Bab 18. Ketidaksengajaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

"Dia ... siapa, Ga?"

Raga menolehkan kepalanya ke arah Lily, seolah mengingat suara yang baru saja dia dengar.

"Kepala Batu? Itu, kamu?" tanyanya ragu.

"Hah?"

"Oh, bener sih kayaknya. Ngapain di sini?" tanya Raga mengernyit tak suka.

"Kamu yang ngapain di sini, pantesan aku mau ke rumah, tapi Tante Diany bilang kamu nggak ada."

"Memang kenapa kalau aku di sini, orang buta nggak boleh jalan-jalan? Begitu maksud kamu?" tanya Raga sarkas.

"Aku nggak ngomong begitu."

"Tapi, itu kan maksudmu? Dan lagi, kamu ngikutin aku sampai ke sini juga? Karena aku orang buta jadi nggak bisa bebas dan punya privasi, gitu?" lanjut Raga masih dengan sarkasme yang terang-terangan dia tunjukkan pada Lily.

"Kamu tuh, kenapa sih nggak pernah berpikir positif sama aku? Aku nggak ada pikiran jelek apa pun ke kamu, tapi kamu selalu menuding seolah aku satu-satunya orang jahat buat kamu," jawab Lily dengan menahan kekesalan karena ucapan Raga.

"Berpikir positif? Pada orang yang udah membuatku berada di keadaan seperti ini, aku pantas kan berpikir seperti itu?"

"Ehem! Hmm ...."

Deheman dari gadis cantik di depan Raga menginterupsi adu mulut keduanya, membuat mereka sadar kalau mereka sedang bersama orang lain di sana.

"Raga, kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Dia siapa?" tanya si gadis cantik lagi.

Raga mendengus keras masih dengan ekspresi kesal tergambar jelas di wajahnya.

"Dia si Kepala Batu, orang yang sudah membuatku menjadi buta."

Gadis cantik itu mengerjap tak percaya, kemudian pandangannya beralih pada Lily yang masih berdiri di samping meja mereka.

"Maksudnya?"

"Ya maksudnya, dia orang yang waktu itu kecelakaan sama aku Vine, dia yang bikin aku jadi buta kayak gini," jelas Raga lagi.

Gadis cantik itu menutup mulut saking terkejutnya mendengar informasi ini, manik abunya memindai Lily menyeluruh seolah memastikan.

"Yang Raga katakan itu benar?" tanyanya pelan.

Lily memaksakan seulas senyum di sudut bibirnya sebelum mengangguk tak nyaman.

"Iya, ah, hai nama saya Lily," sapa Lily yang mengangguk sopan pada si gadis cantik.

"Lily?" Panggilan dari belakangnya membuat Lily menoleh dan mendapati Ares berjalan ke arahnya dengan bingung.

"Kamu ngapain? Kakak tungguin di meja nggak balik-balik."

"Kak Ares, ini aku ketemu Raga," jawabnya takut-takut karena dia masih gugup menunggu reaksi si gadis cantik.

Meskipun sudah mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat yang tidak nyaman dari reaksi si gadis yang entah siapanya Raga, Lily tetap merasa takut. Ditambah keberadaan Ares bersamanya sekarang.

"Oh, Raga?"

"Mas Dokter, ya?" tanya Raga balik saat mendengar suara Ares.

"Iya ini saya, nggak nyangka ketemu kamu di sini. Saya dan Lily baru aja masuk, trus Lily langsung ninggalin saya gitu aja ternyata ada kamu di sini," jelas Ares ramah.

"Iya, Mas. Saya juga nggak menyangka bertemu kalian di sini."

"Eh, kita ganggu kamu nih? Maaf ya, Lily kayaknya spontan datang karena lihat kamu. Kalau gitu kita balik dulu, ya?" pamit Ares yang langsung menarik tangan Lily untuk kembali ke meja mereka.

"Kenapa nggak gabung di sini aja?"

"Vine."

"Nggak apa-apa ih, Raga. Lagian kita dari tadi belum pesen makanan, cuma minum aja," balas si gadis cantik.

"Eh, nggak usah. Kita nggak mau ganggu orang pacaran," tolak Ares halus.

"Pacaran? Saya dan Raga? Aduh, bukan!" Gadis cantik itu tertawa kecil membantah ucapan Ares.

"Silahkan duduk dulu, nggak apa-apa gabung di sini aja. Belum diantar kan pesanan kalian?"

"Belum sih." Ares terlihat bingung pada situasinya.

"Kenalkan saya Seravine, kakak sepupunya Raga." Gadis itu mengulurkan tangan dan tersenyum memperkenalkan dirinya.

"Saya Ares, ini adik saya Lily."

Raga terlihat kesal karena keputusan kakak sepupunya itu dan hanya diam tanpa berniat ikut bicara.

Lily bisa melihat ekspresi Raga dan hanya mengamati pemuda di hadapannya itu diam-diam. Setiap kali menatap Raga, dia selalu merasa bersalah, tetapi juga ada perasaan kesal karena sikap tidak ramah yang selalu Raga tunjukkan padanya.

"Saya mengira kalian berdua sedang berkencan dan tidak tahu hubungan kalian yang sebenarnya, maaf ya," ujar Ares sungkan sudah salah paham

"Nggak apa-apa kok, memang sering terjadi. Tiap saya jalan dengan Raga pasti banyak yang bilang begitu," jelas Seravine tersenyum.

"Lily sering ketemu Raga?" tanyanya kemudian.

"Iy—"

"Heh Kepala Batu, anterin aku ke toilet," sela Raga sebelum Lily sempat menjawab pertanyaan Seravine.

"Ha? Toilet? Tapi kan—"

"Bukannya kamu sendiri yang bilang akan bantuin aku?"

"Tapi itu kan toilet cowok?"

"Biar saya saja. Kamu nggak salah, Raga? Bukannya kamu keterlaluan sudah menyuruh Lily seperti itu?" sergah Ares keberatan, tatapannya tajam dan terkunci pada sosok Raga.

Tentu tidak suka jika adik kesayangannya diperlakukan seperti itu. Apalagi di depan umum seperti ini.

"Saya hanya mau cuci tangan, saya juga nggak secabul dan sebrengsek itu minta si Kepala Batu masuk toilet cowok kok, Mas," jawab Raga yang kemudian bangkit dari kursinya.

"Ayo cepetan!"

Lily bangun dari kursinya masih sedikit bingung, tapi dia bergerak ke samping Raga dan menggandeng lengan pemuda itu.

"Nggak usah dituntun, pegangan aja kayak orang normal," gerutunya sambil melepas tangan Lily dari lengannya dan menyelipkan jari-jarinya di antara jemari kurus Lily.

Keduanya berjalan pelan meninggalkan dua orang lainnya yang tak bisa melepaskan pandang dari mereka.

"Maaf ya, sikap Raga memang kadang menyebalkan. Tapi dia sebenarnya sosok yang baik kok," ucap Seravine tersenyum pada Ares.

"Kalau aku nggak ingat dia menjadi cacat karena kecelakaan dengan Lily, pasti udah saya pukul tadi," balas Ares dengan kesal. "Kok aku nggak pernah lihat kamu selama Raga di Rumah Sakit?"

"Oh, aku baru pulang dari Sydney satu minggu lalu dan nggak tahu sama sekali kejadian ini. Tante juga nggak cerita kalau aku nggak main ke rumahnya tadi. Padahal aku satu-satunya sepupu Raga," tutur gadis cantik itu tampak kecewa.

Ares memperhatikannya sambil lalu, karena dia masih khawatir pada Lily.

"Kecelakaannya separah itu, ya? Aku benar-benar kaget dengan kondisi Raga."

"Iya, saat itu aku juga kaget karena pasien gawat darurat yang datang tengah malam justru adikku dan Raga. Mereka nggak sadarkan diri dua hari waktu itu," jelas Ares.

"Oh iya, tadi kalau nggak salah Raga panggil kamu dokter, kan? Jadi profesi kamu seorang dokter?"

"Iya."

***

Lily berjalan sedikit was-was karena Raga benar-benar tidak mau digandeng sehingga dia harus sebentar-sebentar berbisik pada pemuda itu, memperingatinya pada apa saja yang ada di hadapan mereka. Raga tidak mau diperlakukan seperti orang buta. Kacamata yang digunakannya juga hitam bergaya, sehingga jika dilihat-lihat dia memang tidak tampak buta. Justru terlihat tampan seperti idola Korea.

Lily menggeleng pelan menghalau pikirannya yang malah ke mana-mana.

"Itu wastafelnya di depan tiga langkah lagi," bisik Lily yang kemudian mendahului dan menarik tangan Raga pelan ke arah keran.

"Aku bisa sendiri," ucap Raga yang kemudian melepas genggaman tangannya pada Lily lalu mencuci tangannya.

Keduanya diam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing entah apa. Untung saja saat itu sedang tidak ada pengunjung lain di toilet.

"Beneran nggak ngikutin aku, kan?"

"Ha? Kamu beneran mikir gitu ke aku? Sumpah ya, aku sama sekali nggak ngikutin kamu. Memang tadi aku ke tempat Tante Diany, niatnya mau ke rumah, tapi katanya kamu nggak ada. Ya udah, aku pulang terus pergi sama Kak Ares, nggak tahunya malah ketemu kamu di sini."

"Aku cuma nanya dikit, kenapa jawabnya sepanjang itu."

"Ya biar kamu tahu, makanya aku jelasin semuanya."

Raga diam, selesai mencuci tangannya kemudian berbalik dan bersandar pada wastafel.

"Aku heran kenapa dari puluhan tempat di kota ini aku harus ketemu kamu lagi. Padahal, kamu salah satu orang yang paling kuhindari."

Lily menoleh mendengar ucapan Raga dan memandangi pemuda itu dalam diam. Dia jadi teringat dengan kalimatnya sendiri saat bertemu Wisnu beberapa saat tadi. Kalimat yang sama, tapi tidak dalam situasi yang sama, Wisnu mungkin tidak sungguh-sungguh minta maaf sepertinya.

"Kamu beneran nggak bisa memberiku kesempatan untuk menebus kesalahanku? Aku tahu memaafkan adalah hal yang sulit kamu lakukan, tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk membantu."

Raga tidak menjawab dan hanya diam. Lily tahu bagi pemuda itu semua ini tidak mudah, tapi dia tidak akan menyerah.

"Besok, jam 9 pagi ke rumah."

"Apa?" Lily menoleh mendengar ucapan Raga yang ambigu.

"Kalau ada orang bicara itu didengar, aku nggak akan mengulangi apa yang sudah kukatakan."

"Ya kamu ngomongnya nggak jelas," tuntut Lily tidak mau kalah.

"Aku harap kamu nggak terlambat. Jam 9 pagi."

"Mau ke mana?"

"Kantor."

Hampir tak percaya pada apa yang didengarnya, Lily menutup mulutnya. Apa benar pemuda di hadapannya ini baru saja menerimanya?

Perlahan senyuman di ujung bibirnya itu semakin lebar, begitu lega dan senang karena akhirnya Raga mau menerima bantuannya.

"Iya, nggak akan terlambat."

.
.
.

Bersambung

.

Riexx1323

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro