Bab 27. Awal Sebuah Masalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Lily sedang sibuk di dapur rumah Raga, sejak kepergian Diany dua bulan lalu, dia jadi sering datang untuk memasak jika Diany tidak ada. Entah kenapa akhir-akhir ini Mama Raga itu seringkali pergi ke Singapura untuk menemui suaminya.

Dulu awalnya Raga menolak, tapi Kean melakukan hal sebaliknya, anak itu justru dengan senang hati menerima Lily bahkan mengatakan pada sang mama agar tidak mengkhawatirkan mereka setiap kali sang mama pergi.

"Kak Lily, Kean bantuin potong dagingnya, ya?" tanya Kean terdengar oleh Raga yang kini duduk di ruang tengah ditemani suara dari TV yang dinyalakan.

Dia heran kenapa adiknya itu begitu akrab dengan si Kepala Batu, padahal selama ini Kean itu seperti dirinya, tidak mudah akrab dengan orang baru.

Menghela napasnya pelan, Raga kemudian menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.

Sampai kapan dia seperti ini?

Beberapa waktu lalu, kedua kakak si Kepala Batu datang untuk mengetahui kabarnya, juga menyampaikan tentang hasil terbaru dalam daftar pasien donor mata yang menurut Mas Ares mungkin dia harus menunggu satu sampai dua tahun.

Haruskah selama itu?

Dia tidak yakin bisa membuat dirinya bersabar dan bertahan di waktu itu. Sekarang saja dia sudah merasa waktu berjalan begitu lama dan dia benci dengan kegelapan yang menyelimuti dirinya meski dia berusaha untuk menerima.

Raga tidak bisa membayangkan dirinya dalam keadaan tak berguna untuk waktu yang lama. Pemikiran itu terus mengganggunya.

"Raga, makan dulu yuk!"

Suara Lily menyapa pendengarannya dan membuyarkan lamunannya. Dirasakannya jemari gadis itu sudah mengait lembut jemarinya, membawanya ke ruang makan.

"Duduk sini."

Raga menurut ketika Lily mengatur kursinya seperti biasa, menyiapkan piring, nasi juga lauk untuknya.

"Aku udah masak dagingnya jadi dua menu. Semur daging ini, dan ada daging ungkep yang tinggal kamu panasin ya, Kean. Bisa, kan?"

"Memangnya Kak Lily mau ke mana?"

"Kuliah Kakak sedang masa ujian, jadi Kakak nggak akan lama-lama di sini."

"Yah, sepi dong cuma sama Kak Raga aja."

"Iya-iya, emang Kakak kamu ini ngebosenin?" sahut Raga.

"Nggak gitu, tapi lebih nyaman kalau Kak Lily ada di rumah," jawab Kean.

"Aku akan tetap ke sini, tapi nggak lama. Lagi pula aku udah selesaikan semua gambar yang kamu minta. Nanti aku antar sekalian ke kantor buat Erlangga," ucap Lily menengahi kedua saudara itu agar tidak berdebat lebih lanjut.

"Iya, nanti bilang ke Erlangga untuk segera lapor ke aku, ya."

"Okey."

Sejak belajar menggambar beberapa waktu lalu, sekarang kemampuan Lily sudah berkembang semakin mahir. Bahkan Erlangga mengakui hasil pekerjaannya, Lily pun sempat membantu Erlangga untuk mengerjakan beberapa layout revisi.

Hal itu sebenarnya cukup membuat Raga merasa lega dan percaya pada Lily. Gadis itu sudah membuktikan dirinya dan untung saja Lily adalah sosok yang cepat mengerti saat mempelajari sesuatu. Memudahkan Raga maupun Erlangga untuk melakukan pekerjaan mereka.

"Aku ke kafe kakak kamu, boleh?" tanya Raga tiba-tiba, membuat Lily sedikit heran mendengarnya. Tidak menyangka.

"Tumben? Beneran kamu mau ke sana?"

"Pengen kopi dan suasana baru, kan tadi Kean bilang bosan sama aku," jawab Raga yang membuat adiknya itu mencebik.

"Aku ikut, kan?" tanya Kean antusias.

"Iyalah, kamu kan tugasnya jagain Kakak," balas Raga.

"Kebalik padahal, tapi nggak apa-apa karena nanti aku mau minta diajarin sama Bang Farrel caranya bikin gambar lucu di atas minuman."

"Jangan ngerusuh di sana. Kamu nggak boleh jauh dari Kakak," peringat Raga.

"Tunggu sebentar, ini beneran kalian mau ke kafe Bang Farrel?" tanya Lily meyakinkan.

"Iya."

"Wait, aku telepon Bang Farrel dulu biar siap-siap," ujar Lily yang kemudian mengambil ponselnya di dalam tas di ruang tengah. Dia senang jika Raga mulai mau melakukan sesuatu selain diam di dalam rumah. Setidaknya suasana baru bisa membantu membawa perubahan positif bagi emosi Raga.

***

"Sini tangannya," ucap Lily setelah pintu penumpang terbuka, meraih tangan Raga untuk dibantunya turun.

Kean yang sudah turun juga kemudian mengikuti mereka untuk masuk ke kafe di mana Farrel sudah menunggu mereka.

"Hai, Raga. Seneng liat kamu datang kemari sama Kean," sapa Farrel yang kemudian membawa mereka ke ruang kaca yang biasanya khusus dibuka untuk reservasi saja.

"Iya, Mas. Kean ngajakin ke sini katanya bosan di rumah cuma sama saya."

"Nggak, kan Kakak yang ngajakin," bantah Kean yang disambut tawa ringan oleh Farrel dan Lily.

"Apa pun itu, saya senang kalian ada di sini," ucap Farrel ramah.

"Kalau gitu aku tinggal, ya? Mau kuliah, tapi mampir dulu ke kantor," pamit Lily.

Tanpa disadari oleh mereka, ada seseorang yang sejak tadi mengamati kedatangan mereka dengan sembunyi-sembunyi, menatap mereka dengan seringai di bibirnya.

***

Erlangga baru selesai meeting dengan tim lapangan saat Lily datang ke kantor.

"Hai, Ly."

"Hai juga Er, aku ke sini mau mengantar berkas ini sama sekalian bicara, kalau aku akan ada pekan ujian di kampus, jadi mungkin nggak bisa bantu kalian dulu."

"Oh, kamu mau ujian?"

"Iya."

"Semangat ujiannya, Ly. Kamu belajar yang banyak, dan nggak perlu khawatir dengan yang ada di sini. Apa yang kamu lakukan selama ini sudah sangat membantu kok."

"Terima kasih Er, aku juga sudah bicarakan ini dengan Raga. Kalau begitu, aku pergi dulu, ya."

"Iya, Ly."

Lily pergi meninggalkan kantor setelah urusannya selesai dengan Erlangga. Dia sebenarnya merasa tidak nyaman meninggalkan Raga karena apa yang dilakukannya beberapa bulan terakhir dengan pemuda itu sudah terasa seperti kesehariannya.

***

Baru saja hendak duduk dan memeriksa laporan, Dean masuk ke ruangannya dengan kepanikan di wajahnya.

"Er, gue barusan dapat telepon dari Pak Gunawan dan tiba-tiba beliau mau ketemu Raga."

"Ya seperti biasa kita beri tahu kalau Raga sedang ada di luar kota."

"Gue udah ngomong begitu, tapi beliau memaksa. Bahkan minta proyek dihentikan kalau belum bertemu Raga."

"Ada masalah apa lagi? Raga nggak mungkin ketemu Pak Gunawan. Coba gue yang bicara sama Pak Gunawan."

Erlangga segera mencari kontak kliennya itu dan menghubunginya sementara Dean duduk dan menunggu.

Pak Gunawan adalah klien yang cukup berpengaruh dalam perkembangan perusahaan karena Beliau selalu memberikan proyek hunian gedung seperti hotel atau apartemen kepada mereka. Hanya saja Beliau selalu meminta Raga untuk terlibat langsung secara penuh dalam semua prosesnya. Memang sering beliau meminta meeting dadakan dengan Raga hanya untuk konsultasi atau mengubah rencana desain dengan Raga. Beliau adalah klien terakhir yang ditangani oleh Raga tepat di malam kecelakaan itu terjadi.

Tak ada yang tahu tentang kecelakaan yang mengakibatkan cacatnya Raga, termasuk Pak Gunawan. Selama ini beliau meyakini bahwa permintaannya dikerjakan langsung oleh Raga meski kenyataannya Erlangga dan yang lain diam-diam mengerjakannya. Selama 8 bulan ini, Raga hanya terhubung via telepon dengan beliau tanpa bertemu langsung untuk menyembunyikan kondisinya.

"Gimana?" tanya Dean setelah Erlangga selesai bertelepon.

"Ada yang aneh menurut gue, Beliau terdengar sedikit memaksa untuk bertemu tanpa mau mengatakan apa tujuannya."

"Gue juga merasa begitu, tapi nggak ada alasan Pak Gunawan tiba-tiba begini."

"Beliau akan datang ke kantor besok dan meminta supaya bisa bertemu Raga secara langsung," tutur Erlangga yang kini mengurut kening. Pusing karena hal tiba-tiba ini.

"Gue akan coba bicara pada Raga. Semoga dia mau sih."

"Tapi Er, sekalipun Raga mau ketemu, apa mungkin Pak Gunawan bisa mengerti dan menerima keadaan Raga?"

"Itu masalahnya."

.
.
.

Bersambung.
.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro