Festival Bulan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara gema harmoni terdengar di seluruh ruangan luas dengan bentuk melingkar bercat putih dengan langit-langit melengkung seperti kubah. Suara dari paduan suara yang hanya terdiri dari lima orang wanita itu berhasil membuat hati siapa saja yang mendengarnya menjadi tenang dan merasa hidup seperti sang dirigen.

Seorang wanita yang memimpin paduan suara itu akhirnya menepuk tangannya sekali. "Okey, kita akhiri sesi latihan hari ini. Suara yang sangat indah semuanya, seperti biasa." Wanita paruh baya itu melihat kepada orang-orang di depannya dengan senyuman. "Tetap jaga kesehatan kalian. Selamat berisitirahat semuanya." Semua orang membubarkan diri dari ruangan itu setelah bercakap-cakap sebentar, kecuali satu orang.

Terra, yang merupakan salah satu anggota paduan suara itu melihat ke luar istana dari balkon tempat mereka latihan tadi. Semua orang di bawah sana sedang sibuk mempersiapkan festival bulan yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Sebuah perayaan bulanan yang dilaksanakan selama tiga hari di pertengahan bulan berdasarkan kalender bulan bersamaan dengan hadirnya bulan purnama.

"Nona Terra." Seorang penjaga kerajaan menghentikan lamunan sang Vockalla—sebutan bagi orang yang menjadi anggota paduan suara di kerajaan tersebut—yang tengah menopang dagu di pagar balkon itu. "Anda dipanggil oleh raja," lanjut si penjaga. Sudahkah disebutkan Terra juga merupakan seorang putri kerajaan?

"Aku akan segera ke sana, Luis," jawab Terra dengan suara lembut disertai senyuman yang menawan. Si penjaga tersipu, jarang ada anggota keluarga kerajaan yang tahu namanya. Dia pun menggangguk kemudian pergi dari hadapan sang putri. Walaupun ia seorang putri, tetapi ia menolak untuk dipanggil seperti itu. Menurutnya, panggilan 'Putri' terkesan seperti orang yang memiliki kasta yang terlalu tinggi, dan Terra benci hal itu, membuatnya seolah terisolasi dengan dunia luar.

Terra kembali melihat pemandangan yang membentang di hadapannya. Seulas senyum terpahat di wajahnya yang putih. Semilir angin menyapa helaian rambut pirangnya yang tidak ikut terkepang. Suasana yang meriah membuatnya ingin terjun langsung ke masyarakat hari ini.

Terra berjalan menyusuri lorong megah yang berhiaskan lukisan-lukisan klasik pada dindingnya. Mulai dari lukisan pemandangan, buah-buahan dalam mangkuk sampai para orang-orang berpengaruh. Warna merah marun dari kain beledu yang menempel di dinding menambah kesan mewah pada tempat itu. Kandelar-kandelar yang menggantung di langit-langit menjadi penerangan yang menawan.

Pintu besar berwarna merah dengan aksen emas yang menjadi penghubung lorong dengan ruang singgasana raja terbuka. Saat Terra melewati pintu itu, ia tidak melihat Sang Raja di singgasananya, bahkan ia tidak melihat ayahnya itu di mana pun di ruang tersebut.

"Di mana Ayahku?" tanya Terra pada penjaga yang ada di dekat singgasana itu.

"Beliau ada di taman belakang, Nona," jawab si penjaga dengan nada tegas.

"Oke, terima kasih, Stevan." Si penjaga tertegun. Ini pertama kalinya sang putri memanggil namanya.

"Ss ... sama-sama," jawabnya menjadi gugup.

Taman yang dimaksud adalah taman yang cukup besar di bagian barat istana. Tiga buah air mancur terlihat menari dengan jarak yang agak berjauhan. Labirin mini menghiasi tempat itu, cukup untuk menyesatkan orang yang memasukinya selama sehari. Bunga-bunga berwarna-warni membuat segar mata yang memandangnya, mulai dari hydrangea berwarna ungu, lili berwarna merah, mawar kuning, melati putih dan masih banyak lagi. Pohon buah rindang yang siap dipetik buahnya tersedia untuk menemani orang yang ingin bermalas-malasan di bawah kanopi teduhnya.

Terra melihat ayahnya yang sedang duduk santai di salah satu gazebo ditemani seorang pelayan wanita. Ayahnya terlihat sedang membaca beberapa lembar perkamen sambil meminum teh yang tercium sangat harum.

"Yang Mulia Raja, Anda memanggil saya?" kata Terra sambil agak membungkuk dan mengangkat sedikit gaun putihnya. Gestur yang selalu ia tunjukkan ketika menirukan seseorang ksatria wanita yang memberi hormat untuk menggoda ayahnya. Sang Raja terkekeh, begitu juga Terra. Sang Putri kemudian menghambur ke pelukan ayahnya. Jenggot tipis ayahnya membuat geli wajah Terra ketika rambut halus itu bergesekan dengan pipinya.

"Iya, Sayang. Bagaimana latihanmu tadi?" Terra mengambil tempat duduk di samping kanan ayahnya.

"Berjalan lancar seperti biasa." Terra tersenyum menampilkan deretan giginya yang teratur.

"Anda ingin teh, Nona?" tawar si pelayan wanita.

"Tentu saja!" jawab Terra dengan nada riang. Si pelayan kemudian mengambil cangkir keramik berwarna putih yang sedari tadi tertangkup di dekat teko teh. Aroma teh yang sangat sedap terhirup bersama uap panas yang mengepul.

"Hati-hati masih panas," kata si pelayan sambil menyerahkan cangkir itu dengan hati-hati.

"Terima kasih, Camilla." Terra menyeruput teh itu dengan hati-hati sambil sesekali mengibaskan tangannya di atas cangkir agar teh itu cepat dingin. "Teh Chamomille buatanmu memang selalu enak, Camilla," puji Terra, sementara yang dipuji hanya bisa tersenyum simpul.

"Sebentar lagi festival. Bagaimana persiapanmu?" tanya Sang Raja pada Terra yang sudah habis meminum tehnya.

"Ayolah, Ayah. Ayah selalu menanyakan itu setiap bulan selama tahun ini. Seperti yang selalu aku katakan, aku selalu siap!" kata Terra sambil memukul-mukul dadanya pelan.

"Iya, iya. Kau memang putri ayah yang selalu bersemangat. Ayah hanya tidak percaya ini sudah bulan keenam dari debutmu di bulan Januari. Waktu memang berlalu begitu cepat, ya?" Sang raja mengusap puncak kepala Terra dengan lembut.

"Ayah," panggil Terra pada ayahnya yang seketika berhenti mengusap kepala Sang Putri.

"Apa, Sayang?"

"Aku ingin jalan-jalan ke luar istana, boleh kan?"

Sang Raja tampak menimbang-nimbang. "Hmm, boleh .... boleh, asalkan ada yang menemani seperti biasa."

"Tapi aku ingin ditemani yang lain. Ren tidak asik kalau diajak ngobrol,"

Sang Penguasa mulai berpikir siapa orang yang tepat. "Oh, Ayah tahu!" Raja tersebut kemudian membisikkan sesuatu pada Camilla. Si pelayan kemudian mengangguk dan pergi.

"Siapa, Yah?" tanya Terra penuh rasa penasaran.

"Ada deh," jawab ayahnya dengan nada menggoda.

Setengah jam berlalu dengan canda tawa ayah dan anak itu. Camilla kembali dengan seorang anak berambut cokelat yang memakai baju zirah berwarna perak. Keduanya kemudian membungkuk di hadapan sang penguasa.

"Tegaplah," titah Sang Raja. Camilla kembali ke tempatnya semula di samping raja sebagai penuang teh. Sementara si anak menatap kaki Sang Raja dengan gugup. "Aku punya tugas penting untukmu."

Si anak berambut cokelat kemudian menatap ke arah Sang Raja. Saat dia melirik, tatapan matanya tak sengaja bertemu dengan mata biru milik Terra, seketika itu dia pun tersipu, sedangkan Terra hanya tersenyum.

"Ehem," sang pengusa berdeham. "Berlututlah, Nak," titah sang raja lagi. Anak itu kemudian menurutinya tanpa ba-bi-bu.

"Aku, Raja Richard V, menjadikan engkau, Rafael, sebagai pengawal pribadi Putri Terra untuk beberapa waktu ke depan," Sang Raja menepuk kedua bahu anak yang bernama Rafael itu bergantian. "Sekarang, ucapkan sumpahmu."

Rafael tampak bingung dengan apa yang harus dia ucapkan, dengan satu dehaman kecil dari raja, dia akhirnya berucap walaupun dengan tergagap. "A ... aku, Rafael, untuk beberapa waktu ke depan, a ... akan menjadi pengawal pribadi Putri Terra." Anak beriris hitam itu kembali terdiam sesaat karena bingung lanjutan kalimat yang harus dia ucapkan. "Melindungi Putri Terra dengan segenap jiwa dan ragaku sampai titik darah penghabisan."

Sang Raja bertepuk tangan pelan. "Sangat bagus. Lebih dari yang aku bayangkan. Sekarang, kau sudah resmi menjadi pengawal pribadi putriku." Pria tua itu tersenyum, sedangkan Rafael hanya bisa tertunduk tersipu.

"Terima kasih, Ayah!" ucap Terra sambil mencium pipi ayahnya. Sang Putri kemudian pergi sambil menggenggam tangan Rafael. Pemuda itu terkaget karena tangannya ditarik paksa, tetapi akhirnya mengikuti Terra pergi juga.

Terra keluar istana didampingi Rafael di sisi kirinya. Gadis itu sangat senang karena memiliki teman pergi yang baru. "Jadi, baru seminggu, ya?" tanya Terra tentang waktu kerja Rafael di istana.

"I ... iya," jawab Rafael malu-malu.

"Tidak usah malu-malu. Oh,iya. Bagaimana kalau aku membuat nama panggilan untukmu? Jujur, Rafael terlalu panjang untukku."

"Terserah padamu, Tuan Putri."

"Jangan panggil aku seperti itu, panggil saja Terra."

"Ta ... tapi, rasanya tidak sopan."

"Oh, seperti biasa." Terra memasang wajah cemberut. "Kalau begitu panggil aku nona saja."

"Baik, Nona."

"Kembali ke hal tadi. Bagaimana kalau Raf? Oh, tunggu, bagaimana kalau Ael? Kendengarannya bagus, kan? " tanya Terra menawari, "dan juga menggemaskan," lanjutnya.

"Iya, tidak apa-apa," jawab Rafael pada akhirnya. Samar-samar pipinya terlihat memerah.

Mereka berdua sudah memasuki area permukiman. Warga-warga terlihat sangat sibuk mempersiapkan segala hal, mulai dari mendekor tiang-tiang di jalanan sampai membersihkan jalanan dari daun-daun kering. Kereta kuda berlalu-lalang membawa penumpang dan barang dagangan. Para pedagang kaki lima sibuk melayani pelanggan dari berbagai kalangan.

Terra mendatangi salah satu pedagang yang menjual beragam jenis roti. Dengan antusias ia memilih berbagai macam kue kering dan roti yang tersaji hangat-hangat. Pilihannya jatuh pada dua roti dengan aroma kopi berbentuk bulat, dua roti isi cokelat berbentuk persegi dan empat kue kering seukuran telapak tangannya yang berbentuk mangkuk. Semua penganan itu kemudian dimasukan ke dalam dua kantong kertas yang berbeda berwarna cokelat atas permintaan Terra.

"Terima kasih, Bu," ujar Terra seraya memberikan dua keping emas.

"Sama-sama," jawab pedagang itu. "Oh, Nona!" seru si Ibu Pedagang mengehentikan langkah Terra. "Uangnya terlalu banyak," katanya sambil memperlihatkan uang pemberian Terra.

"Benarkah? Kalau begitu simpan saja lebihnya. Anggap saja bonus dariku untuk festival nanti." Terra berlalu sambil tersenyum.

"Terima kasih banyak, Nona. Semoga berkah yang besar selalu bersamamu ke mana pun," timpal Si Pedagang mendoakan. Sang putri hanya mengangguk mengiyakan.

"Ael," panggil Terra.

"Ya, Nona?"

"Ini untukmu." Terra menyerahkan satu kantong kertas berisi roti, sementara ia sendiri memeluk kantong yang lainnya.

"E ... eh, untukku?" tanya Rafael tak percaya.

"Iya, kau belum pernah menerima apa pun dari seorang gadis, ya?"

"Bukan begitu." Pipi Rafael semakin jelas berwarna merah. "Terima kasih."

Terra berlari pelan menuju alun-alun kerajaan dengan dibuntuti Rafael yang kini membawa dua kantong roti. Sebuah panggung berdiri megah di tengah sana dengan dikelilingi berbagai macam kios. Panggung yang digunakan sebagai pusat acara festival dengan acara puncak sebuah upacara penyucian berupa tarian dan nyanyian yang mengandung sihir penyembuh, tolak bala dan lainnya.

Terra dan Rafael duduk di sebuah bangku kayu yang menghadap langsung ke arah panggung. Mereka berdua melahap roti masing-masing. Terra nampak bahagia menikmati roti-roti itu, sedangkan Rafael nampak masih malu-malu.

Hari semakin terik saat mereka sudah selesai dengan makanan masing-masing. Terra masih ingin berjalan-jalan, tetapi bagian bawah tubuhnya berkata lain. Ia nampak kelelahan setelah jalan-jalan tambahan mengelilingi alun-alun yang luas itu.

"Sebaiknya kita pulang, Nona," saran Rafael.

"Tapi aku masih mau jalan-jalan," rengek Terra.

"Masih ada besok, Nona."

"Yah, semoga ...." kata Terra dengan raut wajah murung.

Rafael mengantar Terra sampai ke hadapan Sang Raja kembali sekaligus sebagai laporan bahwa tugasnya hari ini berjalan lancar. Setelah ksatria muda itu membungkuk dan pergi, Terra pun menghambur ke pelukan ayahnya di singgasana.

"Bagaimana petualanganmu?"

"Menyenangkan. Boleh besok aku jalan-jalan lagi dengan Ael?" pinta Terra dengan wajah berbinar.

"Ael?" tanya ayahnya mendengar nama yang baru dia dengar.

"Iya, Ael panggilanku untuk Rafael, Ayah."

"Ah, tentu saja. Putri ayah memang sangat suka memberi nama julukan, yah?"

Keduanya tertawa sampai suatu bunyi mengagetkan mereka.

"Kau tidak makan selama petualanganmu?"

"Aku makan, kok. Hanya saja aku lapar lagi sekarang, hehe."

"Kalau begitu, ayo kita makan siang," ajak ayahnya berlalu sambil menggandeng tangan sang putri.

Terra melihat langit malam yang penuh bintang dari balkon kamarnya. Lampu-lampu dari rumah-rumah warga berpendar sama indahnya dengan langit di atasnya bagaikan sebuah refleksi.

"Aku sudah tidak sabar besok," gumamnya sambil mengucek sebelah mata birunya.

...

Rafael sepertinya masih canggung bila dekat-dekat dengan Terra. Dia kadang memperlihatkan pipi yang bersemu setiap berjumpa dengan tawa atau senyum Sang Putri.

"Nona, Anda tidak boleh kelelahan," tegur Rafael yang melihat sang Vockalla berlari riang di padang rumput pinggir danau dekat alun-alun. "Besok harus tampil, kan?" katanya mengingatkan.

"Tenang saja!" timpal Terra yang sedang melihat-lihat bunga yang sedang mekar. "Sepertinya di sini tempat yang cocok, Ael," sambung Terra yang menunjuk tanah di bawahnya.

Rafael membuka tas keranjang piknik yang dia bawa sedari tadi. Menggelar alas duduk yang cukup untuk Terra di bawah naungan pohon rindang yang melindungi mereka dari panas matahari. Sang Putri kemudian menata berbagai makanan, mulai dari roti isi, kue mangkuk, beragam sari buah dan minuman berwarna jingga. Terra katanya ingin melihat angsa-angsa dan hewan lainnya di danau.

"Ayo, Ael. Aku tidak bisa memakan ini semua sendiri, kan? Lagipula aku sudah bilang untuk membuatkan makanannya dua kali lipat," ajak Terra sambil menepuk alas duduk di sampingnya.

Dengan ragu, Rafael akhirnya menuruti permintaan Sang Putri untuk makan bersama.

...

Malam pertama Festival Bulan. Purnama yang bertengger di langit ikut menerangi malam yang indah. Alun-alun kerajaan yang begitu luas seketika dibanjiri oleh lautan manusia yang datang dari seantero kerajaan. Para pedagang kaki lima sibuk melayani pembeli. Sesekali kembang api yang berwarna-warni muncul di langit mendampingi para bintang. Musik mengalun merdu sebelum acara pertama dimulai. Tak lupa para penjaga berpakaian zirah siap siaga untuk mengamankan acara.

Tarian Para Dewi mengawali pembukaan Festival Bulan malam ini. Penari wanita yang berjumlah sepuluh orang membentuk formasi melingkar di depan panggung untuk acara utama. Mangkuk berisi api di kedua tangan masing-masing penari seolah ikut berlenggang mengikuti liukan tubuh sang majikan. Kulit para penari seakan bercahaya di tengah lapangan yang sengaja dibiarkan temaram sebagai bagian dari acara. Para penari itu meliuk, berputar, membungkuk mengikuti musik yang menjadi penyemangat. Rambut mereka yang terkepang sampai punggung ikut menari tatkala mereka berputar. Gelang-gelang kaki mereka ikut bernyanyi di tengah riuhnya suara para pengunjung. Satu kali putaran dan liukan lagi sebelum akhirnya mereka berlutut dengan kepala tertunduk dan kedua tangan memegang manguk api yang diangkat ke udara. Suara tepuk tangan pengunjung memeriahkan akhir tarian tersebut. Obor-obor dinyalakan sepenuhnya.

Raja Richard V menaiki panggung utama beberapa saat setelah Tarian Para Dewi selesai. Dengan menggunakan jubah merah dengan aksen emas, Sang Penguasa siap memberikan kata sambutan.

Suara raungan samar-samar terdengar di kejauhan. Mungkin itu hanya serigala yang menikmati cahaya bulan. Namun, bukankah serigala melolong bukan meraung?

Para warga terdiam sejenak dengan apa yang baru saja terdengar, tetapi semua itu teralihkan dengan suara Sang Raja. "Rakyat Kerajaan Aerdha! Syukur harus selalu kita panjatkan karena dapat senantiasa mengadakan acara meriah seperti ini—"

Suara dentuman membuat setiap pasang telinga terkaget-kaget. Getaran seismik kecil membuat orang-orang kehilangan keseimbangan mereka untuk beberapa saat. Suara berbisik mulai berdengung dari mulut orang-orang.

Sang Raja berusaha mengambil perhatian rakyatnya kembali. "Tenang, semuanya. Semua akan baik-baik saja," kata Raja Richard menenangkan. Dia kembali dengan sambutannya yang membosankan lalu menutupnya dengan kalimat yang dinantikan setiap orang. "... Tanpa banyak basa-basi lagi, kita lanjutkan acaranya!" pengunjung bersorak, mengabaikan suara dentuman lain yang lebih kecil dari yang awal.

Acara dilanjutkan dengan orkestra dari para Muse—sebutan bagi para pemain musik—yang memainkan berbagai alat yang tak hanya memiliki bentuk yang indah tetapi juga suara yang menyejukkan hati. Musik diawali dengan harpa yang lembut. Harpana, sebutan bagi pemainnya, memainkan jemarinya di senar-senar itu dengan lembut, disusul dengan suara biola dan alat musik lainnya. Suara masing-masing alat musik memiliki kekuatan berbeda yang memengaruhi setiap aspek kehidupan yang mendengarnya. Belum genap sepuluh menit suara musik tertahan sesaat.

Getaran lainnya terasa. Bukan pertanda baik.

Suara berbisik panik mulai terdengar lagi. Musik kembali dilanjutkan mengabaikan bisikan tak mengenakan. Kini giliran para Vockalla yang bernyanyi diiringi musik merdu. Terra tampil paling depan. Menjadi pusat perhatian selalu membuatnya bangga.

Belum lima menit berselang sebuah ledakan terdengar di kejauhan. Asap hitam mengepul dari luar alun-alun. Getaran serupa gempa menakuti orang-orang yang mulai berlutut karena hilang keseimbangan.

Para penjaga berdatangan dari segala arah. Mereka menginstruksikan para warga agar cepat mengungsi. Nada mereka terdengar panik walaupun berusaha agar terlihat tenang. Para Muse dan Vockalla segera diungsikan, tetapi warga yang panik membuat proses melambat.

Suara dentuman besar serupa langkah raksasa terasa mulai mendekat. Sebelum si sumber suara terlihat, makhluk-makhluk berwarna hijau keabuan—goblin—berlari menyerang para penjaga dan warga dengan gada berduri. Para penjaga yang masih mampu berdiri berusaha sekuat tenaga melindungi warga untuk mengungsi.

Makhluk yang tidak diharapkan pun muncul. Tingginya menjulang seperti dua buah pohon kelapa yang disatukan. Warna hijau kehitaman tubuhnya tampak berpendar di tengah kobaran api. Gigi taring atas dan bawah tampak mencuat keluar dari mulutnya seperti gading gajah. Matanya besar seperti akan keluar dari rongganya. Tubuh-tubuh prajurit nampak terlempar saat dia tiba.

Rafael terlihat tak berdaya di antara mereka yang terlempar. Wajah yang tak tertutup helm nampak mengeluarkan darah yang sangat banyak. Baju zirah di lengan kirinya nampak hancur memperlihatkan kulit yang tersayat dengan darah yang tak mau berhenti.

Suara teriakan terdengar dari arah kerumunan. Para Muse dan Vockalla terkepung oleh para goblin. Semuanya nampak sangat ketakutan tak terkecuali Terra yang berteriak tadi. Rafael harus menyelamatkan semua khususnya Terra. Sumpahnya masih berlaku untuk melindungi Terra dengan jiwa dan raganya meski 'menjadi pengawal pribadi untuk beberapa waktu ke depan' telah usai. Dengan menopang pedangnya, Rafael berjalan terseok menuju kumpulan para goblin.

"Hei, monster!" seru Rafael dengan terengah sambil mengacungkan pedangnya. "Aku lawanmu."

"Ael!" teriak Terra dengan suara parau karena tangis.

Si raksasa—Orc—mendekati kerumunan goblin yang mengepung Terra dan yang lainnya. Panah api dan tombak yang dilemparkan tidak membuatnya bergeming. Makhluk itu berteriak. Suaranya yang keras seolah dapat membuat tuli siapa pun yang mendengarnya. Tangannya yang besar menghempaskan siapa saja yang menghalangi. Mereka hanya mengejar para Muse dan Vockalla sedangkan warga yang lain dibiarkannya pergi. Mereka tidak berniat menghancurkan melainkan menculik.

Tangan si Orc mendekati Terra. Rafael bersama prajurit lainnya berlari dengan sisa tenaga yang dimiliki untuk menghalangi usaha si monster berhasil. Namun keberuntungan tidak berpihak pada Rafael. Tangan besar itu menghempaskannya sampai membentur batang pohon. Darah keluar dari mulutnya. Kesadarannya perlahan memudar, hanya teriakan yang dapat dia dengar di tengah kekacauan.

"Ayaaah! Aeeel! Tolooong!!" teriak Terra di genggaman Orc yang membawanya pergi.

...

Malam itu adalah malam yang kelam bagi Kerajaan Aerdha. Banyak warga yang terluka dan prajurit yang tewas. Belum pernah penjagaan mereka tertembus sampai seperti ini. Sebuah perayaan yang seharusnya menjadi suka cita berubah menjadi duka lara.

Pagi sekali, Raja Richard V memanggil seluruh petinggi kerajaan untuk membahas kejadian semalam. Banyak dari mereka yang datang dengan luka memar yang masih membekas dan perban yang masih membungkus, tak terkecuali Sang Raja dengan keadaan tangan kiri dibungkus gips dan kepala diperban.

"Kita harus segera menyelamatkan mereka yang diculik," kata Raja dengan suara yang menahan geram. Tak mengherankan dia marah karena putrinya ikut menjadi korban malam itu.

"Tenang, Tuanku. Kita tidak boleh gegabah. Prajurit kita banyak yang menjadi korban dan pemulihan mereka masih dalam proses," jawab Menteri Pertahanan.

"Bagaimana status kerajaan dan warga kita?" tanya Raja Richard pada Menteri pertahanan.

"Kerusakan yang cukup parah terjadi di benteng sebelah Barat Laut dekat hutan, Tuanku. Benteng yang hancur sepanjang lima puluh meter," kata Menteri sambil melihat kertas berisi data-data kerusakan. "Warga yang tewas mencapai lima belas orang yang terdiri dari 5 wanita, 4 pria, 4 balita dan 2 gadis." Ruangan itu hening saat Menteri Pertahanan itu membacakan data korban. Semua orang berduka dengan apa yang terjadi. "75 orang prajurit kita gugur. Dua Vockalla dan tiga Muse diculik," tutup Menteri dengan raut wajah sedih.

"Berapa lama sampai prajurit kita siap bertempur kembali?" tanya Raja lagi.

"Luka mereka parah, Tuanku. Butuh waktu paling cepat satu bulan sampai mereka sembuh total," jawab Menteri Kesehatan.

"Prajurit kita yang mampu bertempur juga tidak sampai setengahnya, Tuan," sambung Menteri Pertahanan.

Ini adalah hal yang pelik. Di satu sisi, Raja ingin segera menyelamatkan mereka yang diculik, tetapi di lain pihak, dia juga harus melindungi rakyatnya dengan prajurit yang masih tersisa. Sang Penguasa hanya bisa berdoa agar mereka dapat menjaga diri sampai bantuan tiba.

"Ashfa," panggil Raja.

"Ya, Yang Mulia?" jawab Sang Menteri Kesehatan.

"Kerahkan semua tabib yang ada di kerajaan," perintah Sang Raja.

Ashfa mengangguk berat. "Baik ... Yang Mulia."

...

Terra menangis tersedu-sedu sepanjang malam. Matanya merah dan bengkak. Rasa sakit di tubuhnya masih terasa. Ia ditempatkan di sebuah kurungan besi seperti sangkar burung terpisah dari Muse dan Vockalla yang lain. Raja Orc percaya kekuatan penyembuh Terra yang paling cocok untuknya.

"Apa yang kau inginkan?!" tanya Terra di tengah tangis yang belum reda pada makhluk di depannya.

Raja para Orc tertawa sampai membuat singgasananya bergetar dan membuat Terra tersentak sebelum akhirnya terbatuk seperti orang sekarat. "Aku hanya menginginkan hal yang sama dengan kalian," katanya disusul oleh batuk lagi yang sama kerasnya. "Sekarang, bernyanyilah!" perintah Raja Orc.

Terra menangis lagi. Si Raja Orc menggeram. "Aku menyuruhmu bernyanyi bukan menangis!" teriaknya. Di tengah tangisnya, Terra menggumamkan sebuah lagu dengan suara yang parau. Suara yang menyayat hati, tetapi terdengar merdu bagi Sang Raja.

Berhari-hari Sang Putri dikurung. Ia diberi alas tidur dari jerami dan makanan yang tak layak konsumsi, setidaknya begitulah bagi manusia. Perlakuan mereka persis seperti yang dilakukan pada hewan yang baru ditangkap.

...

Rafael menyampirkan pedangnya di sebelah kiri pinggang. Baju zirahnya lebih tebal dan berat dari sebelumnya, tetapi hal itu tidak membuatnya sulit bergerak. Hari ini tepat lima hari setelah penyerangan. Para tabib di seluruh negeri berhasil menyembuhkan para prajurit dengan obat-obatan herbal yang sulit ditemukan dan sedikit bantuan sihir penyembuh agar prosesnya lebih cepat. Tubuh Rafael kini lebih siap untuk menghadapi serangan yang ada.

Pasukan kerajaan yang dikerahkan mencapai lima ratus orang, hampir dua pertiga pasukan dikirim untuk mengambil para korban penculikan. Para prajurit berbaris dengan rapi, mendengarkan instruksi dari komandan masing-masing pasukan yang arahannya berasal dari Menteri Pertahanan langsung.

Hutan Angkara merayu setiap yang datang menuju maut. Hutan itu dipercaya sebagai tempat tinggal Goblin dan Orc, makhluk-makhluk yang terkenal paling bengis di dunia. Prajurit Kerajaan Aerdha bersiap di "pintu" masuk hutan. Menenteng senjata dengan kuat, menantang makhluk keji yang lewat.

Para prajurit memasuki hutan tanpa gentar. Senjata mereka telah diasah dan siap digunakan. Suara-suara misterius bersahutan di tengah langkah kaki mereka. Desir angin berembus bagai tawa, koakan gagak seperti tanda kematian dan siluet binatang bagai roh yang kelaparan. Semua hal itu bisa saja menakuti orang-orang yang tak sengaja masuk hutan itu, tetapi prajurit Aerdha megetahui saat yang tepat untuk mengungkapkan rasa takut. Lagi pula, suara-suara itu seketika tak ada apa-apanya dengan suara lagu para Vockalla yang pergi bersama mereka.

Mereka terus berjalan memasuki kedalaman hutan sampai sesuatu menghentikkan langkah mereka. Panah-panah hitam meluncur menyerang para prajurit yang sudah bersiaga. Sebagian panah itu menancap pada tameng dan sebagian lagi di tanah yang seketika melelehkan tanah dan mengeluarkan asap berwarna ungu.

Para pemanah Kerajaan Aerdha ikut mennyerang dari balik tameng temannya. Hutan gelap yang hanya disinari celah cahaya itu tak membuat para pemanah hilang arah. Panah ditembakan dan beberapa kali suara terjatuh yang sangat keras terdengar. Semak-semak yang sedari tadi tenang mulai terdengar bergemerisik. Gada kayu berduri terlihat berdatangan dari berbagai arah khususnya dari depan. Para prajurit berpedang menerjang para makhluk kerdil itu sebelum mereka berhasil melukai lebih banyak orang. Lagu penyemangat berdengung di setiap telinga prajurit. Membuat mereka lebih bertenaga dan tentunya bersemangat.

Rafael merasakan letupan semangat di dadanya. Pedang beratnya terasa ringan menebas Goblin yang hendak menyerang. Darah terciprat ke wajahnya setiap dia berhasil membelah seekor makhluk itu.

...

Terra mendengar suara keributan di luar ruang singgasana tempat ia berada saat ini. Seekor makhluk kecil hijau keabuan berlari dengan tergesa ke arah makhluk menyeramkan di sampingnya.

"Berita gawat, Rajaku," kata makhluk itu panik. "Pasukan manusia mulai mendekati kerajaan kita. Para Goblin yang dikirim untuk menghadang telah habis dibantai, Tuan." Raut muka Si Raja nampak murka, sedangkan air muka Terra terlihat berseri. Harapan yang telah ia tunggu akhirnya datang juga.

"Sialan!" umpat Si Raja Orc. "Keluarkan meriam dan habisi mereka." Wajah Terra seketika menegang dengan apa yang ia dengar.

"Baik, Tuan." Makhluk hijau keabuan itu pun berlari pergi, sementara Si Raja hanya tersenyum bengis ke arah Terra.

"Mereka akan mati. Dan kali ini akan kupastikan tidak ada yang tersisa."

"Kau monster! Mereka tidak akan mengampunimu dengan apa yang telah kalian perbuat!"

"Kalianlah yang monster! Sebegitu serakahnya kalian sampai kami yang hanya meminta setetes air dari danau kalian pun tidak diberi! Kami dianggap hama, dibantai, dibakar, dihabisi. Kami hanya menginginkan air itu sebagai bibit untuk sumber air kami sendiri agar tetap sehat dan tidak menjadi seperti ini. Kami juga dilarang mendengar himne penyembuhan dan diusir dengan kasar." Raja Orc itu nampak sedih dengan apa yang telah dia ucapkan. Alasannya menculik Terra pun karena alasan yang sama. Agar tetap sehat dan hidup. Terra mulai berpikir, apa kata-katanya sungguhan? Siapakah yang lebih jahat disini kalau begitu?

Sebuah ledakan menghancurkan pintu ruang singgasana. Sebuah bola api raksasa nampak berhasil menjebol pintu istana sampai ke ruang singgasanya. Puluhan Goblin dan Orc bergelimpangan di antara jalur bola api itu. Sebuah lagu yang mengerikan bagi para Orc dilantunkan. Namun menjadi sangat indah di telinga pihak Aerdha. Para prajurit Aerdha menyeruak masuk, mengangkat berbagai senjata yang siap digunakan. Para Goblin dan Orc yang tersisa berusaha menghadang mereka, tetapi mereka kalah jumlah. Raja Orc pun tampak terkepung dengan senjata yang diacungkan padanya.

Raja Orc tidak tinggal diam. Dia berusaha menyerang para prajurit dengan kuku tangannnya yang tajam bagai pedang. Dia berusaha mengambil sangkar burung berisi Terra dan berniat melarikan diri. Sebelum Si Raja Orc berhasil menggapai Terra, dia keburu terjatuh karena badannya tiba-tiba terikat oleh tali yang sangat kuat.

Terra menggedor pintu sangkarnya. Rafael yang sedari tadi mencari Terra akhirnya menemukan targetnya. Dia menebas jeruji besi itu dengan pedangnya. Sekali tebasan dan jeruji itu pun terbelah menjadi dua. Terra menghambur ke pelukan Rafael karena telah berhasil menyelamatkannya. Tidak pernah ia sebahagia ini sampai berani untuk memeluk seseorang selain ayahnya.

"Ael ...," panggilnya di tengah tangis bahagia.

"Anda sudah aman, Nona," hibur Rafael merengkuh tubuh Terra yang nampak lebih kurus.

Si Raja Orc menggeram. Tubuhnya tidak bisa digerakan karena tali yang mengikat ternyata mengandung segel. Terra melihat ke arahnya yang menatap balik dengan geram. Ia membalikkan wajahnya saat berbagai senjata menghujam ke arah tubuh Si Raja yang sudah tidak berdaya itu.

Terra menahan napas. Ia tidak tega melihat seseorang yang sudah tak berdaya dihabisi begitu saja tanpa perlawanan. Ia berpikir lagi, siapa makhluk keji yang sebenarnya?

...

Sebuah perayaan dilaksanakan selama satu hari penuh untuk menyambut mereka yang pulang sekaligus merayakan kekalahan kerajaan Orc dan Goblin. Berbagai kertas warna berhamburan di jalan menuju istana. Warga-warga nampak melambaikan bendera warna-warni untuk menyambut datangnya pahlawan. Suara musik dan lagu kemenangan mengiringi langkah mereka. Semua orang nampak bersuka cita kecuali Terra. Sang Putri memasang wajah murung, tidak ceria seperti biasanya. Dalam hatinya, ia merasa berdosa jika bersenang-senang sementara di luar sana ada makhluk yang menginginkan kebahagiaan seperti dirinya tapi tidak dapat tercapai.

Terra terus memikirkan hal yang sama.

Siapa makhluk keji, kejam dan jahat yang sebenarnya?

-oOo-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro