BAB 4 : KENA BULLY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adisti menoleh ke belakang setelah Adniel setengah berbisik memberitahunya bahwa Adi sudah muncul di ruang ekskul klub jurnalistik tersebut.

"Jangan merasa canggung! Di sini itu bebas untuk menyuarakan pendapat, kok, Kak."

Stefanus Adi bicara sambil menyunggingkan seulas senyum. Ia pun bergegas beranjak dari ambang pintu tempatnya berdiri, mendekat ke arah sebuah bangku meja di mana Isti dan Adniel telah duduk di depannya.

Suasana hening melingkupi ketiganya. Tak ada satu pun dari mereka yang angkat bicara seusai Adi duduk saling berhadapan dengan Isti dan Adniel.

"Tumben ruang ekskul ini sunyi senyap seperti kuburan."

Josephine berceletuk asal untuk memecah keheningan. Ia dikawal Joshua di belakangnya, berjalan menerobos masuk tanpa permisi terlebih dulu.

"Hai, Kak Adi. Maaf kami sedikit terlambat datangnya. Bagaimana hasilnya, Kak? Apa mereka bersedia ...?" Kata-kata Josephine terputus dan tidak selesai diucapkan karena Isti secepat kilat menyelanya.

"Hasil apaan? Bersedia untuk apa? Menjadi narasumber kalian? Kak Adi kalian ini sudah tahu jawabanku. Jadi, silakan beri tahu mereka agar aku tidak perlu repot-repot mengulanginya lagi!"

"Kak Adisti, mohon untuk tenang dulu! Aku bahkan belum menyampaikan tujuanku meminta Kak Adisti dan juga Adniel untuk menjadi narasumber klub jurnalistik ini." Pada akhirnya, Stefanus Adi berani bersuara.

"Tidak perlu kamu sampaikan apa tujuan itu karena aku sudah tahu. Kalau kamu memang terobsesi dengan mereka, kamu uber mereka sendiri sana! Jangan malah mengikutsertakan kami pula! Menambah beban pikiran dan batin saja," timpal Isti ketus.

"Begini, Kak. Alasan kami menunjuk Kakak untuk menjadi narasumber, itu karena Kakak telah berani melawan mereka si kubu perisak. Kak Isti pastinya tahu sendiri, 'kan, kalau sampai saat ini belum ada yang berani bersuara apalagi melawan perbuatan mereka selain Kakak."

Tak ingin menyerah begitu saja untuk meyakinkan Isti, Adi mengemukakan alasan yang sangat masuk akal.

"Sekali tidak, ya, tetap tidak. Kalian salah orang. Jika ingin mendapatkan narasumber, carilah korban lain yang pernah dirisak oleh mereka! Pokoknya jangan kami!" Isti tetap berpegang teguh dengan keputusannya.

"Kami sudah mencobanya, tapi mereka menolak. Mereka sangat ketakutan dan tidak ingin berurusan dengan para perisak itu lagi." Josephine angkat bicara, memberi tahu Isti.

"Nah, itu dia. Kami pun juga mengalami hal yang sama, tapi kenapa kalian malah ...?"

"Jika takut, kenapa Kakak lantas menolongnya?" Joshua menyela ucapan Isti sambil menjulurkan jari telunjuknya lurus ke depan, menunjuk Adniel.

"Itu karena dia adik kandungku. Salah aku menolongnya, huh? Aku pikir kamu pun juga akan melakukan hal yang sama andai teman perempuanmu itu menjadi korban bully para perisak itu," tandas Isti.

Joshua lekas menurunkan jari telunjuk dan wajahnya auto menunjukkan ekspresi bingung.

"Teman perempuan siapa dan yang mana?" tanya Joshua.

"Dia, dong." Isti berkata sambil menunjuk ke arah Josephine.

"Kalian sangat akrab dan saling lengket satu sama lain. Bukankah terlihat sangat jelas kalau dia teman perempuanmu?"

Isti asal mengambil kesimpulan dan Adniel buru-buru menyikut lengan sang kakak.

"Kak, bukan. Mereka bukan sepasang kekasih, melainkan saudara sama seperti kita." Adniel memberi tahu.

"Apa? Benarkah kalian berdua bersaudara?" tanya Isti penasaran sambil mengamati Joshua dan Josephine silih berganti.

"Benar yang dikatakan Adniel. Aku dan Josephine memang bersaudara, tepatnya kami adalah saudara kembar," jawab Joshua.

"Ya, maaf. Aku tidak tahu," sahut Isti dengan entengnya.

Stefanus Adi berdehem. "Obrolan kita ternyata sudah melenceng sangat jauh."

Isti mengalihkan pandangan kedua matanya ke Adi. "Bagus, dong. Lagipula sudah tidak ada yang perlu dibahas, 'kan? Keputusanku sudah bulat. Kalian jangan pernah berharap aku akan mengubahnya! Aku bukan tipe cewek yang dengan mudah menggonta-ganti keputusan."

Isti bangkit dari kursinya sambil berkata lagi. "Sudah waktunya aku harus kembali ke kelas. Adniel, ayo!"

"Iya, Kak," jawab Adniel singkat.

Isti berjalan meninggalkan ruang ekskul klub jurnalistik terlebih dulu. Adniel beranjak berdiri dan hendak menyusul sang kakak, tapi tiba-tiba ia diadang oleh duo kembar, Joshua dan Josephine.

"Adniel. Kamu kawan kami karena kelas kita bersebelahan. Kamu berkenan, ya, mampir ke kelas kami untuk sekadar berbagi cerita tentang kamu yang hampir dirisak oleh geng kakak kelas?" bujuk Josephine manja.

"Memangnya aku harus bercerita apa? Yang bisa aku bagikan ke kalian, ya, hanya ini. Kakakku datang tepat waktu untuk menolongku dari geng kakak kelas itu. Kalau kalian meminta info lebih tentang mereka, ya, aku mana tahu. Sudah, ya. Aku juga harus kembali ke kelas, nih."

Usai berkata panjang lebar, Adniel bergegas berjalan meninggalkan ruang ekskul klub jurnalistik itu.

Tanpa disadari sedikit pun oleh mereka, diam-diam ada seorang siswa yang menguping pembicaraan dari balik pintu ruang ekskul klub jurnalistik tersebut. Seorang siswa itu adalah Makrus.

Hari itu menjadi hari paling membetekan bagi Isti. Seharian ia kurang bersemangat serta kurang fokus menerima pelajaran. Mutiara, teman sebangku Isti, dibuat gusar setengah mati.

"Isti. Aku ini kamu anggap apa? Aku bukan patung. Aku teman sebangku kamu. Kalau kamu sedang ada masalah, kamu bisa berkeluh kesah padaku. Jangan memasang muka bete seperti itu terus! Aku merasa tidak nyaman, nih." Mutiara memulai percakapan terlebih dulu.

"Maaf, ya, Mut. Bukan maksud aku tidak mau cerita ke kamu. Kalau aku cerita, bawaannya ingin marah-marah melulu tiap kali ingat kejadian menyebalkan itu. Huft!"

"Ish. Kamu pintar sekali buat orang jadi penasaran begini. Baiklah kalau kamu menolak untuk cerita saat ini. Namun, kamu tidak boleh menolak jika aku ingin mengajakmu makan siang di kantin sekarang," ucap Mutiara panjang lebar.

"Kamu duluan saja, nanti aku susul. Aku ingin menghampiri Adniel di kelasnya sebentar untuk memastikan dia benar-benar pulang sekolah," kata Isti memberi tahu sambil bangkit dari bangku kursinya.

Isti bergegas meninggalkan kelas dan juga Mutiara yang sedang memanyunkan bibir.

Isti telah sampai di lantai dasar, tempat di mana kelas Adniel berada.

"Niel."

Isti berseru lantang sambil melambaikan tangan dan berlari kecil mendekati Adniel yang baru saja keluar dari kelas dengan menggendong tas punggung.

"Mm? Kak Isti kenapa kemari? Seharusnya Kak Isti makan siang saja di kantin. Katanya nanti ada kegiatan les wajib," tukas Adniel begitu sang kakak telah berhenti dan berdiri di depannya.

"Aku kemari cuma ingin memastikan kamu akan pulang sekolah dengan aman dan selamat. Jujur saja, ya, Niel. Setelah kejadian pagi tadi, aku jadi sedikit parno. Aku tidak ingin kamu bertemu dan disakiti oleh mereka lagi," kata Isti sambil menunjukkan raut wajahnya yang auto langsung berubah cemas.

"Oh, ternyata Kakak masih kepikiran kejadian yang tadi pagi. Kak Isti tenang saja! Itu tidak akan terulang lagi untuk kedua kali," balas Adniel berusaha menenangkan pikiran Isti.

"Yakin kamu?" tanya Isti balik dengan mata menyipit.

"Yakin seratus persen, dong, Kak," jawab Adniel optimis.

Isti dan Adniel melanjutkan percakapan mereka sambil bergerak menjauh meninggalkan kelas, menuju ke halaman.

"Tetap saja aku masih merasa cemas dan khawatir, Adniel. Secara kamu masih termasuk siswa baru di sekolah ini. Kalau mereka ingin mem-bully, lebih baik bully saja aku!"

Kalimat yang dilontarkan Isti sukses membuat Adniel menghentikan langkah kedua kakinya. Ia lantas memandangi sang kakak dengan tatapan nanar.

"Kak Isti jangan berkata seperti itu lagi, ya!" pinta Adniel.

"Tidak apa-apa, Niel. Aku siap menerima perlakuan apa pun. Asal yang terpenting bukan kamu."

Setelah berkata-kata seperti itu, kejadian tak terduga dan tidak pernah disangka sama sekali, datang menimpa Isti.

Sekujur tubuh Isti bahkan seragam putih abu-abu yang dikenakannya, basah kuyup akibat kena guyuran air yang datang entah dari mana.

Adniel membelalakkan mata saking terkejutnya. Amarah langsung melingkupi dirinya.

"Kurang ajar! Siapa yang sudah berani berbuat seperti ini kepada Kak Isti? Sial! Dari mana datangnya air ini?" rutuk Adniel tak karuan.

Adniel menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati sekitar. Namun, hasilnya nihil. Ia tidak menemukan sosok pelaku mencurigakan yang telah berbuat kurang ajar kepada sang kakak.

Adniel lantas berinisiatif untuk mendongak ke atas. Matanya menyipit begitu menangkap sosok yang sama sekali tidak dikenal, berdiri di lantai tiga sambil mengamati ke bawah dan masih memegang ember di tangan.

"Pasti ini ulah mereka. Tidak bisa dibiarkan. Aku harus menemui dan langsung membalas perlakuan kurang ajar yang telah mereka lakukan ke kakakku."

Sosok mencurigakan yang dipandangi Adniel, ikut beranjak menghilang dari tempatnya berdiri begitu Adniel mulai mengayunkan kedua kaki.

Namun, aksi Adniel tersebut segera dicegah oleh Isti. Isti mencengkeram erat siku Adniel hingga membuatnya terhenti. Ia lekas menoleh ke arah Isti lalu menatapnya tajam.

"Kak Isti kena bully seperti ini, bagaimana bisa aku diam saja? Please, Kak! Jangan cegah aku! Izinkan aku untuk bertindak membalas orang-orang itu!" pinta Adniel tegas.

Isti perlahan membuka kedua matanya yang sempat terpejam karena terkena guyuran air, tapi tidak membalas tatapan Adniel. Tanpa bersuara sepatah kata pun, Isti mengabulkan permintaan Adniel. Dilepaskanlah siku Adniel yang sempat dicengkeram erat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro