Keluarga Mr. Wijk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perjalanan pulang menuju rumah serasa tidak terasa. Bukan apa-apa, melihat bidadari lewat di depan masjid tadi benar-benar membuat isi kepalaku dipenuhi gadis non muslim itu. Rupawan, benar-benar sosok dewi. Aku hampir lupa diri. Kalau saja tidak salah fokus dengan anting dan kalungnya, mungkin saja aku langsung bicara pada Abi dan berkunjung ke rumahnya langsung.

Manly banget kan niat Ucup.

"Astagfirullah.. Tuh cewek dahsyat amat."

Aku berdecak, menggeleng pelan berusaha menghilangkan bayangan gadis bertopi jaring itu. Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Bahkan pikiranku seharusnya dipenuhi soal tugas makalah seni yang entah sudah aku save atau tidak, alur anime Tokyo Ghoul pun aku hampir lupa. Tapi yang terpenting adalah..

"Bang Ucup? Mau masuk apa enggak? Jangan ngelamun di depan gerbang gini, dong. Maryam mau masuk rumah nih."

"Astagfirullah." aku mengusap wajah kasar, menyadari diri bahwa aku sudah berjalan sampai di depan gerbang rumah. Dan sialannya, Maryam melihatku melamun yang membuatku malu bukan kepalang.

Dengan sedikit senyuman, aku membuka pintu gerbang mempersilakan adikku satu-satunya itu masuk ke dalam rumah. Dia mencebik kesal, mengembuskan napas lelah berjalan mendahuluiku menuju pintu utama rumah.

"Woi! Kata Abi ngaji." teriakku malas.

Maryam menoleh jengkel, "Bawel."

Aku menggeleng jengah, berjalan mengikuti adikku memasuki rumah lantas menjatuhkan diri ke atas sofa. Lelah. "Ibu belum pulang."

"Gak nanya."

Mendengar jawaban Maryam sontak aku mendengus, "Nyebelin lo."

Maryam melengos, tidak menanggapi perkataanku barusaja. Adikku memang agak sedikit tempramental. Emosinya belum stabil. Mungkin, alasannya karena dia terus saja mendapat perintah Abi untuk menjadi hafidz. Bukan itu saja, Ibu juga sering menasehatinya untuk tidak mengikuti eskul Paskibraka yang seperti dia inginkan. Ibu lebih setuju dengan eskul PMR. Entahlah aku tidak mengerti dengan pemikiran Ibu.

Ya begitulah keluargaku. Di luar mungkin orang-orang menilai anak-anak dari pasangan ini sungguh hebat. Tapi di balik itu, kami merasa tertekan dan berusaha tidak peduli dengan tekanan yang kami terima. Aku mencoba berpikir positif, Maryam pun demikian. Bahwa keputusan mereka pun pasti mempunyai alasan baik untuk anak-anak mereka.

Dan yang kutahu, cara mereka saja yang salah.

Lama aku merenungkan diri, kutarik peci hitam yang menempel di kepala, menggaruk rambut lantas bangkit berjalan menuju kamar. Kebetulan, kamarku bersebelahan dengan kamar Maryam. Sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat suci di balik kamar sebelah. Mungkin Maryam sudah berganti pakaian, mandi, salat ashar, kemudian mengaji seperti yang diperintahkan Abi.

Aku berdecak, mungkin saja dia masih lelah dan belum makan. Bagaimanapun dia butuh istirahat cukup. Bagaimana aku tidak khawatir, di rumah ini, aku yang selalu memperhatikan keadaan Maryam. Bukan Abi yang bertugas menjadi RT sekaligus dosen yang pulang dari Bandung seminggu sekali, bukan juga Ibu yang kerja dari pagi hingga sore. Orangtua kami sibuk bekerja demi menafkahi sekaligus menekan kami dengan perintah-perintah egoisme mereka.

Perlahan, aku membuka pintu kamar Maryam tanpa permisi. Sudah menjadi kebiasaan. Maryam tidak perlu menutup-nutupi apa yang menjadi privasinya. Termasuk masa pubertasnya. Kadang aku merasa malu juga jika harus menghadapi Maryam dalam masalah khusus anak perempuan.

Maryam yang sedang khusuk membaca ayat suci tidak bergeming dan terus melanjutkan.

"Mar, makan dulu. Kamu bisa ngaji nanti maghrib. Cepet. Capek kan, lo habis pulang eskul."

Maryam melirikku sekilas, lantas mengakhiri pengajiannya barusaja. Ia berdiri menyimpan kitab suci ke atas meja belajar kemudian melepas mukena dan merapikannya tanpa menjawab ajakan makan dariku.

Aku menghela napas, memasuki kamarnya dan menjatuhkan diri ke atas tempat tidurnya yang bernuansa hijau keropi. "Tadi latihan P3K atau--"

"Tandu darurat." jawab Maryam singkat, padat, dan jelas.

Aku berdecak, "Jajan yang berat-berat gak tadi di sekolah?"

Mendengar pertanyaanku Maryam menatapku jengah, lantas membuka pintu kamar pergi meninggalkanku. Kusunggingkan senyuman miris, ikut beranjak pergi meninggalkan kamar menuju ruang makan. Dan hanya kami berdua di sini. Maryam mendudukkan diri di salah satu kursi meja makan, menatap tudung saji di depannya malas.

"Abi yang masak apa lo yang masak, Bang?"

Aku yang barusaja sampai mengikutinya langsung menatapnya sebal. "Gue yang masak."

Dengan wajah lesu dan malas, Maryam langsung membuka piring dan tudung saji di atas meja. Wajahnya masih biasa saja. Tanpa ekspresi dan emosi. Ya, sekali emosi, Maryam sangat amat menyebalkan. Risiko punya adik cuek, dingin, dan labil memang seperti ini. Susah.

"Oh, iya Mar, Abi kayaknya gak bakal jemput Ibu kayak biasanya." aku berusaha melanjutkan percakapan di antara kami. Dan Maryam malah semakin sibuk dengan makanan yang dia lahap tidak peduli.

Aish. Aku menggeram menahan kesal. Heran, perasaan aku bukan anak cowok yang dingin dan cuek, Abi juga tidak. Oh, iya. Gen Ibu memang terlihat kental melekat dalam diri Maryam. Ibu yang cuek, liberalis, dan berwawasan bebas. Aku lupa beliau belum pulang, padahal sudah pukul lima sore.

"Ibu belum pulang?"

Aku mendongak, mendengar pertanyaan Maryam. "Belum Mar. Makanya Abang mau telpon Abi buat cepet jemput Ibu."

Maryam berdecih, "Padahal lo aja yang jemput Ibu, Bang. Abi paling ngobrol lama sama Ustad Lukman."

"Bukan Mar, Abi lagi ngurusin orang pindahan rumah Haji Munir."

Tepat saat aku menyangkal pernyataan Maryam, suara gerungan motor terdengar di depan pintu gerbang rumah. Aku merengut, beranjak melihat siapa yang datang berkunjung ke rumah. Melihat dari penampilannya yang terkesan modis dan rapi, aku menghela napas lega. Ternyata Ibu. Wanita cantik dengan pakaian kantor serba hitam, blazer hitam, rok selutut, dan rambut hitam bergelombang menjuntai menutupi pundak. Kulitnya yang putih kekuningan, khas melayu, wajahnya yang anggun, serta bibirnya yang dilapisi gincu merah bata.

Berbeda jauh dengan penampilan Abi dan ekspektasi tingkat tinggi tetangga kami tentang istri dari seorang Dosen Gibran Muhammad Al Fatih. Ibu benar-benar seorang jurnalis liberal yang tidak terlalu peduli tentang penampilan seorang muslimah sesungguhnya. Entah apa yang menjadi pelet dari seorang Ibu. Arum Jurlinawita Dewi.

"Assalamualaikum." beliau datang sambil tersenyum dan kusambut dengan mengecup punggung tangan wanita itu.

"Waalaikum salam. Ibu pulang sama siapa?" tanyaku langsung pada intinya.

"Ojek online. Abi kamu kan sok sibuk terus." Ibu berjalan mendahuluiku melihat sekeliling rumah menuju ruang makan, "Maryam udah pulang, Suf?"

"Udah. Tuh lagi makan." aku menunjuk Maryam yang kini menyambut kedatangan Ibu dengan senyuman, lantas mengajak Ibu untuk makan bersama.

Ibu tersenyum, mengibaskan rambutnya elegan duduk di samping Maryam. Beliau menatapku, "Kamu gak ikut makan, Suf?"

Aku menggeleng, "Udah tadi bareng Abi."

Ibu mengangguk, mulai menyantap makanan yang aku masak sepulang sekolah tadi. Kebetulan, tadi siang guru pelajaran Sejarah Minat tidak hadir karena ada rapat guru. Jadi, semua siswa dipulangkan saat jam pelajaran terakhir. Itu sebabnya aku pulang terlebih dulu dari Maryam.

"Ananta, masakan kamu emang yang paling enak."

Mendengar pujian Ibu lengkap dengan nama andalan kesukaannya, aku bersorak ria, "Syukron, Ummi."

"Eits, don't call me Ummi, boy, just call me Ibu. I'm not your father, don't forget, my boy."

Aku mengangguk lamat, "Maafkan aku Bunda. Ucup ke kamar ya."

Dengan senyum mengembang sambil merapatkan tangan, aku berjalan meninggalkan ruang makan menuju kamar. Samar-sama aku mendengar Ibu berdecak kesal berbisik pada Maryam.

"Don't following your brother, My Daughter."

Masa bodo. Kulangkahkan kaki menuju kamar hendak menyelesaikan aktivitas membuat tugas makalah seni. Saat aku membuka laptop yang masih di charge, aku menepuk jidat, mengusap wajah kasar.

Tugas makalahku lenyap dan sialannya belum aku simpan.

Astagfirullah. Inginku berkata asyyuuuhhh!!!

*

Malam pun tiba. Setelah melaksanakan kegiatan tadarus bersama di masjid An Nur, aku langsung berpamitan pulang untuk segera menyelesaikan tugas makalah seni yang kebetulan belum sepenuhnya selesai. Kubenarkan peci hitam di atas kepala, keluar dari dalam masjid menuju perjalanan pulang ke rumah.

"Cup!"

Mendengar seseorang memanggil namaku, sontak aku menghentikan langkahku lantas menoleh ke arah belakang. Ternyata anak-anak santri yang biasa mengajakku untuk nongkrong di depan gerbang batas kobong laki-laki dan perempuan.

"Ngopdud depan gerbang. Khalawa-khalawa."

Aku menggeleng, melambaikan tangan menolak ajakannya. Kalau tidak sekarang, pukul sembilan malam ini aku masih belum menyelesaikan tugas, bisa-bisa besok aku diamuk guru seni berkumis baplang itu. Ditambah aku sebagai ketua kelas yang harus memberi contoh baik kepada anak-anak kelas. Aish, susahnya manajemen waktu.

"Gue ada tugas banyak. Kalian aja."

"Sibuk benar Ucup ini." salah satu dari mereka, Lingga, menghampiriku dan menepuk bahuku akrab. "Masa kau mau lewatkan bidadari surga habis tadarus. Kau tolak rezeki."

Aku menggeleng jengah. Ditambah satu lagi, Rizwan, dia malah membacakan surat Ar-Rahman ayat 13 berulang kali sambil melihat ke arah belakangku berdiri. Lingga di sampingku ikut melirik apa yang dilihat Rizwan, bahkan anak-anak santri lain. Aku yang penasaran langsung membalikkan badan.

"Nikmat mana yang kau dustakan, hai manusia. Ya Allah, indah sekali wahai ciptaanmu itu. Santri-santri di sini pun k.o."

Aku menelan ludah. Melihat gadis rupawan yang kutemui melewati masjid tadi siang kini berjalan ke arah kami dengan mengenakan pakaian piyama miliknya. Bedanya, dia datang bersama seorang wanita cantik membawa jinjingan yang kutahu berasal dari minimarket. Rambutnya yang kecokelatan sengaja dikepang asal, hingga beberapa helai nampak keluar dari ikat rambutnya.

"Nampaknya dia ini orang Indo."

Mendengar celetukan Rizwan, aku mengerutkan dahi, "Indo?"

"Maksudnya, keturunan antara Indo-eropa. Itu disebutnya Indo. Kalau kita-kita sih, ras pribumi sangat."

Aku mengangguk. Memperhatikan langkah dara jelita itu yang kini semakin mendekati kami. Satu langkah, dua langkah, dan kami kembali berpapasan saat dia melewati kami dengan senyuman kecut yang ditampilkannya. Mataku terpaku akan keindahan sinar bulan yang beralih pada wajah gadis indo itu. MasyaAllah, benar-benar rupawan.

Rizwan di sampingku tak kalah terkejut, ia terus menggumamkan kata-kata kagum dengan menggunakan bahasa arab. Begitu juga dengan Lingga, laki-laki asal Minang itu tak henti-hentinya berbisik membacakan puisi-puisi pujangga khas miliknya. Mungkin di sini, hanya aku yang berhasil merebut perhatian salah satu dari dua perempuan itu. Wanita cantik dengan senyuman anggun berjalan ke arahku. Bukan gadis cantik di sampingnya yang sibuk memperhatikan layar ponsel di tangannya.

Tunggu sebentar, ke-kenapa wanita itu berhenti tepat di depanku?

"Permisi, saya mau tanya, kamu tahu Pak RT Gibran dimana? Tadi saya ke rumahnya, istrinya bilang dia lagi di masjid. Apa benar masjidnya yang ini?"

"Pak Gi-Gibran?" sontak aku tergagap. Sekaligus terkejut mendengar pertanyaan wanita itu tentang keberadaan Abi. Terlebih wanita ini sudah mengunjungi rumahku terlebih dulu. Dan kemungkinan besar, gadis di sampingnya itu sudah tahu rumahku di mana.

Aish. Fokus pada pertanyaan, Cup! Lupakan soal cewek!

Lingga di sampingku menyikut tanganku.

"Oh i-iya. Pak Gibran ada di dalam masjid. Paling pulang jam sepuluhan. Padahal Ibu bisa tunggu dulu di rumah beliau."

Wanita itu tidak pernah menghilangkan senyuman anggunnya, "Tadi saya sempat tunggu. Tapi kalau selama itu saya lebih memilih belanja dulu sebentar. Barangkali bertemu di jalan, kan."

Aku mengangguk, padahal di rumah ada Ibu yang bisa meng-handle pekerjaan Abi.

"Padahal kalau ada perlu langsung saja tanya ke Bu RT nya langsung. Mungkin bisa membantu." saranku.

"Sayangnya Bu RT tidak tahu berkas surat-surat kepindahan saya ke kampung ini disimpan di mana sama Pak RT. Di cari juga tidak ketemu-ketemu." Wanita itu melirik gadis di sampingnya, "Ya sudah, kalau ketemu Pak RT, tolong bilang sama beliau kalau Pak Wijk tadi cari bapak ke rumah. Ya."

"Ya. Nanti saya sampaikan." Aku kembali mengangguk, tak sengaja mataku beralih pada gadis di sampingnya. Refleks, wanita cantik di depanku berdeham pelan.

"Makasih ya. Kebetulan saya baru pindah ke rumah bekas Haji Munir. Kalau mau berkunjung silakan. Oh, iya, nama kamu siapa--"

"Ma, ini udah malam. Ayo pulang."

Aku melirik gadis di samping wanita itu. Barusaja dia bersuara, dan menyebalkannya dia memotong percakapan ibunya saat bertanya nama padaku. Dia melirikku, sekilas, dan beralih pada wanita di sampingnya yang kutahu itu ibunya. Barusaja dia memanggilnya Mama, bukan?

"Bella, sebentar." wanita itu kembali menatapku, "Maaf, nama kamu siapa?"

"Saya Yusuf. Bisa dipanggil Ucup." jawabku kembali melirik anak gadisnya. Aduh, mataku benar-benar tenggelam dalam keindahannya, Ya Allah.

"Saya Helena Larasati. Bisa dipanggil Ibu Wijk. Kebetulan suami saya asal Belanda. Jadi kami menggunakan nama marga suami saya, Jhonathan Richardson Wijk. Dan--" wanita itu melirik anak gadisnya, "Bella. Dia anak kami satu-satunya. Dia masih berduka atas meninggalnya Ibu saya kemarin dari Surabaya. Setelah acara pemakaman kemarin, kami langsung pindah rumah karena tuntutan kerja suami saya di Jakarta."

Oh.. Jadi begitu kronologi kepindahan gadis bernama Bella ini. Mereka pindahan asal Surabaya. Dan pantas saja, gadis cantik ini keturunan indo-Belanda. Bagaimana tidak rupawan kalau ayah dan ibunya benar-benar campuran ras yang sempurna.

"Saya turut berduka cita, Bu Wijk." aku menunduk, dan kembali menatap wanita itu simpati.

"Ya sudah, kamu tahu semuanya sekarang, kan? Tolong sampaikan pada Pak RT ya, Nak Yusuf. Selamat malam."

"Malam." Aku mengangguk, membiarkan dua perempuan itu melewati kami berjalan menuju rumah bekas Haji Munir yang tertelak beberapa meter dari masjid. Sempat aku melihat Bella melirikku sekilas, lantas kembali melihat jalan di depannya. Hanya sekilas. Tidak sepertiku yang sering lebih banyak mencuri-curi pandang ke arahnya.

"Hei Cup, kenapa kau tak mengaku kalau Pak RT itu Bapakmu." Suara Lingga kembali terdengar setelah memperhatikan percakapan di antara aku dan wanita tadi.

Aku menghela napas, "Malas. Biar jadi kejutan buat Bella."

"Bella?" tanya Rizwan mendekat, "Cewek tadi namanya Bella? Pantesan, Cup. Bella itu diambil dari bahasa Perancis yang artinya Cantik. Cocok."

"Sama gue?" tanyaku percaya diri.

"Sama lo, ndasmu!" Rizwan menoyor kepalaku, "Sama si pemilik nama lah."

Lingga menepuk bahuku, "Sebentar, Cup, dia asal mana, sih? Aku tidak memperhatikan percakapan kalian. Mataku selalu salah fokus dengan gadis cantik Bella itu."

"Bella itu anak dari Bapaknya orang Belanda dan Ibunya orang Indonesia. Mereka tinggal di Surabaya. Saat neneknya Bella meninggal, kemarin tuh, mereka langsung pindah ke sini karena Bapaknya ada tugas kerja di sini."

Mereka berdua mulai mengangguk mengerti.

"Tapi menurutku, Cup, kenapa pula mereka pilih kampung santri seperti ini dibandingkan apartemen di kota? Padahal enak kali hidup di apartemen."

Mendengar pernyataan Lingga, aku pun mulai berpikir demikian. Untuk apa memilih daerah kampung santri di banding daerah kota?

"Terserah mereka lah, Ling, duit-duit mereka, itu urusan mereka." Rizwan berdecak tidak peduli, lantas menatapku, "Mau ikut ngopdud, gak? Mumpung Abi lo sibuk di masjid."

Aku menepuk kening gemas, lupa soal tugas makalah di rumah, "Tugas Boss! Besok kumpulinnya. Gue gak bisa ikutan."

Lingga terkekeh, "Abi kau itu sibuk kali ya, apa Ibumu tidak sering kesepian?"

Aku mendengus, mengetok kepala Lingga sebelum meninggalkan kedua santri sengklek pejuang khalawa-khalawa pesona santriwati pesantren Nurul Jannah.

Tak sadar, bibirku mengembang senyum mengetahui sedikit info dari sosok gadis jelita bernama Bella itu.

Coba aku tebak, dia akan sekolah di mana ya? Masih SMP atau SMA? Apa jangan-jangan seperti di sinetron-sinetron, dia bakal sekolah di SMA yang sama denganku?

Aish, Cup! Berharap tingkat tinggi kamu!

__________

Agak susah juga ya pilih genre spiritual.

Vote komen boleh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro