Bab 22. Penjelasan Hari Itu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Hanya keheningan serta rintik derai hujan yang terdengar menemani perjalanan mereka. Setelah keluar dari kafe, Raga tak mengucapkan sepatah kata lagi hingga mereka kini hampir sampai di rumah.

Lily menebak pemuda di sampingnya ini lagi-lagi berada dalam emosi yang tidak stabil setelah bertemu dengan orang-orang yang tadi ada di kafe, entah siapa. Perubahan Raga yang kini mulai diperhatikan dan dihapalkan oleh Lily.

Sampai di halaman rumah, Lily meraih payung dari bangku belakang kemudian turun untuk membukakan pintu untuk Raga.

"Hati-hati, tanahnya licin karena hujan," ucap Lily begitu meraih tangan Raga. Keduanya buru-buru masuk dan disambut Diany yang kemudian membawakan handuk untuk mereka mengeringkan diri.

"Ly, kamu ganti baju dulu. Saya ada pakaian yang seukuran kamu kayaknya," tawar Diany.

"Nggak usah, Tante. Ini juga nggak basah banget cuma kecipratan dikit pas jalan dari halaman ke rumah tadi."

"Nanti kamu masuk angin, Sayang."

"Terima kasih atas perhatiannya, Tante. Tapi Lily nggak apa-apa."

"Ya sudah, kalau gitu kamu ikut makan malam di sini, ya? Saya baru masak jadi saya siapkan karena udah jam makan," lanjut Diany yang kemudian melenggang pergi ke dapur meninggalkan mereka.

"Ini lepas dulu," ucap Lily mengingatkan Raga karena pemuda itu masih menggenggam tangannya. Tetapi, Raga justru menarik tangan Lily untuk berjalan mengikutinya.

"Mau ke mana?" tanya Lily bingung menatap Raga yang berjalan lebih dulu di depannya dengan pelan.

"Kamar."

"Hah?"

Tentu saja Lily semakin bingung, tetapi dia tidak ingin membantah dan memulai perdebatan dengan Raga saat suasana hati pemuda itu tidak baik. Jadi Lily memutuskan untuk mengikuti Raga ke kamar pemuda itu.

Setelah Lily menutup pintu kamar barulah Raga melepaskan genggaman tangannya. Pemuda itu berjalan menuju tempat tidur dan duduk di pinggir ranjangnya, melepas topi dan kacamatanya.

Lily mengamati ekspresi Raga yang kini bisa dilihatnya dengan jelas. Ada raut amarah tertahan yang tergambar di sana.

"Kamu mau aku bantuin apa?" tanya Lily pelan.

"Ganti baju."

"Hah?" Tentu saja Lily langsung menutup mulutnya karena terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Raga.

Namun, ekspresi yang ditunjukkan Raga masih belum berubah, dingin, dan marah. Lily tentu saja keberatan karena itu termasuk privasi dan bukan haknya melakukan itu sekalipun dia membantu, tapi bukan seperti ini.

"Kamu kenapa? Maaf, tapi aku nggak bisa—"

"Bukannya tadi kamu bilang kalau kamu 'pacar' aku?" jawab Raga datar dan dingin.

Ah, soal tadi.

"Raga, kamu tersinggung aku bilang gitu, ya. Maaf aku bicara tanpa memikirkan perasaan dan tanya kamu duluan. Aku hanya mau membuat situasi tadi cepat berakhir, karena aku pikir kamu terganggu dengan orang-orang tadi. Maaf, kalau kamu kesal."

Benar, Lily memang tidak berpikir apa-apa dan hanya spontan mengatakannya untuk menyelamatkan situasi.

"Aku nggak minta kamu bicara seperti itu."

"Maaf."

"Tapi, terima kasih sudah datang di situasi tadi."

"Aku bener-bener nggak bermaksud lancang dengan ngomong gitu."

Lily melihat ekspresi Raga yang berangsur melembut kembali. Sebenarnya dia penasaran akan sesuatu, tapi ragu untuk bertanya pada Raga, takut pemuda itu marah lagi.

"Boleh tolong ambilkan baju di lemari? Udah dingin dari tadi," ujar Raga pada akhirnya.

"Oh, iya, ini aku nggak apa-apa buka lemari kamu?"

"Ya, memangnya kamu mau ngapain selain ambil baju? Bukan maling pakaian dalam, kan."

"B-bukanlah! Enak aja, aku nanya soalnya kan ini privasi. Nggak enak aku sembarangan geledah lemari orang," bantah Lily yang merasa malu.

Selama ini pria yang dia tahu hanya kakak-kakaknya sekalipun itu privasi mereka. Di luar itu, tentu saja tidak ada.

"Ini aku ambil yang mana?"

"Apa aja asal hangat dan nyaman."

"Ya udah, aku ambilin kaos sama celana panjang, ya." Setelah menemukan baju yang dirasanya cocok, Lily memberikannya pada Raga.

"Kamu ganti sendiri, kan? Aku tunggu di luar kamar."

"Nggak mau gantiin? Katanya 'pacar'."

"Kamu pendendam, ya? Katanya tadi udah di maafin? Aku keluar dulu."

Lily berjalan keluar kamar dan menutup pintunya, meninggalkan Raga yang diam-diam menarik senyum di sudut bibirnya.

"Dasar, Kepala Batu."


***

"Kok bawa makanan, tadi kalian sudah makan?" tanya Diany saat Lily mengeluarkan kotak berisi makanan take away dari kafe Bang Farrel tadi.

"Nggak, Tante. Tadi kita mampir di kafe bentar, tapi jadinya take away soalnya udah mau hujan."

"Oalah, saya kira sudah makan di luar. Ya udah, kita makan sama-sama, yuk!"

Akhirnya Lily makan malam bersama keluarga Tante Diany, minus papanya Raga yang belum pulang dari luar kota. Bunyi dering dari ponsel Lily memecah keheningan di antara mereka, yang buru-buru dijawab oleh Lily.

"Halo, Kak?"

'Kamu di mana? Kan Kakak udah bilang supaya kamu cepat pulang.'

"Iya, Kak, maaf lupa ngabarin. Lily pulang terlambat karena makan malam di rumah tante Diany dulu."

'Oh, ya, udah kalau gitu. Setelah dari sana langsung pulang ya?'

"Iya, Kak." setelah menutup panggilan, Lily meneruskan kembali makannya.

"Kakak kamu?"

"Iya, Tante."

"Mereka sayang banget sama kamu ya, tapi sepertinya saya belum pernah bertemu orang tua kamu. Mereka tinggal di luar kota?"

Lily merasa sedikit nyeri mendengar pertanyaan dari Diany, tetapi berusaha untuk tersenyum dengan tulus.

"Lily sudah tidak memiliki orang tua, Tante. Mereka berdua sudah meninggal satu tahun yang lalu karena kecelakaan lalu lintas."

"Astaga, maafkan saya, ya? Saya tidak tahu kalau orang tua kamu sudah meninggal." Diany buru-buru meraih tangan Lily kemudian menggenggamnya erat.

"Nggak apa-apa, Tante."

"Pasti berat rasanya, tapi kamu harus bersemangat lagi karena ada Kakak-kakak kamu, ya?"

"Iya, Tante."

"Kamu boleh anggap saya sebagai orang tua sendiri, saya tidak keberatan."

Tepat saat itu Raga tiba-tiba tersedak hingga Kean yang ada di sampingnya segera menuangkan air putih untuk sang kakak.

"Kamu kenapa, Sayang? Pelan-pelan makannya," ujar Diany khawatir dan menepuk-nepuk punggung Raga.

"Maaf, Ma. Keselek, pedes soalnya."

***

Sudah pukul 8 malam, Lily berniat untuk segera pulang setelah membantu Diany membereskan bekas makan malam.

"Terima kasih atas makan malamnya, Tante."

"Iya, saya senang kalau kamu sering datang. Rasanya seperti memiliki anak perempuan."

Lily hanya tersenyum menanggapi ucapan Tante Diany. "Kalau gitu saya mau pamit, sekalian bilang ke Raga dulu lalu langsung pulang ya, Tante."

"Raga di kamarnya, kamu samperin saja. Nanti hati-hati di jalan, ya."

"Iya, Tante."

Lily menuju kamar Raga dan berhenti di depan pintu, mengetuknya. "Raga, kamu udah tidur? Boleh aku masuk?

"Ya."

Lily membuka pintu lalu melangkah masuk menghampiri Raga yang duduk di meja kerjanya.

"Kamu masih ada yang butuh nggak? Aku mau pulang."

"Nggak ada."

"Ini, kopinya tadi jangan lupa diminum. Kamu juga istirahat, maaf untuk hari ini."

"Thanks."

"Okay, aku pulang, ya."

"Dulu mereka teman, tapi sekarang jadi rival."

"Hah?" Lily berbalik lagi, karena Raga mengatakan sesuatu yang ambigu. "Kamu bicara apa?"

"Yang tadi, orang-orang yang di kafe. Dulu mereka teman, tapi karena sesuatu hal sekarang jadi rival. Karena itu, aku nggak meladeni mereka. Karena kalau mereka sadar aku buta, mereka pasti akan bikin masalah. Jadi, terima kasih atas bantuannya tadi."

Lily berdiri mematung karena tidak menyangka Raga akan menceritakan hal seperti itu padanya, mengingat Raga selalu ketus dan tertutup.

"O-okay, sama-sama."

"Nggak mau peluk dulu? Katanya 'pacar'."

"Astaga. Kamu masih dendam soal itu? Udah aku mau pulang dulu. Bener-bener ngeselin," gerutu Lily salah tingkah sebelum akhirnya menutup pintu dengan agak keras. Menyisakan Raga dengan senyumnya.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro