Bab 26. Ale dan Masalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Erlangga sedang menyusun data-data perhitungan rancangan ketika Dean masuk dengan tergesa sampai lupa mengetuk pintu.

"Er!"

Yang dipanggil tentu mendongak, ia mengernyit bingung. "Apa?

"Lo ada janjian sama Ale? Lo masih berhubungan sama dia?" tanya Dean dengan nada panik.

Erlangga yang tidak mengerti arah pembicaraan Dean, semakin mengernyit bingung. "Lo ngomong apaan sih, Dean? Gue nggak ada urusan apalagi berhubungan sama tuh orang," jawab Erlangga sedikit ketus.

"Tapi dia nyariin lo."

"Hah? Gue?" Erlangga bangkit dari duduknya, menghampiri Dean yang masih berdiri di depan pintu.

"Iya, Ale ada di resepsionis depan. Dia nyariin lo, katanya ada janji. Untung gue lewat, terus gue minta ke resepsionis untuk suruh Ale nunggu di ruang tamu," jelas Dean cepat dan terlihat pemuda itu tidak menyukai topik yang sedang mereka bahas.

"Gue nggak pernah ketemu Ale setelah kejadian itu, dan lagi, gue nggak pernah bikin janji sama dia," tegas Erlangga.

"Gue jadi pusing mikirinnya, ini lo mau ketemu sama dia atau nggak?" Dean tampak tidak suka, bagaimanapun memang hubungan mereka dengan Ale dan teman-temannya memang tidak bagus.

"Ya, udah mau gimana lagi, toh dia udah di depan."

Erlangga menemui Ale yang entah apa tujuannya datang ke kantor mereka, Dean mengikuti sahabatnya itu dengan raut kesal, tetapi penasaran. Saat keduanya tiba, Ale menyambut mereka dengan senyum pongahnya.

"Erlangga! Sahabat lama, juga Dean yang masih setia di sini," ucapnya dengan nada yang dilebih-lebihkan.

"Ada urusan apa lo datang ke sini?" tanya Erlangga langsung, dia tidak mau basa-basi.

"Kalem Bro, gue cuma mampir karena kebetulan lewat. Kalian nggak kangen apa sama gue?" tanya Ale yang tersenyum seolah mengejek.

"Mendingan lo to the point aja deh, mau apa lo ke sini? Nggak mungkin lo datang tanpa tujuan," sahut Dean yang sudah tidak sabar.

"Dean, lo nggak berubah ya, masih nggak bisa kontrol emosi seperti dulu. Harusnya lo bisa kalem dikit, gini-gini kita pernah berteman."

"Sorry, tapi kalau lo ke sini hanya untuk basa-basi, kita berdua nggak ada waktu." Erlangga menegaskan pada Ale sebelum berbalik mengajak Dean kembali.

"Raga di mana? Gue mau ketemu sama dia," ucap Ale pada akhirnya menghentikan langkah Erlangga.

Pemuda itu berbalik, menjaga ekspresinya tetap biasa saat menatap Ale. "Ada urusan apa sama Raga, dia sedang nggak ada di kantor."

"Oh, ya? Dia di mana? Gue bisa nyamperin dia sekarang, lo kasih tau di mana dia karena gue mau ketemu." Ale menatap Erlangga dengan tatapan menyelidik dan senyum miring di sudut bibirnya.

"Akan gue sampaikan nanti, Raga sibuk."

"Sesibuk apa sampai nggak bisa ditemui? Atau ... dia sibuk dengan hal lain?" ucap Ale menggantung.

"Bukan urusan lo."

"Oh, ya? Aneh sih, dia beberapa waktu lalu ketemu gue, tapi nggak mengenali gue sama sekali. Sebenci-bencinya dia sama gue, dia nggak akan mengabaikan gue," lanjut Ale.

"Lo nggak penting buat Raga, harusnya lo sadar diri," balas Dean kesal, dia tahu Ale hanya berusaha mencari tahu informasi tentang Raga entah untuk apa.

"Oke, gue emang nggak sepenting itu. Tapi menurut seseorang yang bisa gue percaya, Raga bukannya nggak mengenali gue saat itu, tapi dia nggak bisa melihat gue alias buta?" Sebuah seringai muncul di bibir Ale saat melihat perubahan ekspresi di wajah Erlangga dan Dean. Mungkin Erlangga masih bisa menutupinya, tapi tidak dengan Dean yang kini terlihat panik.

"Jaga mulut lo kalau bicara," balas Erlangga.

"Gue hanya menanyakan berita yang gue sendiri nggak yakin, tapi melihat ekspresi lo berdua kayaknya apa yang gue katakan barusan, benar?"

"Pergi lo dari sini!"

"Oh, ayolah, kalian tidak harus sekasar itu sama gue. Tapi kalian udah menjawab semuanya sih, so thank you," jawab Ale dengan angkuh.

"Lo nggak berhak menyebarkan kebohongan, gue pastikan nggak akan ada yang percaya sama omongan lo," geram Dean yang kini sudah maju selangkah mendekati Ale.

"Kalian nggak perlu marah kalau memang itu semua kebohongan."

"Tutup mulut lo!" Dean yang sudah kehilangan kesabaran meraih bagian depan kemeja Ale, menahan diri untuk tidak melayangkan tinju pada Ale.

"Dean, stop. Jangan pakai kekerasan, itu hanya akan merugikan lo," lerai Erlangga berusaha memisahkan keduanya.

"Tapi si brengsek ini bikin gue kesel, dia nggak berhak ngomong kayak gitu soal Raga!"

Ale terkekeh. "Lo berdua dibayar berapa sama Raga untuk setia nutupin rahasianya?"

"Bangsat!"

Bogem mentah mendarat di rahang kiri Ale, Dean yang sudah tidak bisa menahan diri itu akhirnya meloloskan tinjunya. Erlangga yang terkejut tentu saja langsung menahan Dean agar tidak melayangkan tinjunya lagi.

"Udah stop! Dean kendalikan diri lo!"

"Gue nggak terima, Er! Beraninya dia ngomong kayak gitu!" teriak Dean marah.

Keributan itu berhasil menarik perhatian beberapa karyawan yang menatap mereka dari balik dinding kaca. Erlangga berusaha tenang. Sekalipun dia marah dan juga ingin menghajar Ale, tapi dia masih bisa berpikir untuk tidak membuat keributan di kantor.

Ardith yang baru datang, tentu saja terkejut mendapati perkelahian kedua temannya terutama dengan keberadaan Ale yang sudut bibirnya berdarah.

"Dith, tolong lo bawa Dean masuk," pinta Erlangga yang langsung diangguki oleh Ardith yang langsung mengajak Dean masuk sekalipun sahabatnya itu menolak.

Erlangga menatap dingin pada Ale yang kini sudah kembali berdiri memegangi rahangnya yang membiru, dia sungguh tidak suka dengan keadaan ini.

"Denger, gue nggak tahu lo tahu dari mana berita yang nggak jelas ini. Tapi lo salah besar kalau lo bikin keributan di sini," geram Erlangga.

Ale tertawa mendengar ucapan Erlangga. "Yah, apa pun yang lo katakan sekarang udah nggak penting buat gue karena gue udah dapat apa yang gue mau. Lo dan sahabat-sahabat lo itu yang akan menyesal udah melakukan hal ini sama gue."

Setelah mengatakan hal itu, Ale pergi meninggalkan Erlangga yang kini khawatir dengan pemikiran-pemikiran buruk di kepalanya. Ale adalah orang yang bisa melakukan apa saja untuk menjatuhkan siapa pun yang tidak disukainya. Dan dalam kasus ini, Ale tidak menyukai mereka.

***

"Dia pasti bakalan menggunakan hal ini untuk bikin masalah. Kita harus melakukan sesuatu, Er." Dean mondar-mandir gelisah sejak mereka kembali ke ruangan Erlangga.

Sementara Ardith tidak berkata apa-apa dan hanya diam berpikir. "Dia beneran ketemu Raga?" tanya Ardith meyakinkan.

Erlangga mengangguk sebagai jawaban. "Mereka nggak sengaja ketemu di kafe. Raga cerita sama gue kalau dia sengaja nggak menanggapi Ale saat itu."

"Ale pasti kesal karena hal itu."

"Bisa jadi, padahal menurut Raga dia udah menyembunyikan wajah dengan topi sama kacamata, supaya nggak ada yang ngenalin dia."

Kemudian mereka diam, sibuk berpikir. Karena kondisi Raga yang buta memang tidak diketahui oleh banyak orang. Bahkan para karyawan di kantor mereka tidak ada yang tahu.

Hal yang sengaja disembunyikan untuk menjaga kestabilan pekerjaan mereka karena bagaimanapun pekerjaan mereka memiliki waktu yang panjang juga tanggung jawab yang besar. Raga tidak mau semuanya rusak karena orang lain tahu jika pemilik dan pengelolanya adalah seseorang yang buta.

"Mendingan lo semua siapin jawaban seandainya Ale menyebarkan rumor, jadi jawaban yang kita berikan nanti sama," pungkas Erlangga yang disetujui oleh kedua sahabatnya.

Mau tidak mau mereka harus memikirkan solusi untuk kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

.
.
.

Bersambung.
.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro