Bab 23. Cerita dan Erlangga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Lily sedang menunggu Adel di kafetaria kampus ketika sebuah pesan muncul di notifikasi ponselnya.

'Hai Ly, kamu masih menyimpan nomorku, kan? Ini aku, Erlangga.'

Tentu Lily masih menyimpan nomor ponsel Erlangga saat awal perkenalan mereka oleh Adel dulu. Hanya saja tidak menyangka pemuda itu akan mengirim pesan padanya.

"Hai, juga, Erlangga. Iya, aku masih menyimpan nomor kamu."

'Syukurlah, kukira udah dihapus. Kamu sibuk?'

"Iya, sedang di kampus."

'Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu.'

"Nggak apa-apa, kok."

'Kamu akan ketemu Raga hari ini?'

"Iya, nanti."

'Mau ketemu sebelum itu? Itu pun kalau aku nggak mengganggu kesibukan kamu.'

"Sedikit sibuk, tapi kalau sebentar bisa, kok. Aku sudah janji untuk segera ke tempat Raga."

'Iya, nggak apa-apa. Di kafe depan kampus kamu aja kalau begitu.'

"Iya."

"CIEEE!"

Sebuah teriakan tidak asing di belakangnya mengagetkan Lily yang refleks menoleh. "ADEL! Kaget, nih!" omel Lily refleks mencubit pipi sahabatnya itu.

"Ada yang mau ketemuan nih! Btw, aku ngintip dikit, itu chatnya sama Erlangga yang dulu pernah aku kenalin ke kamu?" tanya Adel yang kemudian duduk di depan Lily.

"Iya."

"CIEEE!"

"Adel diem ih! Diliatin orang-orang, malu! Kamu kebiasaan suka ngintip chat orang. Nggak boleh, nggak sopan, Sayangku!"

"Ya, sama kamu doang Ly, aku nggak gitu sama orang lain. Hehe, maaf."

"Jangan diulangi lagi."

"Iya, nggak."

"Iya atau nggak?"

"Iya, tapi nggak janji," jawab Adel tertawa kemudian mendapat hadiah cubitan-cubitan sayang dari Lily.

"Rasanya lama nggak ketemu kamu, Ly. Semenjak kamu ngurus Raga nih, aku dilupain."

"Nggak gitu, Del. Aku juga kangen kamu."

"Jadi sekarang kamu deket sama Erlangga? Berhasil dong ya aku cosplay jadi Mak comblang?"

"Nggak, bukan gitu. Eh, aku belum cerita ke kamu kan, ya? Ternyata Erlangga itu temennya Raga."

"HAH?"

"Iya, ternyata mereka sahabatan."

"Kok kamu nggak cerita sih, Ly?"

"Ini sekarang cerita, kan?"

"Sebelum ini, Lily sayang. Kamu udah nggak anggap aku sahabat lagi, nih?" ucap Adel pura-pura ngambek.

"Aku beneran lupa, maaf ya."

"Nggak mau, traktir bakso sama es jeruk dulu."

Mendengar itu Lily tertawa, Adel memang tidak berubah dan selalu mengerti dirinya. Tidak pernah bisa benar-benar marah.

"Dunia ternyata sesempit itu ya, ketemu sama orang-orang yang saling memiliki hubungan tanpa kita tahu sebelumnya."

"Iya, sih Ly, aku padahal kenal Erlangga cukup lama, tapi ya nggak deket banget. Aku nggak tahu kalau dia temenan sama Raga."

"Mereka kayaknya udah sahabatan lama sih, soalnya Raga minta Erlangga gantikan kerjaan dia sementara dalam kondisi dia sekarang."

"Aku selama ini tahunya Erlangga tuh kerja di sejenis perusahaan properti gitu. Ternyata lebih dari itu kerjanya."

"Iya, aku baru ikut sekali ke kantor Raga aja udah pusing dengernya."

"Terus nanti mau ketemu Erlangga?"

"Iya, palingan bentar abis mata kuliah terakhir. Soalnya aku udah janji mau ke tempat Raga."

"Raga lagi, Raga lagi, lama-lama kamu udah kayak pacarnya."

Mendengar kata 'pacar' membuat Lily ingat kejadian kemarin, membuatnya merasa malu sendiri.

"Apa sih Adel, nggak kok."

"Ya, kita nggak tahu apa yang terjadi nanti kan, Ly. Siapa tahu aja, kan?"

Lily tidak mau menanggapi candaan Adel dan memilih diam menghabiskan minumannya. Tidak ada niatan khusus dalam hubungannya dengan Raga selain membantu pemuda itu.

***

Pukul 2 siang, Lily keluar dari kelas terakhirnya dan segera menghubungi Erlangga, memastikan pemuda itu tidak lupa dengan janji mereka.

Lily segera keluar kampus, menuju kafe yang ada di depan. Jujur, dia tidak pernah ke sana, karena selama ini yang Lily lakukan sejak masuk kuliah hanya berangkat-belajar-pulang. Dia tidak menaruh minat pada hal-hal lain, karena Lily selalu merasa tidak pantas bersenang-senang, dan bahagia. Dia hanya perlu membuat kedua kakaknya tidak khawatir padanya.

Kafe itu tidak terlalu jauh, cukup berjalan kaki sepuluh menit. Begitu memasuki kafe, Lily melihat Erlangga sudah menunggunya di salah satu meja. Pemuda itu melambai begitu melihatnya.

"Hai, Ly."

"Hai, juga."

"Aku pikir kamu lupa tadi. Mau pesan dulu?" tawar Erlangga.

"Aku pesan minuman aja."

"Nggak mau makan sekalian?"

"Nggak deh. Kita nggak lama, kan?" tanyaLily.

"Iya, juga sih."

"Kamu mau ngomong apa?"

"Masalah kamu sama Raga, itu bener?"

"Iya, semuanya bener kok."

"Jujur aku kaget dan nggak nyangka. Raga itu sahabatku sejak kuliah, jadi aku tahu banget dia itu seperti apa, ambisinya, tujuan karirnya, juga bagaimana dia berjuang keras mewujudkan impiannya. Aku nggak percaya saat Tante Diany bilang kalau Raga sekarang nggak bisa melihat, sampai aku ketemu dia."

Lily hanya tersenyum menanggapi semua ucapan Erlangga. Semua kejadian ini memang rasanya sulit dipercaya.

"Aku juga nggak nyangka kalau akhirnya bikin seseorang jadi cacat."

"Itu kecelakaan, Ly. Bukan salah kamu aja."

"Tapi tetep aja Er, aku bikin Raga di keadaan yang sekarang. Nggak ada yang mau hidup cacat di dunia ini, aku paham kalau dia nggak bisa nerima aku dengan ramah."

"Dia yang minta kamu jadi asistennya?"

"Bukan. Aku yang mau, awalnya dia menolak, tapi aku maksa. Apalagi setelah tahu kalau kerjaan Raga itu arsitek. Aku semakin merasa bersalah."

Kali ini giliran Erlangga yang terdiam karena dia tahu posisi Raga dalam pekerjaan mereka memang penting.

"Oh, iya Erlangga. Kamu tahu nggak siapa teman-teman Raga selain kamu dan anak kantor?"

"Tahu sih, Raga nggak punya banyak temen deket. Selama ini cuma ada aku, Dean, sama Ardith yang benar-benar dekat. Kenapa memangnya?"

"Kemarin waktu aku di kafe sama Erlangga, kami ketemu tiga orang yang sepertinya kenal Raga. Tapi mereka memiliki sikap yang kurang baik."

"Kurang baik gimana maksudnya?"

"Aku juga kurang tahu jelasnya, karena waktu itu aku pergi ambil pesanan. Tapi pas aku balik, tiga orang itu udah ada di meja kami, mereka ngajak ngomong Raga, tapi kayaknya Raga nggak mau menanggapi. Mereka sempet marah dan hampir membuat keributan."

"Terus gimana? Kamu dan Raga nggak apa-apa?"

"Nggak, mereka pergi, setelah ngomong ke Raga kalau dia sombong dan sok superior karena sering ngalahin mereka. Apa Raga punya musuh secara khusus?"

"Musuh? Setahuku nggak ada, kecuali beberapa perusahaan rival yang biasanya kalah proyek sama kita. Eh? Ciri-ciri mereka gimana?"

"Yang paling aku inget tuh cuma satu orang, yang wajahnya tegas dan punya aura mendominasi, dia lebih banyak bicara dibandingkan dua lain."

"Wajah tegas dan mendominasi?"

"Iya. Oh, Raga juga bilang kalau mereka dulu teman sebelum akhirnya jadi rival."

Erlangga menyimak penjelasan Lily sambil memikirkan siapa orang-orang yang dimaksud Lily. Karena dia sangat mengenal Raga, jika sahabatnya itu tidak menanggapi sesuatu, artinya dia tidak menyukainya.

Tepat saat itu ponsel Erlangga yang berada di atas meja bergetar memunculkan nama Kean sebagai pemanggilnya.

"Ini Raga, dia pasti nungguin Kean pulang untuk telepon," jelas Erlangga sebelum mengangkat panggilannya.

"Hai, Ga."

'Hai Er, maaf gue ganggu lo di jam segini.'

"Nggak apa, gue lagi di luar kantor, kok. Ada apa?"

'Lo bisa ke rumah gue? Ada yang mau gue omongin sama lo.'

"Sekarang?"

'Iya, kalau lo nggak keberatan.'

"Oke, gue ke sana sekarang."

'Thanks.'

Setelah mematikan panggilan, Erlangga menatap ke arah Lily. "Mau bareng? Raga minta aku ke rumahnya sekarang."

"Oh, tapi aku bawa mobil tadi."

"Kalau gitu kita balik sama-sama ke rumah Raga."

"Iya."

.
.
.

Bersambung.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro