Bab 13. Carabiner

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I remember the first time I started climbing here
I cried a lot, alone, facing the wall
You suffered with me too, you came to know my pain
I know what it feels like. I'll make sure you don't feel that pain

Carabiner-Ash Island

***

"Manna, kamu enggak bawa mobil? Saya bisa antar kamu."

Alasan Manna tidak bawa mobil pagi ini karena pikirannya sedikit kacau sehingga memesan taksi online. Sementara Okka sendiri punya hal yang perlu diurus sehingga berangkat lebih dulu ke kampus. Sesaat ia menyesali pesan yang dikirimnya pada Okka. apa lelaki iyu sangat sibuk hari ini? Apa pesannya akan menganggu Okka?

"Manna!"

Suara Jonathan mengembalikan Manna ke dunia nyata. Hatinya dongkol menyadari kehadiran lelaki itu alih-alih Okka. Gara-gara siang tadi, Manna menjadi tidak nyaman. Apa Jonathan mulai mendekatinya lagi?

"Maaf, Jo. Suami saya bakal jemput."

Walau Manna tidak merasa yakin. Ia melirik handphone yang sedari tadi digenggam, tetapi tidak ada balasan apa pun dari Okka. Padahal lelaki itu sudah membaca pesannya.

"Kamu yak—"

Tiin!

Suara itu berasal dari mobil hitam yang berada di belakang mobil Jonathan. Baik Jonathan maupun Manna menoleh ke sumber suara. Manna tersenyum bahagia ketika melihat plat mobil yang dikenalnya.

"Suami saya sudah jemput, Jo."

Manna tidak sadar hingga berlari kecil menuju mobil Okka. Jonathan yang penasaran dengan suami Manna segera keluar dari mobil. Ia mendekati mobil Okka bersamaan kaca mobil yang diturunkan.

Manna sendiri sedikit kaget ketika sudah masuk ke mobil, Jonathan malah menghampiri mereka. Okka hendak keluar untuk menyambut Jonathan, tetapi news anchor itu dengan cepat berkata, "Tidak perlu repot-repot. Suami Manna?"

Okka tersenyum dan menjulurkan tangannya. "Saya Delano Okka. Suami Manna."

Ada perasaan bangga ketika Okka memperkenalkan dirinya sebagai suami Manna. Mimic wajah Manna tertangkap basah oleh Jonathan, mengiris sebagian hatinya. Jonathan membalas uluran tangan Okka dengan sopan.

"Saya Jonathan. Rekan Manna."

"Saya sering melihat Anda di TV dan kagum dengan pembawaan Anda. Saya senang bisa melihat Anda lagi setelah beberapa lama tidak muncul."

Manna menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak tahu jika Okka menggemari Jonathan. Sesaat, ia merasa kembali asing. Namun, segera ia enyahkan pikiran itu. Sebaliknya, memandang Jonathan yang berekspresi aneh.

"Ah, itu. Saya punya masalah beberapa waktu lalu."

Benar juga, Jonathan tidak serta merta menghilang beberapa waktu lalu dan hanya muncul sesekali jika ia tidak punya alasan untuk itu. Beberapa rekannya menduga jika Jonathan memiliki masalah dengan mantan istrinya. Entah apa itu, Manna tidak tahu karena tidak bergabung dengan grup gosip.

"Oh, begitu."

"Ngomong-ngomong, saya baru melihat Anda."

Itu sindiran yang harusnya ditanggapi dengan tegas oleh Okka. Namun, wajah lelaki itu masih terlihat santai walau Manna tidak bisa melihat reaksinya secara menyeluruh.

"Mulai sekarang, Anda akan lebih sering melihat saya."

Manna mengernyit. Jadi, Okka memangsa musuhnya dengan pengelabuan yang cukup baik.

***

Manna merasa sedikit gugup, terlihat dari mangkuk berisi supnya yang agak bergetar. Ia tidak berani masuk ke ruangan di hadapannya, bahkan hanya sekadar mengetuk pintu. Tidak tahu mengapa perasaannya begitu gugup, tetapi ketika memikirkan topik apa yang harus dimulai membuatnya tidak keruan. Otaknya blank.

Setelah masak makan malam, Manna menunggu Okka beberapa saat. Namun, lelaki itu belum muncul juga sehingga Manna berinisiatif untuk membawa sup yang dibuatnya ke ruang kerja Okka.

"Manna? Kenapa kamu di sini?"

Manna kaget dengan suara Okka yang muncul dari belakang. Untung saja Okka menahannya, sehingga ia tidak jatuh karena kaget. Hanya saja kuah sup tak sengaja tumpah mengenai tangannya. Okka panik karena jeritan Manna, segera mengambil mangkuk sup di tangan Manna dan meletakkannya di atas bufet.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Okka khawatir sembari memeriksa tangan Manna. Wanita itu menggeleng. Nyatanya, sup tersebut tidak terlalu panas hingga melepuhkan kulitnya. Ia hanya kaget saja.

"Saya baik-baik aja. Lagian supnya udah mulai dingin. Tadi cuma panik aja."

Okka menghela napas lega. Namun, ia tetap menuntun Manna untuk mencuci tangannya lalu mengoleskan salep. Setelah selesai, Okka meninggalkan Manna di sofa sendirian. Tak lama kemudian lelaki itu muncul dengan mangkuk sup tadi.

"Pasti udah dingin, gak enak lagi. Biar saya panasin."

Manna hendak beranjak, tetapi ditahan Okka. Lelaki itu duduk di sebelahnya dan langsung menyuapkan sup tersebut ke mulutnya.

"Masih enak, kok. Maaf, saya buat kamu nunggu lama sampai kamu kayak gini."

Hati Manna menghangat. Ia hanya mengangguk sebagai respon. Setelahnya, ia sedikit bingung untuk memulai pembicaraan. Hingga tiba-tiba tangan Okka terulur di dahinya.

"Kamu terlihat pucat. Agak demam. Udah minum obat?"

Sejak pagi, Manna memang merasa kurang berenergi, tetapi ia mengira mungkin karena efek kelelahan saja. Apa ia memang sepucat itu kelihatannya?

Karena Manna menggeleng, Okka segera beranjak dari sofa dan pergi ke dapur. Selang beberapa lama, lelaki itu membawa segelas air putih dan obat. Jika sudah begini, mau tidak mau Manna harus menelan obat pahit itu.

Entah perasaannya saja, saat sedang meminum air, ia menangkap samar wajah Okka yang tampak muram. Selesai meloloskan obat di tenggorokannya, Manna mengulurkan tangannya ke dahi Okka. ia benar-benar kaget.

"Kka, buka mulut kamu."

"Untuk?"

"Buka aja."

Okka menurut dan Manna langsung memasukkan obat ke dalam mulutnya. Dahi Okka mengerut.

"Telan, Kka," suruh Manna menyodorkan gelas yang telah diminumnya tadi tanpa sadar. Okka menurut.

"Kenapa kamu nyuruh saya minum obat? Kamu ingin balas dendam?"

"Balas dendam apanya? Itu obat, bukan racun. Kamu hanya peduli dengan saya. Bagaimana dengan kamu sendiri? Demam kamu bahkan lebih parah."

Okka berdeham lalu menghabiskan sisa air putih di gelasnya. Saat itulah Manna sadar bahwa mereka berbagi gelas yang sama.

Apa salahnya? Bukankah mereka sudah melakukan lebih dari itu?

Tetap saja, pipi Manna memanas.

"Saya tidak sadar," ujar Okka setelah meletakkan gelasnya di meja. Manna menghela napas panjang.

"Saya pernah panjat tebing. Dan, kamu pasti tahu carabiner yang kecil, tapi berperan sangat besar. Carabiner itu pengait yang digunakan untuk pengamanan. Tapi apa yang lebih penting dari itu? Carabiner harus dijaga sebaik mungkin. Kalau enggak, bakal berpengaruh terhadap keselamatan orangnya. Anggap saya si pemanjat tebing, dan kamu adalah carabiner. Apa yang terjadi kalau carabinernya bermasalah? Itu artinya, perhatikan kamu dulu, sebelum saya."

Okka tersenyum tipis sementara mengernyit.

"Kamu kenapa?"

"Kita jarang ngobrol sesantai ini."

Okka meletakkan kepalanya di sandaran sofa lalu memejamkan mata. Manna pun ikut melakukannya, tetapi matanya tidak beralih dari sang suami.

"Jadi, gimana menurut kamu?"

"Apa?"

"Carabiner."

"Kamu benar. Karena saya carabiner, jadi saya harus lebih kuat dari kamu."

"Bukan cuma itu."

Manna menggeser tubuhnya mendekati Okka. Ia bahkan memutar tubuhnya sehingga bisa melihat Okka dengan jelas.

"Carabiner dan si pemanjat tebing harus bisa bekerja sama. Tebing itu tinggi. Jadi biar enggak jatuh, mereka harus percaya satu sama lain," lanjut Manna lalu mengenggam tangan Okka.

Lelaki itu kaget dan membuka matanya. Ia lebih kaget melihat wajahnya dan Manna yang berjarak begitu dekat. Dunia terasa berhenti berputar. Jam dinding bergerak lambat. Mata mereka bertemu dan ketulusan beradu.

"Manna ...."

"Okka, bisakah kita saling percaya satu sama lain?"

Okka terlihat kaget lagi.

"Saya tahu ada banyak hal yang kamu sembunyikan dari saya. Setiap pertanyaan yang saya ajukan, tidak pernah mendapat jawaban yang jelas. Saya yakin kamu punya alasan untuk semua itu. Tapi bisakah saya menjadi orang pertama yang tahu semua itu?"

Sorot mata Okka berubah. Terlihat seperti seseorang yang membutuhkan pertolongan. Sorot kesedihan.

"Saya tidak akan bertanya lagi."

Manna melepaskan tangan Okka secara perlahan. Ia tahu, Okka tidak memberinya kesempatan. Setiap saat ia berkeinginan untuk berjuang, Okka selalu memberinya batasan. Setiap kali ia ingin memahaminya, Okka selalu membuatnya salah paham. Ia hanya berharap waktu bisa berjalan lambat hingga tidak menyia-nyiakan usahanya.

"Manna, apa kamu peduli dengan saya?"

Manna menghentikan langkahnya dan menoleh pada Okka.

"Apa saya terlihat tidak peduli?"

Manna tidak tahu mengapa Okka menanyakan hal itu. Namun, apakah dedikasinya terhadap pernikahan mereka tidak terlihat?

"Kalau begitu, bagaimana jika kita mengakhiri ini semua?"

***

I wanted to get rid of everything but
It's too high here, we're holding on
We have to go higher, you know that too
I'll hold you so you don't fall, trust me

Carabiner-Ash Island

***

Tbc
Gimana bab ini? Lanjut Bab 14? Wkwk
Btw, aku suka banget lagu Carabiner akhir-akhir ini. Liriknya jga nyentuh banget. Recommended banget deh. Jangan lupa di-play ya.

Sebelum jenuh karena di-update dua kali hari ini, yuk baca ceritanya kk tuteyoo

"Dan kaubilang itu cinta?"

"Cinta juga berarti luka, Ava. Kalau kau mencintai seseorang, kau harus siap terluka. Dan dengan Claudia terluka, itu berarti dia masih mencintaiku. Simpel."

Aku menarik diri darinya. Otakku sedang tidak bisa dipakai untuk memikirkan respons atas ucapannya. Jadi aku hanya diam, menyalakan kran wastafel dan menghapus jejak bibirnya dengan tangan yang sudah dibasahi. Sekarang aku merasa bersih kembali.

"Apa aku sehina itu?" tanyanya, mungkin agak tersinggung dengan sikapku.

"Kau nyaris melanggar kesepakatan, Alby." Aku berucap jauh lebih pelan dari volume bicara kami tadi. Antisipasi agar Claudia tidak mencuri dengar apa yang kami bicarakan.

"Aku sedang mengambil kesempatan yang ada di depan mata."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro