Bagian 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masih tak kumengerti dengan tujuan tinggal di rumah ini. Sebagai istri, tapi tak ada tugas untukku. Sebagai tawanan, tapi aku tak merasa seperti itu. Lalu apa yang harus kulakukan di sini? Menikmati masa-masa berdiam diri di kamar tanpa melakukan apa pun? Aku jenuh. Sudah beberapa hari tinggal di sini, tapi tak ada pekerjaan apa pun yang bisa kulakukan selain mengurus diriku sendiri. Apa aku harus keluar dari kamar ini? Aku harus beradaptasi dengan rumah ini. Tak mungkin selamanya mengurung diri di kamar. Lagipula aku bukan Rapunzel. Ini demi kelanjutan hidupku ke depan. Entah apa yang akan terjadi, maka aku harus menjalaninya.

Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Kaki kulangkahkan menuju pintu kamar. Tanganku bergerak membuka pintu dan melangkah keluar dari kamar. Langkah perlahan kuayun mendekati balkon. Pandanganku mengitari sekeliling rumah ini. Desain rumah ini sangat mewah. Aku terpesona dengan interior rumah ini.

Kakiku kembali melangkah menuju arah lain. Suasana rumah ini sangat tenang. Aku tak tahu di mana semua orang yang tinggal di rumah ini. Bian, Cia, Angel, mereka semua tak ada. Hanya mereka bertiga yang kutahu kecuali pelayan yang biasa melayaniku.

"Apa Nyonya membutuhkan sesuatu?"

Detak jantungku seperti dijatuhi bom. Kaget. Tatapanku tertuju pada pelayan yang berdiri tak jauh dari posisiku. Dia terlihat mengangguk.

"Tidak. Aku hanya ingin jalan-jalan saja," balasku ramah.

Pelayan itu mengangguk.

"Apa semuanya pergi?" tanyaku.

"Nyonya Cia dan Nona Angel baru saja keluar untuk pergi ke sekolah. Tuan Bian belum pulang sejak kemarin." Dia menyampaikan.

"Kamu boleh kembali kembali bekerja. Aku hanya ingin jalan-jalan untuk memembuang jenuh. Aku akan menghubungimu jika membutuhkan sesuatu."

Pelayan itu mengangguk dan pamit pergi. Aku pun kembali melanjutkan langkah untuk mengitari ruangan yang ada di lantai dua. Langkahku terhenti pada sebuah ruangan yang berisi rak buku. Aku menghampiri ruangan itu dan mengamati buku-buku yang berjajar rapi di tempatnya. Senyum kusungging ketika mendapati sebagian buku menggunakan bahasa Indonesia. Tanganku tergerak meraih buku mengenai sejarah negaraku dan buku-buku lain yang berbahasa Indonesia. Aku membawa buku-buku ke meja yang tersedia di ruangan itu. Tak salah aku keluar kamar. Aku kagum dengan ruangan ini. Ruangan ini seperti Perpustakaan keluarga. Meja untuk membacanya mengarah jendela kaca yang menampilkan pemandangan taman sekitar rumah. Ponsel kuraih dari dalam saku untuk menghubungi pelayan agar membuatkan minuman untukku. Setelah itu, aku meraih satu buku dan membacanya sambil menunggu minuman datang.

Rasa kantuk melanda. Padahal aku masih ingin terus membaca. Tangan kuulurkan di atas meja, lalu merebahkan kepala di atasnya. Udara pun seakan mendukungku untuk beristirahat sejenak.

Mata kugerakkan untuk terbuka. Mengangkat kepala, lalu mengusap kelopak mata agar terbuka sempurna. Terlihat sosok Cia duduk di dekatku. Mata kembali kukerjapkan untuk memastikan. Dia tersenyum padaku. Aku tersenyum getir padanya.

"Kamu sedang apa di sini?" tanyanya ramah.

Buku paling atas kuraih dan menunjukkan padanya.

"Kamu sudah makan?" Dia kembali bertanya.

Kepala kugelengkan.

"Apa kamu tidak betah di sini? Aku berharap kamu betah di sini. Ada banyak yang ingin aku tanyakan padamu mengenai Mama. Apa kamu takut padaku dan Bian?" Dia membuka obrolan serius.

Aku hanya diam. Seperti hari sebelumnya, aku hanya diam ketika dia bertanya padaku mengenai Tante Riana. Aku tak ingin berbicara apapun mengenai Tante Riana pada siapa pun termasuk dia dan Bian. Kepercayaanku belum tertanam untuk mereka.

"Aku minta maaf padamu jika pernikahan kamu dan Bian atas dasar terpaksa dan semua itu permintaan dariku. Jujur, aku sangat butuh kisah-kisah Mama sebelum dia meninggalkan aku dan Bian. Aku tak ingat sama sekali tentang masa kecilku bersama Mama. Aku butuh kamu karena kamu merasakan kasih sayang Mamaku, dan di dalam tubuhmu ada darah Mamaku. Apa aku salah? Jika aku dan Bian salah, tolong maafkan kami. Aku tak ingin kehilangan sosok Mama begitu saja." Dia terdengar sedih.

Kepala kuangkat untuk menatapnya. Dia terlihat menangis di depanku. Aku jadi tak tega dengannya. Dan ternyata dia bukan istrinya Bian, tapi adiknya.

"Tidak. Kalian tidak salah. Aku hanya berhati-hati saja cerita mengenai Tante Riana. Sebelum beliau meninggal, beliau berpesan padaku agar tidak menceritakan kehidupannya kepada siapa pun. Aku hanya bingung saja. Aku pun minta maaf padamu karena sudah berpikir buruk tentangmu. Kukira kamu istri Bian. Maafkan aku." Aku menjelaskan.

Cia meraih tanganku dan menggenggamnya. "Apa kamu tidak percaya padaku?" Dia menatapku memohon.

"Buat aku percaya padamu." Aku pun menatapnya.

"Silakan jika kamu ingin bertanya apa pun mengenai aku dan semua yang menyangkut Mama. Aku akan berkata jujur padamu." Cia meyakinkan aku.

Senyum tipis kusungging.  Aku rasa dia benar-benar tulus. Tak ada kecurigaan di wajahnya. Dia sangat ingin tahu tentang Tante Riana. Apa aku harus menceritakan semua padanya? Dia berhak tahu, dan aku tak berhak menyimpannya.

"Apa kamu masih tidak percaya padaku?" ulangnya.

Peehatianku teralih. Senyum kembali terulas. "Apa Angel anak Bian?" tanyaku.

Diantersenyum. "Bukan. Dia adik tiri kami. Dia dititipkan pada kami oleh Papa sebelum Papa pergi. Walaupun awalnya Bian menolak, tapi aku berusaha meyakinkannya. Angel tak bersalah dalam masalah Papa dan mantan istrinya. Bagaimanapun Angel adik kami. Aku tak ingin dia diasuh oleh wanita jahat seperti Manta. Angel kami asuh sejak usianya masih lima bulan. Bagi Angel, aku dan Bian adalah orang tuanya. Aku harap, kamu pun mau membantuku untuk merawat Angel. Aku percaya padamu jika kamu mampu menjadi ibu yang baik untuknya." Dia menjelaskan.

Jadi Angel bukan anak Bian? Dia adik tiri mereka. Ya Tuhan, aku sudah banyak berpikir buruk tentang mereka.

"Kamu pasti penasaran tentang keberadaan wanita yang melahirkan Angel." Cia menebak.

Aku hanya bisa tersenyum. Dia mendahului apa yang ingin kutanyakan selanjutnya.

"Dia pun meninggal karena ditembak polisi ketika akan melarikan diri setelah membunuh Papa." Cia melanjutkan.

Tanganku bergegas menyentuh tangan Cia dan menggenggamnya erat. Dia, Bian, dan Angel memiliki masa lalu yang kelam. Mereka yatim piatu, sama seperti aku. Aku tak tahu takdir Tuhan mengenai kami. Kami disatukan dalam rumah ini dengan keadaan yang sama. Sama-sama yatim piatu.

Cia beranjak dari tempat duduknya, lalu memeluk tubuhku dari samping. "Aku tak tahu kepada siapa lagi mencari orang yang bisa aku ajak cerita. Aku percaya jika kamu wanita baik. Pertama kali aku melihatmu dari Kak Bian melalui foto yang dia berikan. Entah kenapa aku yakin jika kamu adalah wanita baik. Sejak itu, aku meminta pada Bian untuk menikahimu. Dan yang utama karena kamu memiliki hubungan dengan Mama."

Aku mengangkat tangan ragu, lalu mengusap bahunya perlahan. "Mamamu mengajariku arti hidup. Beliau wanita kuat. Tante Riana mengajariku banyak arti. Beliau orang kedua yang kucintai setelah ibuku. Beliau adalah ibu keduaku. Aku bahagia bisa bertemu dengan beliau."

Cia terisak dalam pelukanku. Aku membiarkan dia menumpahkan air matanya. Dia benar-benar butuh kasih sayang dari seorang ibu. Masalah yang menimpanya lebih parah dari apa yang aku rasa.

"Mommy!!!"

Cia mengurai pelukan. Dia mengusap air matanya. "Angel sudah pulang. Dia pasti mencariku."

"Kita temui dia." Aku menarik tangan Cia.

"Ana, kamu di sini nyonya besar. Aku serahkan kendali rumah ini padamu."

"Tidak, Cia. Aku tidak bisa melakukannya." Aku menolak.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku hanya diam. Kami tiba di lantai utama. Angel menghampiri kami. Lebih tepatnya menghampiri Cia. Aku tersenyum mendengar ucapan Angel mengenai sekolahnya. Dia menunjukkan buku tulisnya pada Cia. Aku hanya memerhatikan mereka yang sedang membicarakan tentang pelajaran Angel hari ini.

"Dia akan seperti ini ketika mendapat pelajaran baru. Angel sangat aktif dan rasa ingin tahunya sangat tinggi. Aku harap, kamu tidak keberatan membantuku mengurusnya. Aku sudah mulai sibuk dengan pekerjaan karena tak lama lagi akan mengadakan pameran fashion show. Aku sering meninggalkannya keluar kota karena pekerjaan. Ini alasanku memasukkan dia ke sekolah di saat usianya yang masih empat tahun." Cia kembali menjelaskan.

Hanya anggukan yang kuberikan.

"Angel. Ini momi baru Angel. Momi Ana bisa bacakan buku cerita untuk Angel sebelum Angel tidur. Momi Ana punya banyak buku cerita untuk Angel." Cia berusaha mendekatkan Angel padaku.

Aku tersenyum pada Angel ketika dia menatapku. Dia kembali fokus pada buku yang ada di hadapannya.

"Dia sama seperti Bian. Tidak mudah percaya dengan orang lain. Sama seperti Papa." Cia terdengar ketus.

"Sama seperti Mama. Dia pun tak mudah percaya pada orang lain. Hanya aku yang dia percaya."

"Benarkah?" Cia menatapku tak percaya.

Kepala kuanggukkan. "Tapi kamu berbeda. Kamu mudah percaya pada orang lain termasuk aku yang baru kamu kenal. Bian saja tak mudah percaya padaku."

Cia tersenyum mengembang, menampilkan gigi-giginya yang putih dan rapi. Aku baru menyadari jika Cia tak dididik oleh Tante Riana. Wajar jika dia mudah percaya pada orang lain.

"Hei! Bukankah pakaian yang kamu kenakan milik pelayan? Apa kamu tidak membawa pakaian dari Indonesia?" Cia menatap pakaianku dengan lekat.

Kepalaku sontak menunduk. Malu.

"Ikut aku." Cia beranjak dari sofa, lalu meraih tanganku.

Terpaksa aku beranjak dari sofa, mengikuti langkah Cia entah ke mana. Dia melepas tanganku ketika kami memasuki ruangan. Aku menatap isi ruangan yang kupijak saat ini. Kamar ini sangat manis. Desain kamar ini sangat khas dengan wanita. Aku yakin jika ini kamar Cia.

"Ini kamarmu?" tanyaku penasaran.

"Iya. Ini kamarku. Kenapa?" Cia membalas.

"Tidak. Kamarmu bagus." Aku memuji.

Cia mengeluarkan semua pakaian yang tergantung di dalam lemarinya, lalu mengembaskannya di atas ranjang. "Kamu pilih saja pakaian ini. Pakaian ini belum pernah aku pakai sama sekali. Aku rasa ini semua cocok untukmu. Semua pakaian ini aku yang mendesain. Kamu boleh ambil jika suka."

Tatapanku masih tertuju pada tumpukan pakaian di atas ranjang. Aku mendekati tumpukan pakaian yang masih rapi terbungkus plastik. "Ini semua untukku?" Aku memastikan.

Cia menyentuh bahuku. "Iya, jika kamu mau. Atau ingin beli baru pun tak masalah."

"Tidak. Ini sudah cukup. Aku tak ingin merepotkanmu." Aku menolak untuk membeli baru.

Bukan merepotkannya, lebih tepatnya aku tak memiliki uang untuk membeli pakaian baru. Bisa saja Cia yang membelikan.

***

Walaupun Cia memaksaku untuk mengatur rumah ini, tapi aku akan tetap terus menolak. Aku tak terkesan untuk mengendalikan atau menguasai rumah ini. Biar dia saja yang mengatur. Aku bukan siapa-siapa. Bian tentu tidak setuju jika mengetahui hal ini. Aku hanya ingin menikmati tugasku sebagai ipar. Tidak ada kuasa di rumah ini.

Pikiranku buyar ketika mendengar suara ketukan pintu. Langkah kuayun untuk menghampiri pintu, lalu membukanya.  Rupanya Cia yang mengetuk. Dia berdiri di depan pintu kamarku. Senyum menghiasi wajahnya. Aku pun tersenyum.

"Boleh aku masuk?" pintanya.

Pintu kubuka lebar. Cia masuk ke dalam kamarku. Dia berjalan mendekati ranjang.

"Sejak kamu tinggal di sini, entah kenapa aku merasa tidak kesepian lagi. Aku merasa ada harapan dan cahaya darimu untuk kehidupan aku, Bian dan Angel. Aku merasa seperti mendapat kekuatan setiap hari." Cia duduk di tepi ranjang.

Aku mendekatinya, lalu duduk di kursi.

Cia mengedarkan pandangannya. "Dan entah kenapa aku selalu tertarik untuk menemuimu setiap hari. Aku merasa nyaman di kamar ini."

Senyum kusungging ketika mendengar ucapannya yang terakhir.

Terdengar pintu kembali diketuk. Aku menoleh ke arah pintu. Terlihat  pelayan berdiri di sana. Ya. Aku tak kembali menutup pintu ketika Cia masuk ke dalam kamar ini. Aku sengaja membukanya.

"Tuan Bian sudah menunggu di ruang makan untuk sarapan bersama." Dia menyampaikan.

Cia mengangguk, lalu beranjak dari ranjang. "Kita sarapan bersama," ajaknya padaku.

"Aku nanti saja." Aku menolak.

"Ayolah. Sejak di sini, kamu tak pernah makan bersama kami. Aku ingin sekali kita bisa makan bersama setiap hari. Apa kamu masih memandang kami orang lain? Apa karena-"

"Tidak, Cia." Aku memotong.

Hanya saja aku masih belum siap menghadapi Bian.

"Lalu?"

Senyum kusungging. "Baiklah. Aku akan sarapan bersama kalian." Aku mengalah. Lebih tepatnya agar Cia tidak berpikir negatif.

Kami bergegas keluar dari kamar ini. Cia terlihat bahagia karena berhasil membujukku. Biarlah. Setidaknya aku bisa memberikan kebahagiaan untuknya meski hanya hal kecil seperti ini. Akhirnya kami tiba di lantai utama.  Aku menghentikan langkah ketika tiba di belakang tubuh laki-laki yang kini telah sah menjadi suamiku. Bian. Baru hari ini kembali melihatnya setelah kedatanganku di sini. Peristiwa ketika dia memaksaku kembali mengiang dalam pikiran.

Aku terkesiap ketika Cia menarik tanganku. Dia membawaku ke hadapan Bian. Persis di samping Bian.

"Mulai pagi ini dan seterusnya, Kakak Ipar akan makan bersama kita di sini." Cia bersuara.

Terlihat Bian menghentikan aktivitas makannya. Dia meraih gelas berisi air putih lalu meneguknya.

"Ayo, Kakak Ipar." Cia menginstruksiku.

Tanganku bergerak ragu menarik kursi, lalu mendaratkan tubuh di atasnya. Aku menoleh ke arah Bian. Dia masih terdiam tanpa aktivitas. Aku menelan ludah.

"Hari ini Angel akan berangkat bersamaku. Tugasmu hanya menjemputnya." Bian bersuara. Lebih tepatnya mengatakan hal itu pada sang adik.

"Ya. Sekaligus aku ingin ajak istrimu jalan-jalan setelah menjemput Angel. Boleh?" Cia meminta izin.

Suasana sejenak hening.

Kepala kuangkat, lalu menatap ke arah Cia. Dia menanti jawaban dari sang kakak karena Bian belum menjawab prrmintaannya.

"Bian ..." Cia memastikan.

Bian beranjak dari tempat duduknya, melangkah meninggalkan ruang makan. "Setelah itu langsung pulang." Bian memberi izin.

Senyum kusungging ketika mendapat jawaban dari dia. Aku dan Cia dibolehkan untuk pergi jalan-jalan setelah menjemput Angel.

Banyak hal yang harus kupelajari dari rumah ini. Terutama bukan barang-barang yang ada di dalamnya, melainkan orang-orang yang hidup di dalamnya. Seakan Cia mengajakku untuk menata kehidupan mereka. Masih tak tahu apa yang harus kupersiapkan untuk memulai semua ini. Aku rasa semua ini perlu menggunakan hati dan akal. Semoga aku bisa melaluinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro