Bagian 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku masih merutuki diriku sendiri. Air mata tak hentinya mengalir di pipi. Masih belum percaya jika saat ini statusku sudah berubah. Aku sudah sah menjadi istri Bian. Tak ada pilihan lain untukku selain menikah dengannya. Jika ada, mungkin aku sudah melakukannya. Sejujurnya, aku tak mau menikah dengannya. Aku tak mau. Dia benar-benar menyudutkan aku agar bisa menikah dengannya.

Air mata kuusap ketika kudengar pintu kamar ini terbuka. Bian mengurungku di kamar ini setelah kami menjalani prosesi pernikahan. Ada beberapa alasan aku menolaknya. Aku tak tahu keyakinan yang dia anut, aku tak mengenalnya, dan aku masih tak percaya dengannya jika dia adalah putra Tante Riana. Tapi dia menikahiku dengan cara agamaku. Apa dia berkeyakinan seperti yang aku yakini?

"Tuan menyuruh saya untuk mengantarkan sarapan Nyonya. Tuan juga menyuruh saya agar memastikan Nyonya memakan makanan ini."

Napas kuembuskan. Dari semalam aku belum mengganti pakaian. Sampai saat ini, gaun pengantin masih melekat di tubuhku tanpa ingin kulepas. Bukan karena aku bahagia mengenakan pakaian ini, tapi karena aku tak memiliki pakaian ganti.

"Apa Nyonya ingin saya bantu melepas gaunnya?" Dia menawarkan bantuan.

Aku tak membalas. Dia orang kepercayaan Bian yang bertugas menjaga dan melayaniku sejak tiba di kamar ini. Namanya Heni. Aku masih belum terbiasa dengan semua ini.

Perhatianku teralih ketika mendengar ketukan pintu. Heni berlalu dari hadapanku untuk menuju pintu. Aku memerhatikannya yang sedang berbicara dengan seseorang. Kulihat dia menerima beberapa tumpuk pakaian. Dia berjalan menghampiriku dan meletakkan tumpukan pakaian itu di atas ranjang.

"Ini pakaian dari Tuan untuk Anda. Nyonya bisa berganti pakaian sekarang. Apa perlu saya bantu?" Dia kembali menawarkan.

Tangan kugerakkan untuk meraba kepala karena aksesoris masih menghiasi kepalaku. Walaupun berat, aku terpaksa menahan sejak semalam.

"Boleh saya bantu?" Heni bersuara.

Kepala kuanggukkan.

Heni bergerak membantu melepas hiasan yang ada di kepalaku. Dia sangat sabar dan pelan-pelan melepas setiap hiasan. Kubuka hijab yang sejak kemarin kukenakan. Kepalaku terasa ringan setelah semuanya lepas dari kepala.

"Terima kasih," kataku padanya

Dia tersenyum dan mengangguk.

"Sekarang Nyonya Mandi dan mengganti pakaian. Setelah itu, Nyonya sarapan. Akan saya siapkan air untuk Nyonya mandi."

"Nggak usah. Aku bisa melakukannya sendiri." Aku bergegas turun dari ranjang.

Aku meraih pakaian di tumpukan paling atas, lalu bergegas menuju kamar mandi. Sejenak, aku menghela napas. Tatapanku tertuju pada cermin. Terlihat wajahku  masih terlapisi riasan. Aku mengusapnya kasar. Ingatanku kembali pada waktu beberapa jam yang lalu saat Bian mengucapkan kalimat sakral. Air mata kembali mengalir di pipiku.

Tuhan, aku tak menginginkan pernikahan ini. Kenapa aku harus menikah dengannya? Apa sebenarnya keinginan fia? Apa dia menginginkan nyawa ini untuk balas dendam?

Air membasahi seluruh tubuh. Mata kupejamkan, menikmati setiap aliran air yang bergerak menjamah seluruh tubuhkum Berharap semua masalahku mengalir bersama guyuran air yang mengalir. Cukup lama aku berdiam diri di bawah guyuran air.

Setelah puas, aku menghadap cermin dan menatap diri dari pantulan. Aku merasa tidak seperti biasanya. Entah apa yang berbeda dengan diriku saat ini. Pakaian? Aku rasa tidak. Ah, sudahlah.

Aku bergegas keluar dari kamar mandi setelah cukup lama berdiam diri di dalam sana. Wanita itu masih ada di sini. Entah sampai kapan penderitaan ini berakhir. Tubuh kudaratkan di tepi ranjang. Acaraku selanjutnya adalah sarapan. Aku mulai menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh Heni. Jika aku tak menyantap makanan ini, maka Heni akan terus berada di kamar ini untuk memastikan aku menyantapnya.

"Tuan sudah menunggu Anda. Satu jam lagi Anda dan Tuan akan berangkat ke Belanda." Heni menyampaikan.

Satu jam lagi? Ke Belanda? Dia benar-benar akan membawaku ke Belanda?

"Di mana Bian?" tanyaku.

"Tuan sedang-"

Rubuhku beranjak dari ranjang untuk menemui Bian. Aku tak suka caranya seperti ini. Kenapa dia tak bicara padaku jika hari ini akan langsung membawaku ke sana? Janji dia untuk melepaskan ayahku pun belum ditepati. Aku harus menemuinya walaupun aku benci dengannya. Alasan lain menolak semua ini karena aku tak ingin pergi ke Belanda. Aku lebih betah di sini.

Pandangan kuedarkan untukmencari sosoknya di setiap ruangan rumah ini. Tatapanku tertuju pada suara yang tak jauh dari tempatku berdiri saat ini. Aku menghampiri sumber suara itu, lalu membuka pintu yang tak tertutup rapat, dan kuyakini Bian ada di dalamnya. Napasku terengah setelah membuka pintu. Raut Bian seperti terkejut mendapati aku masuk ke dalan ruangannya.

"Kenapa kamu nggak bicara dulu sama aku mengenai keberangkatan ke Belanda? Aku nggak akan ikut denganmu ke sana karena kamu belum penuhi janji aku untuk melepaskan ayahku." Aku bersuara.

Dia menutup sambungan telepon dan meletakan ponselnya di atas meja. "Terlalu lama jika menunggu keputusan darimu." Dia membalas tanpa menatapku.

"Aku punya hak untuk memutuskan." Aku menatapnya kesal.

"Aku tidak butuh keputusanmu," ucapnya angkuh.

"Aku nggak mau ikut kamu ke Belanda!" Aku berlalu pergi.

Langkah kuayun cepat untuk keluar dari rumah ini. Pintu ruang utama terbuka dan terlihat beberapa orang berjaga di pintu gerbang.

Gimana cara agar aku keluar dari rumah ini? Aku nggak mau ikut Bian ke Belanda. Aku nggak mau meninggalkan Indonesia.

"Nyonya. Anda mau ke mana?" tanya Heni.

"Pergi dari sini," balasku tanpa menatapnya.

"Jika Anda pergi dari sini, maka Anda akan membahayakan diri Anda sendiri dan ayah Anda." Heni mengingatkan.

"Tapi aku nggak mau ikut Bian ke Belanda." Aku tetap menolak.

"Mau tidak mau kamu harus ikut aku ke sana."

Aku sontak membalikan tubuh saat mendengar suara Bian. Dia berjalan menghampiriku.

"Aku nggak mau!" Aku menatapnya tajam.

"Hanya ada dua cara yang akan kulakukan jika kamu tidak ingin dengan cara halus." Dia mengingatkan.

Dia selalu mengancamku dengan kata-kata itu. Kekuasaan selalu menjadi alat untuknya mengancam orang lain. Tatapanku masih tajam padanya.

"Apa semuanya sudah siap?" tanya Bian pada Heni.

"Sudah, Tuan. Semua sudah masuk ke dalam mobil." Heni membalas.

Bian mengangguk, lalu berjalan melewatiku menuju mobil.

"Mari, Nyonya." Heni menginstruksiku.

Mataku berkaca. Aku tak ingin pergi bersamanya ke Belanda. Aku masih ingin tinggal di sini.

"Bagaimana dengan ayahku?" gumamku sambil menangis.

"Ayah Anda sudah dibebaskan Tuan. Percayalah. Tuan tak sejahat yang Anda pikirkan." Heni meyakinkan aku.

Apa aku harus percaya dengannya? Aku menggelengkan kepala.

"Tidak ada banyak waktu lagi, Nyonya. Kita harus berangkat sekarang atau Tuan akan memaksa Anda dengan cara kasar." Heni mengingatkan aku.

Kaki kuayun ragu. Heni mendorong tubuhku perlahan agar segera masuk ke dalam mobil. Aku pun pasrah jika harus ikut Bian ke Belanda. Aku tak memiliki pilihan.

Suasana terasa hening sejak aku masuk ke dalam mobil ini.  Tatapanku masih terlempar  ke luar kaca untuk mengalihkan perhatian sambil merutuki nasib. Air mata tak henti membasahi pipi karena masih sedih harus meninggalkan negara ini. Tak ada harapan lain yang kumiliki saat ini. Aku tak tahu nasib apa yang sedang kujalani sekarang. Menikah secara tiba-tiba dengan laki-laki yang tak kucintai. Terjebak dengan situasi yang membuatku harus berhubungan dengan Bian. Yang menyedihkan, aku harus meninggalkan negara kelahiranku dan tinggal di negara yang tak kukenal bahkan tak pernah aku injak sebelumnya. Sampai kapan aku harus menjalani semua ini?

"Paspormu dan sesuatu yang kamu inginkan."

Pikiranku buyar saat mendengar suara Bian. Aku tak menoleh. Sepertinya dia memberikan paspor dan apa saja yang kubutuhkan selama tinggal di Belanda. Aku tak mau menerima.

"Baiklah. Mungkin kamu sudah tidak ingin memiliki rumah itu dan lebih memilih membiarkan rumah itu dijual oleh tua bangka kesayanganmu."

Kepalaku bergerak cepat menoleh ke arah Bian. "Itu ..." Aku menggantungkan kalimat dengan ragu saat melihat map di tangannya.

"Iya. Ini berkas rumah yang kamu inginkan."

Aku mengulurkan tangan, meminta map itu. Bian memberikan map itu padaku. Ada sedikit kebahagiaan yang merasuk ke dada saat melihat berkas rumah ini. Aku bergegas memastikan isinya. Senyum kusungging ketika isi di dalamnya adalah berkas tanah rumah itu. Biar menepati janjinya.

"Terima kasih," ucapku tulus.

Dia tak membalas.

Tentu aku merasa sedih karena harus meninggalkan negara ini. Mobil yang kami naiki tiba di bandara. Kami akan bertolak ke Belanda beberapa menit lagi. Aku turun dari mobil dengan gerakan ragu. Berat rasanya kaki ini untuk masuk ke dalam bangunan di hadapanku.

Selamat tinggal Indonesia. Aku tak tahu masih bisa kembali menginjakan kaki di Indonesia atau tidak. Semoga saja aku masih bisa menginjakan kaki di negara kelahiranku walaupun tak tahu kapan waktunya. Semoga.

***

Tatapanku masih tertuju pada bangunan yang ada di seberang sana. Ya. Aku sudah tiba di Belanda. Bian berhasil membawaku ke sini. Rumah di hadapanku saat ini sepertinya milik Bian. Bangunannya terlihat mewah.

"Papaaa!!!"

Perhatianku teralih ketika mendengar teriakan anak kecil menyerukan 'papa'. Aku menatap sumber suara dan terlihat gadis kecil berlari menghampiri Bian.

Papa? Apa gadis kecil itu anak Bian? Apa Bian sudah menikah dan memiliki anak? Kenapa aku tak tahu? Kenapa Bian tak memberitahu aku jika dia pernah menikah? Atu jangan-jangan masih memiliki istri?

Kebingungan melandaku. Gadis kecil itu sangat dekat dengan Bian. Kedekatannya seperti anak dan ayah. Mereka masih berbicara tanpa aku tahu artinya. Sepertinya mereka menggunakan bahasa sini. Entahlah. Benar atau tidaknya gadis kecil itu buah hati Bian atau bukan, aku tak tahu. Aku tahu jika Bian tidak akan menceritakan kehidupan pribadinya padaku. Jangankan mengenai dirinya, mengenai kehidupannya pun aku tak tahu sama sekali. Lantas, apa yang aku harapkan dalam pernikahan kami? Apa yang dia harapkan menikah denganku? Apa dia menikahiku hanya untuk menjaga nyawa ini karena ada darah Tante Ria, dan menjadikan aku madu di rumahnya? Kenapa aku baru menyadarinya? Kenapa hal ini terjadi padaku? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Kembali menerima kenyataan dengan pasrah adalah jalan satu-satunya yang harus aku ambil. Harapan untuk mendapat pangeran berkuda putih pun hanya tinggal dongeng semata. Sekarang semuanya tinggal kehampaan. Aku melangkah masuk ke dalam kamar yang sudah ditunjukkan oleh pengawal. Pandnaganku mengitari ruangan yang kupijak saat ini. Walaupun kamar ini mewah, tetap saja aku merasa tidak betah di sini. Ini bukan tempat tinggalku. Aku berharap, semoga aku tak lama-lama di tempat ini.

Perhatianku teralih ketika mendengar pintu kamar ini diketuk. Aku menghampiri pintu dan membukanya. Terlihat dua wanita berpakaian seperti pembantu berdiri di depanku.

"Kami diperintah Tuan untuk melayani Nyonya. Ini koper nyonya." Salah satu dari mereka menyerahkan koper padaku.

Aku menerima koper itu. "Terima kasih," balasku ramah.

"Tuan menitipkan ini pada kami. Nyonya bisa menghubungi kami jika butuh apa-apa. Semua nomor penting sudah tersimpan di sini termasuk nomor sopir dan pengawal. Nyonya bisa menghubungi mereka di saat Nyonya membutuhkan." Salah satu dari mereka memberikan ponsel padaku.

Tanganku bergerak ragu menerima ponsel darinya. Ponsel ternama sudah ada dalan genggamanku. Tak tahu maksud Bian memberikan ponsel ini padaku. Pasti harganya mahal. Tapi aku suka.

"Apa ada yang bisa kami bantu?"

Pandangan kembali pada mereka. "Tidak. Aku akan menghubungi kalian jika memerlukan sesuatu." Aku menimpali.

"Baik. Kami permisi." Mereka mengangguk.

Aku mututup pintu setelah mereka pergi, lalu menarik koper ke arah ranjang. Tubuh kudaratkan di atas ranjang, lalu menatap ponsel pemberian Bian. Tanganku bergerak menyalakan layar ponsel. Senyum kusungging ketika melihat wallpaper ponsel ini. Aku membuka kontak yang tersedia. Nama-nama orang yang kubutuhkan seperti penjaga, pelayan, sopir, koki, Bian, sudah ada di sini. Ada satu nama yang menurutku asing.

Gracia? Siapa dia? Apa orang penting di rumah ini? Apa dia istri Bian?

Entah kenapa aku bisa berpikir jauh seperti ini. Tugasku di sini hanya menuruti permintaan Bian untuk menjadi istri simpanannya. Masalah istri pertamanya, aku tak ingin terlalu memikirkan. Semoga secepatnya Bian melepaskan aku dari belenggunya.

Nikmati saja apa yang ada di hadapanku daat ini dan bersiap-siaplah mengenai apa pun yang akan terjadi di sini. Kamu harus lebih hati-hati jika masih ingin tetap hidup dan kembali pulang ke Indonesia.

Tanganku membuka koper berisi peninggalan Tante Riana. Senyum kusungging ketika melihat potretnya yang tersenyum. Aku selalu mencari kekuatan dalam potret ini. Kekuatan untuk bertahan menjaga pemberian darinya. Hanya barang-barang peninggalan Tante Ria yang kubawa. Aku tak memikirkan pakaian karena itu tak penting. Bagiku yang terpenting adalah koper ini. Aku tak mau kehilangan barang-barang ini.

Aku terkesiap ketika pintu kamar ini kembali diketuk. Entah siapa lagi yang datang ke kamar ini. Aku bergegas menutup koper, lalu memasukannya ke dalam lemari. Segera  kuhampiri pintu dan membukanya. Terlihat seorang pelayan berdiri di depan pintu sambil menunduk.

"Tuan menunggu Nyonya di ruang makan." Dia menyampaikan.

"Sampaikan padanya jika aku tidak lapar." Aku menolak.

Pelayan itu mengangguk dan pamit pergi. Aku menutup pintu setelah pelayan itu pergi. Sejak kedatanganku di sini, aku memang tak ingin keluar dari kamar. Aku hanya malas saja bertemu dengan Bian dan istrinya. Memilih untuk tetap di sini adalah jalan terbaik. Ini batas wilayahku tinggal di sini. Aku tak ingin keluar dari batas wilayah yang diberikan Bian. Jika mereka membutuhkan aku, maka mereka yang harus datang ke sini. Aku tak egois, hanya saja malas bertemu dengan orang asing.

Pintu kamar ini kembali diketuk. Aku menghela napas. Kulangkahkan kaki menghampiri pintu dan membukanya. Terlihat seorang wanita berpakai santai berdiri di depanku saat ini sambil memegang nampan berisi makanan. Dia tersenyum padaku. Aku tersenyum hambar padanya.

"Boleh aku masuk?" Dia meminta izin.

Aku mengangguk, membuka pintu kamar lebar. Dia pun masuk ke dalam kamar ini. Langkahnya terayun menuju ranjang. Aku hanya mengikutinya dari belakanh. Dia meletakan nampan di atas dipan, lalu membalikkan tubuh untuk menatapku.

"Bagaimana? Kamu betah di sini?" tanyanya ramah.

Kepalaku menggeleng lemah.

"Oh, iya. Perkenalkan. Aku Cia. Bian pasti sudah banyak menceritakan tentang aku padamu." Dia mengulurkan tangan padaku.

Tanganku bergerak ragu untuk menjabat tangannya. "Ana," lirihku.

"Semoga kamu betah di sini. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, tapi nanti saja. Aku harus mengurus Angel. Kamu tak perlu malu di sini. Anggap saja rumah ini seperti rumahmu sendiri. Kamu bukan siapa-siapa di sini, Ana. Kamu istri Bian. Kamu Nyonya besar di rumah ini. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu inginkan. Aku senang mendengar kabar jika Bian menikah denganmu. Aku tak lagi kesepian di sini." Dia mengungkapkan kebahagiaannya.

Dia bahagia, tapi aku? Aku tak bahagia. Aku tersiksa di sini.

"Aku pergi dulu. Jangan lupa makan malam." Dia berlalu dari hadapanku.

Aku menghela napas. Pandangan kualihkan pada makanan di atas dipan. Mataku berkaca. Aku menghampiri makanan itu, lalu duduk di sampingnya. Air mata tak bisa kutepis, mengalir begitu saja membasahi pipi. Beban hidup yang aku jalani terasa begitu sulit. Aku harus tinggal di sini bersama orang yang tidak kukenal sebelumnya. Belum lagi menjadi madu. Kenapa nasibku selalu buruk?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro