Bab 24. Tanggung Jawab Pekerjaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Diany berjalan cepat menuju ruang depan ketika bel pintu rumahnya berbunyi. Kebetulan saat ini dia sendiri sedang terburu-buru.

"Hai, Lily sayang," sapanya begitu membuka pintu dan melihat Lily berdiri di luar.

"Selamat sore, Tante," balas Lily tersenyum.

"Loh, ada Erlangga juga. Kok bisa barengan ke sini?" sapanya setelah melihat Erlangga turun dari mobil dan menghampiri mereka.

"Iya, sudah ada janji tadi sama Raga, Tante."

"Ya, udah, kalian masuk yuk!"

Diany membuka pintu dan mengajak keduanya masuk. Kemudian menyuruh Kean untuk memberitahu Raga bahwa keduanya sudah datang.

"Tante mau pergi ke mana, kok bawa koper?" tanya Lily saat melihat koper yang dibawa Diany.

"Oh, saya mau menyusul papanya Raga ke Singapura. Agak tiba-tiba juga, karena ada sesuatu yang harus saya bantu di sana," jelas Diany cepat.

"Lalu Raga gimana, Tante?" tanya Erlangga.

"Untungnya Kean sedang libur semester, jadi dia akan ada di rumah menemani Raga. Saya juga nggak lama, mungkin hanya 4 hari saja."

"Ma, kata Kak Raga suruh ke ruang tengah aja," ujar Kean dari arah dalam.

"Oh, iya sudah. Kalian ke dalam gih, maaf ya, saya harus segera pergi karena pesawatnya berangkat dua jam lagi."

"Iya, Tante. Nggak apa-apa, safe flight, Tante."

"Lily sayang, kita bisa bicara sebentar?" tanya Diany yang kemudian mengajak Lily keluar bersamanya ke teras.

"Saya boleh minta tolong ke kamu? Selama saya pergi kamu bisa menemani Raga? Maksud saya bukan menginap, tapi lebih sering datang kalau kamu tidak sibuk. Akan saya usahakan cepat pulang kalau papanya Raga juga lebih cepat selesai urusannya. Bagaimana?"

"Tante nggak perlu khawatir. Lily pasti akan bantu, Tante. Selama Raga butuh sesuatu pasti akan saya bantu semampu saya."

"Terima kasih, Sayang."

"Sama-sama, Tante."

Lily diam sejenak di teras setelah Diany pergi menggunakan taxi. Dia mengiyakan permintaan Diany, tapi bagaimana memenuhinya? Raga belum tentu mau. Akan tetapi, jika bukan dia yang membantu, kasihan Kean, kan?

***

"Ly, udah selesai ngobrol sama Tante Diany?" sapa Erlangga begitu Lily menyusul ke ruang tengah.

"Udah."

"Mama ngomong apa aja? Pasti ngomong yang aneh-aneh, kan? Apa pun itu, aku sama Kean baik-baik aja tinggal berdua."

"Iya-iya, terserah kamu. Aku jawab pun kamu pasti marah-marah," gumam Lily, tetapi masih bisa terdengar oleh Raga dan membuat pemuda itu mendengus kesal.

"Er, gue minta lo ke sini karena ada yang mau gue bicarakan," ucap Raga memulai pembicaraan dan membuat dua yang lain kini fokus padanya.

"Oke, gue siap dengerin kok, Ga."

"Gue kemarin ketemu Ale, Arian, dan Dito, itu kalau gue nggak salah mengenali suara mereka karena kondisi gue yang kayak gini."

Erlangga langsung menatap Lily begitu mendengar ucapan Raga. Karena apa yang dikatakan oleh Raga sesuai dengan ciri-ciri dari Lily.

"Lo ketemu di mana?" tanya Erlangga yang meski dia sudah tahu ceritanya, akan lebih baik dia menghargai Raga dengan pura-pura tidak tahu.

"Di kafe, kemarin pas gue mampir sama si Kepala Batu."

"Aku punya nama, ya," protes Lily tidak terima.

"Terserah aku mau panggil apa, toh itu kenyataan, kan?"

Lily mencebik dan memilih tidak membalas karena pasti mereka akan berdebat.

"Gue nggak tahu kalau mereka tiba-tiba datang menghampiri. Di situ gue nggak respon mereka terutama Ale yang banyak bicara."

"Gue bisa bayangin, tuh anak emang sifatnya gitu."

"Gue berusaha menghindar dengan pura-pura nggak kenal. Untung gue pake topi dan kacamata hitam jadi gue pikir mungkin agak tersamarkan. Tapi Ale udah pasti nggak bisa dibohongin."

Erlangga menarik napas panjang karena bisa membayangkan kejadian itu. Dia pun mengenal Ale, yang dulu adalah teman mereka. Ale akhirnya memutuskan menjadi rival setelah beberapa kali kalah dalam penawaran proyek dari Raga.

"Gue ngomong ini ke lo supaya lo bisa hati-hati karena kalau Ale tahu kondisi gue yang buta, dia pasti akan memanfaatkan itu untuk menjatuhkan kita. Gue harap lo, Dean, dan Ardith bisa siap kalau kemungkinan terburuk itu terjadi."

"Oke, gue akan jaga-jaga untuk keadaan yang nggak terduga karena seperti yang lo katakan, Ale suka melakukan hal-hal nekat."

"Gue nggak mau nyusahin kalian, tapi untuk saat ini gue hanya bisa berharap dan mengandalkan kalian."

"Tenang aja, Ga. Kita akan bantuin lo, dan itu pasti."

"Thanks."

"Sama-sama, Ga."

"Lo udah selesaikan draft kasar yang gue minta?"

"Udah sih, Ga."

"Oke, besok lo bisa kirim itu ke klien. Semoga itu sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Semua perubahan, juga penyebab dan alasan yang mengikuti, tolong lo sertakan, ya!"

"Iya, oke. Ada lagi yang lo perlukan? Biar gue sekalian kerjakan. Kemarin Dean udah tinjau lapangan juga kayaknya."

"Itu aja, Er. Kalau lainnya masih bisa gue handle dari rumah, akan gue kerjakan sendiri."

"Tapi, lo bakalan repot, Ga. Nggak apa-apa, gue kerjakan aja," balas Erlangga khawatir.

"Gue nggak bisa cuma diem di rumah aja, Er. Meskipun kenyataannya emang gue nggak bisa ngapa-ngapain, tapi ada si Kepala Batu yang akan bantuin gue di rumah."

Mendengar itu, Lily langsung menoleh menatap Raga, merasa lega karena akhirnya Raga benar-benar menerima bantuannya.

Sebaliknya, Erlangga justru menatap Lily khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja dia tidak tega melihat Lily harus mengerjakan sesuatu yang bukan bidangnya.

Menyadari tatapan Erlangga, Lily membalas kekhawatiran pemuda itu dengan anggukan yakin dan sebuah senyum yang menenangkan.

"Er, lo bisa ajak si Kepala Batu ke kantor untuk ambil berkas-berkas gue? Supaya dia bisa mempelajari beberapa hal," pinta Raga.

"Bisa, sekarang aja kalau gitu mumpung kantor belum tutup," jawab Erlangga yang beranjak bangkit dari duduknya.

"Ini aku ikut Erlangga?"

"Iya, nanti balik ke sini lagi," jawab Raga.

"Ya, udah, kita pergi sekarang, Ly."

Keduanya segera berangkat sebelum hari semakin sore. Mereka berangkat menggunakan mobil Erlangga, yang bersedia mengantar Lily kembali ke rumah Raga. Lagi pula lebih cepat daripada jika mereka harus membawa mobil sendiri-sendiri.

"Kamu beneran nggak apa-apa, Ly? Maksudku pekerjaan ini nggak mudah, dan kamu sama sekali masih asing dengan bidang ini."

"Nggak kok, Er. Aku justru senang karena Raga sudah mau menanggapi tawaranku. Rasanya semakin bersalah jika dia terus menolak."

"Ya, udah, kalau kamu merasa seperti itu. Kalau kamu perlu bantuan, kamu bisa minta bantuan ke aku kapan saja."

"Pasti, terima kasih ya Erlangga, sudah mau bantu. Sepertinya aku beruntung karena kamu temannya Raga."

Erlangga ikut tersenyum melihat Lily yang bersemangat. Gadis di sampingnya ini memang berbeda. Tidak manja, memiliki hati yang baik, bertanggung jawab, tidak merengek sekalipun dia tahu yang dihadapinya bukan masalah yang mudah. Orang lain mungkin tak akan melakukan hal sejauh ini untuk sebuah tanggung jawab bahkan mungkin justru akan mengabaikan. Akan tetapi, Lily berbeda.

Rasanya ada sebuah perasaan ringan yang menyenangkan saat Erlangga menatap sosok gadis yang duduk di sampingnya itu.

***

Raga masih berada di ruang tengah ditemani Kean yang sedang bermain video game kesayangannya. Banyak hal yang sudah dia pikirkan. Banyak hal yang sudah dia pertimbangkan.

Semoga aku nggak salah untuk percaya pada si Kepala Batu.

Tidak ada pilihan selain menerima bantuannya meski aku masih ragu.

Dua bulan ini cukup membuatku untuk sedikit melihat niat dan ketulusannya hingga aku memberi sedikit rasa percaya.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro