Bab 21. Hari Pertama Bekerjasama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Suasana yang hening tapi sibuk, adalah sesuatu yang baru bagi Lily. Karena selama ini di kafe Farrel, dia selalu bekerja di tengah suasana yang ramai.

Ya, dia sedang berada di kantor menemani Raga. Sekarang dia sedang menunggu Raga dan ketiga temannya yang sedang meeting di ruang sebelah yang hanya berbatas dinding kaca, tetapi Lily bisa merasakan keseriusan di sana saat melihat Erlangga beberapa kali menuliskan sesuatu di atas bentangan kertas di hadapan mereka.

Memang Raga hanya duduk, tapi melihatnya banyak bicara dengan raut wajah serius cukup membuat Lily yakin pekerjaan Raga sebelumnya penuh dengan tanggung jawab yang besar.

Sesekali tatapannya bertemu dengan Erlangga dan dua teman Raga yang lain. Sedikit rikuh rasanya.

Getaran ponsel dalam tasnya mengalihkan perhatian, Lily segera melihat panggilan yang datang.

"Iya, Kak? Ada apa?"

'Kamu di mana? Masih belum pulang?'

"Aku masih di kantornya Raga Kak."

'Masih lama?'

"Nggak tahu, ini masih nunggu Raga meeting."

'Ya udah, nanti cepat pulang ya. Kakak ada jadwal tugas jaga malam, kamu nanti nggak usah ke kafe Bang Farrel ya, langsung pulang.'

"Iya, Kak."

Setelah memutuskan sambungan dengan Ares, Lily melihat bahwa Raga dan teman-temannya sudah selesai.

Dua orang yang kalau Lily tak salah ingat—bernama Ardith dan Dean—keluar lebih dulu menyapanya melalui anggukan singkat sebelum berlalu, sementara Raga masih di dalam ruangan bersama Erlangga.

Setelah menunggu lagi beberapa saat, Lily bangkit dari duduknya saat Erlangga membantu Raga untuk berjalan keluar.

"Hai, Lily," sapa Erlangga sopan tersenyum pada Lily.

"Hai juga," jawab Lily sopan. "Udah selesai meeting-nya?"

"Ya, kalau udah bubar artinya selesai, kan?" jawab Raga dingin membuat Lily hanya bisa menghela pasrah membiarkan laki-laki itu meluapkan kekesalannya yang entah sudah keberapa kalinya.

"Apa masih ada hal lain yang harus dikerjakan, mungkin aku bisa bantu."

"Udah nggak ada sih kalau menurutku, tapi nggak tahu juga ini maunya Raga gimana," jawab Erlangga.

"Kita ke ruangan gue aja Er, ada yang mau gue bicarakan berdua sama lo."

"Oh, oke."

"Aku ikut atau nunggu di sini?" tanya Lily ragu karena sungguh jika disuruh hanya duduk diam, itu lebih membosankan.

"Memangnya kamu satpam? Ngapain nunggu di sini, bukannya kamu sendiri yang bilang mau bantuin? Mau mangkir gitu aja dengan biarin aku kerepotan sendirian?"

"Nggak gitu, kan tadi nunggu di luar. Kirain—"

"Ya tadi meeting, sekarang kan udah nggak."

"Anu, sebaiknya kita masuk ke ruangan dulu. Nggak enak dilihat karyawan lain," lerai Erlangga saat melihat dua orang di hadapannya siap untuk adu argumen.

Lily kemudian meraih jemari Raga untuk berjalan mengikuti Erlangga. Saat di luar rumah, Raga tidak mau menggunakan tongkatnya.

Seperti halnya dia yang tidak mau dituntun seperti orang buta, dia menyuruh Lily menggenggam tangannya saja seolah mereka sedang bergandengan tangan biasa. Raga menggunakan topi dan sedikit menunduk saat berjalan untuk menyamarkan arah pandangannya yang kosong. Dia tidak mau orang-orang mengasihaninya karena dia cacat.

Erlangga menutup pintu setelah mereka masuk, kemudian duduk di sofa tamu bersama Lily dan Raga.

"Jadi apa yang mau lo bicarakan, Ga?"

"Sebelum itu, gue bicara begini karena gue percaya sama lo, jadi gue harap lo bisa jaga apa yang gue bagi ke lo."

"Oke."

Raga menghela napasnya sebentar sebelum melanjutkan.

"Seperti yang lo tahu, gue sekarang buta. Dan gue akan belajar menerima meski berat. Nggak semua orang tahu kondisi gue sekarang selain lo, Dean, Ardith, di kantor. Gue nggak mau kondisi gue mempengaruhi performa juga image kantor terutama pada klien. Jadi gue mohon banget sama lo, Er untuk jaga rahasia ini sampai gue bisa melihat lagi. Toh, gue nggak amnesia jadi gue tetep bakalan bantu back up pekerjaan."

"Gue ngerti posisi dan keadaan lo sekarang, Ga. Pasti emang berat ya," ujar Erlangga sembari menepuk pelan bahu Raga memberi semangat pada sahabatnya itu.

"Makasih, Er. Gue akan menyerahkan tugas gue sementara ke lo, tetap akan gue bantu kok. Gue udah gak bisa bercengkrama dengan pulpen rapido dan kertas lagi sekarang." Raga terkekeh kecut mengatakannya.

"Ga, jangan gitu. Lo bisa kok, gue akan bantu."

"Kenyataannya gitu, Er." Raga masih menyunggingkan senyum meski terlihat pahit.

"Lalu untuk proyek terakhir yang kita tangani, gue nggak mau klien tahu kondisi gue. Akan gue usahakan untuk tetap bisa menangani, tapi urusan meeting dan lapangan gue serahkan ke lo."

"Siap, Ga."

"Maaf kalau gue meminta terlalu banyak, karena yang bisa gue percaya hanya lo. Tenang aja, mengenai gaji akan gue sesuaikan dengan banyaknya tanggung jawab yang sekarang lo pegang kok."

"Makasih, Ga. Tapi gue bantu lo tulus kok."

"Iya, gue tahu dan gue menghargai itu."

"Em, ada satu lagi, Er."

"Ya?"

"Tentang si Kepala Batu, maksud gue nih cewek." Raga mendengar Lily menghela pelan. "Sebelumnya gue bilang ke lo kalau dia asisten Mama, kan?"

"Iya."

"Sebenernya, dia bukan asisten Mama. Dia adalah orang yang bertanggung jawab atas kebutaan gue."

"Eh? Maksudnya? Gue nggak ngerti."

"Dia orang yang mengalami kecelakaan sama gue sampai akhirnya gue jadi seperti ini."

Mendengar itu Erlangga refleks menoleh pada Lily dengan tatapan tak menyangka, sementara Lily merespon sikap Erlangga itu dengan senyum dan anggukan kecil.

"Tunggu, Ga. Gue masih kaget dan nggak bisa percaya, kok bisa Lily ... astaga. Tapi gue emang sempat merasa aneh karena setahu gue, Lily kerja di kafe tapi tiba-tiba aja lo bilang dia asisten nyokap lo."

"Itu kenyataannya. Dan dia akan bantuin gue kedepannya sebagai bentuk tanggung jawab dia."

"Ini beneran, Ly?" tanya Erlangga masih tidak percaya.

"Iya, maaf bikin kaget," jawab Lily tersenyum ragu. "Jadi aku akan selalu nemenin Raga ke mana-mana sebagai bentuk tanggung jawab karena aku bikin dia berada di kondisi sekarang. Mm, kamu bisa anggap aku asisten Raga mulai sekarang. Aku juga akan bantu kerjaan kalian semampuku."

Lily melirik ke arah Raga, melihat pemuda itu diam tidak membantah artinya dia setuju dengan apa yang dia katakan.

"Rahasiakan ini juga dari yang lain, Er."

"Oke."

Kemudian mereka mengakhiri pembicaraan karena Erlangga harus segera kembali bekerja sementara Lily harus mengantar Raga pulang.

"Besok ke kantor lagi?" tanya Lily saat mereka dalam perjalanan.

"Tergantung. Kalau Erlangga butuh bantuan, aku akan ke sana. Kenapa?"

"Besok aku ada kelas penuh sampe siang, jadi baru bisa ke tempat kamu setelah pulang dari kampus."

Raga menghela pelan mendengar ucapan Lily. "Oke, tapi kapan pun aku perlu bantuan, kamu harus ada. Kamu sendiri yang janji."

"Iya-iya."

"Aku pengen kopi, mampir ke kafe dulu," ucap Raga tiba-tiba.

"Hah?

"Kamu tuli?"

"Nggak, cuma mastiin nggak salah dengar."

"Kenapa? Nggak boleh aku ke kafe?"

"Bukan gitu, jangan berpikiran negatif terus sama aku," gerutu Lily. "Ada kafe khusus yang mau kamu datangi?"

"Nggak ada, terserah ke mana aja asal enak."

Lily kemudian mengubah arah mobilnya, dia akan membawa Raga ke kafe Bang Farrel.

***

"Ini di mana?" tanya Raga saat Lily membantunya turun dari mobil.

"Tadi katanya mau ke kafe."

"Iya, kafe yang mana tepatnya? Di kota ini ada puluhan kafe kalau kamu lupa."

"Kafe terenak dan ternyaman di kota ini, ayo masuk!"

Lily menggenggam tangan Raga dan membawanya memasuki suasana kafe yang ramai dan menenangkan.

"Mas Pandu," sapa Lily saat melihat sahabat kakaknya itu sibuk di balik konter bar.

"Loh, Ly? Lama nggak ke sini, katanya Farrel sibuk kuliah?"

"Iya, Mas," jawab Lily yang kemudian membawa Raga duduk di salah satu sudut ternyaman di kafe ini menurut Lily.

"Sering ke sini? Akrab banget sama pegawainya," ucap Raga setengah bertanya.

"Oh, ini kafenya Abang. Seperti kata Erlangga, aku part time di sini. Kamu mau pesan apa?"

"Flat white coffee."

"Oke, ada yang lainnya? Bentar aku bacain menunya."

"Nggak usah, lainnya terserah kamu."

"Oh, oke. Kalau gitu aku pesan dulu kamu tunggu bentar."

Kemudian Lily meninggalkan Raga untuk membuat pesanan pada Pandu dan memesan beberapa snack juga.

"Abang di sini nggak, Mas?" tanyanya pada Pandu.

"Tadi sih ada, nggak tahu udah pulang atau belum," jawab Pandu. "Kamu ke sini sama siapa? Kok gandengan tangan gitu, cie yang udah punya pacar."

"Apa sih Mas Pandu, itu temen Lily."

"Iya temen jadi demen."

"Nggak Mas, udah ah. Mas Pandu jadi ngeselin kayak Abang," jawab Lily yang disambut gelak tawa oleh Pandu.

"Udah ih bercandanya, aku tungguin di meja ya pesanannya."

"Cie mau nemenin pacar."

"Mas Pandu ngeselin," ujar Lily yang kemudian meninggalkan konter dengan Pandu yang masih tertawa. Lily memicingkan mata menatap ke arah meja mereka.

Siapa orang-orang yang sekarang ada bersama Raga?

"Hei, lo Raga, kan?"

Raga hanya diam dan menunduk karena dia tidak menyangka akan bertemu orang yang mengenalnya di sini.

"Beneran lo Raga, kenapa diem aja? Lo nggak inget sama gue? Atau lo emang nggak mau ngomong sama gue?"

"Buset sombong amat dia, Le."

"Kayaknya makin belagu karena ngerasa lebih superior setelah proyek dia selalu menang dari kita."

"Kenapa cuma nunduk, Ga? Lo beneran sesombong itu nggak mau ngomong dan liat kita?"

"Ada apa ini?" tanya Lily yang langsung mendekati Raga dan berdiri di sampingnya.

"Siapa lo?"

"Aku yang seharusnya bertanya siapa kalian?" balas Lily tanpa takut dengan tiga orang pemuda di hadapannya.

"Lo yang siapa, dia ini Raga, kan?" tunjuk pemuda dengan wajah tegas, namun mengintimidasi itu pada Raga.

Lily melirik Raga cepat, melihat pemuda itu tidak memberi reaksi apa pun sudah cukup membuat Lily paham kalau Raga tidak menyukai situasi ini, kemudian Lily menatap tiga orang di hadapannya itu.

"Kalaupun iya, ada urusan apa? Maaf sebaiknya kalian pergi."

"Lo siapa sok ngusir kita? Datang-datang sok akrab banget."

"Aku ... aku pacarnya Raga! Kenapa? Aku berhak ngusir kalian karena udah ganggu waktuku sama Raga," balas Lily pada akhirnya, tiga orang di hadapannya tampak sombong dan arogan, jika diteruskan bisa-bisa terjadi keributan, dan dia tidak mau membuat kekacauan di kafe kakaknya.

"Buset, nggak orangnya, nggak pacarnya, dua-duanya sombong banget. Terutama lo, Raga. Oke, gue akan pergi, tapi gue nggak akan lupa dengan kesombongan lo ini." Setelah mengucapkannya tiga orang itu pergi.

"Ada apa sebenarnya, Raga? Yang tadi itu siapa?" tanya Lily yang kemudian duduk di samping Raga.

"Kita pulang sekarang," ucap Raga kemudian bangkit berdiri.

"Tapi pesanannya belum jadi, katanya mau kopi?"

"Nggak, ayo pulang!"

Untuk pertama kalinya Raga mengulurkan tangannya lebih dulu. Lily yang tidak tahu apa yang terjadi pada Raga sebelumnya, memilih untuk menuruti Raga. Mengambil pesanan mereka untuk dibawa pulang lalu membawa pemuda yang kini berekspresi dingin itu ke mobil dan melaju pulang.

.
.
.

Bersambung.

.
.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro