BAB 3 : MENOLAK TAWARAN MENJADI NARASUMBER

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hah! Yang benar saja. Mereka pikir mereka siapa? Seenak jidat main suruh minta maaf. Heran, ya, anak sekolah zaman sekarang cara berpikirnya kejungkir balik. Mana ada yang tidak bersalah minta maaf ke yang bersalah. Ck! Tidak sudi lah aku melakukannya."

Sambil berjalan cepat menuruni anak tangga, Isti mengoceh tak karuan seorang diri. Begitu kakinya telah berpijak ke lantai dua, Isti dikejutkan dengan kemunculan sepasang siswa dan siswi dari balik dinding tangga sekolah.

"Astaghfirullah. Aku kira penampakan. Mengagetkan sekali." Isti memekik kaget sambil kedua tangannya diletakkan ke dada.

Jangankan langsung minta maaf, sepasang siswa dan siswi yang diketahui dari nametag seragam mereka bernama Joshua dan Josephine, tertawa cengengesan sambil menggamit lengan Isti.

"Eh, apa-apaan kalian ini?" Isti bingung bukan kepalang menghadapi tingkah Joshua dan Josephine yang tiba-tiba berdiri mengapit dirinya.

"Kakak .... Bagi-bagi cerita, dong!" Josephine buka suara terlebih dulu sambil menunjukkan tingkah manja dan juga centilnya di depan Isti.

Di atas kepala Isti auto muncul tiga buah tanda tanya besar. Isti meluruskan pandangan kemudian mengerjap beberapa kali. Ia pun lekas bicara sendiri di dalam hati.

"Ish. Kedua bocah ini datangnya dari mana, sih? Kenal mereka saja kagak, ingin sok-sokan main bagi-bagi cerita. Aduh, kurang kerjaan amat!"

"Gimana, Kak? Bersedia, ya?" Giliran Joshua angkat bicara sambil menggoyang pelan tubuh Isti.

Isti mengembuskan napas pelan. Tak ingin dicap sombong, Isti setengah hati menanggapi permintaan Joshua dan Josephine yang gaje alias gak jelas.

"Begini, ya, Kawan. Aku ini bukan orang yang dengan mudah berbagi cerita kepada orang lain. Apalagi orang lain itu, aku tidak mengenalnya. Jadi, ya, aku sorry to say saja."

"Begitu, ya, Kak. Kalau kita mengajak Kakak untuk saling berkenalan dulu, Kakak tidak keberatan?" tanya Josephine yang dengan begitu cerdiknya menanggapi ucapan Isti.

"Kenalan dulu, ya? Boleh, sih, tapi bukan sekarang waktunya. Sebentar lagi bel masuknya, 'kan, mau berbunyi. Aku harus segera kembali ke kelas. So, please, kalian lepaskan tanganku!" pinta Isti yang juga tak kalah cerdik untuk berkelit.

"Tidak. Josephine, jangan kamu turuti kata-kata Kakak ini! Sebelum dia bersedia untuk berkenalan dengan kita, jangan lepaskan tangannya!" perintah Joshua tegas.

"Kenapa kalian memaksa begitu, sih? Aduh. Sakit, nih. Jangan erat-erat menggamit lenganku!" Isti mengerang kesakitan.

Isti mencoba untuk melepaskan diri dengan cara memberontak kecil, tapi usahanya sia-sia. Joshua dan Josephine semakin erat dan kencang menggamit lengan Isti.

"Hey, Guys. Cara yang kalian pakai itu sangat tidak estetik sekali. Lihatlah! Calon narasumber kita menjadi sangat ketakutan seperti itu."

Seorang siswa tiba-tiba muncul sambil melayangkan protes untuk tindakan yang dilakukan oleh Joshua dan Josephine.

"Maafkan kami, Kak Adi. Bukan maksud kami untuk ...," ucap Joshua dan Josephine bersamaan. Namun, ucapan mereka tidak terselesaikan karena siswa bernama lengkap Stefanus Adi itu, buru-buru menyela.

"Tidak apa-apa. Untuk berikutnya, tolong jangan diulangi lagi! Mengerti?"

"Baik, Kak." Joshua dan Josephine kompak menjawab bersamaan seraya perlahan-lahan melepaskan tangan Isti.

Adi melangkah mendekat lalu berhenti tepat di depan Isti. Diamatilah sosok Adi yang berparas tampan dan rupawan, berpostur tubuh sedang alias tidak pendek maupun tidak tinggi, dengan mata yang tidak berkedip sedikit pun.

"Kakak ini serius sekali mengamati Kak Adi-nya," celetuk Joshua usil.

"Jelas, dong, Jo. Jangankan dia, aku juga pasti melakukan hal yang sama saking terpesonanya kepada Kak Adi," sahut Josephine blak-blakan.

"Benarkah begitu, Kak Adisti?" tanya Adi yang masih terus memandangi Isti.

"Bukan. Jangan dengarkan mereka karena semuanya itu tidaklah benar!" jawab Isti secepat kilat untuk menutupi rasa gengsinya karena memang benar-benar terpesona akan sosok Adi.

"Ngomong-ngomong, apa maksud ucapan kamu barusan tadi? Calon narasumber, siapa? Maksudnya aku?" tanya Isti bertubi-tubi kepada Adi.

Teeeeettttttt ...!!!

Bel masuk sekolah berbunyi panjang dan Isti belum mendapatkan jawaban yang ingin ia dengar.

"Aku ngomongnya agak cepat, ya, Kak. Soalnya mesti buru-buru masuk kelas. Jika Kakak penasaran ingin tahu jawabannya, silakan Kakak datang mengunjungi ruang ekskul klub jurnalistik saat jam istirahat nanti. Terserah mau jam istirahat pertama atau kedua, aku dan mereka selalu stand by di sana." Adi memberi tahu panjang lebar.

"Ah, baiklah. Kalau tidak lupa, aku akan ke sana nanti."

"Kami tunggu kedatangan Kakak. Kalau begitu, kami permisi pamit. Ayo! Joshua, Josephine, kalian juga kembalilah ke kelas!" perintah Adi.

Joshua dan Josephine menurut. Mereka beranjak menuruni anak tangga, meninggalkan lantai dua untuk menuju lantai dasar, tempat kelas mereka berada.

Sedangkan Adi berjalan melewati Isti untuk menaiki anak tangga menuju lantai atas, tempat kelasnya berada.
Sementara Adisti bergegas berjalan cepat menyusuri lorong lantai dua untuk menuju ke kelasnya.

Fiuh!

Adisti menggembungkan kedua pipi kemudian membuang napas di dalamnya dengan kasar setelah ia duduk bersandar lesu di bangku kursi miliknya.

"Isti. Kamu kenapa dan dari mana saja?" tanya teman sebangku Isti yang bernama Mutiara.

"Habis balik dari neraka."

Isti bergumam selirih mungkin, tapi Mutiara masih bisa mendengar apa yang baru saja dikatakan teman sebangkunya itu. Mutiara menaikkan sebelah alisnya.

"Mana ada neraka di sekolah ini? Kamu aneh-aneh saja, deh, Isti." Mutiara balas menimpali.

"Setelah kejadian tadi, mungkin hari-hariku ke depannya akan terasa sangat berat. Ah, bagaimana ini? Aku tidak yakin bisa melaluinya." Isti mengerang frustrasi.

"Kejadian apaan, ya? Please! Kamu cerita, dong. Aku kepo, nih."

"Lain kali saja, ya. Mood-ku benar-benar lagi buruk ini." Isti menolak halus permintaan Mutiara.

"Iya, deh. Aku bisa bersabar, tapi cepat perbaiki mood kamu yang buruk itu! Benar-benar bikin orang penasaran saja kamu ini," timpal Mutiara sedikit kecewa.

Dari jam pertama hingga jam keempat, Isti tidak begitu bersemangat mengikuti pelajaran. Beruntung waktu bergulir sangat cepat, sehingga ia bisa segera menemui Adi begitu bel istirahat pertama berbunyi.

"Adniel. Kenapa kamu juga ada di sini?"

Isti yang baru saja melangkah masuk ke ruang ekskul klub jurnalistik, membelalakkan kedua mata karena terkejut mendapati Adniel yang juga ikut berada di dalamnya.

"Apa Kak Isti juga diminta untuk datang kemari oleh mereka?"

Adniel yang sama terkejutnya, melempar pertanyaan balik kepada Isti. Isti menjawab pertanyaan Adniel dengan sebuah anggukan kepala.

"Kemari, Kak! Duduklah di dekatku sini! Aku ingin memberi tahu Kak Isti sesuatu," ucap Adniel setengah berbisik seraya melambaikan tangan ke arah Isti.

"Apa itu?"

"Haruskah kita menjadi narasumber mereka? Mereka ingin mengulik kejadian perisakan yang terjadi di loteng tadi. Kak Stefanus Adi, si kakak Ketua OSIS itu, sudah lama terobsesi dengan ketiga orang siswa yang hampir merisakku." Adniel menjabarkan penjelasan panjang lebar.

"Hah? Apa? Kalau aku pribadi, aku tidak akan pernah sudi menjadi narasumber mereka. Kalau si Adi itu memang terobsesi dengan mereka dari lama, seharusnya ia langsung menguber mereka. Bukannya malah menjadikan kita sebagai batu loncatannya. Tidak. Pokoknya aku tidak mau dan tidak bersedia untuk menjadi narasumber mereka. Aku menolaknya mentah-mentah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro