Bab 2 : Menolak Damai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Memangnya mereka itu tadi siapa? Mengerikan sekali." Adniel angkat bicara sambil berjalan menuruni beberapa anak tangga, meninggalkan loteng sekolah.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu tidak lekas masuk ke kelas setibanya di sekolah? Kenapa kamu harus cari gara-gara dengan mereka, sih, Niel? Nasibmu mujur aku datang tepat waktu menyelamatkan kamu karena aku kepagian datang ke sekolah. Kalau tidak bagaimana coba?" erang si siswi kelas 12 yang berjalan di sisi Adniel.

"Kak Isti kenapa marah begitu? Kak Isti lupa kalau aku siswa baru di sekolah ini? Jangankan cari gara-gara, kenal dengan mereka saja tidak," sanggah Adniel.

Langkah kedua kaki si siswi kelas 12 bernama Adisti, atau yang lebih akrab disapa Isti, mendadak berhenti begitu saja di tengah-tengah anak tangga. Adniel, sang adik kandung, ikut melakukan hal serupa.

"Serius bukan kamu duluan yang menarik perhatian mereka?" tanya Isti penuh selidik.

"Serius bukan aku, Kak. Sumpah. Buat apa juga aku bohong? Justru mereka bertiga dulu yang mendatangi aku lalu mengajak naik ke loteng sekolah," papar Adniel sesuai kenyataan yang telah menimpanya.

"Jadi, begitu ceritanya. Aku percaya sama kamu. Lebih baik sekarang sana kamu kembali ke kelas! Ah, ada satu lagi yang ingin aku sampaikan ke kamu. Karena kamu masih berstatus sebagai siswa baru di sini, aku ingin kamu untuk tidak membuat ulah atau keributan apa pun yang berhasil menarik perhatian banyak orang. Ingat itu baik-baik, ya, Adniel!" Adisti, sang kakak kandung, berceloteh panjang lebar memberi nasehat kepada Adniel.

"Siap. Aku pasti selalu mengingat pesan Kak Isti. Kalau begitu, aku balik ke kelas dulu. Sampai jumpa, Kak. Terima kasih untuk pertolongannya tadi dan ..., maaf."

Isti mengerutkan dahi karena bingung dengan ucapan Adniel. Isti pun menanyai Adniel balik. "Kenapa minta maaf? Untuk apa?"

"Karena gara-gara aku, Kak Isti jadi ikut terseret berurusan dengan mereka bertiga," jawab Adniel tidak berdaya.

"Tidak perlu memikirkan aku. Kamu fokus belajar saja. Sana segeralah kembali ke kelas!" perintah Isti.

Adniel melakukan apa yang diperintahkan sang kakak. Ia setengah berlari menuruni beberapa anak tangga lagi untuk mencapai lantai dasar, tempat kelasnya berada.

Isti masih berdiri mematung. Ia pun menghela napas panjang. "Haruskah aku membuat perhitungan dengan mereka karena telah berani mengganggu Adniel terlebih dulu?"

Isti berkutat dengan pikirannya sendiri sejenak. Di waktu bersamaan, Isti mendengar suara percakapan Aldo dengan Hayden. Isti berbalik ke belakang dan mendongak. Ditangkaplah kedua sosok siswa itu dengan kedua matanya.

"Do, aku antar kamu ke UKS sekarang. Mau, ya? Lihat pergelangan tangan kamu ada bekas merahnya! Pasti sakit itu. Kamu tenang saja. Akan aku temani kamu bolos jam pelajaran satu dua," rengek Hayden seperti anak kecil.

Ingin Aldo menyembur rekan geng-nya itu, tapi tak jadi dilakukannya. Aldo langsung berhenti berjalan begitu kedua matanya saling bertemu sama lain dengan kedua mata Isti.

"Ke-kenapa kamu berhenti? Apa kamu bersedia melakukan apa yang aku katakan barusan ini?" tanya Hayden yang masih belum menyadari keberadaan Isti di hadapannya.

"Tidak. Aku ingin memeriksakannya di rumah sakit sekalian meminta laporan hasil visum." Aldo memberikan jawaban tegas sambil kedua matanya masih menatap Isti dengan tajam.

"A-apa? Kenapa mendadak ...?" Hayden tidak menyelesaikan kalimat pertanyaannya karena merasa bingung dengan jalan pikiran rekannya.

Hayden memandangi Aldo, menunggu jawaban dari rekannya itu. Namun, tak ada sepatah kata pun yang meluncur keluar dari bibir Aldo karena Aldo masih tetap fokus memandangi Isti dengan tajam.

Hayden yang baru menyadari ke mana arah pandang Aldo tertuju, lantas mengikuti. Kedua mata Hayden akhirnya berhasil menangkap sosok Isti yang masih berdiri diam mematung.

Hayden menghela napas sesaat, sebelum pada akhirnya ia bergumam pelan kepada Aldo. "Haruskah melakukan apa yang kamu katakan itu? Bukankah itu terdengar sangat berlebihan? Tidak bisakah membalasnya balik dengan cara lain seperti yang sudah biasa kita lakukan, Do?"

"Apa aku terlihat sedang bermain-main saat ini, Eden? Aku sudah berniat untuk melakukannya. Kalau kamu takut, mundur saja. Aku bisa melakukan semuanya sendiri," balas Aldo tegas.

Hayden terdiam. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Begitu juga dengan Isti yang saat itu terkaget-kaget mendengar ucapan Aldo.

Meninggalkan Hayden, Aldo pun segera berjalan menuruni anak tangga. Aldo berhenti berjalan begitu ia telah berdiri di anak tangga yang sama dengan Isti.

"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Aku bisa dengan mudah mewujudkannya jika sudah berniat. Aku sungguh tidak sabar ingin melihatmu di-skors," tukas Aldo seraya menunjukkan seringai jahat di hadapan Isti.

"Kamu nantikan saja tanggal mainnya," imbuh Aldo kemudian.

Aldo kembali beranjak menuruni anak tangga. Hayden mengikuti di belakang kemudian, usai merasa iba melihat respon sedih dan pucat di wajah Isti.

Kedua tangan Isti mengepal sangat erat. Ia bernapas cepat. Amarahnya sudah mencapai puncak ubun-ubun dan ia bisa meluapkannya saat itu juga. Namun, diurungkanlah niatnya itu karena sadar masih berada di lingkup sekolah.

"Jika tidak segera aku luapkan, dadaku bisa-bisa terasa sesak. Ah, masa bodoh dengan mereka yang mendengarku. Aku sudah tidak kuat untuk menahan lagi. Aku ingin marah, aku ingin menjerit, aku ingin berteriak."

Usai berbicara panjang lebar seorang diri, Isti mengentakkan kedua kakinya menaiki anak tangga kembali ke loteng. Begitu sampai di loteng, Isti tidak sabar ingin mengumpat, memaki, mengeluarkan sumpah serapah atau apa pun itu yang bisa membuat amarahnya reda.

"Dasar kalian para cowok pecundang! Badas sekali, ya, cara kalian untuk membalasku. Kalian pikir aku takut? Kalian pikir nyaliku langsung ciut begitu saja? Kalian salah besar jika menganggapku seperti itu.

Benar di kelas aku dijuluki si kutu sama teman-teman, tapi jangan pernah sekali-sekali meremahkan aku! Aku bukanlah cewek lemah yang dengan mudahnya ditindas oleh kalian.

Para pecundang itu ..., hiihhh! Ingin rasanya aku menggilas mereka jadi remahan keripik. Songong benar mereka pakai acara periksa ke rumah sakit, minta laporan hasil visum, mengadukan aku ke pihak sekolah biar di-skors. Cih! Siapa takut? Lakukan sesuka kalian! Kalian pikir aku tidak bisa melakukan hal yang sama apa? Kalau aku sampai di-skors, kalian pun juga harus di-skors. Bukankah kalian yang memulai keributan ini terlebih dulu, hah?"

Isti mengatur napas pelan-pelan karena ia hampir kehabisan napas setelah terlalu banyak bicara. Suasana pun menjadi hening, tapi tidak berlangsung lama. Isti terlonjak kaget usai mendengar suara seseorang berkata kepadanya.

"Sudah selesai marah-marahnya?"

Isti menoleh ke belakang dan mendapati seorang siswa sedang berjongkok dengan punggung bersandar ke dinding loteng sekolah.

"Kamu?" Isti memekik keras.

"Sudah lega? Baguslah. Itu artinya kamu tidak akan terlalu banyak bicara lagi. Telingaku hampir saja dibuat tuli gara-gara mendengar suara jelekmu itu," tukas siswa itu dengan mulutnya yang pedas. Siapa lagi kalau bukan Makrus.

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini? Menyanggongku, hah?" Emosi Isti auto meledak, melihat salah seorang rekan Aldo.

"Kurang kerjaan sekali aku menyanggongmu," timpal Makrus sambil beranjak berdiri.

Isti dan Makrus saling berdiri berhadapan dan juga saling menatap tajam. Isti kembali bersuara.

"Bohong. Ini pasti salah satu siasat kalian untuk mulai membalasku, 'kan? Mengaku saja kamu!"

Makrus tidak menanggapi tuduhan yang disematkan Isti kepadanya. Makrus justru melempar balik sebuah pertanyaan untuk Isti.

"Kalau aku punya penawaran baik untuk kamu, maukah kamu menerima dan melakukannya?"

"Hah? Penawaran baik apanya?" tandas Isti sengit.

"Aku serius. Please, kamu jangan marah dulu!" pinta Makrus.

"Cepat kamu katakan apa penawaran baik itu!" Isti memerintah dengan ketus.

"Mari kita berdamai!"

Kata-kata yang baru saja diucapkan Makrus sontak berhasil membuat Isti melotot lebar.

"Apa? Tidak salah dengarkah aku? Aku pikir penawaran baik darimu itu akan berpihak dan juga menguntungkan aku. Ternyata apa? Sungguh di luar dugaan dan aku tidak menyangkanya sama sekali.

Kamu memintaku untuk berdamai dengan kalian? Oh, tidak. Sampai kapan pun itu tidak akan pernah terjadi sebelum kalian yang terlebih dulu memiliki itikad baik untuk minta maaf khususnya kepada Adniel."

"Jadi, kesimpulannya?" tanya Makrus.

"Dengan tegas, aku menolak damai dengan kalian. Ingat itu!" ucap Isti dengan tekad berapi-api.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro