Bagian 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bolehkan aku egois untuk kali ini saja? Hanya untuknya, bukan untuk semua penghuni rumah. Selama ini aku sudah banyak mengalah untuknya, tapi dia tak pernah menghargai apa yang sudah aku lakukan Menikah dengannya. Mengikutinya ke sini. Bahkan melakukan tugasku sebagai istrinya pun sudah kulakukan. Lantas, apa yang masih membuatnya diam padaku? Apa dia masih berpikir jika aku penyebab kematian ibunya? Apa karena dia marah pada Cia karena memintanya untuk menikahiku? Apa gunanya aku di sini sebagai istrinya jika tidak dianggap? Kenapa dia tidak menceraikan aku saja? Aku merasa tak berharga di depannya.

Tanganku bergerak cepat mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi ketika mendengar suara langkah menggema. Pandanganku masih fokus pada luar kaca. Sejak pulangan ke rumah aku lebih banyak diam dan menyendiri. Bian pun tak menjengukku ketika di rumah sakit, bahkan di rumah pun dia seakan tak peduli. Sakit. Itu yang kurasa saat inu. Hidup satu rumah, satu kamar, sebagai suami istri, tapi seperti musuh. Pagi ini pun aku masih belum keluar. Biasanya aku akan lebih dulu di dapur sebelum penghuni rumah bangun. Aku ingin egois mulai sekarang. Terutama pada Bian. Aku pun sudah tidak lagi menyiapkan keperluan Bian. Untuk apa aku menyiapkan semua itu?

Aku menggerakan kursi roda untuk beranjak. Ya. Saat ini harus mengguakan alat ini untuk membantuku agar tidak menggerakan kaki karena akan menghambat penyembuhan di kakiku. Pergelangan kakiku mengalami pergeseran karena insiden beberapa hari yang lalu. Gips pun terpasang di kakiku. Aku menggerakan kursi roda menuju ruangan pakaian. Memikirkan Bian membuatku gerah dan ingin rasanya berendam.

"Apa yang akan kamu lakukan?"

Terdengar suara pertanyaan terlontar saat aku akan masuk ke dalam ruangan pakaian. Aku memilih diam, enggan membalas pertanyaannya. Apa dia peduli padaku?. Ah, kapan dia pernah mau peduli padaku?

Kepalaku mendongak untuk menatap tumpukan pakaian di atas sana. Napas kuhela. Aku beranjak dari kursi roda untuk berdiri karena akan meraih pakaian di atas sana. Kaki kiri masih bisa kugunakan untuk menopang tubuh. Pakaian yang kuinginkan sudah ada di tangan. Tinggal handuk yang masih belum kuambil dan letaknya paling atas. Aku menghela napas kasar karena tidak bisa menjangkau handuk yang tertumpuk rapi di bagian atas. Biasanya, aku akan menggunakan bangku untuk mengambilnya. Tapi kali ini aku tidak bisa melakukannya karena hanya mengandalkan satu kaki saja. Aku berusaha melompat kecil untuk menjangkau, tapi tak berhasil. Gerakanku terhenti ketika seseorang berdiri di belakang tubuhku, lalu meraih handuk yang kuinginkan.

"Jangan membuatku semakin susah," ucapnya pelan. Dia memberikan handuk itu padaku.

"Siapa yang membuatmu susah? Aku nggak minta bantuan kamu," balasku datar. Aku akan beranjak, tapi gerakanku terhenti ketika kakiku terasa sakit. Lupa jika tidak boleh memijakkan kaki kanan ke lantai, tapi aku justru melakukan. Aku mengaduh dan hampir saja jatuh, tapi Bian menahan tubuhku. Dia membantuku duduk di kursi roda.

"Aku sudah mengingatkanmu." Dia kembali bersuara.

"Aku lupa dan lagipula tidak sengaja." Aku masih menyentuh kakiku.

"Jangan lakukan apa pun. Kamu bisa meminta pelayan untuk menyiapkan keperluanmu. Aku akan panggilkan dokter untuk memastikan kakimu." Bian mendorong kursi rodaku untuk keluar dari ruangan ini.

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Aku juga tidak butuh bantuan pelayan. Aku masih bisa melakukan semuanya sendiri." Aku menolak.

"Jangan keras kepala." Bian terdengar kesal.

Aku menghentikan laju kursi roda. "Kenapa kamu jadi peduli padaku? Kenapa baru sekarang? Apa menunggu Cia menyadarkanmu? Kenapa?" Aku tak mau kalah.

"Jangan membuatku semakin kesal." Dia mengingatkan.

"Aku tidak butuh perhatianmu yang tidak tulus. Sejak awal memang kehadiranku tidak pernah kamu inginkan, lalu kenapa kamu harus mempertahankan aku di sini? Apa karena Cia? Apa karena Mama? Atau karena aku memiliki hutang padamu? Aku merasa seperti pengemis di rumah ini," ungkapku. Setidaknya itu melegakan hatiku.

"Jika saja kamu tidak terikat dengan mamaku, sudah kupastikan kamu akan merasakan apa yang seharusnya kamu rasakan!" Bian terdengar menahan murka. Dia meninggalkan aku, membanting pintu dengan keras.

Napas kuhela. Entah kenapa aku merasa lebih baik seperti ini daripada didiamkan atau diberi perhatian tapi palsu. Aku tidak tahu sampai kapan akan bertahan di rumah ini. Dia yang menyerah, atau aku yang terusir dari rumah ini dan diceraikan olehnya.

Tubuhku beralih dari kursi roda ke ranjang setelah selesai mandi. Tak ada yang ingin kukerjakan selain bermalas-malasan di kamar. Sejak kemarin aku hanya di sini berteman dengan buku. Cia melarangku melakukan pekerjaan rumah. Aku hanya menurut. Lebih baik seperti semula ketika aku baru saja tiba di rumah ini, tanpa melakukan apa pun.

Terdengar pintu kamar ini terbuka. Aku pura-pura membuka buku, melirik dengan ekor mata ke arah pintu. Bian masuk ke dalam kamar ini. Aku kembali fokus pada buku yang ada di tangan. Bian berjalan menghampiriku sambil membawa sesuatu.

"Ini sarapanmu." Bian meletakan nampan di ujung kakiku.

Memilih diam adalah kebiasaanku. Ada sesuatu yang kuingat.

Dia tidak ke kantor? Kenapa pakaiannya masih seperti itu? Ini bukan hari libur. Apa dia sengaja tidak masuk atau memang sedang libur? Kenapa aku jadi peduli dengannya? Mau dia ke kantor atau tidak, itu bukan urusanku.

"Cepat makan." Dia kembali bersuara.

Pikiranku buyar. "Aku tidak butuh makan," balasku tenang tanpa menatapnya.

Sesaat hening. Terdengar langkahnya menghampiriku. "Apa kamu sudah bosan hidup?" tanyanya.

"Bukankah ini yang kamu harapkan?" Aku membalikkan pertanyaan, masih menatap buku.

Aku terkejut ketika Bian merebut buku di tanganku, melempar ke atas lantai, lalu menekan kedua lenganku sehingga membuat tubuhku terjatuh di atas ranjang. Tangannya masih mencengkram lenganku. Posisi bian saat ini di atas tubuhku Aku mendengar suara gelas terjatuh. Pandanganku masih pada wajah Bian yang persis di depanku saat ini. Aku menelan saliva karena takut. Dia menatapu dengan mata berkilat.

"Aku sudah mengingatkanmu agar tidak membuatku marah," peringatnya sambil mengeratkan cengkramannya.

Lidahku kelu untuk bersuara. Mataku masih lurus pada bola matanya yang melihatkan kemarahan. Lenganku semakin terasa sakit. Aku menatap tangan Bian yang mencengkram lenganku. Dia melepas tangannya dari lenganku. Napas kuhela. Setidaknya Bian menyadari perbuatannya. Aku beranjak duduk. Bian sudah menjauh dari posisiku. Tanganku bergerak menaikan lengan pakaian dan terlihat jejak memerah di sana. Keduanya pasti mengalami hal yang sama. Pandangan kualihkan makan nampan di ujung ranjang, lalu beralih ke lantai. Jus jeruk membasahi ranjang ini dan lantai. Tubuh kugerakkan untuk mendekat ke arah nampan, lalu meraihnya, dan memindahkan ke atas dipan. Tubuh kembali kugerakkan berguling di atas ranjang untuk menarik alas agar diganti dengan yang baru. Dengan berat hati aku harus membersihkan semua ini.

Setelah selesai melepas alas ranjang dan sarung bantal, aku menggerakkan kursi roda menuju kamar mandi. Pintu kututup rapat dan menguncinya. Aku meraih handuk yang sebelumnya kukenakan untuk mandi dan membasahinya dengan air panas. Kaus kulepas. Handuk Kutempelkan pada lenganku bekas cengkraman Bian. Perih. Air mata pun tak bisa kubendung. Aku menangis karena menyesali perbuatanku yang sudah membuatnya marah. Tapi Bian harus mendapat pelajaran bahwa dia memiliki istri dan sudah sepantasnya dia menghargai aku. Kenapa aku selalu salah? Apa salahku?

***

Aku mengerjapkan mata ketika mendengar suara ketukan pintu. Tak terasa aku tertidur di dalam kamar mandi. Bekas air mata kering di pipiku masih terasa. Aku mendekati wastafel, lalu membasuh wajah. Kursi roda kugerakkan untuk mendekati pintu, laku membuka benda persegi itu. Bian berdiri di depan pintu kamar mandi. Kursi roda kembali kugerakkan untuk keluar dari kamar mandi. Ranjang sudah dialasi. Lantai pun sudah terlihat rapi. Mungkin Bian yang mengganti. Kenapa aku jadi peduli? Lebih baik aku diam. Jangan sampai kembali membuatnya marah.

"Dokter Roger akan segera tiba untuk memastikan kondisi kakimu." Dia membuka suara.

Kaki kiriku memijak lantai, lalu berdiri dari kursi roda, dan beranjak duduk di tepi ranjang. Mengabaikan ucapannya adalah jalan terbaik. Aku lelah menghadapi semua ini. Kedua kaki kugerakkan perlahan untuk naik ke atas ranjang. Bian masih ada di kamar ini, tapi tak ada niat untuk membantuku. Kenapa aku berharap dia akan membantuku?

Terdengar suara ketukan pintu. Bian berjalan menghampiri pintu untuk memastikan sang pengetuk. Aku hanya diam tanpa ingin tahu siapa yang berbicara dengan Bian di balik pintu. Lebih baik aku merebahkan tubuh.

"Silakan masuk, Dok." Bian bersuara.

Dokter Roger?

Aku beranjak duduk, menatap dua laki-laki yang berjalan menghampiriku.

"Bagaimana keadaan kakimu?" tanyanya Dokter Roger ketika tiba di dekatku.

"Seperti yang Anda lihat." Aku membalas ramah.

"Aku akan memeriksa kakimu." Dia meminta izin.

Kepala kuanggukkan, memberi izin padanya untuk memeriksa kakiku. Aku hanya diam memerhatikan gerakan Dokter Roger yang terlihat hati-hati membuka kain dan gips yang membalut kakiku. Dia mengamati pergelangan kakiku, lalu mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami pada Bian. Kedua laki-laki itu saling membalas. Entah apa yang sedang mereka bicarakan mengenai kondisi kakiku. Dokter Roger mengoleskan salep pada pergelangan kakiku . Aku meringis karena masih ada bagian yang sakit ketika disentuh. Dokter itu kembali memasang gips dan membalut kakiku dengan kain kasa baru.

"Kaki Anda akan baik-baik saja. Anda perlu kembali melakukan rontgen untuk memastikan tulang Anda sudah kembali pada posisi. Saya akan memutuskan jika hasil tesnya sudah keluar." Dokter itu beranjak setelah menyelesaikan tugasnya.

"Terima kasih," ucapku sambil tersenyum tipis.

Dokter itu pamit. Aku hanya mengangguk. Bian mengantarnya keluar dari kamar ini. Pandanganku beralih pada kaki yang masih harus terbalut gips dan kain kasa. Entah sampai kapan kaki ini akan sembuh. Aku sudah bosan dengan keadaan seperti ini terus.

"Ana. Apa kata dokter?"

Perhatianku teralih ketika mendengar pertanyaan Cia. Terlihat dia berjalan menghampiriku. "Kakiku baik-baik saja. Dokter Roger menyarankan agar aku kembali melakukan rontgen untuk memastikan jika posisi kakiku sudah kembali." Aku menyampaikan padanya.

Cia duduk di sampingku. "Aku akan menemanimu ke rumah sakit. Kapan waktunya?" tanyanya.

"Besok atau lusa," balasku.

Pandangan Cia terlempar ke arah lain. "Kamu belum makan? Belum minum obat?" Dia memastikan. Pandangannya kembali padaku. "Apa Bian melakukan sesuatu?" Dia terlihat khawatir.

"Tidak, Cia." Aku menepis. Kenyataan tak sesuai dengan kejadian.

"Lalu kenapa?" Cia masih penasaran.

"Aku ketiduran." Aku beralasan.

Cia percaya. Dia meraih nampan itu dan akan menggantinya dengan makanan yang baru. Aku membiarkan dia mengganti makanan itu. Lebih baik aku memakan makanan yang disiapkan Cia. Tak peduli Bian tersinggung. Bian masuk ke dalam kamar ini setelah kepergian Cia. Dia tak datang sendiri melainkan bersama Angel. Malaikat kecilku menunjukan nilai sekolahnya. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Keadaan hatiku sedang tidak baik. Aku tak ingin membuat mereka curiga. Cia pun masuk ke dalam kamar ini sambil membawa nampan berisi makanan. Syukurlah dia dan Angel cepat pulang karena aku sangat kesepian dan lapar. Aku segera menyantap makanan yang dibawa Cia. Napas lega pun kuhela. Sudah pasti Bian memehatikan aku. Ini pelajaran untuknya agar tidak mengabaikan perasaan orang lain apalagi orang itu adalah istrinya.

***

Aku turun dari mobil dibantu Cia. Setelah mengantar Angel ke sekolah, kami langsung ke rumah sakit untuk melakukan tes rontgen sesuai rujukan Dokter Roger. Cia mendorong kursi roda yang kunaiki. Hari ini Bian masuk kantor karena ada pertemuan penting. Setidaknya, hari ini aku terbebas darinya. Aku lebih baik tidak berhadapan dengannya sehingga membuatku ingin meluapkan apa yang ada di dalam hati.

Setelah melakukan administrasi, aku dan Cia menuju lantai empat untuk melakukan tes itu sekaligus menemui Dokter Roger. Aku langsung memasuki ruangan yang kami tuju. Suster mulai membuka kain kasa dan gips di kakiku. Mereka memberiku intruksi. Aku mengangguk. Proses rontgen pun tak memakan waktu banyak. Setelah selesai melakukan tes, aku dan Cia menuju ruang Dokter Roger. Dokter Roger adalah teman SMA Cia. Tak heran jika mereka cukup akrab.

Senyum kusungging ketika kami masuk ke dalam ruangan Dokter Roger. Cia menyapanya. Kami menghampirinya. Sambil menunggu hasil tes keluar, kami akan di sini untuk menunggu sambil memeriksa perkembangan kakiku.

Dokter Roger kembali memeriksa kakiku setelah obrolan ringan kami selesai. Aku mengamati dokter muda itu. Usianya tak jauh dari Cia berarti seumuran denganku. Dia terlihat tampan dan sopan.

"Aw ..." Aku mengaduh dan refleks menggerakkan kaki karena dia menekan di bagian kakiku yang sakit.

"Oh, maaf." Dia terdengar menyesal.

Senyum paksa kusungging meski masih terasa sakit.

"Dari kondisi sudah terlihat tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Kita tunggu hasil rontgen keluar, jadi saya baru bisa menyimpulkan dan melakukan tindakan." Dokter Roger beranjak.

"Kesimpulan jika sembuh dan belum sembuh?" tanya Cia.

"Jika hasil tesnya bagus dan rapi, maka saat ini dia bisa belajar jalan menggunakan kaki kanannga. Rasa sakit itu masih timbul karena urat kakinya kaku kareba sudah beberapa hari tidak digunakan untuk berjalan. Maka dari itu, gerakan kaki secara perlahan dan jangan memaksa agar kondisi kakinya kembali normal. Jika hasilnya masih belum ada kemajuan, maka Nyonya Ana masih harus menggunakan gips dan tidak diperbolehkan menggerakan kaki kanannya untuk berjalan atau menopang tubuhnya sampai kondisi kakinya pulih. Dan jangan lupa minum obat yang sudah kuanjurkan." Dokter Roger menjelaskan.

Semoga hasilnya bagus. Aku tidak sabar ingin berjalan. Rasanya sangat menyiksa jika harus seperti ini terus. Ingin rasanya bisa kembali berjalan seperti sebelumnya. Aku tak ingin merepotkan orang lain untuk membantu keperluanku termasuk Bian. Ke depannya aku akan lebih hati-hati.

Akhirnya yang kami tunggu-tunggu tiba. Hasil rontgen sudah keluar. Aku menatap Dokter Roger penuh harap. Semoga dia memberi keputusan baik. Dokter Roger tersenyum ketika meraih sebuh foto dari dalam map. Ada kertas di dalamnya. Dia membaca tulisan pada kertas itu. Hatiku bertanya-tanya mengenai isi kertas itu. Dokter Roger meletakkan hasil tes di depan kotak cahaya. Aku memerhatikan gerakannya penuh harap. Pandangan Dokter Roger mengarah padaku, lalu tersenyum ramah. "Hasilnya bagus. Anda sudah bisa mulai berjalan kembali." Dia menyampaikan.

Jawaban yang memuaskan. Aku merasa bahagia dengan jawabannya. Kakiku kini sudah baik-baik saja. Aku akan berjalan lagi.

"Masih akan terasa sakit, tapi kamu sudah bisa menggunakan kaki kirimu untuk berjalan pelan-pelan. Mungkin akan membutuhkan waktu untuk menghilangkan rasa sakitnya pelan-pelan." Dokter Roger menambahi.

"Terima kasih, Dok." Aku tersenyum padanya.

"Jika satu minggu ke depan masih terasa sakit, Anda bisa hubungi saya," imbuhnya.

Aku mengangguk, lalu menatap kakiku, mengabaikan Cia yang sedang berbicara dengan Dokter Roger. Kaki kugerakan ke atas lantai. Aku ingin mulai berjalan sekarang.

"Tidak perlu terburu-buru, Nyonya Ana." Dokter Roger mengingatkan ketika aku akan berdiri.

Gerakanku terhenti. "Aku sudah bosan seperti ini terus," ungkapku.

"Saya mengerti. Tapi Anda perlu bersabar untuk kembali normal menggunakan kaki Anda." Dokter Roger menenangkan aku.

Kepala kuanggukkan, lalu mengembuskan napas. Cia beranjak dari kursinya. Dia mengatakan sesuatu pada Dokter Roger. Aku hanya bisa menyimak.

Dokter Roger beranjak dari tempat duduknya. "Semoga Anda cepat kembali pulih."

Aku mengangguk dan kembali berterima kasih. Cia pamit pada dia. Kami pun berlalu meninggalkan ruangan ini. Aku tak tahu setelah dari rumah sakit ini akan ke mana. Cia masih belum menentukan. Mungkin kita akan menjemput Angel.

"Kita akan ke mana, Cia?" tanyaku membuka obrolan.

"Kita ke kantor Bian. Angel sudah dijemput oleh sopir dan diantar ke sana. Kita akan jemput Angel sekaligus makan siang bersama Bian." Cia membuka pintu mobil.

Ke kantor Bian? Aku sudah lega tidak bertemu dengannya, tapi kenapa sekarang aku harus bertemu dengannya? Aku malas menemuinya.

"Apa ada yang tertinggal?"

Perhatianku teralih, lalu tersenyum paksa. Kepala kugelengkan, bergegas masuk ke dalam mobil. Cia pun menyusul masuk. Dia melajukan mobil menuju tujuan tempat selanjutnya, kantor Bian. Ini akan menjadi hari pertama aku memasuki kantornya. Aku tak tahu apa reaksi para karyawan karena Bian menikahiku tanpa adanya pesta di sini. Semoga mereka tidak membicarakan hal buruk atau menatapku bingung ketika menampakkan wajah di depan mereka.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, aku dan Cia tiba di kantor Bian. Selama dalam perjalanan aku hanya diam, menjawab seperlunya jika Cia bertanya. Aku menatapi bangunan yang ada di hadapanku saat ini. Tinggi. Aku merasa ragu untuk memasukinya. Cia mendorong kursi rodaku memasuki lobi kantor. Semua orang yang ada di lobi menunduk pada Cia. Aku pun hanya tersenyum getir. Cia berbicara pada bagian resepsionis. Terdengar dari kata-katanya jika dia menanyakan Bian walaupun aku tidak tahu bahasa sini. Cia kembali mendorong kursi rodaku memasuki gedung ini. Sepanjang perjalanan kami memasuki gedung ini, semua orang menghormati Cia.

"Angel ada di ruangan Bian. Baru beberapa menit yang lalu sopir menjemput Angel. Saat ini, Bian masih ada rapat dengan beberapa staf. Kita temui Angel terlebih dahulu." Cia Menyampaikan.

Aku hanya menunduk. Jujur, aku malas datang ke sini. Perhatian karyawan Bian pun terlihat aneh. Aku merasa terintimidasi. Lift yang kunaiki saat ini pun sepi, padahal lift sebelah ramai dan banyak yang menunggu.

"Apa ini lift khusus?" tanyaku.

"Iya. Hanya Bian dan orang-orang penting saja yang bisa menggunakan lift ini." Cia membalas.

Dugaanku tidak meleset. Ini memang lift khusus, berbeda dengan lift karyawan. Cia kembali mendorong kursi rodaku ketika lift terbuka. Aku menatap pintu ruangan yang ada di depanku saat ini. Fabian Cassano Tambosi. Nama itu tercetak pada plat silver yang ada di pintu itu. Cia kembali mendorong kursi rodaku setelah membuka pintu yang ada di hadapanku.

"Angel!" seru Cia pada ketika kami memasuki sebuah ruangan.

"Bunda! Momi!"

Senyum kusungging ketika melihat Angel berlari ke arah kami. Dia terlihat bahagia dengan kehadiran kami. "Apa kaki Bunda baik-baik saja?" tanya Angel padaku dengan raut sedih.

"Kaki Bunda baik-baik saja, Sayang. Bagaimana dengan sekolah Angel? Apa semuanya baik-baik saja?" tanyaku.

Angel mengangguk antusias.

Deringan ponsel menggema di ruangan ini. Bukan ponselku. Suara itu bersumber dari ponsel milik Cia. Ya. Cia mendapat panggilan telepon.

"Bian," katanya sambil menatap ponsel.

Aku mengangguk. Cia pun berbicara pada Bian melalui sambungan telepon. Angel kembali sibuk dengan buku gambarnya.

"Bian mengesalkan." Cia terdengar kesal.

Tatapan kualihkan pada Cia. Terlihat dia memasukan ponselnya ke dalam saku dengan kasar. "Ada apa?" tanyaku memastikan.

"Dia ada pertemuan penting di luar, padahal aku ingin mengajaknya makan siang bersama kita." Cia membalas.

Akhirnya aku tidak bertemu dengan Bian. Apa yang kuharapkan terkabul. Pergilah. Semoga dia kembali ke rumah ketika aku sudah tertidur. Rasanya sangat bahagia tidak bertemu dengannya daripada bertemu justru akan menimbulkan kekacauan. Aku lebih memilih bersanding dengan Cia dan Angel daripada beraamanya. Cia dan Angel lebih menghargai dan menyayangiku dengan tulus. Aku bahagia hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro