Bab 17. Rencana Bantuan dan Pertemuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Hari ini Lily berencana untuk menemui Raga lagi. Karenanya, siang itu setelah mengurus kafe dia bergegas menemui Diany di butiknya. Dia belum memiliki keberanian untuk langsung datang ke rumah mereka.

"Hari ini kamu datang? Saya sangat sibuk sehingga tidak sempat menghubungi kamu beberapa waktu yang lalu," ujar Diany yang menyambut Lily dengan ramah.

"Maaf Tante, seharusnya Lily memberi kabar dulu dan seharusnya Lily datang setiap hari seperti yang Lily katakan untuk membantu Raga." Lily tersenyum tipis.

Kesibukan kafe Bang Farrel yang akhir-akhir ini membuatnya tidak bisa mengunjungi Raga selama beberapa hari bahkan setelah mereka pergi bersama. Apalagi minggu ini dia sudah harus masuk kuliah dan mengejar ketertinggalannya.

"Membantu Raga bukan berarti setiap hari kamu harus datang Sayang, kamu juga memiliki urusan sendiri yang harus kamu lakukan. Jadi tidak perlu minta maaf. Tante cukup senang kamu mau menemui Raga."

Kemudian Diany mengajak Lily untuk berbincang sebentar di ruangannya. Banyak hal yang baru Lily perhatikan bahwa di butik ini Tante Diany lebih terlihat tegar dan selalu tersenyum. Seolah ada dunia lain yang bukan kepribadian Tante Diany di rumah. Bukan berarti Beliau terlihat tidak bahagia di rumah, hanya saja Beliau lebih menampakkan sisi emosional seorang ibu. Namun, di sini Beliau tampak menjadi diri sendiri, ada sebuah kebanggaan tersendiri yang terlihat.

"Tante Diany merancang sendiri semua pakaian di sini?" tanya Lily yang kini mengamati beberapa koleksi pakaian yang terpasang di mannequin.

"Iya. Saya sejak dulu suka sekali membuat desain pakaian. Lalu saya perlahan belajar menjahit dan menggabungkan kedua kesenangan itu hingga menghasilkan sebuah karya yang membuat saya semakin mencintai pekerjaan ini," jelas Diany dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.

"Mungkin itu alasan kenapa Raga menjadi seorang arsitek, dia memiliki bakat dari Tante," ucap Lily menatap wanita di hadapannya itu dengan memuji.

"Mungkin iya, tapi saya rasa bakat itu diturunkan oleh papanya. Hal itu jugalah yang selalu Tante kagumi."

"Papanya Raga?"

"Ya, papanya juga seorang arsitek. Raga sangat mengagumi papanya." Pandangan Diany menerawang dengan senyum masih terukir di bibirnya seolah mengingat kembali kenangan yang indah.

"Oh, saya baru ingat dan mau bertanya pada kamu. Apa sebelum ini Raga mengajak kamu pergi ke kantornya?"

"Ya, Tante."

"Apa benar ada masalah dengan proyeknya?" tanya Diany menatap Lily serius.

"Iya Tante, Lily mendengar ada masalah dengan proyek yang sedang mereka tangani. Dan itu sepertinya mengenai rancangan meeting akhir klien."

Diany tampak berpikir sebelum melanjutkan. "Apa kamu tahu, apa yang terjadi kemudian?"

Lily menunduk dengan ekspresi menyesal dan menggeleng pelan. "Lily tidak tahu. Mereka meminta Lily untuk menunggu di luar."

Diany hanya bisa tersenyum pasrah dengan penjelasan Lily kemudian keduanya diam, sibuk tenggelam dengan pemikiran masing-masing. Saat kondisi mental Raga sudah semakin membaik justru masalah lain datang menghampiri.

"Sepertinya hari ini kamu tidak bisa bertemu Raga. Tadi pagi dia bilang ada janji dengan temannya."

"Oh, gitu ya ... kalau gitu besok Lily balik ke rumah Tante." Sebenarnya Lily sedikit kaget mendengar ucapan Diany barusan, tiba-tiba saja Raga pergi? Dengan siapa? Bukankah biasanya Diany selalu khawatir dengan Raga, tapi malah membiarkannya pergi? Berusaha berpikiran positif, Lily kemudian pamit untuk pulang.

.
.
.

"Mau kemana, Ly?" Ares menatap adiknya yang bergegas melintasi ruang tengah terburu-buru.

"Kak Ares udah pulang? Lily mau ke toko buku sebentar."

"Tumben? Mau beli apa?" Ares menatap heran adiknya itu yang kini berhenti dan menatapnya balik.

"Mau beli buku, dong, masa iya mau jajan?" Lily memutar matanya dengan kesal lalu menatap kakaknya tidak sabar. "Ya, udah, Lily berangkat dulu."

"Eh, tunggu! Kak Ares ikut!" Menyambar jaketnya yang masih tergeletak di atas sofa, Ares berlari menyusul Lily yang sudah menyalakan mobil.

"Kak Ares nggak capek? Bukannya barusan pulang?" tanya Lily melihat Ares yang duduk bersandar dengan mata terpejam di sebelahnya.

"Nggak, daripada di rumah sendirian. Lagian Farrel juga nggak ada di rumah."

"Iya deh, oke," jawab Lily sekilas sebelum melajukan mobilnya menuju toko buku.

Ya, Lily ingin membeli beberapa buku mengenai kearsitekan dasar dan sejenisnya. Mengingat dia mungkin akan sering mendengar istilah-istilah arsitek saat menemani Raga. Selain itu, jika dia ingin membantu pemuda itu, sepertinya dia harus belajar mengenai ilmu kearsitekan lebih dalam. Setidaknya itu salah satu hal yang bisa dilakukannya untuk totalitas membantu.

Sampai di tempat tujuan, Lily terpaksa meninggalkan Ares yang akhirnya tertidur di perjalanan dalam mobil. Dia tahu kakaknya itu pasti lelah sepulang tugas jaga malamnya, tetapi memaksakan diri untuk menemaninya. Dia tidak mau mengganggu istirahat kakaknya itu.

Makasih ya, Kak, Lily beruntung memiliki Kakak.

Setelah memastikan kakaknya aman dalam mobil, Lily masuk ke dalam toko. Sudah lama Lily tidak pergi ke toko buku sejak kepergian kedua orang tuanya. Dulu ayahnya yang selalu menemani dan juga sering mengajaknya ke toko buku. Ayahnya sibuk membeli buku kedokteran dan kesehatan sementara dia sibuk membeli novel-novel dari beberapa penulis favoritnya. Ayah yang selalu menuruti keinginannya memborong banyak buku hingga bundanya pasti akan mengomel saat mereka pulang. Bahkan berulang kali bundanya meledek agar Lily membuka sebuah perpustakaan mini untuk semua koleksi bukunya. Dan tentu saja Ayah akan membelanya. Setelah kepergian mereka, Lily seolah kehilangan semua hal menyenangkan itu dalam hidupnya termasuk membaca dan koleksi bukunya.

Lily menghela napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Semua ingatan itu menyeruak tiba-tiba dan membawanya kembali ke masa-masa indah kehidupannya dulu. Ya, dulu. Kenangan di mana semua kebahagiaan di dunia ini ada dalam hidupnya. Tersenyum getir, Lily melangkah dan menyusuri rak demi rak di sana.

Mencari buku-buku yang dia perlukan, hingga tanpa disadarinya kakinya melangkah ke arah deretan novel yang dulu sering dikunjunginya. Tangannya terulur mengambil sebuah buku yang menarik perhatiannya, 'Suddenly Love with You'. Setelah menimbang beberapa saat, gadis itu memutuskan untuk membelinya juga.

"Lily?"

Sebuah sapaan yang tidak asing membuatnya menoleh dan seketika seseorang yang sangat tidak ingin dia lihat berdiri di belakangnya.

"Wisnu."

Bergegas pemuda itu berjalan mendekati Lily, tampak terkejut dengan pertemuan mereka, juga tampak perasaan lega di wajahnya.

"Ly, aku tidak menyangka akan bertemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Kudengar kamu mengalami kecelakaan beberapa waktu yang lalu. Kamu baik-baik aja, kan?" tanyanya.

Kamu penyebab kecelakaan itu Wisnu, kenapa aku harus bertemu kamu di sini? batin Lily.

"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja."

"Ly, aku mau minta maaf sama kamu."

"Nggak ada yang perlu dimaafkan, Wisnu. Aku nggak apa-apa kok."

"Tapi aku menyesal Ly, kali ini aku benar-benar sudah keterlaluan. Dan sekali lagi aku bikin kamu benci sama aku. Maafin aku ya, Ly."

Kenapa kamu bersikap seperti itu, Wisnu? Mungkin kesalahannya ada padaku yang sedikit memupuk harapan pada pertemuan kita.

Seandainya kamu tahu kalau aku tidak bisa benar-benar benci kamu.

Dan itu ternyata lebih sakit dan sulit dari semua kesalahan yang sudah kamu lakukan padaku.

Lily mencoba untuk menyunggingkan sebuah senyum lalu menatap Wisnu.

"Aku sudah maafin kamu, Wisnu. Tidak ada hal yang tersisa lagi di antara kita. Karena itu, kamu nggak perlu merasa bersalah."

Wisnu menatap Lily dan saat itulah sebersit rasa bersalah tercermin di mata coklatnya, membuat Lily merasakan kembali gemuruh tak terkendali dari dalam dirinya. Entahlah, tapi pandangan Wisnu cukup tulus untuk mengatakan penyesalan.

"Aku duluan ya, Wisnu."

Lily segera pergi dan menyelamatkan hatinya dari Wisnu sekali lagi. Jika terus seperti ini, dia akan melakukan hal-hal bodoh lagi. Dan kecelakaan itu cukup menjadi hal paling bodoh yang disesalinya karena Wisnu.

"Tunggu, Ly! Sekali lagi aku minta maaf, aku benar-benar menyesal. Kita masih bisa berteman, kan?" Wisnu mengulurkan tangannya pada Lily yang dibalas dengan ragu oleh Lily.

"Tentu saja."

Lily berjalan sesegera mungkin menuju kasir lalu segera keluar dari toko setelah membayar buku belanjaannya. Dia berhenti sebentar sebelum menuju tempat parkir, menenangkan hatinya yang bergemuruh kembali.

Kenapa dari semua tempat di muka bumi ini dia harus bertemu dengan Wisnu lagi?

Apa memang takdir selalu membawanya berputar pada masa lalu?

Jika benar begitu, bukankah itu keterlaluan dan sangat kejam?

"Lily." Seketika Lily terlonjak kaget saat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Dilihatnya Ares tengah menatapnya dengan alis bertaut penuh tanya.

"Kak Ares! Lily kaget!" semburnya kesal pada sang kakak yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. Belum reda detak jantungnya karena Wisnu, ditambah lagi Ares yang tiba-tiba muncul.

"Kok aku ditinggal? Padahal 'kan aku mau ikutan beli buku," protes Ares yang kini memasang wajah manyun dan merengut pada sang adik.

"Tadi Kak Ares tidur, Lily nggak tega mau bangunin. Jadi Lily masuk sendirian. Ya, udah, maaf. Sekarang kita pulang yuk," ajak Lily yang mulai berjalan meninggalkan sang kakak yang masih kesal di belakangnya.

"Nggak bisa, kita makan dulu deh. Kakak laper, kamu yang traktir ya?" teriak Ares yang mulai berlari menyusul Lily yang sudah jauh di depan.

"Nggak mau."

"Jahat! Kan kamu udah ninggalin Kakak di mobil, sebagai gantinya kamu traktir. Nggak terima protes!" Ares menyunggingkan senyum manis ala evil-nya kemudian berjalan santai di samping Lily yang kini berpura-pura kesal dengan bibir mencebik.

Akhirnya mereka sampai di sebuah restoran Jepang yang ada di seberang taman kota. Restoran favoritnya Ares yang suka Japanese Food. Setelah memilih meja di dekat jendela kaca, keduanya duduk dan mulai sibuk dengan buku menu yang dibawakan oleh seorang pramusaji.

"Kak Ares bilang-bilang ke Bang Farrel, ya, kalau kita makan di sini? Kok Bang Farrel protes ke aku?" Lily menyodorkan ponselnya yang berisi chat Farrel ke hadapan Ares yang kini menyunggingkan senyum cerahnya.

"Iya, soalnya kemarin dia juga pamer kalo pergi sama kamu. Dan itu bikin aku kesel, kamu juga sih udah tahu kalau Kakak jadwalnya hampir nggak ada liburnya malah pergi-pergi sama Farrel. 'Kan aku juga pengen pergi sama kalian," protes Ares panjang lebar, saat ini ia tampak puas sudah membalas sang kakak.

Benar-benar berbeda dengan image-nya sebagai seorang dokter.

"Tapi kan Lily perginya karena ada perlu, Kak. Kita nggak pergi jalan-jalan atau semacamnya. Kenapa Kak Ares harus kesal dengan hal seperti itu? Lily bukannya nggak ngajak, tapi Lily kasihan kalau mengganggu atau merepotkan, sementara Lily tahu Kak Ares udah capek kerja."

Selalu saja terjadi hal seperti ini jika kedua kakaknya sudah saling rebut.

Menunggu makanan mereka datang Lily mengedarkan pandangannya ke sekeliling restoran. Suasana di sini memang menyenangkan dan damai. Temboknya yang berwarna coklat muda dengan properti interior khas mencerminkan nuansa Jepang. Musik instrumen yang mengalun lembut, lalu pohon bambu kecil yang ditanam di luar restoran terlihat menyenangkan jika dilihat dari jendela kaca dan juga pohon hias yang berbunga bagai sakura.

Ketika mengedarkan pandangannya mengamati dalam restoran, saat itulah tatapannya terpaku pada sudut ruangan. Seakan tidak percaya, Lily mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya berdiri dan melangkah menuju meja sudut tanpa menghiraukan pertanyaan Ares yang kebingungan melihat sikap Lily yang tiba-tiba.

Di sana duduk seorang pria yang akhir-akhir ini menyita sebagian perhatiannya, yang tidak disangkanya akan berada di tempat ini bersama seorang wanita cantik duduk di hadapannya.

"Raga? Kok kamu ada di sini?" ucap Lily begitu sampai di meja sudut.

Wanita cantik di hadapan Raga itu menoleh menatap Lily, tampak bingung karena kedatangan gadis itu tiba-tiba.

"Dia ... siapa, Ga?"

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro