Bagian 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masih menjadi misteri tentang kehidupanku di sini akan berapa lama. Taak banyak berharap selain mendapat perlakuan baik dari semua penghuni. Minimal kehadiranku dihargai. Aku tahu Indonesia sangat jauh dari tempat ini dan aku tak mungkin meminta untuk kembali ke tempat kelahiranku karena Bian akan menolak keras. Saat ini, aku hanya ingin menjalani apa yang sudah ditugaskan untukku di dalam rumah ini. Mendapat perlakuan baik di sini, itu rasa sudah membuatku tenang.

Ada beberapa tugas yang akan aku emban. Cia menyerahkan tugas mengasuh Angel padaku karena gadis kecil itu sudah mulai menerima kehadiranku. Aku merasa beruntung bisa menaklukan hati Angel. Dia anak yang aktif dan ceria.

Terdengar suara ketukan pintu, lalu disusul suara pintu terbuka. Aku menoleh ke sumber suara. Cia berjalan mendekariku.

"Kamu sedang apa?" tanyanya.

"Hanya merapikan baju," balasku. "Kenapa?" tanyaku balik.

"Tidak. Aku hanya bosan saja di kamar. Angel sudah tidur. Bian belum pulang. Aku beruntung ada kamu di sini, jadi bisa berbicara denganmu untuk menghilangkan bosan."

Pintu lemari kututup karena telah selesai merapikan pakaian. "Mau menemaniku minum teh? Atau kopi?" ajakku.

"Boleh." Dia setuju.

Kami berjalan keluar dari kamarku. Lebih tepatnya, ada yang akan kusiapkan untuk besok. Cia pun seakan menemani kesepianku selama di sini. Tidak setiap hari. Dia pun terkadang harus ke luar kota untuk masalah bisnisnya. Saat ini, dia sepertinya sedang tidak sibuk.

"Aku minta maaf padamu mengenai pernikahanmu dengan Bian. Sungguh, aku hanya tidak ingin kehilangan kenangan mengenai Mama. Kamu tentu mengerti." Dia kembali meminta maaf.

Sudah berulang kali dia mengatakan hal itu padaku, dan aku tak merespon karena merasa bosan. Aku sudah memaafkannya dan berusaha damai dengan keadaan, menerima dengan lapang menjadi istri Bian meski tak diakui oleh yang bersangkutan. Apa aku menyesal? Entah. Antara menyesal dan tidak.

"Kamu mau kubuatkan apa?" Aku menawarinya ketika kami tiba di pantri. Ucapan Cia terpaksa kembali kuabaikan.

"Apa saja." Cia masih terdengar sedih. Pandangannya kini kosong.

Suasana sesaat hening. Aku sibuk membuat kopi kesukaannya, sedanhkan Cia sibuk dengan pikirannya sendiri. Setidaknya aku sedikit tahu tentang apa yang mereka sukai. Aku tidak pernah menyalahkan Cia dalam masalah ini pernikahanku dan Bian. Mungkin lebih tepatnya mereka sudah menolongku. Menolong hidupku yang kacau.

"Aku sering melakukan hal ini bersama Mama. Beliau akan mengajakku minum teh bersama jika kami belum bisa tidur." Aku meletakkan mug berisi kopi di depan Cia. "Ada yang banyak yang kami bicarakan mengenai sekolahku, pertanyaan untuk masa depanku, bahkan terkadang beliau menceritakan kalian." Aku melanjutkan sambil duduk di bangku seberang Cia.

"Sosok Mama seperti ada pada dirimu. Aku yakin jika kamu pengganti kehadirannya. Itu alasan kenapa aku memaksa Bian supaya menikahimu, balasnya, lalu menyesap kopi yang kubuat.

Senyum kusungging. "Aku tidak menyesal sudah menikah dengan kakakmu. Aku hanya masih butuh waktu untuk menyesuaikan ini semua. Semua ini terlalu mendadak." Aku menyesap teh hangat yang kubuat setelah membalas ucapannya.

Cia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Kamu boleh meminta apa pun yang kamu mau padaku untuk membalas semua yang sudah kamu lakukan. Asal kamu tidak meminta untuk berpisah dengan kakakku. Please." Cia memohon.

Senyum kembali kusungging ketika mendengar ucapannya. "Aku tidak butuh apa-apa, Cia. Dan aku belum ada keinginan untuk meminta berpisah dengan kakakmu. Aku akan terus ada di sini sesuai kehendak Bian." Aku menenangkannya.

"Aku pastikan kamu akan tetap di sini selamanya."

Tak ada balasan dariku. Biarkan waktu yang menjawab. Aku akan tetap di sini jika Bian masih menginginkan aku agar menetap. Tak yakin jika dia akan percaya padaku. Bahkan hubungan kami sangat dingin tidak seperti pasangan suami istri. Inikah pernikahan paksa?

"Aku boleh bertanya sesuatu tentang Bian?" Aku memberanikan diri untuk bertanya setelah jeda cukup lama.

"Aku menunggumu menanyakan hal ini." Cia tersenyum.

Rupanya Cia menanti aku bertanya lebih dulu. Aku memang ingin tahu banyak tentang Bian untuk mengimbangi sifatnya.

"Banyak yang harus kamu tahu tentangnya. Aku akan menceritakan sisi baiknya padamu. Dia baik, tapi jika sudah dikhianati, maka sisi buruknya akan muncul. Dia penyayang, tapi juga pecemburu. Dia menyukai olah raga, kamu bisa lihat dari tubuhnya. Olah raga yang dia sukai adalah berlari. Dia tidak begitu banyak makan. Hanya secukupnya saja. Makanan kesukaan dia banyak, terutama sayuran. Dia akan lebih banyak makan sayur daripada karbohidrat. Dia tipe yang pemilih. Dia selalu hati-hati dalam masalah pekerjaan ataupun sekitar. Mungkin itu yang bisa kuceritakan." Cia menjelaskan.

"Apa dia ... memiliki mantan kekasih?" tanyaku ragu.

Raut Cia berubah drastis. Dia mengangguk lemah.

"Apa pertanyaanku salah? Maafkan aku, Cia, jika pertanyaanku membuatmu berat." Aku menyesal.

"Tidak. Mungkin kamu harus tahu." Cia menatapku. Tatapannya sedih. "Bian memiliki mantan kekasih yang sangat dia cintai. Namanya Alexa. Dia cantik, baik, dan pintar. Dia meninggal karena menolong Kak Bian saat kejadian di mana Kak Bian akan dibunuh oleh mantan kekasih Alexa. Kisahnya rumit. Aku pun tak tahu secara jelas. Kak Bian tak pernah membunuh Alexa seperti apa yang dituduhkan keluarganya pada Kak Bian. Aku yakin jika Kak Bian tidak bersalah. Dia hanya korban." Cia menjelaskan.

"Aku mengerti." Aku menggenggam tangan Cia.

"Sampai saat ini, Kak Bian pasti masih dibayangi rasa bersalah sehingga membuatnya menutup hati untuk wanita lain. Dia tak mudah percaya dengan orang lain. Aku sudah berusaha untuk membuatnya percaya padamu, tapi dia masih pada pendiriannya."

"Cukup Cia!!!"

Aku terkesiap ketika mendengar Bian berseru pada adiknya. Pandangan sontak kulempar ke sumber suara. Bian berdiri tak jauh dari posisi kami. Wajahnya menyiratkan kemarahan. Apa dia mendengar semua perkataan Cia? Sejak kapan dia ada di sana?

"Kamu tidak seharusnya membicarakan hal itu padanya." Dia menegaskan Cia.

"Tapi dia berhak tahu, Bian. Dia sudah menjadi bagian dari kita. Dia berhak tahu semuanya, termasuk masa lalu kamu. Sampai kapan kamu akan terus memperlakukan istrimu seperti ini?" Cia menatap Bian.

"Cukup!" Aku menyela dan beranjak dari kursi. Cia menatapku. Bian membuang wajah. "Aku minta maaf jika sudah lancang mengetahui apa yang seharusnya tidak aku ketahui. Aku minta maaf," sesalku. Mencoba untuk meredam suasana. Mengalah dengan Bian lebih baik daripada membuat semakin keruh.

"Tidak. Kamu berhak tahu. Kamu istrinya. Kamu tidak salah. Bian berlebihan jika masih memperlakukanmu seperti ini. Dia harusnya bersyukur karena menikahimu. Kamu lebih baik dari Alexa, Ana. Aku beruntung memiliki Kakak Ipar sepertimu." Cia menyela.

"Gracia!!!" Bian menghampiri Cia, lalu akan menamparnya, tapi dia urungkan. Bian mengepalkan tangan dan menurunkannya.

Aku mendekati Cia, mengajaknya untuk meninggalkan ruangan ini. Cia menolak. Dia masih menatap Bian. Aku pun menatap Bian takut. Tatapan Bian sulit kutebak. Antara menahan amarah dan sedih menatap adiknya.

"Aku minta maaf jika sudah membuat kalian seperti ini." Aku mengakui.

Cia memeluk tubuhku, lalu disusul isakan. Mataku berkaca. Baru kali ini melihat mereka bertengkar dan sumber masalahnya adalah aku. Baru kali ini aku melihat Cia menangis.

"Cia ..." Bian terdengar sendu. Dia menyentuh bahu adiknya, tapi Cia menepis tangan Bian.

"Aku benci denganmu." Cia membalas. Dia melepas pelukan dan berlalu meninggalkan ruangan ini.

Pandanganku sontak mengikuti gerak tubuh Cia. Dia berjalan cepat menaiki tangga, dan disusul suara pintu dibanting. Aku menghela napas. Langkah kuayun untuk meninggalkan ruangan ini. Bian pun berlalu menuju kamarnya. Perkataan Cia mengenai Alexa kembali muncul dalam pikiranku. Semua seakan terulang jelas.

Apa itu alasan Bian membenciku? Dia menutup rapat hatinya dan menyalahkan aku yang membunuh Mama.

Keheningan dan kegelapan seakan menemaniku dalam kediaman memikirkan masalah yang tak berujung. Setiap cerita yang kudapat mendatangkan masalah baru pada keluarga ini. Apa aku salah? Aku diseret untuk masuk dalam keluarga ini, tapi aku justru tak boleh mengetahui tentang apa yang terjadi dalam keluarga ini? Lalu apa tujuan mereka menyeretku untuk masuk dalam kehidupan mereka?

***

Suasana masih belum kembali normal. Cia belum keluar dari kamarnya. Biasanya, dia akan lebih dulu mengurus Angel sebelum aku tiba di ruang makan. Bian pun belum tiba di ruangan ini. Biasanya, jam segini dia sudah ada di sini untuk sarapan. Aku merasa ada yang tidak beres. Mereka tidak mengatakan apa pun padaku.

"Bunda. Momi Cia mana?" tanya Angel.

Aku meletakan roti yang sudah terolesi selai di atas piring Angel. "Momi belum bangun. Bunda akan ke kamar Momi untuk memastikan. Angel habiskan sarapannya, ya."

Angel hanya mengangguk. Aku beranjak meninggalkan ruang makan. Langkah kuayun menuju tangga dan beranjak naik untuk menuju lantai dua. Kususuri anak tangga. Tatapanku tertuju pada pintu kamar Cia yang tak tertutup rapat. Tanganku terangkat untuk membuka kamar Cia, tapi gerakanku terhenti ketika mendengar obrolan antara Cia dan Bian.

"Biarkan Ana menggatikan Alexa. Aku ingin, dia tidur di kamarmu mulai hari ini. Biarkan dia menjadi bagian dariku, darimu, dan dari Angel. Aku percaya padanya."

Niatku untuk menemui Cia diurungkan. Tanganku terlepas dari gagang pintu. Lebih baik aku biarkan mereka menyelesaikan masalah yang membelenggu. Aku tak ingin ikut campur. Langkah kuayun meninggalkan kamar Cia. Lebih baik aku fokus mengurus Angel.

Tubuh kembali kudaratkan di kursi samping Angel ketika tiba di ruang makan. Aku memasukkan bekal makan untuk Angel ke dalam tas. Semua peralatan sekolah Angel pun sudah rapi. Mungkin pembantu yang merapikan. Angel hanya perlu menunggu siapa yang akan mengantarnya ke sekolah. Bian tiba di ruangan ini, lalu duduk di kursi yang biasa ia duduki. Aku pun menyantap sarapan yang sudah kusiapkan di atas piring. Tak ada obrolan di antara kami.

"Kemasi barangmu dan pindah ke kamarku." Bian membuka suara.

Tatapan kulempar ke arahnya. Dia tak menatapku, sibuk mengoles roti dengan selai.

"Cia akan membantumu." Dia menambahi.

"Tidak perlu. Aku tidak masalah jika tidur di kamar yang sekarang aku tempati. Itu sudah cukup." Aku menolak.

"Jangan menyusahkanku dan mengeruhkan suasana. Tinggal turuti saja perkataanku. Itu akan membuat semuanya membaik." Dia terdengar tegas.

Apa aku harus senang? Atau sedih?

"Temani Angel ke sekolah. Ada yang ingin disampaikan guru untuk walinya. Cia tidak bisa mewakili karena kondisinya sedang tidak baik. Aku sibuk. Jadi, tugas ini kuberikan padamu. Kamu bisa siap-siap." Bian menambahi.

"Iya. Aku akan menemani Angel ke sekolah. Aku akan siap-siap." Aku beranjak dari kursi. Senyum kusungging ketika Angel bersorak senang karena aku akan menemaninya selama di sekolah untuk hari ini.

Jangan sampai aku mengecewakan Bian. Ini pertama kali aku mendampingi Angel sebagai walinya. Aku memang tak tahu apa yang akan kulakukan di sana, tapi aku akan melakukan yang terbaik agar Bian tidak kecewa. Ini kesempatanku untuk mengambil hatinya dari sekarang. Cia sudah berusaha untuk mendekatkan aku dengan Bian sampai mengorbankan keharmonisan hubungannya dan sang kakak, tapi hasilnya baru sampai seperti ini. Harus ditambah dengan cara untuk membuat Bian yakin padaku. Mungkin dengan cara mematuhi semua perintahnya.

Pantulan cermin menunjukkan tubuhku yang terbalut tunik panjang. Semoga pakaian ini tidak membuatku malu ketika tiba di sekolah Angel. Pasti akan ada banyak orang tua yang kujumpai di sana mendampingi anak masing-masing. Menurutku, pakaian ini cocok kupakai untuk menemani Angel.

Langkah kuayun cepat untuk segera tiba di teras rumah. Bian dan Angel sudah menungguku di mobil. Takut jika mereka menungguku terlalu lama. Aku menghampiri mobil Bian dan masuk ke dalam. Bian langsung melajukan mobil meninggalkan halaman rumah. Aku mengembuskan napas.

"Sekolah Angel mengadakan pentas seni. Setiap murid harus didampingi orang tua. Tugasmu di sana menjadi walinya dan mengawasi Angel. Kamu bisa menjawab sesuai kenyataan jika gurunya menanyakan tentangmu. Aku serahkan masalah sekolah Angel hari ini padamu." Bian membuka obrolan.

"Termasuk sebagai ..." Aku menggantungkan kalimat.

"Ya." Dia membalas singkat.

Senyum kusungging.

"Mungkin Cia yang akan menjemput kalian. Jika dia masih belum mau, maka aku akan menyuruh sopir untuk menjemput kalian. Akan kukabari nanti." Dia menambahi.

Kepalaku mengangguk. Setidaknya aku bersyukur karena Bian kini sudah mulai menunjukkan perubahan. Aku yakin jika semua ini karena Cia. Dia melakukan hal ini agar membuat aku dan Bian dekat. Agar Bian mau menerimaku. Aku harus berterima kasih padanya.

Aku dan Angel turun dari mobil setelah Bian membukakan pintu untuk kami. Dia menunjukkan perhatiannya. Aku senang melihatnya. Dia terlihat sangat tampan hari ini. Aku menggelengkan kepala untuk membuyarkan pikiranku yang mulai tak terarah. Angel berpamitan pada Bian. Senyum kusungging ketika melihat mereka seperti ayah dan anak.

"Belajar yang rajin. Semangat untuk belajar hari ini." Bian menyemangati Angel.

Angel menggenggam tanganku setelah berpamitan pada Bian. Dia menarik tanganku agar masuk ke dalam gerbang sekolah. Aku menoleh ke arah Bian. Pandangan kami bertemu. Aku tersenyum tipis. Dia membalikkan tubuh, lalu masuk ke dalam mobil dengan raut datar. Aku kembali lurus menatap jalan untuk menuju halaman sekolah Angel.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro