Bagian 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kerapian adalah prioritasku dalam berpakaian. Penampilan adalah cermin dari seseorang. Jika penampilan rapi, maka orang akan nyaman memandang. Begitupun sebaliknya. Senyum menghiasi wajahku saat mengenakan kemeja ini. Kemeja pemberian orang yang kucinta. Kemeja ini adalah pemberian Tante Riana beberapa tahun yang lalu. Meski sudah lama, tapi kemeja ini terawat dengan baik dan sampai saat ini masih sangat layak untuk dipakai. Semangat darinya pun masih terus membekas. Beliau selalu menyemangatiku dalam segala hal, termasuk sakit yang kuderita saat itu. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Sayangnya beliau harus pergi lebih dulu meninggalkan aku sebelum aku membalas budi pada beliau.

Terima kasih, Tante Riana. Ana rindu dengan Tante. Semoga Tante dan Ibu tenang di sana. Ana selalu mendoakan kalian, semoga kalian bahagia dan mendapat tempat terbaik.

Hari ini, aku berencana untuk mengunjungi makam Tante Riana. Aku ingin meminta maaf karena telah menghilangkan cincin pemberian darinya. Tidak ada maksud sengaja untuk meninggalkan cincin pemberian beliau di tempat orang-orang itu. Aku tidak mungkin kembali ke sana karena takut pada orang-orang itu. Semoga Tante Riana mau memaafkan aku.

Langkah kuayun untuk keluar dari rumah. Suasana masih seperti biasa. Sepi. Tempat tinggalku memang tak enak dilihat, tapi bagiku tempat ini nyaman. Aku bersyukur masih bisa punya tempat tinggal. Di luar sana, ada yang tidak memiliki tempat tinggal dan harus tidur di emperan toko. Aku harus bersyukur dengan apa yang ada saat ini. Hidup seperti ini mengajariku untuk lapang dada menerima kenyataan.

Tak terasa, aku pun tiba di pemakaman setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit. Tubuh kurendahkan. Mataku berkaca saat melihat pusara makam Tante Riana. Hatiku mulai mendoakan kebaikan untuk orang yang kucintai. Air mata mengalir di pipi. Aku mengingat semua kebaikan Tante Riana. Mengingat semua kebaikan yang beliau berikan untukku.

Tanganku bergerak mengusap air mata, lalu berdiri. "Ana sayang Ibu dan Tante Riana. Ana janji, Ana akan jaga pemberian Tante Riana apa pun yang terjadi. Ana pergi dulu. Nanti Ana ke sini lagi," lirihku.

Langkah kuayun untuk berlalu dari pemakaman. Aku harus cepat sampai di tempat kerja karena waktu sudah memburu. Setidaknya aku sudah merasa tenang karena mengunjungi makam kedua wanita yang kucinta. Aku tiba di tempat kerja tepat waktu. Seperti biasa, aku bersiap-siap untuk menata kue yang sudah jadi dan siap untuk dipasarkan.

"Aku ingin berbicara denganmu."

Perhatianku teralik ketika seseorang mengatakan hal itu persis di belakang tubuhku. Aku menoleh. Terlihat laki-laki yang menabrakku tempo hari berdiri di belakang tubuhku.

Dia mau ngapain lagi?

"Maaf, tapi saya sedang bekerja." Aku menolak.

"Hanya sebentar." Dia memaksa.

"Aku tidak bisa." Aku masih menolak. Sengaja menghindarinya, melangkah meninggalkannnya.

Dia mencekal laenganku sehingga membuat langkahku terpaksa berhenti. Aku tak menatapnya. Dia menarik lenganku agar menghadapnya.

"Lepaskan tanganku." Aku melepas tangannya dari lenganku.

Tubuh kubalikkan untuk kembali masuk, tapi dia kembali mencekal tanganku, lalu menarik lenhanku agar ikut dengannya. Aku berusaha tenang dan melepas tanganku darinya, tapi cekalannya sangat kuat.

"Katakan pada atasanmu jika pelayan ini kubawa untuk masalah penting. Ini kartu namaku. Dia bisa menghubungiku." Laki-laki itu menyerahkan kartu nama pada Wita.

Pandanganku mengarah pada Wita. Dia menatapku bingung. Aku mengangguk lemah padanya. Dia mengajakku keluar. Aku kembali memberontak. Usahaku berhasil. Aku menatapnya kesal. Dia membuang wajah seakan tidak bersalah.

"Aku nggak mau ikut dengan kamu! Aku nggak kenal kamu! Aku mau masuk!" bentakku.

Aku akan kembali masuk, tapi dia kembali mencekal lenganku. "Kamu tidak akan bisa pergi dariku. Kamu pasti mencari ini?"

Pandanganku kembali padanya. Terlihat cincin milik Tante Riana ada di tangannya. Aku berusaha meraih cincin itu, tapi dia menarik tangannya.

"Itu milikku. Kembalikan cincin itu padaku." Aku meminta.

"Tidak semudah itu. Kamu harus ikut denganku." Dia menarik tanganku agar masuk ke dalam mobil.

"Nggak! Aku nggak mau!" Aku mengempaskan cekalannya, tapi cekalannya sangat kuat. Sampai kapanpun aku tidak akan ikut dengannya.

"Aku masih bersikap baik padamu. Jangan sampai aku memaksamu dengan cara kasar," katanya padaku dengan nada lirih.

Meski aku menolak, dia tetap memaksaku. Dia benar-benar kasar. Tubuhku didorong paksa agar masuk ke dalam mobilnya. Aku tak bisa berkutik dan terpaksa masuk ke dalam mobil. Semoga dia tidak melakukan kejahatan padaku. Aku tak percaya padanya. Dia misterius.

Selama dalam perjalanan, aku hanya diam tanpa ingin membuka suara. Aku tak tahu dia akan membawaku ke mana. Aku takut. Baru kali ini ada laki-laki yang tidak kukenal membawaku pergi dengan cara paksa. Entah aku mimpi apa sampai mengalami hal seperti ini.

Tatapan kulempar ke luar kaca ketika mobil ini berhenti di halaman sebuah rumah. Aku tak tahu ini di kawasan mana. Dia dan sopirnya sudah keluar dari mobil. Tinggal aku yang masih di dalam sini dan enggan untuk keluar.

"Keluar." Laki-laki itu menyuruhku keluar sambil mengetuk kaca di sebelahku.

"Enggak." Aku menolak.

Dia membuka pintu mobil untukku. "Keluar atau aku paksa?!" ancamnya. Nada suaranya terdengar kesal.

"Nggak mau." Aku kukuh menolak.

Tangannya bergerak cepat mencekal lenganku, lalu menarik tubuhku agar keluar dari mobil. Terpaksa aku menurutinya karena tenaga dia lebih kuat. Aku berusaha melepas tangannya dari lenganku, tapi tak berhasil.

"Lepaskan aku!" teriakku karena cekalan tangannya mulai terasa sakit.

"Kamu tidak akan bisa pergi dari tempat ini begitu saja." Dia menakutiku.

Sontak aku menatap sekitar. Beberapa orang berjaga di pintu gerbang. Mereka memakai seragam hitam-hitam. Aku hanya bisa menelan saliva.

"Aku nggak akan kabur, tapi bisakah kamu bersikap lembut?" Aku menatapnya.

"Untuk apa aku bersifat lembut pada wanita licik sepertimu?" Dia menatapku tajam.

"Aku nggak ngerti apa yang kamu ucapkan. Aku nggak kenal kamu, dan mungkin sebaliknya. Kenapa kamu menuduh aku seperti itu?" Aku membela diri.

"Apa yang kamu tahu tentang Riana Anita?" tanyanya.

Riana Anita? Itu nama lengkap Tante Riana. Kenapa dia bertanya seperti itu? Apa hubungannya dengan Tante Ria?

"Jawab?!" bentaknya.

"Aku nggak tau." Aku menunduk.

Aku terkejut ketika dia mencengkram kedua lenganku, lalu mendorong tubuhku hingga membentur dinding. Punggungku seketika terasa sakit karena perlakuannya.

"Aku tahu kamu mengenalnya atau pernah tinggal bersamanya. Katakan padaku apa yang terjadi." Dia kembali memaksaku.

Tidak akan pernah aku bercerita padanya mengenai Tante Riana. Bisa saja dia orang jahat yang ingin mencari kebenaran. Lebih baik aku diam.

"Aku masih bersikap baik padamu. Jangan sampai aku menggunakan cara kasar agar membuatmu bercerita." Dia semakin mengeratkan cengkramannya.

Lenganku terasa sakit karena cengramannya. Air mata tak bisa kutepis. "Tolong lepaskan aku," lirihku.

"Katakan apa yang terjadi dengannya?!" Dia terdengar marah.

Doa kurapalkan dalam hati memohon perlindungan pada Sang Kuasa. Aku sudah berjanji pada Tante Riana agar tidak bercerita apa pun pada orang lain mengenainya.

"Aku bisa menghancurkan kehidupan dan keluargamu. Aku bisa membuat hidupmu menderita seperti yang kamu lakukan pada Mamaku!"

Mamaku? Apa maksud perkataannya?

Aku menatapnya. Dia menatapku penuh amarah.

Apa dia putra Tante Ria? Kenapa aku baru menyadari jika wajahnya ada kemiripan dengan Tante Ria. Apa dia putra Tante Ria yang sering beliau ceritakan?

"Rocky!"

"Aku akan mengatakannya padamu, tapi lepaskan aku lebih dulu." Aku mengalah.

"Aku tidak percaya denganmu," desisnya.

"Terserah. Yang pasti aku tau semuanya tentang Tante Riana. Untuk apa aku kabur? Toh, aku nggak akan bisa kabur dari tempat ini."

Perlahan cengkraman di lenganku mengurai. Dia mundur satu langkah. Aku harus menghadapinya dengan tenang. Dia tidak terkendali. Aku hanya punya cara itu. Dia seperti tidak main-main dengan ucapannya.

"Katakan."

"Boleh aku duduk?" Aku menatapnya.

Dia tak merespon, membuang wajah. Aku duduk di lantai, lalu bersandar pada dinding. Rasanya lelah dan haus. Dia masih berdiri di hadapanku.

"Sejak kapan kamu mengenalnya?" Dia memulai obrolan.

"Sejak aku masuk SMP," balasku.

"Apa yang terjadi?" Dia bertanya

"Aku nggak tau apa yang terjadi dengan beliau. Dulu, aku mengenal beliau karena ibuku bekerja padanya. Setelah ibuku meninggal, beliau mengangkatku sebagai anaknya." Aku menjelaskan singkat.

"Kamu berbohong," tuduhnya.

"Untuk apa aku bohong padamu? Jika aku berbohong, lalu kenapa kamu ingin mendengar penjelasan dariku?" tanyaku kesal.

Aku sudah bercerita apa adanya, tapi kenapa dia nggak percaya?

"Lalu, kenapa cincin ini ada di tanganmu? Kenapa dia terikat hutang? Kenapa dia berusaha mempertahankanmu?"

Tatapanku sontak mengarah padanya.

Dari mana dia tahu semua itu? Apa dia mencaritahu semua itu? Apa dia benar-benar anak kandung Tante Riana?

"Jawab?!" bentaknya.

Aku terkesiap. "Dari mana kamu tau semua itu?" tanyaku.

"Kamu tak perlu tahu. Aku hanya ingin kamu menjawab semua pertanyaanku."

"Kamu ingin menjebakku?" tuduhku. Tatapanku hati-hati padanya.

Dia menerima map dari anak buahnya, lalu dia menjatuhkan map itu persis di depanku. Aku perlahan meraih map itu, lalu membukanya ragu. Mataku membulatkan ketika melihat catatan medis Tante Riana. Tanganku bergerak membuka lembar berikutnya. Isi lembar berikutnya adalah catatan hutang Tante Riana pada rentenir beserta bunga yang harus dibayar. Lembar berikutnya mengenai penjualan rumah yang sempat dihuni Tante Riana.

Dari mana dia bisa mendapatkan semua ini?

"Kamu pembunuh ibuku!" geramnya.

"Bukan." Aku beranjak setelah menutup map.

"Lalu?" Dia menatapku penuh amarah.

Air mata tak bisa kutahan.

"Katakan!"

"Aku nggak tau."

"Kamu tidak tahu atau kamu menyembunyikannya dariku?!"

"Demi Tuhan, aku nggak tau apa-apa. Sepulang dari sekolah, aku sudah mendapati Tante Riana di rumah sakit." Aku terisak.

"Aku masih tidak percaya padamu!"

"Itu hak kamu." Aku mengusap air mata yang masih terus mengalir.

Sesaat, suasana mendadak hening.

"Kembalikan cincin itu padaku." Aku meminta.

"Kembalikan apa yang ada pada dirimu dari Mamaku."

Aku menatapnya. Dia menatapku.

"Kamu ingin aku mati?" tanyaku.

"Kematian dibayar kematian."

"Aku nggak bunuh Tante Riana. Hutangku memang banyak pada beliau, tapi semua ini atas keinginan beliau sendiri karena sudah menganggap aku sebagai anaknya. Apa salahku? " Aku berusaha membuatnya mengerti.

"Aku tidak ingin tahu."

"Tolong lepaskan aku." Aku memohon.

"Tidak semudah itu."

"Tolong." Aku menatapnya memohon.

Terdengar suara cincin terjatuh. Aku segera meraih cincin yang melaju ke arahku. Dia menginjak tanganku saat cincin itu sudah di tangan. Mata kupejamkan karena tanganku terasa sakit.

Terdengar ponsel berdering. Dia mengangkat kaki, dan berlalu dari hadapanku untuk menerima panggilan telepon itu. Air mata kembali mengalir di pipiku. Rasanya sangat sakit mendapat perlakuan seperti ini. Bukan hanya sakit di fisik, tapi hati pun sakit.

Entah takdir apa yang sedang bermain dalam kehidupanku. Seakan tak pernah berhenti ujian yang aku hadapi. Kapan kebahagiaan akan menghampiri hidupku?

"Kamu boleh pergi."

Kepalaku terangkat. Terlihat anak buah laki-laki itu berdiri di depanku. Aku beranjak dari lantai. Kulangkahkan kaki untuk keluar dari tempat ini. Aku bersyukur karena dia tak menahanku. Aku harus cepat pulang. Aku khawatir dia akan berubah pikiran dan kembali mencariku. Kembali bertemu dengannya adalah musibah untukku.

***

Jangan lupa tinggalkan vote, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro