Bab 25. Keyakinan dan Kepercayaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Raga mengerutkan dahinya kesal mendengar betapa Kean begitu bersemangat dan senang setelah Lily membawakan mereka nasi padang komplit sebagai menu makan malam.

Adiknya itu memang sejak tadi menunggu penjual nasi goreng gerobak yang biasa lewat, tapi hari ini tak kunjung muncul.

"Kamu nggak mau makan?" suara Lily membuyarkan lamunan Raga.

"Nanti saja."

"Keburu nggak enak nanti, Raga."

"Tau nih, Kakak. Padahal tadi bilangnya laper," timpal Kean yang asik dengan suapan lauknya.

"Ya, Kakak bilang gitu supaya kamu mau angetin lauk yang udah dibuatkan Mama. Kamu aja yang merengek minta nasi goreng. Syukurin abangnya nggak lewat," omel Raga kesal pada Kean.

Memang, sang mama sudah menyiapkan lauk siap makan yang hanya perlu dihangatkan sebentar untuk mereka selama sang mama tidak ada.

"Biarin nggak lewat, ada Kak Lily yang bawain nasi padang."

"Kamu, tuh, ya—"

"Udah, ya, jangan berantem. Nggak baik berdebat waktu makan. Ini punya kamu, Raga." Lily mendekatkan piring berisi nasi Padang ke hadapan Raga, memberikan sendok ke tangan pemuda itu dan mengatur letak tangan Raga agar tidak terlalu kesulitan untuk makan.

Raga mau tidak mau akhirnya pun ikut makan bersama Lily dan adiknya.

***

"Ini semua berkasnya aku taruh di mana?" tanya Lily yang memindahkan sejumlah berkas yang dibawanya tadi ke atas meja.

"Kamu pelajari semua, minimal kamu baca, jadi kamu nggak bingung nanti."

"Oh, oke."

Lily menimang buku-buku yang ada di hadapannya, sebenarnya dia sudah mempelajari beberapa istilah dan pengertian dari buku yang dibelinya bersama Ares waktu itu.

Raga membiarkan Lily sibuk dan hanya diam mendengarkan gadis itu membuka halaman demi halaman setiap berkasnya.

Untuk desain gambar yang biasanya dia lakukan sendiri, sudah dia serahkan pada Erlangga meski sahabatnya itu sudah pasti sibuk dengan perhitungan detail rancangan, tapi tak ada yang memiliki kemampuan hampir sama sepertinya selain Erlangga.

"Kamu kuliah, kan?"

"Eh? Aku?"

"Siapa lagi di sini selain kita? Kean masih SMP kalau kamu lupa," jawab Raga ketus membuat Lily mengerucutkan bibirnya kesal.

"Ya, kan aku nanya, nggak biasanya kamu bahas hal lain sama aku."

"Tinggal jawab aja, apa susahnya?"

"Iya, aku kuliah, kenapa?"

"Jurusan apa?"

"Desain grafis semester enam, kenapa?"

"Berarti bisa gambar, kan?"

"Bisa sih, tapi ya nggak jago-jago banget."

"Asal nggak jelek-jelek banget, it's okay."

"Kenapa sih?"

"Kalau aku minta kamu gambar, bisa kan?"

"Ya, bisa tergantung gambar apa."

"Bisa gambar bangunan?"

"Hah?"

"Gambar perspektif bangunan, memang bukan kewajiban pekerjaan yang menjadi tugasku. Tapi biasanya aku menyertakan penampakan tata bangunan ke klien."

"Bukannya kamu bisa minta tolong ke temen kamu yang lain, bukannya aku nggak mau, tapi ada yang lebih mampu daripada aku."

"Mereka sudah banyak mendapat pekerjaan tambahan dari yang seharusnya. Pelimpahan pekerjaan yang harusnya bisa aku kerjakan sendiri. Aku nggak mau menambah beban mereka lagi."

Lily diam melihat ekspresi Raga yang terlihat serius sekaligus tidak nyaman. Pasti pemuda di hadapannya itu juga memiliki beban pikiran yang jauh lebih banyak dari yang terlihat.

Rasa menyesal itu kembali datang, membuat Lily sesak, bagaimanapun dia sudah membuat dunia seseorang menjadi jatuh terpuruk dan mungkin tidak bisa kembali lagi seperti semula.

"Aku belajar gambar dulu, boleh? Aku nggak yakin hasilnya bagus, tapi aku akan coba," jawab Lily kemudian. Setidaknya dia harus berusaha melakukan sesuatu yang berguna untuk Raga.

"Kamu bisa lihat caranya di video tutorial, ada kertas dan pulpen rapido di kamarku, ambil aja."

"Okey, kuambil di meja kerja?" tanya Lily.

Raga mengangguk sebagai jawaban dan Lily langsung beranjak menuju kamar Raga untuk mengambil peralatannya.

"Nanti tunjukin hasil gambar kamu ke Kean, dia punya bakat bagus untuk menilai gambar," ucap Raga yang kemudian ikut mendengarkan video tutorial yang diputar oleh Lily dan sesekali mengoreksi tahap-tahapnya.

Mungkin kedua matanya tak lagi bisa digunakan, tapi insting yang dimilikinya masih begitu tajam. Bahkan Lily tercengang, karena apa yang Raga katakan sama persis seperti yang ditunjukkan oleh video.

Kean yang sebelumnya asik bermain game pun akhirnya ikut bergabung dengan kakaknya untuk melihat Lily belajar.

"Kak Lily berbakat, loh. Katanya baru belajar gambar, tapi bisa bagus kayak Kak Raga," celetuk Kean saat melihat hasil karya Lily yang setengah selesai.

"Ini pertama kalinya aku gambar bangunan, Kean. Biasanya cuma suka gambar ilustrasi orang atau pemandangan aja."

"Pada dasarnya hampir sama, kan?" ucap Raga yang sedikit merasakan antusias dan lega mendengar ucapan Kean. Adiknya itu sangat menyukai seni dalam bentuk apa pun, jadi Raga tidak ragu dengan penilaian Kean.

"Tapi, bukannya menggambar perspektif akan sangat berbeda dengan gambar desain arsitektur?" tanya Lily mendongak ke arah Raga yang duduk di sofa sementara dia dan Kean duduk di karpet.

"Memang beda."

"Terus kenapa kamu minta aku belajar gambar perspektif bangunan?"

"Ya biar kamu terbiasa, dan mengerti. Jadi kamu bisa menggambar sesuai instruksiku."

Lily menganguk, lalu menghela napasnya panjang, merenggangkan ototnya yang tegang sejak tadi. Tidak disangkanya menggambar bisa melelahkan seperti ini.

"Kenapa? Capek? Bahkan itu belum apa-apa, udah merasa nggak mampu?"

"Bukan begitu, aku cuma merilekskan tubuh sebentar. Aku nggak bilang kalau aku nggak mampu," jawab Lily kembali kesal karena setiap ucapan Raga terdengar seperti mengejeknya. Padahal dia yakin bisa melakukan hal ini jika sudah terbiasa.

"Aku tahu kamu juga merasa ini sulit, aku tahu kamu punya banyak beban pikiran yang mungkin nggak bisa kamu katakan pada orang lain, tapi kamu benar-benar harus mencoba untuk setidaknya berbagi pada orang-orang yang dekat dengan kamu. Banyak yang sayang sama kamu, Raga. Keluarga, teman-teman, mereka semua ada di sisi kamu, dan selalu siap kalau kamu butuh," ucap Lily yang kemudian mematikan video dan merapikan peralatan gambarnya.

"Berulang kali aku bilang ke kamu kalau aku menyesali semua kejadian ini, dan jika waktu bisa kembali, aku akan minta bertukar posisi dengan kamu. Aku nggak apa-apa kalau pun jadi buta, karena aku bukan seseorang yang bersinar seperti kamu," ucap Lily lirih.

Gadis itu kemudian meraih tangan Raga, menggenggamnya lembut. "Nggak apa-apa kalau kamu marah, nggak apa-apa kalau kamu merasa nggak adil. Perasaan kamu itu benar dan valid, nggak ada yang salah dengan hidupmu, jadi kamu nggak perlu menyesali apa pun. Kamu bisa berbagi, dan kamu bisa mencoba untuk percaya."

Untuk kali pertama ekspresi Raga meluruh, ada binar kesedihan bercampur emosi lain dalam bola mata yang memandang kosong ke depan itu.

"Aku nggak akan biarkan kamu sendirian melewati masa sulit ini, Raga." Dan entah hanya perasaannya saja atau bukan, jemari yang berada dalam genggaman Lily itu gemetar.

"Aku pulang dulu ya, udah jam 9 malam. Besok aku akan datang lagi," ucap Lily yang kemudian memberanikan diri memeluk Raga dengan lembut, yang tentu saja membuat pemuda itu terkejut.

"Maaf untuk semuanya," bisik Lily di telinga Raga kemudian melepaskan pelukannya. Lily sadar dirinya sendiri bukan seseorang yang kuat, tetapi dia ingin memberikan semangat dan harapan untuk Raga.

Tanpa mengucapkan apa pun, Raga memalingkan wajahnya ke arah lain. Melihat itu, Lily tersenyum pahit. Dia tahu semuanya akan butuh waktu yang panjang. Setelah berpamitan pada Kean, gadis itu berlalu meninggalkan rumah keluarga Diany.

Tanpa disadari oleh Lily maupun Kean, Raga yang kini sudah kembali berada di kamarnya itu, luruh. Duduk merosot pada kaki ranjangnya, membiarkan perasaan sesak yang dirasakan dan ditahannya sejak tadi, jatuh menjadi butir-butir bening di sudut matanya. Mengalir deras tanpa bisa dia cegah.

Rasanya sakit, sesak, dan berat.

Air mata itu bahkan semakin deras di sela-sela isakan lirihnya. Raga menangis, entah untuk kemarahannya, atau untuk kesedihannya. Tapi, dia ingin semua perasaan itu hilang dari dirinya.

Semua yang kamu katakan benar.
Semua yang kamu katakan adalah apa yang aku rasakan.

Aku tidak bisa mengatakannya.
Aku tidak bisa memberikan rasa percaya begitu saja.

Aku marah.
Aku sedih.
Aku menyesal.
Dan aku hanya ingin menyalahkan keadaan yang sudah membuatku seperti ini.

Tapi apa hakku?
Aku hanya seorang manusia yang hidupnya diatur oleh takdir.

Aku tahu kamu tulus.
Aku tahu kamu baik sekalipun aku tidak bisa melihat.

Akan tetapi, aku bisa merasakannya.
Maaf untuk semua amarah yang aku lampiaskan padamu.
Maaf untuk penolakan yang aku berikan atas pertemanan yang kamu tawarkan.

Aku yang kamu bilang bersinar ini, hanyalah seseorang yang penuh ambisi tanpa hati.

Entah kapan aku bisa melihat atau bahkan tak akan bisa melihat lagi, tapi aku yakin kamu secantik namamu, Lily.

.
.
.

Bersambung.

.
.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro