Bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkah gontai kuayun untuk pulang ke rumah. Jarak antara tempat kerja menuju rumah lumayan jauh. Terkadang, aku menaiki angkutan umum ketika berangkat, dan terkadang jalan kaki. Aku tak tahu sampai kapan akan seperti ini. Seperti tidak ada tujuan yang jelas dalam hidup. Orang-orang yang kucinta telah tiada. Bahkan laki-laki yang kucinta pun telah kulepas karena kami tak dapat restu dari orang tuanya. Aku tak mau memaksa. Dia berhak bahagia walaupun tidak denganku.

Ayah. Dia tak pernah menganggapku ada. Aku seperti parasit, katanya. Sejak aku lahir, ayah tak pernah menyentuh atau berkata baik padaku. Mungkin karena dulu aku berpenyakitan. Dia masih sama seperti dulu: pemabuk, pemain judi, dan pemain wanita. Mungkin itu salah satu faktor kepergian ibu.

Napas kuhela ketika tiba di depan pintu rumah. Tatapanku langsung tertuju pada pintu yang tak tertutup rapat. Langkah kuayun untuk masuk ke dalam rumah, dan langsung menuju kamar. Mataku membulat ketika tempat biasa untuk menyimpan uang berantakan. Aku memejamkan mata sesaat. Tubuhku lemas seketika. Uang yang kutabung untuk keperluan sehari-hari lenyap tanpa sisa. Aku tahu pelakunya. Melawan pun aku tak bisa. Air mata mengalir di pipi. Sudah begitu banyak hutang yang Ayah pinjam, tapi beliau tidak ada keinginan untuk membayar. Dia seakan lupa dengan hutang-hutangnya sedangkan rentenir hampir setiap hari datang ke rumah ini untuk menagih hutang. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya lelah menghadapi semua ini.

Setiap hari aku berharap, semoga suatu saat ada laki-laki yang tulus menikahiku dan mengajak aku pergi jauh dari sini. Hanya itu yang aku harapkan.

***

Langkah kuayun menyusuri taman kota sebelum tiba di tempat kerja. Masih ada waktu sepuluh menit untuk menikmati pemandangan taman ini. Hari ini aku berusaha agar tidak terlambat masuk kerja. Bu Mega kembali memberikan SP padaku. Aku harus lebih disiplin lagi jika masih ingin bekerja di tempat itu.

Ponsel kuraih dari dalam tas. Tak sengaja dompet yang kutemukan tempo hari ikut keluar dan terjatuh. Aku segera memungutnya. Sesaat, aku menghela napas. Sudah beberapa hari dompet ini ada di tanganku. Dompet ini milik bule yang tempo hari menabrakku di pertigaan gang. Aku sudah membuka dompet ini, tapi sepertinya dia bukan warga Indonesia. Terlihat jelas dari kartu identitasnya.

"Ana!!!"

Perhatianku teralih saat mendengar suara seseorang menyeru namaku. Aku menoleh ke sumber suara. Terlihat Nia menghampiriku, lalu duduk di sampingku.

"Apa itu?" tanyanya.

"Dompet orang. Kemarin nggak sengaja aku nemu," balasku.

Nia merebut dompet dari tanganku, lalu membukanya. Aku hanya menghela napas. Dia memang seperti itu. Sejak dulu tak pernah berubah.

"Fabian Cassano Tambosi."

Mata kupejamkan sesaat. Nia menyebut nama itu dengan jelas. Ya. Namanya Fabian Cassano Tambosi.

"Dia bukan orang Indo?"

"Aku nggak tau, Ni. Aku nggak tau harus balikin dompet itu ke mana." Aku tak menatap Nia.

"Tapi laki-laki ini tampan. Apa dia sudah punya pacar atau istri?"

"Jangan ngaco kamu, Ni." Aku merebut dompet dan kartu identitas itu dari tangan Nia. "Ini bukan hakku, jadi aku harus mengembalikannya." Aku memasukkan kartu identitas itu ke dalam dompet, lalu memasukkan dompet itu ke dalam tas.

"Kamu mau kembalikan ke mana? Orangnya saja kamu nggak kenal?" Nia menambahi.

Aku beranjak dari bangku. "Nanti akan aku posting di Sosmed. Sekarang waktunya kita kerja." Langkah kuayun untuk meninggalkan taman itu.

Nia mengikutiku. Dia banyak bertanya mengenai dompet itu. Di dalam dompet ada beberapa lembar uang dan itu bukan mata uang Indonesia. Seperti mata uang Belanda sesuai data pada identitas orang itu. Aku harus segera mengembalikan dompet itu. Apa pun caranya. Lebih baik saat ini aku fokus kerja.

"Ana, ada pengunjung." Bu Mega menginstruksiku ketika sudah stay di tempat kerja.

Kepala kuanggukkan, lalu memasukkan pena dan kertas ke dalam saku celemek. Aku berjalan ke arah pengunjung yang sudah menanti untuk dilayani.

"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" Aku menyapa pengunjung itu.

Dia membalikkan tubuh. Pandanganku langsung tertuju pada bola matanya. Aku seperti pernah bertemu dengannya.

"Anda," gumamku, masih bisa terdengar.

Dia orang yang menabrakku tempo hari dan pemilik dompet itu.

"Saya mau pesan kue dan minuman terbaik di sini," balasnya.

"Sebentar." Aku berlalu pergi meninggalkan orang itu.

"Hei ...!!" seru orang itu.

Biarlah. Aku mengabaikan seruannya. Dia harus tahu jika dompetnya terjatuh dan aku menemukannya. Aku harus mengembalikan dompet miliknya.

Langkah kuayun cepat menuju loker. Kuraih tas dan menc
cari dompet milik orang itu. Dapat. Aku kembali memasukkan tas ke dalam loker, lalu pergi untuk kembali menemui orang itu. Pandangan kuedarkan ketika tiba di tempat sebelumnya. Orang itu sudah tidak ada.

Ke mana dia? Aku baru meninggalkannya beberapa menit yang lalu, tapi dia sudah nggak ada.

Aku pun keluar untuk kembali memastikan keberadaan orang itu. Nihil. Aku kembali masuk. Tak sengaja aku menginjak sesuatu. Sebuah kartu nama tergeletak di bawah sana. Aku memungut kartu nama itu.

Fabian Cassano Tambosi. Di bawah nama itu tertera gelar jabatan di sebuah perusahaan. Mataku membulat saat melihat alamat dan nomor teleponnya khas negara ini. Apa ini alamt yang harus kukunjungi untuk mengembalikan dompetnya?

***

Tatapanku tertuju pada bangunan di depan sana. Seperti gedung perkantoran, tapi suasananya sepi. Kali pertama aku menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Langkah kuayun untuk menuju pintu masuk. Terlihat petugas keamanan menatapku.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam itu.

Tanganku bergerak meraih kartu nama di saku pakaian dan menunjukkannya pada satpam. "Apa benar ini alamat yang ada pada kartu nama ini?" tanyaku.

Satpam itu menatap kartu nama yang kuberikan. "Benar. Ada perlu apa Mbak ke sini?" Dia balik bertanya.

"Saya ingin bertemu dengan orang yang bersangkutan. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan," ungkapku.

"Mbak sudah buat janji?" tanyanya memastikan. Terlihat keraguan pada wajahnya.

"Belum, Pak. Kemarin kami bertemu, tapi tiba-tiba dia pergi tanpa pamit padaku." Aku meyakinkannya.

"Oh. Mbak bisa ke lantai tiga. Pak Bian ada di ruangannya. Nanti Mbak bisa bertanya pada orang yang ada di sana." Satpam itu akhirnya percaya padaku setelah menatap tubuhku dari ujung kepala sampai kaki.

Kepala kuanggukkan, lalu melangkah masuk ke dalam. Tempat ini sangat sepi dan sedikit seram. Tempat ini pun terjaga, tapi entah kenapa tak kudapati satu pun orang di sepanjang perjalananku menuju lantai tiga. Entahlah. Aku tak peduli. Bagiku yaang penting tujuanku cepat selesai.

Jika saja dulu aku menuruti tawaran Tante Riana, mungkin aku bisa menikmati pekerjaan yang lebih baik dari sekedar pelayan toko roti. Tapi aku tidak ingin membuatnya terbebani dengan membiayai sekolahku. Tante Riana sudah banyak berkorban. Aku tak ingin mebuatnya bekerja keras.

Akhirnya aku tiba di tempat tujuan. Tidak ada siapapun di sini. Aku berjalan menyusuri setiap pintu. Terdengar suara orang sedang marah. Entah bersumber dari mana suara itu. Langkah kuayun mengikuti sumber suara itu. Terlihat sebuah pintu ruangan terbuka. Aku menyembulkan sebagian tubuh untuk memastikan.

"Apa yang sudah kamu lakukan pada wanita itu?!"

Laki-laki yang tempo hari kutemui di tempat kerja terlihat mencekram pakaian seorang laki-laki bertubuh gendut. Aku seperti mengenal laki-laki gendut itu.

"Saya hanya memberi pinjaman padanya. Saya tidak menyakitinya."

Ya. Aku mengenal laki-laki gendut itu. Dia rentenir yang memberi pinjaman pada Tante Riana. Apa yang dia lakukan di sini? Dan apa hubungan dia dengan laki-laki itu?

Aku memejamkan mata ketika laki-laki itu mendorong sang rentenir. Rentenir itu tersungkur di atas lantai. Aku perlahan melangkah mundur. Tubuhku berbalik untuk meninggalkan tempat ini, tapi aku menabrak seseorang. Aku mengangkat kepala. Kulihat laki-laki berpakaian hitam menatapku.

"Sedang apa Anda di sini?" tanyanya. Dia seperti bodyguard laki-laki yang tempo hari menabrakku.

Kepalaku menggeleng lemah. "Aku hanya ingin-"

'Memata-matai?" tuduhnya.

"Bukan. Aku hanya-"

"Tangkap dia!!"

Mataku membulat. Kaki kusiapkan untuk kabur, lalu mendorong tubuh laki-laki yang ada di hadapanku, dan melangkah untuk berlari. Laki-laki itu mengejarku. Nahas. Dia berhasil mencekal lenganku, membuat langkahku seketika trrhenti. Aku menarik tangan untuk melepas cekalannya. Laki-laki itu mencengkram keempat jariku. Aku berusaha melepas tanganku dari cengkramannya. Mataku membulat ketika cincin pemberian Tante Riana terlepas dari jariku. Tidak mungkin aku mengambilnya karena posisiku saat ini sulit. Pilihan yang sangat sulit. Aku harus segera meninggalkan tempat ini.

"Kejar dia!!"

Aku masih berlari sekuat tenaga. Sesekali menatap kebelakang untuk memastikan orang yang mengejarku. Tubuhku tersungkur ke atas lantai karena menabrak sesuatu. Terlihat seseorang berdiri di sampingku. Niatku untuk mengembalikan barang justru berdampak seperti ini.

"Bawa dia ke ruangan Tuan." Instruksi laki-laki yang mengejarku dari awal. Mereka mencekal kedua lenganku.

"Tolong lepaskan aku. Aku nggak ada maksud apa-apa datang ke sini. Aku hanya ingin mengembalikan sesuatu pada bos kalian." Aku menjelaskan.

"Ikut!" bentak salah satu dari mereka.

Aku merasa takut. Tak ada pilihan selain menuruti perintah mereka. Kabur pun sudah tak bisa. Kesalahanku adalah panik. Seharunya aku tidak lari karena akan semakin membuat mereka curiga. Bodoh.

Pandangan kuedarkan meneliti ruangan yang kupijak saat ini. Entah kenapa aku merasa takut pada mereka. Perhatianku teralih saat mendengar suara alas kaki menggema. Aku menundukkan kepala.

"Kenapa dia bisa masuk ke dalam kantor ini?!"

Kepalaku terangkat. Terlihat laki-laki yang menabrakku tempo hari bertanya pada anak buahnya dengan nada tegas.

"Kami tidak tahu, Tuan. Tiba-tiba wanita ini sudah ada di depan pintu ruangan samping." Salah satu anak buahnya membalas.

"Siapa dia?"

"Kami tidak tahu, Tuan."

Tubuhku terasa kaku saat laki-laki itu berjalan menghampiriku. Entah apa yang akan dia lakukan. Aku tak bisa apa-apa saat ini.

"Siapa kamu?" tanya laki-laki itu.

Aku meraih sesuatu di dalam tas. "Aku hanya ingin mengembalikan ini," balasku sambil menyodorkankan dompet miliknya.

Dia meraih dompet yang ada di tanganku. "Kenapa dompetku bisa ada padamu?" tanyanya.

Kepala kugerakkan untuk menatapnya. Tatapan kami bertemu. Laki-laki di hadapanku saat ini terlihat sangat tampan. Mata hazelnya membuatku tak ingin berpaling menatapnya.

"Hei!"

Aku terkesiap, lalu menunduk. "Anda lupa? Kemarin Anda menabrakku di tikungan dekat rumahku. Aku menemukannya di sana. Tujuanku ke sini hanya ingin mengembalikan dompet itu. Tidak ada maksud lain," jelasku.

"Lalu kenapa kamu bisa tahu alamat tempat ini?" Dia kembali bertanya.

"Anda masih ingat ketika datang ke tempat kerjaku untuk memesan makanan di sana? Di cake shop Huria? Aku menemukan alamat tempat ini dari kartu nama yang jatuh di sana. Dan aku rasa alamat di kartu nama itu adalah tempat kerja Anda. Ternyata benar." Aku kembali mejelaskan.

"Apa yang kamu lihat tadi?"

Aku kembali mengangkat kepala. "Tadi?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.

"Ya. Ketika kamu di depan pintu ruangan sebelah?" Dia memastikan.

"Aku nggak lihat apa-apa," bohongku. Terpaksa melakukannya. Ini demi kebaikanku.

Dia melangkah maju. "Jangan berbohong."

Kakiku melangkah mundur. "Aku memang nggak tau."

Dia kembali melangkah maju. Aku terkejut ketika dia mencekal kedua bahuku.

"Aku tahu kamu melihatnya. Aku bisa menghancurkanmu jika kamu macam-macam." Dia mengancam.

"Aku nggak tau apa-apa," lirihku takut.

Dia melepas cekalannya dari bahuku. Diraihnya sesuatu dari dalam dompet. "Pergilah. Jangan pernah kembali ke sini." Dia menyodorkan beberapa lembar uang padaku.

Kepalaku menggeleng. "Aku tulus mengembalikan dompet Anda. Maaf, aku nggak bisa terima uang ini. Permisi." Aku berlalu pergi.

Aku harus segera pergi dari tempat ini. Tempat ini menakutkan. Jangan sampai aku kembali menginjakkan kaki di tempat ini atau bertemu kembali dengan mereka. Jangan sampai!

"Ana! Tolong aku!" teriak seseorang.

Langkahku terhenti. Aku menoleh ragu ke belakang. Terlihat rentenir itu menatapku. Pandanganku kembali lurus ke depan. Aku tak mau ikut campur dengan urusannya pada laki-laki bernama Bian. Lebih baik aku harus segera meninggalkan tempat ini.

Aku bernapas lega ketika sudah meninggalkan tempat itu. Ini pertama kali aku berhadapan dengan orang dingin seperti Bian. Dia tampan, tapi tak seimbang dengan perbuatannya. Dia kasar, bisa terlihat dari perlakuannya pada rentenir itu. Aku tidak mau mengingatnya lagi. Aku harus melupakan semua itu.

Langkahku terhenti ketika mengingat sesuatu. Cincin. Kenapa aku lupa pada cincin pemberian Tante Riana yang sempat terlepas ketika anak buah Bian berusaha menahanku? Aku tak mungkin kembali ke sana karena sudah berjanji tidak akan kembali ke sana. Tapi itu cincin pemberian dari Tante Riana dan aku sudah berjanji akan menjaganya. Apa yang harus aku lakukan?

"Ana!"

Pikiranku buyar. Aku menoleh ke sumber suara. Napas kuembuskan saat mwlihat Ayah berdiri di teras rumah, menatapku tajam. Aku bergegas menghampiri beliau.

"Aku butuh uang," pintanya.

"Ana belum gajian, Yah." Aku membalas.

"Jangan bohong kamu!" bentaknya. Tak percaya jika aku memang belum gajian.

"Kapan Ana pernah bohong masalah uang gaji?"

Ayah menarik tas selempangku. Biarlah beliau melakukan apapun sepuasnya. Aku pasrah karena memang tak ada uang dalam tas itu. Lagipula, aku tak pernah menyimpan uang banyak di dalam tas karena tahu Ayah akan mengambilnya. Aku sudah menyimpan uangku di tempat yang aman.

Beliau membanting tasku ketika tak menemukan uang di dalam sana. Aku hanya bisa menghela napas sabar. Sudah tak heran melihat perlakuan beliau.

"Dari dulu kamu tidak berguna!" bentaknya lagi. Beliau pergi meninggalkan aku.

Tanganku bergegas meraih tas, lalu menyampirkan di bahu.

Entah sampai kapan Ayah akan seperti ini terus. Mabuk, judi, main wanita, itu kerjaannya. Kapan Ayah berubah? Aku sedih memikirkannya. Hanya Ayah yang kupunya saat ini walaupun beliau tak pernah peduli padaku. Tapi beliau tetap ayahku.

Langkah kuayun, masuk ke dalam rumah untuk membersihkan tubuh dan istirahat. Harapanku masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Berharap ada pangeran tampan berkuda putih yang datang menghampiriku dan membawaku pergi jauh menuju kebahagiaan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro