Bagian 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sampai saat ini, aku masih belum memasuki kamar sejak Bian pulang dari kantor. Mengurus Angel menjadi kesibukanku beberapa hari ini karena Cia pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Tugas mengurus Angel sepenuhnya diberikan padaku. Aku tidak keberatan karena merasa sanggup mengurus Angel dari bangun tidur sampai dia tertidur kembali. Lagipula, ada pelayan yang membantuku di rumah ini, jadi aku bisa meminta bantuan mereka jika merasa ada yang tak sanggup dikerjakan.

Aku melangkah keluar dari kamar Angel setelah dia tertidur lelap. Biasanya, aku akan bergantian dengan Cia untuk membacakan buku cerita pada Angel sebelum tidur. Karena Cia tidak ada, maka aku menggantikan tugasnya membaca buku cerita pada Angel sejak kemarin. Aku pun tidak lagi tidur di sofa semenjak Cia bertengkar dengan Bian tempo hari. Rasa bersalah masih menghantuiku akan kejadian itu karena awal pertengkaran mereka berasal dari aku. Bian sudah beberapa hari tidur di sofa yang sempat kutiduri. Aku tak bisa menolak permintaannya.

Pintu kamar perlahan kubuka. Aku masuk ke dalam. Terlihat Bian sedang sibuk dengan pekerjaannya yang dibawa pulang. Aku berjalan menuju ruang ganti pakaian untuk menyiapkan perlengkapan Bian yang akan dia pakai besok. Sudah beberapa hari ini aku menyiapkan pakaian kantornya, dan aku bersyukur karena dia tidak protes. Dia akan mengganti sendiri jika merasa kurang pas. Setidaknya aku sudah menunaikan tugasku sebagai seorang istri, menyiapkan keperluannya.

Setelah menyiapkan pakaian Bian, aku mendekati wastafel untuk menggosok gigi dan mencuci wajah. Hal ini kulakukan setiap hari sebelum tidur. Tak lupa, aku mengganti pakaian yang biasa kukenakan saat tidur. Aku berjalan keluar dari kamar mandi untuk segera tidur. Langkahku terhenti ketika melihat pemandangan aneh. Bian tidur di atas ranjang. Mungkin dia merasakan apa yang kurasa saat itu. Aku melanjutkan langkah, lalu duduk di tepi ranjang. Kuamati Bian yang berbaring membelakangiku. Sepertinya memang sudah tidur. Aku bergegas merebahkan tubuh dengan perlahan.

"Malam ini dan seterusnya, aku akan tidur di ranjang. Aku tidak mau tidur di sofa lagi."

Aku menelan ludah. Rupanya Bian belum tidur. Senyum kusungging. Secara tidak langsung dia mengakui bahwa tidur di sofa itu tidak enak.

"Bagaimana rasanya tidur di sofa beberapa hari ini? Kamu merasakan apa yang aku rasa," balasku santai. Lebih ke arah menyindir.

"Aku tidak ingin membahas hal itu. Aku harus tidur karena besok ada pertemuan penting." Dia terdengar ketus.

Senyum kembali kusungging menanggapi ucapannya. Kamu sendiri yang memulai, dan kamu sendiri yang mengakhiri. Aneh. Lebih baik aku tidur. Besok pagi aku harus mendampingi Angel ke sekolah karena pihak sekolah mengadakan lomba menggambar untuk kelas Angel.

***

Deringan alarm mengganggu tidur nyamanku. Mata kukerjapkan, lalu bergegas meraba ponsel di atas nakas untuk mematikan alarm. Aku kembali memejamkan mata karena masih ingin menikmati waktu tidur. Seharian mengurus Angel membuat tubuhku lelah. Mata kubuka lebar ketika mengingat sesuatu. Aku dan Bian malam ini tidur satu ranjang. Kepala kugerakan perlahan menoleh ke samping. Bian masih terlihat tenang dalam tidur. Aku menghela napas, lalu mengubah posisi menghadap Bian. Seperti waktu langka bisa menatap setiap inci wajahnya. Dia terlihat tampan meski sedang tidur. Senyum kusungging. Baru kali ini aku melihat wajah damainya tanpa kedinginan yang tersirat. Jika saja dia bisa bersikap lembut, maka wajah damai ini akan terlihat. Aku membalikkan tubuh ketika Bian menggerakan kepala. Semoga dia tak tahu jika aku mengamatinya saat tidur. Lebih baik aku segera bangun, lalu mandi, dan mengerjakan tugas mengurus Angel.

Langkah kuayun menuju tempat pakaian. Pandangan kuedarkan untuk memilih pakaian yang akan kukenakan untuk menemani Angel. Cia mengajariku tentang fashion. Dia memang sosialita. Apa yang aku kenakan akan dinilai olehnya. Dia selalu mengoreksi jika penampilanku tak sesuai. Tapi aku senang karena dia membuatku tampil lebih baik dan serasi. Setelah selesai memilih pakaian, aku bergegas membersihkan tubuh. Tidak butuh waktu lama, aku pun keluar dari kamar mandi, lalu mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan. Aku tersenyum di balik pantulan cermin. Riasan natural kupoles pada wajah. Selesai. Aku keluar dari ruangan itu. Bian masih nyenyak tertidur. Sepertinya dia menikmati tidur malam ini. Aku kembali tersenyum, lalu meningkalkan kamar untuk menyiapkan keperluan Angel.

"Apa Angel sudah bangun?" tanyaku pada salah satu pelayan yang baru saja keluar dari kamar Angel.

Dia terlihat kaget. "Sudah, Nyonya. Nona Angel menunggu Nyonya," balasnya.

Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar Angel. Malaikat kexilku masih duduk di atas ranjang sambil memegang buku cerita yang semalam kubacakan untuknya. "Good Morning, Malaikat Bunda." Aku menyapanya, mendekati ranjang.

"Selamat pagi, Bunda." Angel membalas dengan nada lesu.

Sepertinya dia baru saja bangun tidur. Rambutnya masih berantakan. Aku duduk di tepi ranjang. Kepalanya kuusap lembut. Angel menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku meraih tubuhnya agar duduk di pangkuan. Tubuhnya kupeluk erat untuk menciptakan kenyamanan. Puncak kepalanya kuciumi bertubi-tubi. Di usianya yang masih seperti ini seharusnya dia mendapat kasih sayang dari seorang ibu, tapi Angel tidak seberuntung mereka yang masih mendapat kasing sayang dari ibunya di usianya yang masih balita. Sebenarnya, aku tak setuju jika Angel harus sekolah karena di masa-masa usia empat tahun dia seharusnya masih menikmati masa bermain di rumah. Tapi keadaan memaksanya untuk menerima karena Bian dan Cia sibuk mengurus bisnis masing-masing.

"Ayo mandi. Nanti terlambat ke sekolah. Hari ini Angel ada lomba di sekolah." Aku membuka suara setelah cukup lama terdiam.

Angel mendongak. "Bunda ikut Angel ke sekolah?" tanyanya.

Aku mengangguk antusias. Dia terlihat senang dan beranjak dati pangkuanku, lalu berjalan untuk menuju kamar mandi. Aku sudah mengajarinya untuk mandi sendiri. Tinggal aku awasi saja selama dia di kamar mandi.

"Angel jangan lupa gosok gigi, ya." Aku mengingatkannya.

"Iya, Bunda!" serunya dari dalam kamar mandi.

Keperluan sekolah Angel untuk hari ini sudah disiapkan oleh pelayan. Seragam sekolah kuletakkan di atas ranjang. Tak lupa aku koreksi kembali tas sekolah Angel. Lengkap.

"Bunda! Angel sudah selesai mandi!"

Tubuh kubalikkan, melangkah menuju kamar mandi, lalu meraih handuk yang tergantung di samping pintu. Tubuh Angel kubalit dengan handuk, lalu menggendongnya, dan membawa ke dekat ranjang.

"Apa Papa ikut menemani Angel?" tanya Angel membuka obrolan.

"Bunda tidak tahu, Sayang." Aku membalasnya sambil mengenakan pakaian di tubuhnya.

"Kapan Papa seperti papanya Levi dan Sean? Angel ingin seperti mereka ditemani Papa." Angel mengeluh.

Apa selama ini Bian tak pernah menemani Angel di sekolah? Aku tak menyangka jika Angel akan mengeluh seperti ini mengenai Bian. Sepertinya aku harus membujuk Bian agar mau menemani Angel di sekolah.

"Nanti Bunda akan bujuk Papa supaya menemani Angel di sekolah." Aku menyemangatinya.

Angel terlihat senang. Aku mengajaknya keluar setelah pakaiannya rapi. Ada pelajaran baru yang akan kupelajari di rumah ini. Membujuk. Aku akan melakukan itu pada Bian demi Angel. Tatapan kutuju pada jam dinding karena Bian belum ada di ruang makan. Sudah pukul delapan lewat, tapi dia belum turun.

"Tolong bantu Angel sarapan," kataku pada pelayan. "Bunda ke kamar dulu. Angel sarapan ditemani Dira, ya," kataku pada Angel.

Aku bergegas meninggalkan ruang makan untuk memastikan Bian di kamar. Apa dia masih tidur? Dia akan terlambat ke kantor jika belum siap-siap. Tidak biasanya dia seperti ini. Aku membuka pintu kamar dan di saat yang sama pintu tertarik dari dalam sehingga membuat tanganku refleks melepas gagang pintu. Penampilan Bian sudah rapi seperti hari biasanya untuk ke kantor.

"Kenapa kamu tikak membangunkan aku? Aku jadi terlambat bangun pagi ini," ketusnya. Dia melangkah maju sehingga membuatku bergeser ke samping.

"Kamu tidak memintaku untuk membangunkanmu, jadi aku tak berani melakukannya," balasku.

Dia tak membalas, meninggalkan aku yang masih berdiri di depan kamar. Aku masuk ke dalam kamar untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Sepertinya tidak ada. Aku akan meninggalkan kamar, tapi suara ponsel menghentikan gerakanku. Itu suara ponsel Bian. Sepertinya dia lupa membawa ponselnya. Aku bergegas mencari ponsel Bian yang masih berdering. Benda itu tergeletak di samping bantak. Tanganku bergerak cepat meraihnya, lalu meninggalkan kamar untuk memberikan benda ini pada Bian. Dia pasti membutuhkan benda ini. Pandangan kuedarkan saat tiba di ruang makan. Sosok Bian tak ada di ruang ini.

"Angel lihat Papa?" tanyaku pada Angel.

"Sudah pergi." Angel membalasku.

Langkah kuayun cepat meninggalkan ruang makan untuk keluar rumah. Berharap dia belum pergi. Aku berlari untuk mempercepat waktu. "Bian!!!" seruku. Di saat yang sama aku terjatuh karena alas kaki yang kukenakan memijak tak seimbang dengan tubuh. Aku mengaduh karena rasa sakit menyerang pergelangan kaki.

"Kamu tahu aku sudah terlambat!"

Ponsel kusodorkan padanya. "Kamu meninggalkan ini. Aku tahu kalau benda ini penting untuk pekerjaanmu."

Dia menerima ponsel dariku. Aku beranjak dari lantai sambil menahan rasa sakit. Ini sudah kedua kali aku jatuh saat mengenakan hels. Aku menatap Bian. Dia menatapku tanpa ekspresi. Khawatir saja tidak. Menyebalkan.

"Aku pergi. Kamu dan Angel ke sekolah diantar supir." Bian berlalu dari hadapanku.

Dia benar-benar tidak peka dan tidak punya rasa peduli. Aku menyesal sudah berlari dab berusaha agar dia tidak kesulitan, tapi dia tidak menghargai usahaku, bahkan tidak peduli dengan kondisi kakiku yang sakit karenanya.

Hels kulepas dari kaki, berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah tertatih. Aku mendaratkan tubuh di atas sofa karena kakiku masih terasa sakit. Tanganku bergerak memijat pergelangan kaki karena rasa sakit belum juga hilang.

"Nyonya tidak apa-apa?"

Aku menggeleng. "Bisa tolong ambilkan minyak urut? Tolong siapkan keperluan Angel. Kita harus berangkat sekarang." Aku menginstruksinya.

Dia berlalu pergi untuk memenuhi perintahku. Bagaimanapun aku harus menemani Angel ke sekolah. Ini penting untuknya. Aku akan mengabaikan rasa sakit ini, setidaknya untuk beberapa jam ke depan. Entah setelahnya bagaimana, aku tak tahu.

***

Aku menyandarkan tubuh pada sofa. Kakiku masih terasa sakit bahkan sampai terasa ke lutut. Rasanya luar biasa. Ingin rasanya aku menangis, tapi tak mungkin karena ada Angel yang setiap saat menemaniku. Seharian ini aku menahan sakit demi acara sekolah. Kini, aku tinggal merasakan akibat dari aktivitas yang memaksa kakiku untuk bekerja dan mengabaikan rasa sakit.

"Tidak mau! Angel mau sama Bunda!"

Napas kuhela ketika mendengar seruan Angel. Dia memang tipe anak yang tak ingin dibantu pelayan saat mandi.

Dira menghampiriku. "Maaf, Nyonya. Nona Angel tidak mau saya bantu," tuturnya.

Kepala kuanggukkan. Tatapanku beralih pada kaki. Terlihat memerah. Aku beranjak dari sofa sambil menahan sakit, lalu berjalan tertatih menuju kamar Angel. Rasanya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Sakit luar biasa. Setelah membujuk Angel, aku kembali duduk di sofa yang ada di kamarnya. Kali pertama mengalami sakit di kaki selama tinggal di sini.

"Dira. Bisa bantu aku ke kamar? Kakiku sakit sekali," ucapku pada Dira.

Dira mengangguk. Dia membantuku memapah untuk menuju kamar, meninggalkan Angel yang sedang bersama pelayan lain. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Mata kupejamkan untuk menghalau rasa sakit.

Mata kukerjapkan ketika seseorang menyebut namaku. Seperti suara Cia. Mataku terbuka sempurna karena merasa ada yang menyentuh kakiku. Aku mengaduh ketika rasa sakit kembali terasa. Kali ini lebih sakit dari sebelumnya.

"Kamu baik-baik saja? Kata pelayan, kamu mengalami luka? Kenapa kamu tidak memberitahuku?" tanyanya Cia.

"Aku tidak apa-apa, Cia. Hanya terkilir tadi pagi," balasku sambil beranjak duduk.

"Ini bukan hanya terkilir. Kaki kamu lebam dan bengkak. Kamu harus ke dokter." Cia meraih ponselnya setelah mengatakan hal itu.

Sepertinya aku memang butuh perawatan untuk memastikan keadaan kakiku. Cia membantuku untuk turun dari ranjang. Kita akan ke rumah sakit untuk memastikan keadaan kakiku. Lebih baik memang seperti ini. Kakiku bengkak dan memerah. Entah apa yang terjadi dengan kakiku.

"Bian sungguh keterlaluan. Aku tak menyangka jika dia akan membiarkanmu dalam kondisi seperti ini. Menyebalkan." Cia membuka suara ketika kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.

"Dia buru-buru karena sudah terlambat ke kantor. Tidak masalah, Cia." Aku menenangkannya.

"Kamu selalu seperti itu. Apa pun itu, seharusnya dia lebih mementingkan kamu daripada pekerjaannya."

Ah, sudahlah. Jika terus dibahas, maka Cia akan semakin kesal dan menyalahkan Bian. Lagipula, aku seperti ini bukan sepenuhnya kesalahan Bian, tapi karena aku memaksakan diri untuk kembali memakai hels.

Aku dan Cia tiba di rumah sakit, dan langsung dilarikan ke ruang UGD. Dokter segera memeriksa kakiku ketika aku sudah di dalam ruangan UGD. Banyak pertanyaan yang dilontarkan. Aku hanya membalas sesuai apa yang kualami. Dokter langsung merujuk untuk melakukan tes. Aku patuh demi mengetahui kondisi kakiku. Dokter menyarankan agar aku dirawat untuk hari ini. Awalnya aku menolak, tapi Cia memaksa agar aku patuh sampai kondisi membaik.

Sampai saat ini, aku belum melihat Bian padahal dia sudah tahu keadaanku dari Cia. Aku tak tahu dia di mana sejak pagi, tapi entah kenapa aku merasa kesal dengannya yang tidak mengunjungiku padahal aku seperti ini salah satunya karena dia. Entahlah. Aku tak seharusnya mengharapkan dia, karena dia pun tak peduli padaku kecuali aku mengalami masalah yang mengancam nyawaku. Kehadiranku memang tak pernah diharapkan dalam hidupnya atau sebagai istrinya. Seandainya aku bisa bertindak, maka aku ingin meninggalkan rumah itu dan pulang ke negaraku entah bagaimanapun caranya. Harapan yang kudamba tak sesuai kenyataan. Aku berharap mendapat suami yang baik dan perhatian padaku, tapi nyatanya tak sesuai apa yang aku ingunkan. Entah takdir baik atau buruk yang sedang kuhadapi saat ini. Aku merasa lelah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro