Bab 20. Tentang Hati Yang Sulit Menerima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy reading! 💕

.
.
.

Lily sekarang berada di ruang tamu dengan kotak P3K berada di pangkuannya, tangannya sibuk mengoleskan obat di tangan Raga. Ya, beberapa menit lalu, Lily yang baru datang dikejutkan oleh Raga yang membuat keributan kecil di dapur.

"Pelan, sakit! Perih, panas juga," omel Raga yang dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Lily.

"Ini juga udah pelan, jangan ditarik nanti malah sakit." Lily kembali meraih tangan Raga untuk diberi obat merah sambil sesekali mengipasinya dengan tangan.

"Kamu kenapa ambil kopi sendiri? Kan Mama sudah minta kamu menunggu, karena Mama mau bukain pintu depan buat Lily. Kalau begini, jadi kamu sendiri yang sakit," omel Diany masih khawatir juga merasa kesal karena kelakuan putranya yang keras kepala itu.

"Mama tadi bilang ke Raga kopinya udah disiapin di meja. Raga hanya mau ambil sendiri, tapi malah tumpah dan jatuh. Emang Raga sekarang nggak ada gunanya ya, Ma? Hal sederhana kayak gini aja nggak bisa," sahut Raga kecut, hingga membuat Lily dan Diany saling pandang, merasa salah bicara.

"Bukannya begitu, Nak. Mama cuma nggak mau kamu kesulitan seperti ini, Mama tidak ingin kamu terluka lagi."

"Iya, Raga bikin repot Mama, ya? Nggak bisa apa-apa sendiri, dan harus dibantu setiap saat. Lebih nyusahin daripada Kean sekarang. Raga juga nggak mau cacat gini, Ma!" tukas Raga lagi.

Dari nada bicaranya, Raga kembali emosional seperti awal kondisinya, hal itu membuat Diany merasa semakin bersalah.

"Raga, Sayang. Maafin Mama kalau ucapan Mama tadi membuat kamu tersinggung. Tapi seorang ibu tidak akan menganggap anaknya merepotkan seperti apa pun keadaannya."

Raga tidak menjawab dan hanya diam, sementara itu Lily sudah selesai mengobati luka di tangan Raga. Gadis itu memilih diam di antara pembicaraan ibu dan anak itu.

"Raga mau ke kamar." Pemuda yang masih dipenuhi emosi itu beranjak dari duduknya, meraih tongkatnya, baru akan pergi sampai Lily meraih lengannya untuk membantu.

"Aku mau sendirian, lepas."

"Iya, aku antar sampai depan kamar."

"Nggak usah. Sekarang lepas tangan kamu."

Setelah bertukar pandang dengan Diany, Lily melepaskan genggamannya dari lengan Raga dengan berat hati. Melihat pemuda itu mengarahkan tongkatnya serampangan, memukul benda-benda di sekitarnya, membuat Lily merasa sangat bersalah, hatinya terasa sakit.

Untung saja jarak ruang tamu dan kamarnya tidak jauh. Setelah Raga sampai di kamarnya dan menutup pintu, Lily jatuh terduduk di sofa.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Diany yang khawatir dengan Lily.

Lily mengangguk pelan. "Maafin Lily ya Tante, semua gara-gara Lily."

Diany merasa bersalah karena keadaan pagi ini justru membuat dua anak ini berada dalam perasaan buruk, padahal harusnya ini menjadi awal yang baik.

"Maafin Tante, ya. Seharusnya saya tidak bicara seperti itu, saya tidak menyalahkan kamu."

Diany mendekat lalu menggenggam tangan Lily lembut, berusaha menenangkannya. Gadis di hadapannya itu juga memiliki hati yang rapuh.

"Saya berterima kasih karena kamu sudah mau datang dan membantu Raga. Jangan merasa bersalah Sayang, karena kamu sudah berusaha memperbaikinya."

Lily menatap wanita di hadapannya itu, melihat kasih dan ketulusan pada sorot matanya dan Lily tahu betapa sosok ibu di hadapannya ini berusaha tampak kuat untuk anaknya.

"Tadi Raga belum sempat sarapan, saya akan siapkan dulu. Kamu mau sarapan dengan saya, Ly?"

"Tidak usah repot-repot, Tante. Terima kasih untuk tawarannya. Emm, sebenarnya saya tadi datang membawakan bekal sarapan juga untuk Raga. Apa boleh saya berikan pada Raga?"

"Oh, kamu membawanya untuk Raga?"

Lily mengangguk dan menyunggingkan seulas senyum tipis.

"Kalau begitu saya minta tolong ke kamu, ya. Tolong bujuk Raga untuk sarapan dulu, kalau sudah marah biasanya Raga tidak mau makan apa-apa," jelas Diany pada Lily.

Setelah mendapat persetujuan dari Diany, kemudian Lily mengambil kotak makan yang sebelumnya dia letakkan di meja dapur.

Berjalan pelan dan sedikit takut-takut, Lily mengetuk pintu kamar Raga.

"Raga? Aku boleh masuk?"

Tidak ada jawaban dari dalam kamar hingga Lily memberanikan diri membuka pintu dengan sedikit celah di antara pintu dan melongokkan kepalanya ke dalam.

Dilihatnya pemuda itu duduk di ujung tempat tidur dengan ekspresi kaku karena amarah di wajahnya.

"Raga, mama kamu bilang kalau kamu belum sarapan. Mau sarapan bareng? Aku tadi bawa bekal sarapan dari rumah buat kamu," ucap Lily masih berdiri di depan pintu menunggu si pemilik kamar mengizinkannya melangkah masuk.

"Ngapain kamu? Aku nggak lapar, makan saja sendiri."

"Oke kalau kamu nggak lapar, tapi sarapan itu sesuatu yang penting loh. Selain biar sehat, juga untuk membangun mood kita lebih baik. Aku nggak tahu kamu suka apa, tapi aku masak ayam krispi saus mentega juga tumis jamur dan sayur."

"Aku bukan anak kecil, jadi nggak usah mengiming-imingi dengan cara seperti itu. Aku nggak lapar." Tepat setelah Raga mengucapkannya, bunyi tidak asing terdengar dari perutnya yang menandakan protes dari cacing-cacing penunggu di sana.

Lily meringis tanpa suara karena dia tahu Raga akan marah jika mendengar suara tawanya.

"Kamu beneran nggak mau makan? Aku bawa balik ke dapur, ya?"

Masih mengeratkan rahangnya, Raga merengut tidak suka dan malu karena bunyi perutnya.

"Tinggalin aja di atas meja, nanti aku makan."

Kali ini Lily tersenyum lebih lebar mendengar ucapan Raga. Dia memberanikan diri untuk melangkah masuk ke dalam kamar pemuda yang sedang marah itu.

"Nggak mau aku bantu? Tangan kamu sakit kan, daripada nanti makin sakit mendingan aku bantu."

"Kepala Batu, kenapa suka sekali ikut campur urusan orang? Bisa nggak, sih, sekali-kali dengerin ucapan orang lain? Aku nggak butuh bantuan dan rasa kasihan dari orang lain."

"Aku tulus bantu kamu."

"Tulus? Bukannya yang benar adalah rasa kasihan ditambah rasa bersalahmu? Pasti lucu bagimu melihat orang lain terlihat lemah dan nggak berguna kayak aku sekarang," ucap Raga dengan nada dingin sarat emosi.

Lily menarik napas panjang mencoba untuk tidak terbawa emosi mendengar ucapan Raga. Karena setiap kali Raga marah dengan keadaannya yang buta, itu membuat Lily ingin menangis karena rasa bersalah.

"Sepertinya kamu yang sesekali harus dengerin orang lain. Berapa kali aku bilang kalau aku bukan mengasihani kamu, aku tulus bantuin kamu. Iya benar, aku merasa sangat bersalah, tapi aku tidak memandang kamu sebagai candaan."

Raga mendengus mendengar perkataan Lily.

"Sakit! Kamu apa-apaan sih?" Raga tersentak karena Lily menggenggam tangannya yang baru terluka dengan kuat.

"Iya tahu, dengan tangan yang sakit ini mau makan sendiri? Gitu maksud kamu?"

"Terserah aku, lepasin nggak? Kepala Batu, sakit perih ini ... beneran mau bikin aku kesakitan?" Raga berusaha menarik tangannya, tapi Lily tidak melepasnya, malah menggenggamnya lebih kuat.

"Iya, kalau itu bisa bikin kamu terima bantuanku."

Dengan cepat Lily membuka kotak bekal yang dibawanya. Menatanya di atas meja kerja yang ada di kamar Raga. Kemudian menarik paksa pemuda itu untuk mengikutinya.

"Makan sekarang."

"Bukan hak kamu memaksa."

"Dengar ya, kalau kamu tidak makan, kita akan terlambat. Bukannya kamu bilang kemarin agar aku nggak terlambat? Karena insiden kecil tangan kamu, sekarang sudah terlewat hampir lebih dari satu jam. Kamu jadi pergi atau nggak?" tanya Lily pada akhirnya dengan sedikit meluapkan kekesalannya.

Raga benar-benar orang yang memiliki ego tinggi. Harga dirinya juga terlalu tinggi untuk sekadar meminta atau menerima bantuan.

Mendengus kasar, Raga segera menarik tangannya begitu Lily melepaskannya. Dia masih merasa kesal, jujur saja, segala sesuatu dalam kondisinya sekarang masih membuatnya sering merasa marah.

Dia belajar untuk menerima keadaan, tapi itu tidak mudah. Perlahan tangannya bergerak ke atas meja meraba mencari arah bekal yang telah disiapkan. Menyuap pelan dibantu oleh Lily, tak ada lagi yang bicara di antara mereka.

Hanya ada keheningan yang anehnya tak membuat keduanya merasakan kecanggungan.

Karena terkadang sebuah pemahaman akan datang melalui sebuah kejadian.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323


Raga si tukang marah.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro