Yusuf atau Joseph, Aku Pilih Ucup

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Assalamualaikum. Salam sejahtera. Kali ini aku hadir dengan segudang cerita yang akan disuguhkan kepada kalian. Dengan ditemani secangkir kopi hitam yang manis dan kue jahe. Tidak lupa sepuntung rokok yang sudah mengepul asapnya tersimpan asal di dalam asbak dekat laptop. Seharusnya sudah lama aku memimpikan berhenti merokok, tapi entahlah, lingkungan keluarga dan pesantren selalu membuatku terbawa suasana.

"Suf, kamu masih di kamar?"

"Mampus!" mendengar suara Abi, Ayahku yang sangat agamis, aku segera menutup layar laptop, melumat rokok pada asbak dan segera kusembunyikan ke dalam kolong ranjang. Sebenarnya aku sedang menonton anime fantasi gelap Tokyo Ghoul, bukan sedang mengerjakan tugas yang seharusnya dikumpulkan besok hari.

Tanpa permisi Abi sudah membuka pintu kamar, pria berkalung sorban itu menatapku tajam. Aku akui, walaupun beliau sudah tidak muda lagi, dia tetap berjiwa anak muda, berwibawa dan ganteng. Pantas saja gantengnya menular padaku. Biarkan aku percaya diri sebentar.

"Cepet ke masjid."

Aku menarik sarung di atas sajadah, kemudian menoleh pada Abi, "Abi yang adzan, kan?"

Abi berdecak, berjalan mendekat, "Sejak kapan kamu malas adzan? Adzan di masjid itu kan seharusnya dilakukan anak muda kayak kamu. Anak muda yang bakal menjadi pelopor generasi bangsa yang baik."

Baik. Aku mengangguk. Mengiyakan perintahnya. Tapi yang buatku gugup adalah, dia mengendus-endus daerah sekitarku. Gawat. Dia bakal--

"Ngerokok lagi?"

Mati aku. Beliau begitu menatapku penasaran. Dengan sorot mata tajamnya ia beranjak mencari rokok dan asbak di sekitar kamar.

"Abi, bukannya kita mau ke masjid."

Abi menoleh, membuat jantungku berdegup takut. "Kamu pikir bisa bohongi Abi." beliau menunduk, melihat kolong ranjang dan sukses menemukan apa yang aku rahasiakan dan sembunyikan.

"Yusuf!"

"On the way masjid, Abi..!!!" mendengar teriakan menyeramkan Abi, aku berlari tunggang langgang menuju masjid tepat empat puluh meter dari rumahku. Kalau tidak, bisa habis aku dimarahi dengan ayat-ayat suci dan hadist-hadist.

Setelah berlari beberapa meter dari rumah, aku memperlambat laju lari dan berjalan santai menuju masjid. Di sepanjang jalan mulai kutemui beberapa tetangga dan santri-santri yang ikut berjalan menuju masjid. Kebetulan masjid ini berdiri bersamaan dengan Pondok Pesantren Nurul Jannah tepat sepuluh meter dari masjid An-Nur. Masjid di kampung A.

Sayangnya, aku bukan bagian dari mereka. Maksudku bagian dari santri-santri yang menuntut ilmu di dalam pondok. Tapi, Abi memperlakukanku layaknya santri saat di rumah. Ya sudah, agar lebih jelas latar belakangku, baik, aku akan menceritakan dengan singat kisahku sekarang.

Namaku Raden Yusuf Al-fatih. Itu menurut Abi dan akta kelahiran. Sementara Ananta Joseph Al-fatih, itu nama khusus dari Ibuku. Aku lahir dari pasangan yang berbeda paham. Bukan agama. Ayahku merupakan dosen Pendidikan Agama Islam di salah satu universitas negeri di Bandung. Sementara Ibu merupakan jurnalis kantoran yang memiliki pemikiran liberalis. Perbedaan membuat mereka menjadikan anak pertamanya itu seperti kelinci percobaan. Dimana aku diharuskan memiliki perilaku baik seperti anak santri, pandai menjadi imam masjid, adzan, murotal quro, dan sesekali ceramah. Namun, Ibu melarangku masuk pesantren. Dia berpikir bahwa pesantren itu seperti karantina, membuat tertekan dan sulit merasakan kebebasan untuk mendapatkan hak. Alhasil, aku dibesarkan dengan ilmu agama yang baik dan belajar di sekolah umum dan selalu mendapat predikat siswa terbaik.

Tapi. Mereka tidak tahu, bahwa aku lebih tertekan akan semua hal itu.

"Cup! Tumben telat, adzan sono!" salah seorang anak santri, Rizwan, menyuruhku untuk segera berjalan menuju mimbar.

Aku terkekeh, menepuk pundaknya, "Kenapa gak lo aja yang adzan, Bung."

Rizwan berdecak, "Kan Abi lo yang mau, Cup."

Aku melengos pasrah. Abi lagi, Abi lagi. Dia begitu berkuasa. Kunyalakan speaker masjid. Dengan satu tarikan napas, kuletakan tangan menutup sebelah telinga, memejamkan mata dan segera mengumandangkan adzan ashar dengan penuh perasaan. Suaraku begitu menggema di sekitar kampung. Menyerukan panggilan kepada semua ummat untuk segera menunaikan salat.

Usai mengumandangkan adzan, aku mulai melihat Abi sedang merapikan shaf barisan salat dengan rapi. Ia berdiri tepat di jajaran paling depan, di belakang tempat imam. Aku menghela napas, membaca iqomat kemudian turun dari mimbar hendak berdiri di tempat Abi.

"Imamnya Abi, kan?" tanyaku tersenyum lebar. Bersiap-bersiap.

"Kamu, Suf. Biasanya juga kamu."

"Why." aku bergumam pelan, merutuki diri berjalan menuju tempat khusus imam memimpin salat.

Dengan hati tenang, walaupun sebenarnya pikiranku melalang buana saat mengingat belum tamat hafal surat Yusuf, nonton episode sebelas Tokyo Ghoul yang belum selesai, ditambah tugas makalah Seni Budaya yang masih menganggur di word, entah sudah disimpan atau belum, semua ingatan itu lenyap saat aku mengucapkan niat salat ashar. Memulai ibadah dengan khidmat.

Usai beribadah salat ashar, setiap hari di sebelas tahun sampai sekarang aku sering belajar murotal quro di masjid dan dibimbing langsung oleh Abi dan Pak ustad Lukman guru quro pesantren Nurul Jannah bersama santri-santri lain. Kali ini aku belajar quro untuk surat An-Nisa. Surat ke empat yang berarti wanita atau perempuan. Melantunkan surat ini aku seperti dibawa melayang, membayangkan sosok gadis cantik berhijab dan salehah yang akan menjadi pendamping hidupku nanti.

Tahan Cup. Fokus pada tajwid dan getaran suara dalam mu! Baru kamu bisa pikirkan cewek-cewek.

Aish, aku mendesis, kemudian mengulang kembali lantunanku yang kini dibimbing oleh Abi sendiri.

"Coba deh, kamu bacakan pakai speaker. Kamu kayaknya udah lancar."

Aku mendongak, mengangguk. Seperti biasa, aku harus menuruti perintahnya yang menuntut itu. "Baik."

Dengan melewati beberapa santri lain, aku berjalan mengindahkan pujian-pujian Abi dan ustad Lukman saat aku melewati mereka menuju mimbar. Kunyalakan speaker, dengan satu tarikan nafas, kulantunkan surat An-Nisa ayat satu sampai lima dengan penuh konsentrasi pemilihan tajwid, nada dan getaran suara tinggi dan rendah. Suaraku begitu menggema dan mengalun di sekitar masjid dan kampung. Bahkan bisa membius ibu-ibu sekampung yang selalu membanggakan dan mendambakanku untuk dijadikan menantu. Tapi, karena aku masih kelas tiga SMA, mereka kembali mengurungkan niatnya itu.

"Ajib! Mantap juga lantunanmu itu, Cup!"

Setelah selesai melantunkan quro, Pak ustad Lukman dengan bangga bangkit dari duduk, berjalan lalu menepuk bahuku bangga. Sementara Abi tersenyum mengangkat jempol bersama beberapa pujian yang kudengar dari anak-anal santri di sana.

"Anakmu ini pantas masuk pesantren, Gibran. Yakinkanlah Ibunya, aku sangat bangga dengan prestasi Yusuf ini."

Pak ustad Lukman begitu erat merangkul bahuku, membujuk Abi untuk merayu Ibu agar memasukkanku ke dalam pesantren. Tapi itu sudah dilakukan Abi bertahun-tahun lamanya. Dan Ibu tetap kukuh menyuruhku untuk bersekolah formal dan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri.

"Aku sudah berusaha bujuk Diana. Kamu tahu pasti hasilnya, toh." jawab Abi dengan sedikit kekehan, melirikku. "Oh, Ya, Abi mau ngurus dulu orang pindahan ke rumah bekas Haji Munir, kamu pulang duluan aja. Jangan lupa, kalau adik kamu pulang, tadarus."

Aku mengangguk, memberi salam kepada semua orang sebelum pamit keluar dari masjid. Tidak lupa dengan pesan Abi tentang Maryam. Adik perempuanku yang kini masih mengikuti eskul palang merah remaja di SMP.

Barusaja aku hendak membuka pagar masjid, kulihat seorang gadis berambut hitam kecokelatan dibalut dress hitam selutut serta topi jaring hitam berbandul mawar hitam berjalan melewati masjid sambil membawa kardus kecil yang berisi buku-buku, tepatnya melewatiku begitu saja ke arah rumah besar bekas Haji Munir.

MasyaAllah. Sungguh indah mahakarya ciptaan engkau, Gusti. Rambutnya yang terurai tertiup angin senja, bola matanya yang menyimpan nirwana, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis, pipinya yang kemerah-merahan, alisnya yang cokelat dan sedikit tebal, aduhai kecantikannya begitu menyihir siapapun yang melihat sosok widodari ini, Gusti. Bolehkah hamba mu tenggelam dalam pesona dara jelita yang bahkan melebihi kecantikan Sri Ratu Wilhelmina ini untuk beberapa detik, menit, bahkan selamanya?

Sungguh, Ya Allah, aku terpedaya dan takluk.

Namun, sesuatu membuatku mengernyit, ragu, dan hancur. Semua kemegahan ekspektasiku itu terhenti saat kulihat anting dan kalung yang menggantung indah di leher putihnya.

Salib.

______________

Nyoba dulu ambil tokoh nama Yusuf. Entah Yusuf dari cerita mana, tunggu part lanjutannya ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro