Bagian 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kejadian beberapa hari lalu masih membekas di pikiranku. Aku tak tahu dia berbohong atau tidak karena belum ada bukti yang menunjukan bahwa dia anak Tante Ria. Aku tak percaya padanya begitu saja. Bisa saja dia berbohong atas nama Tante Ria untuk menjebakku. Aku bukan berprasangka buruk padanya, tapi aku hanya menjaga ke hati-hatian, terlebih ini privasiku dan Tante Ria.

"Ana. Ada yang mencarimu."

Aku melempar pandangan ke arah Nia. "Siapa?" tanyaku.

"Bule tampan. Apa dia pacar kamu?" tebaknya.

Senyum getir menghiasi wajahku. "Jangan ngaco." Aku melangkah menuju ruang pemasaran.

Langkah kuayun untuk mendekati seseorang yang ingin bertemu denganku. Dia membalikkan tubuh.

Dia lagi? Kenapa dia selalu mengganggu hidupku? Apalagi yang bakal dia lakuin ke aku?

Tubuh kubalikkan untuk kembali masuk, tapi dia mencekal tanganku. Aku berusaha melepas cekalannya, tapi dia mencekal lenganku erat.

"Aku ingin bicara denganmu." Dia bersuara.

"Kita sudah nggak ada urusan lagi, jadi tolong lepaskan tanganku." Aku membalasnya.

"Kita masih ada urusan. Jangan menolak keinginanku atau hidupmu akan aku persulit." Dia mengancam.

"Aku nggak takut." Aku masih berusaha melepas cekalannya.

Dia mengayun tanganku dan tubuhku sontak berputar, lalu tubuhku secara gerakan menabrak tubuhnya. Pandangan kami bertemu. Detak jantungku berdetak tak seperti biasanya.

"Saya pesan minuman terbaik dan kue terenak di toko ini," bisiknya.

Segera melepaskan diri darinya. "Bisakah Anda lebih sopan." Aku mengingatkannya.

"Jika sejak awal kamu sopan, maka aku pun akan sopan." Dia beranjak duduk.

"Anda bisa memesan sesuai yang ada di daftar menu." Aku melirik buku menu.

"Saya ingin minuman panas terbaik di sini dan kue terenak." Dia tak menatap buku menu.

"Baik. Akan saya siapkan." Aku mencatat pesanannya.

Sungguh, aku tak mengerti dengan keinginannya. Ada urusan apalagi dia kembali menemuiku? Apa dia masih belum puas sudah membuatku terkena maki Bu Mega? Aku tak mengerti tujuannya.

Aku menyajikan pesanan laki-laki itu. Beberapa menu kuhidangkan untuknya. Entah dia menyukai atau tidak, aku tak peduli. Aku hanya menghidangkan sesuai yang dia inginkan.

"Saya permisi." Aku berpamitan.

"Tunggu."

Langkahku terhenti. Mengembuskan napas.

"Aku ingin bicara denganmu."

"Jika hanya ingin basa-basi, maaf, saya sedang sibuk dengan pekerjaan di dalam." Aku membalas tanpa menatapnya.

"Kamu tak perlu khawatir. Aku sudah meminta izin dengan atasanmu. Aku ingin bicara baik-baik denganmu." Dia mengungkapkan.

Aku membalikkan tubuh, melangkahkan kaki mendekatinya, lalu berdiri di sampingnya.

"Duduk." Dia menginstruksiku.

"Cepat katakan apa yang ingin kamu bicarakan," balasku tanpa basa-basi.

"Aku akan menikahimu."

Tatapanku sontak mengarah padanya. "Anda sedang nggak bercanda, 'kan?" tanyaku tak percaya.

"Aku tidak pernah main-main dengan apa yang sudah keluar dari mulutku." Dia tak menatapku. Perhatiannya masih pada hidangan yang ada di depannya.

"Ini nggak mungkin. Anda sedang nggak baik-baik saja." Aku beranjak dari tempat duduk.

Dia mencekal tanganku. "Ingat. Dalam tubuhmu mengalir hasil jerih payah mamaku. Aku tidak akan melepaskanmu." Dia mengingatkan aku.

Aku menatapnya. "Aku nggak percaya dengan Anda." Tangannya kuhempaskan.

"Pilihan ada di tanganmu. Kamu mau menikah denganku dengan cara baik, atau aku akan memaksamu dengan cara tidak baik." Dia mengancam.

"Aku nggak peduli." Aku berlalu pergi.

Kamu mau menikah denganku dengan cara baik, atau aku akan memaksamu dengan cara tidak baik.

Entah kenapa kata-kata itu terngingan di pikiranku. Apa dia benar-benar anak Tante Riana, atau dia hanya ingin berbuat jahat padaku? Aku tak percaya dengannya. Kenapa dia selalu hadir dalam hidupku?

***

Koper yang tersimpan di bawah tempat tidur sengaja aku keluarkan. Debu menyelimuti permukaan koper. Perlahan kubuka koper itu setelah menyingkirkan debu yang menyelimuti bagian penutup. Aku menatap barang-barang peninggalan Tante Riana. Beliau menyerahkan koper ini sebelum meninggalkan aku. Tanganku bergerak meraih album foto yang ada di dalamnya. Kutatapi wajah-wajah asing yang tak pernah kulihat kecuali Tante Riana.

Apa laki-laki itu benar-benar putra Tante Riana? Kenapa dia memaksaku untuk menikah dengannya? Apa tujuannya? Apa dia ingin berbuat jahat padaku? Apa dia ingin balas dendam denganku? Aku bukan pembunuh ibunya. Kenapa dia ingin balas dendam denganku?

Konsentrasiku teralih ketika mendengar suara gedoran pintu. Ayah pasti pulang. Aku menatatap ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku memasukkan album foto ke dalam koper lalu menutupnya. Koper kembali kumasukkan ke tempat semula,  lalu beranjak menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Khawatir Ayah akan murka karena lama membuka pintu.

"Ana!!!"

Gagang pintu kutarik setelah memutar kunci. Tubuh Ayah langsung tersungkur di lantai ketika aku membuka pintu. Terlihat wajah Ayah memar. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Biasanya, saat beliau terluka seperti ini, beliau kalah dalam judi dan berrhutang pada bandar. Atau Ayah membuat kesalahan lain sehingga membuat kegaduhan. Entahlah. Aku tak tahu apa yang beliau lakukan di luar sana. Lebih baik aku membantunya untuk masuk dan mengompres lukanya agar tidak begitu parah.

"Apa yang kamu lakukan?!" bentak ayah ketika aku mulai mengompres luka di wajahnya.

"Ana hanya mau mengompres luka Ayah." Aku membalasnya.

"Kamu harus menikah dengannya supaya Ayah dapat uang banyak! Dia harus menikah denganmu!" kata Ayah murka.

Aku harus menikah dengannya? Apa maksud Ayah?

"Dia orang kaya, Ana. Kamu akan bahagia jika menikah dengannya, dan aku akan mendapatkan uang banyak."

Pikiranku langsung tertuju pada laki-laki itu. Apa laki-laki itu menemui Ayah dan meminta Ayah memaksaku agar mau menikah dengannya? Jika benar, apa yang harus aku lakukan?

Lebih baik aku pergi dari kamar Ayah. Khawatir jika Ayah akan memaksaku untuk menikah dengan laki-laki itu. Aku tidak akan mau. Sama sekali aku tak mengenalnya. Aku tak mau menikah dengannya.

Pintu kamar kututup, lalu menguncinya. Rasa takut menyergap hatiku. Mengingat, dia pernah mengancamku untuk melakukan apa pun agar keinginannya terwujud. Semoga apa yang kukhawatirkan tidak terjadi. Semoga dia tidak serius dengan ucapannya.

***

Napas kuembuskan ketika akan masuk ke dalam tempat kerja. Senyum kusungging untuk mengawali aktivitas kerja hari ini. Walaupun rasa takut masih menyelimuti, tapi aku harus semangat sesuai janjiku pada kedua wanita yang kucintai. Aku selalu berdoa untuk kedua wanita itu agar mereka mendapat tempat terbaik di sisiNya.

Aku mendapati pemandangan tak seperti biasa di ruang belakang. Semua karyawan sudah berkumpul di sana. Biasanya, akan ada pengumuman atau terjadi sesuatu jika sudah berkumpul seperti ini. Aku mendekat ke arah mereka.

"Ada dua loker yang belum saya periksa. Loker milik Ana dan loker milik Dina." Bu Mega menyebut namaku.

"Ada apa ini, Bu?" tanyaku dengan tatapan bingung. Aku tak tahu apa yang terjadi.

"Ana, Dina, buka loker kalian," perintah Bu Mega.

"Tapi, Bu-"

"Buka!" Bu Mega memaksa.

Aku meraih kunci dari dalam saku, lalu kubuka lokerku. Mataku membelalak ketika melihat tumpukan uang ada di dalam lokerku. Itu bukan milikku.

"Saya tidak menyangka jika kamu yang melakukan ini, Ana." Bu Mega menuduhku.

Aku membalikkan tubuh. "Ini bukan milikku, Bu," bantahku.

"Buktinya uang itu ada di loker kamu." Karyawan lain menuduh.

Air mata menggenang di pelupuk mata. "Demi Tuhan, aku nggak mencuri uang itu." Aku masih mengelak.

Bu Mega mendekatiku, meraih uang itu dari dalam loker. Demi apa pun aku tak pernah mencuri atau melakukan hal memalukan seperti ini.

"Saya nggak nyangka kalau kamu bakal lakuin ini, Ana. Saya pikir, kamu karyawan paling jujur, tapi ternyata saya salah. Keluar kamu dari tempat ini." Bu Mega mengusirku.

Air mata semakin deras mengalir di pipi. Aku tak menyangka jika pagiku akan disambut dengan kejadian seperti ini. Entah siapa yang sudah meletakkan uang itu di dalam lokerku. Seperti ada yang tidak suka denganku di sini. Tapi siapa?

Aku menatap semua temanku di sini. Mereka menatapku dengan tatapan beragam. Ada yang masih terlihat tak percaya, ada yang biasa saja, dan ada yang sedih. Aku memasukkan barang-barang yang ada di loker ke dalam tas. Masih tidak percaya jika akan secepat ini berhenti bekerja. Aku akan kerja di mana setelah ini? Sungguh tega orang memfitnahku.

"Aku minta maaf jika sudah membuat kesalahan. Demi Tuhan, aku nggak pernah melakukan ini. Aku nggak tau siapa yang sudah fitnah aku. Aku memang miskin, tapi aku nggak serendah ini mencuri uang untuk menutupi kehidupanku." Aku menyampaikan.

Semua orang tak merespon. Bu Mega menatapku dan menginstruksi agar aku keluar. Aku pun keluar dengan langkah berat. Kutatapi setiap etalase yang kulalui. Jujur, aku masih ingin terus bekerja di sini. Kenapa aku harus mengalami semua ini?

Perhatianku teralih saat mendengar deringan ponsel. Aku mengusap air mata, lalu meraih benda itu di dalam saku. Nomor tak dikenal memanggilku. Aku menempelkan benda pipih itu setelah menggeser ke warna hijau.

"Bagaimana kejutan dariku pagi ini?"

Ponsel kujauhkan dari telinga. Mengingat suara laki-laki ini. Aku langsung teringat pada laki-laki yang meminta untuk menikah dengannya. Dari mana dia tahu nomorku?

"Tawaranku masih berlaku, Ana. Menikah denganku dengan cara baik, atau menikah denganku dengan cara kasar. Semua pilihan ada di tanganmu." Dia melanjutkan.

"Aku nggak takut. Kamu hanya menakut-nakutiku." Aku membalasnya.

"Baiklah. Tinggal tunggu saja apa yang akan aku lakukan. Siap-siap dengan kejutan yang akan kuberikan padamu berikutnya."

"Aku-"

Aku menatap ponselku ketika sambungan telepon terputus. Dia sangat mengesalkan. Entah apa yang dia inginkan dariku. Sejak bertemu dengannya masalah selalu saja datang.

Langkah kuayun untuk memasuki gang agar segera sampai rumah. Aku masih harus memikirkan pekerjaan untuk menyambung hidupku selanjutnya. Langkahku terhenti saat melihat beberapa orang mengeluarkan barang-barang dari dalam rumahku. Kenapa mereka mengeluarkan barang-barang itu dari rumahku?

"Stop!!" teriakku. "Apa yang kalian lakukan? Kenapa barang-barang ini dikeluarkan dari rumahku?!" tanyaku dengan nada marah.

"Rumah ini kami sita. Ini surat penyitaan." Salah satu dari mereka menyodorkan selembar kertas padaku.

Air mata kembali menggenang di pelupuk saat membaca surat penyitaan ini. Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku? Kenapa Ayah tega menjadikan rumah ini jaminan untuk judi? Ya Tuhan, kenapa Engkau memberi ujian berat seperti ini padaku?

Aku mengusap air mata. "Di mana Ayahku?" tanyaku.

"Di kantor polisi," balas salah satu dari mereka.

"Kantor polisi?" tanyaku tak percaya.

"Ya. Untuk mempertanggung jawabkan semua hutang-hutangnya."

Mataku terpejam sesaat. Semua ini karena ulahnya. Aku meraih koper peninggalan Tante Riana. Hanya koper ini yang berharga bagiku. Tak peduli dengan barang-barang lain karena memang tak berharga. Aku akan ke mana pun belum ada tujuan. Ke mana aku harus pergi?

Entah kenapa langkahku menuju ke pemakaman. Air mata kembali mengalir di pipiku ketika menatap makam Tante Riana. Aku terisak. Tetangga pun tak ada yang mau membantuku. Mereka memang memandangku sebelah mata.

"Bagaimana?"

Aku mengusap air mata, lalu menoleh ke sumber suara. Terlihat laki-laki yang kubenci berdiri tak jauh dari posisiku. Apa dia yang melakukan semua ini?

"Aku sudah memberimu pilihan dan kamu memilih untuk menggunakan cara kasar. Harus dengan cara apalagi agar kamu mau menerima tawaranku?" Dia membuka suara.

"Kamu jahat!" bentakku.

"Itu keinginanmu." Dia membalas.

"Apa maumu?" Aku menatapnya kesal.

"Kamu menikah denganku dan ikut aku ke Belanda."

"Alasanmu apa ingin menikah denganku?" tanyaku.

"Karena kamu harus membayar semua hutangmu pada mendiang mamaku." Dia menatapku tajam.

"Apa bukti jika kamu anak Tante Riana?" Aku minta bukti.

"Rocky!" serunya.

Seseorang datang menghampiri kami. Dia memberikan map pada laki-laki itu.

Laki-laki itu menyerahkan map itu padaku, "Ini buktinya."

Aku membuka map yang dia berikan. Mataku menyuduri dengan teliti surat kelahiran, test DNA, dan beberapa lembar foto keluarga. Mataku berkaca. Dia benar-benar anak Tante Riana. Fabian Cassano Tambosi. Lalu di mana adiknya? Setahuku Tante Riana memiliki putri, adik dari Bian.

"Percaya?"

Kepala kuangkat untuk menatapnya. "Satu hal lagi." Aku meminta bukti.

Dia memicingkan mata. Aku menunjuk gadis kecil di foto yang ada di tanganku.

"Dia ada di Belanda."

Apa yang dia tunjukan semuanya benar. Apa aku harus percaya? Dia Bian, anaknya Tante Ria?

"Apa masih kurang?" tanyanya memastikan.

"Beri aku waktu untuk berpikir." Aku mengajukan.

"Sudah tidak ada waktu. Aku sudah membuang banyak waktu hanya untukmu." Dia menolak.

"Apa kamu sudah memikirkan akan menikahiku?"

"Bawa koper dia ke mobil." Bian menginstruksi anak buahnya. Dia berjalan meninggalkan pemakaman ini.

"Bian! Aku belum selesai!" Aku mengejarnya.

"Sudah cukup lama kamu berpikir." Dia terdengar kesal.

"Aku hanya hati-hati." Aku menatapnya kesal.

"Masuk ke dalam dan ikut aku, atau tetap di sini dan akan semakin kupersulit hidupmu agar menerima tawaran dariku?" Dia kembali mengancam.

"Aku hanya-"

Aku terkejut ketika anak buahnya mendorong tubuhku agar masuk ke dalam mobil. Terpaksa aku masuk karena perlakuan dari anak buah Bian. Aku tak tahu dia akan membawaku ke mana.

"Lepaskan Ayahku dari penjara," kataku meminta.

"Apa gunanya laki-laki tua bangka itu? Dia bukan Ayah kandungmu. Dia parasit dan hanya menghabiskan uangmu untuk berjudi." Bian membalas.

"Tapi dia Ayahku. Seburuk apa pun dia, dia tetap Ayahku." Aku membalasnya.

"Dia akan kulepaskan setelah kamu menikah denganku. Akan kukembalikan semuanya termasuk rumahmu. Kamu patuhi semua perintahku, lalu aku akan membebaskan ayahmu."

Pilihan sulit. Aku tak ingin menikah dengannya. Tapi, hanya dengan cara menikah dengannya, aku bisa membebaskan Ayah. Tak ada pilihan lain. Terlebih hutang Ayah cukup banyak.

Ya Tuhan, apa tidak ada cara lain selain aku tidak menikah dengannya? Kenapa hanya ini pilihannya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro