Lily meraih tangan Ares yang masih kesal, dan menyunggingkan sebuah senyuman menyesal pada sang kakak.

"Kakak maafkan. Jawab pertanyaan Kakak, kamu dari mana?"

Masih dengan senyum yang kini samar menghiasi bibirnya, Lily berpikir bagaimana menjawab pertanyaan sang kakak. Sudah pasti kakaknya itu akan marah. Meski dia bilang setuju untuk mendukung Lily, tapi jika dia tahu seharian ini Lily bersama Raga pasti Ares tidak akan menyukainya.

"Kalo Adek nggak mau jawab, jangan dipaksa, Res. Kasihan tuh, dia kayaknya capek deh. Biarin Adek istirahat dulu, nanti kita bicarakan lagi." Farrel yang kini berdiri di ambang pintu dengan dua tangan dimasukkan ke saku celananya, menatap kedua adiknya yang juga balas menatap kedatangannya terkejut.

"Abang udah pulang? Lily nggak dengar suara Abang pulang." Lily menatap abangnya dengan penuh terima kasih. Setidaknya kedatangan Farrel menghentikan Ares untuk bertanya lagi.

"Kalian terlalu serius ngobrolnya. Jadinya Abang pulang nggak ada yang menyambut deh." Farrel berjalan mendekati keduanya, menarik kursi belajar Lily untuk duduk di dekat tempat tidur.

"Ada apa lagi sih, Res?"

"Ck, Adek pulang terlambat. Dari tadi gue telepon nggak diangkat. Gue cuma pengen tahu Adek dari mana aja seharian," jelas Ares yang masih merengut kesal.

"Tadi Adek udah minta izin sama gue kok. Lo nggak perlu marah, entar cepet tua loh." Farrel mengacak puncak kepala adik laki-lakinya itu.

"Apaan sih lo, geli tahu liatnya. Nggak usah sok manis sama gue." Ares menepis tangan Farrel di kepalanya, sementara Farrel dan Lily tertawa karena tingkahnya.

"Gue tahu ada yang kalian sembunyikan. Gue bisa merasakannya. Jangan menyembunyikan apa pun dari gue, insting gue tajam."

"Emang kita menyembunyikan hal apa, Ly?" Farrel menatap Lily dan mengedipkan sebelah matanya usil.

"Apa ya, Bang? Nggak ada kok."

"Kalau begitu kamu dari mana aja?" Ares masih tidak mau menyerah pada pertanyaannya yang sedari tadi tidak dijawab oleh Lily.

Dilihatnya kakak dan adiknya sedang saling melempar tatap, dan itu berarti ada sesuatu.

"Lo cerewet deh, Res." Farrel menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan. "Dia hari ini ketemu sama Raga. Ini hari pertama Lily mencoba untuk mulai bantuin Raga."

Ares menatap keduanya bergantian. Ekspresinya menunjukkan ketidaksukaan mendengar apa yang terjadi. Kerutan dalam di dahinya menunjukkan kekesalan yang luar biasa, tetapi dia tidak bisa mengucapkan apa pun untuk menanggapinya selain menghela napasnya dengan kasar.

Lily yang menyadari ekspresi kakaknya, menggeser posisinya untuk duduk di samping Ares. Memeluk lengan sang kakak dan bersandar di bahunya.

"Lily tahu kalau Kak Ares nggak suka. Maafin Lily ya, Kak, Lily hanya nggak mau Kak Ares khawatir berlebihan. Lily hanya ingin Kak Ares percaya dan mendukung Lily saat ini, ya?"

Ares masih diam tanpa menanggapi ucapan Lily, berusaha mengabaikan rasa kesal karena keputusan Lily yang menurutnya sangat berlebihan. Bukan berarti Ares tidak berperasaan atau tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Akan tetapi, baginya menolong pemuda itu dengan mencarikan donor mata sudah cukup untuk membantu. Tidak perlu sampai membantunya setiap saat.

Itu bodoh.

"Kak?"

Menghela napas pelan, ditatapnya adik kesayangannya itu. "Kakak nggak tahu harus berkata atau berbuat apa dengan keputusan kamu, meski Kakak nggak suka tapi kamu akan tetap melakukannya, kan."

"Lo cukup bilang 'ya' aja, Res. Cukup dengan lo senyum dan nggak marah setiap kali Lily melakukan sesuatu untuk bantuin Raga," jawab Farrel.

Ares tidak menjawab, belum bisa ikhlas mengizinkan dan memutuskan apa yang akan dia lakukan sekarang. Dilarang pun Lily pasti tidak mau menurut.

"Gue nggak bisa Rel, maaf. Tapi bukan berarti Kakak nggak peduli dengan perasaan kamu, Ly. Hanya saja Kakak masih belum bisa menerima keputusan kamu. Tapi Kakak minta, apa pun yang akan kamu lakukan beritahu Kakak. Jangan membuat khawatir."

Mendengar itu, Lily merasakan keharuan yang menghangat dalam hatinya karena perhatian kedua kakaknya yang selalu berusaha mengerti dirinya.

"Lily seneng Kakak mengatakan hal ini, Lily janji nggak akan membuat Kak Ares khawatir. Lily sayang Kak Ares." Dipeluknya sang kakak yang meskipun masih bersikukuh dengan keputusannya. Lily tahu bahwa kakaknya itu sangat menyayanginya.

"Masa Ares aja yang dipeluk, padahal aku loh yang setuju dan kasih izin pertama." Farrel menatap keduanya pura-pura mendelik kesal.

"Sok drama bener ini Mas-mas satu. Sini!" Ares menarik tangan Farrel hingga mereka bertiga berpelukan, tersenyum kemudian tergelak dalam kehangatan kasih sayang satu sama lainnya.

Begitulah seharusnya keluarga, selalu ada untuk satu dan lainnya. Rasa kasih dan sayang yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka adalah sebagai bekal dalam menjalani kehidupan mereka sekarang hingga nanti.

"Jadi apa yang kamu lakukan hari ini? Kok pulangnya malem," tanya Ares lagi setelah beberapa saat, sekarang mereka bertiga sudah berpindah menikmati makan malam di ruang makan.

"Tadi Lily nganterin dia ke kantornya. Sebenarnya dia nggak mau, tapi pada akhirnya mau juga. Lily malah merasa semakin bersalah." Lily menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

"Memangnya dia ngapain sampai kamu merasa seperti itu?" tanya Farrel. Dia belum bisa menilai sosok pemuda bernama Raga itu meski sudah beberapa kali bertemu.

"Dia tuh orang yang gengsinya tinggi dan agak pemarah, untungnya niat Lily baik untuk menolong jadi bisa menahan sabar menghadapi dia. Tapi wajar sih, Lily paham kenapa dia bersikap seperti itu."

Masing-masing kemudian hanya diam, tidak bisa mengatakan apa pun karena faktanya memang mereka paham bagaimana rasanya jika harus beradaptasi dengan hidup baru yang sama sekali tidak diinginkan.

"Lily merasa sepertinya sudah bikin pekerjaan dia dalam masalah besar."

"Kenapa?" Ares menatap adiknya itu penasaran.

"Dia bekerja di perusahaan kontraktor atau sejenis developer arsitek gitu dan dia sebagai salah seorang arsiteknya."

"Arsitek?" Ares sedikit terkejut mendengar informasi ini.

"Iya, tadi Lily menemani dia pergi ke kantornya karena ada ada masalah dengan proyek yang sedang mereka tangani. Dan sepertinya itu berkaitan dengan desain dari klien mereka, sementara Raga yang bertanggung jawab atas desain itu sebelum kecelakaan terjadi." Lily mengucapkan kalimat terakhirnya dengan lirih, merasakan sebuah perasaan tidak nyaman mengingat semua yang terjadi tadi siang.

"Lalu gimana? Apa yang terjadi di sana?" tanya Ares melihat adiknya yang tiba-tiba murung.

"Nggak tahu juga, tadi mereka masih membicarakan hal itu."

Farrel dan Ares saling menatap, Ares menyodorkan segelas air putih pada Lily. "Minum dulu gih."

Lily meraih gelas yang disodorkan Ares, meminum airnya lalu menatap kedua kakaknya.

"Apa yang harus Lily lakukan untuk menebus kesalahan itu, Kak? Sepertinya Lily beneran udah mengacaukan hidup Raga," ucapnya mengembuskan napas pelan. Pandangannya beradu dengan tatapan kedua kakaknya.

"Kamu nggak boleh merasa seperti itu, Abang tahu kamu merasa sangat bersalah. Tapi ingat, kecelakaan bukan sesuatu yang diinginkan atau disengaja untuk melukai orang lain. Itu adalah takdir yang tidak bisa kita hindari. Jadi jangan terlalu menyalahkan diri sendiri."

"Sudah cukup Kakak melihat kamu kehilangan senyum sejak kepergian Ayah dan Bunda. Kakak tidak ingin hal ini semakin membuat kamu patah harapan dan membuat kamu semakin tidak bahagia. Ingat, selalu ada Bang Farrel dan Kakak di samping kamu. Kamu bisa minta apa pun jika kamu merasa sulit." Ares menghela napas panjang lalu melirik kakaknya sekilas.

"Lalu, jika kamu sudah berniat untuk menolong Raga, kamu harus lakukan yang terbaik. Kamu harus tersenyum agar orang lain bisa merasakan ketulusan yang kamu beri. Kamu meminta Kakak dan Abang untuk mendukung keputusanmu, jadi lakukan yang terbaik. Gimana kamu mau menolongnya kalau kamu sendiri tidak mampu mengendalikan diri?"

Ares meraih tangan Lily lalu menggenggamnya, dia sangat mengerti adiknya memiliki perasaan yang sangat rapuh. Dan tugas merekalah untuk selalu menguatkannya.

"Makasih Abang, Kakak. Lily nggak tahu bagaimana harus menghadapi semuanya tanpa kalian."

"Iya, sekarang cepat habisin makannya lalu istirahat. jangan murung, kamu harus semangat." Farrel tersenyum melihat sang adik yang mengangguk dengan patuh.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro