15. Gubuk Posko

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nala memandang pohon yang terlihat berlari di sampingnya. Kini kepala gadis itu tengah bersandar di jendela bus yang sedang melaju. Ia melihat laki-laki yang duduk di sampingnya dengan wajah kesal. Laki-laki mungil yang meninggalkannya saat berlari ke bus itu malah sudah bisa tidur dengan damai. Gadis berambut pendek itu mengenakan topi KKN-nya karena Hawu menyalakan AC yang ada di atas kepalanya. Nala kembali memandang jalan yang dilaluinya.

Laju bus melambat ketika mereka memasuki wilayah pemukiman. Nala jadi semangat karena ia tidak lagi melihat pohon. Kini ia bisa melihat sebuah sekolah, pasar, dan area kebun singkong yang sedang dipanen. Nala semakin semangat saat bus berhenti di lapangan besar depan kantor kecamatan. Gadis itu sudah memperbaiki posisi topinya dan bersiap keluar, tetapi Hawu yang masih menjelajahi alam mimpi, membuat Nala berdecak. Gadis itu menendang kaki Hawu untuk membangunkannya, tetapi Hawu tak kunjung bangun.

"Hawu." Nala menepuk pundak laki-laki yang ada di sampingnya.

Hawu yang sepertinya enggan bangun, membuat jiwa jail Nala meronta. Gadis itu mengambil minyak kayu putih yang ada di kotak P3K yang ada di tasnya, kemudian ia mengoleskan minyak itu di bawah hidung Hawu. Tidak perlu menunggu lama, laki-laki itu langsung terbangun dalam hitungan ketiga. Hawu bangkit berdiri, mengusap hidungnya dan berseru heboh. "Apa ini?"

"Lo liat, dong, orang-orang udah pada turun. Minggir." Nala mendorong tubuh Hawu dan keluar dari bus.

Begitu turun dari bus, Nala bisa merasakan suasana yang berbeda dari biasanya. Ia bahkan sampai menghirup udara banyak-banyak saking senangnya. Udara di sana terasa lebih segar dari udara yang biasa ia hirup. Nala langsung memasuki barisan yang sudah terbentuk. Ada dua bus yang berhenti di kecamatan ini. Ada sepuluh kelompok yang tersebar di sepuluh desa. Belum juga mereka bertukar sapa dengan rekan satu kecamatan, perangkat masing-masing desa sudah menjemput mereka dan penyambutan dilakukan di desa masing-masing. Nala dan Hawu duduk di atas koper masing-masing dan menunggu jemputan mereka. Satu-satunya kelompok yang belum dijemput hanya kelompok mereka.

"Mohon maklum, desa kita paling jauh. Butuh seenggaknya satu jam buat sampe ke sini." Sebagai ketua kelompok, Hawu berbicara penuh wibawa.

Nala hanya bisa menghela napas panjang. Gadis yang kini mengenakan topi terbalik itu sudah cemberut ketika motor dari desanya datang menjemput. Nala langsung memandang Hawu yang juga kelihatan terkejut, bukan karena tampilan semua motor yang tidak memiliki body, tetapi jumlahnya yang lebih sedikit dari jumlah mahasiswa yang datang. Kelompok Nala terdiri dari enam orang dan motor yang datang hanya tiga buah. 

Salah satu pengendara motor itu turun dan tersenyum ramah, Nala jadi ingat senyuman satpam di kampus yang suka curhat padanya. 

"Selamat datang, mohon maaf kami terlambat menjemput. Tadi, ada satu motor yang pecah ban."

Nala melihat dua orang lainnya yang ada di belakang, kedua pria paruh baya itu tersenyum ramah. Otomatis, Nala langsung menyunggingkan senyum.

Hawu berjalan, mengangkat koper dan langsung mendaratkan kopernya di salah satu motor. "Ayo, kita bisa kesorean kalau nggak gerak sekarang. Siapa aja yang mau duluan?"

Nala kadang lupa kalau Hawu adalah ketua kelompoknya. Akhirnya, Nala mengajukan diri untuk ikut lebih dulu. Lebih baik ia menunggu bersama Hawu daripada harus terjebak di kantor kecamatan dengan dua orang yang belum lama ia kenal. 

"Oke. Nanti kita ketemu di posko, ya." Hawu melambaikan tangan dengan gaya sok cool  pada anggota yang ditinggalkan. 

Benar saja, perjalanan itu kelewat jauh untuk ukuran jalan mulus. Kelompok mereka beruntung karena meski ditempatkan di desa yang berjarak 40 km dari kecamatan, jalan yang mereka lalui sudah diaspal. Namun, Nala bisa melihat kalau jalan-jalan di gang desa itu hanya ditutupi batu-batu besar yang kelihatan sudah lama tidak dilanjutkan pengerjaannya.

Ketiga motor tersebut berhenti tepat di bawah pohon beringin besar. Nala sempat heran, tetapi begitu melihat papan nama kantor desa, ia langsung turun.

"Kami lanjut jemput yang lain, silakan masuk aja, nanti Bapak Kades datang."

"Siap, Pak. Kami beres-beres di sini aja dulu." Hawu menjawab ramah.

Ketiga motor tadi melaju meninggalkan tiga orang mahasiswa yang berdiri di depan kantor desa yang tertutup rapat. Tidak lama kemudian, kepala desa datang dan mengantarkan mereka ke posko. Posko adalah sebutan untuk rumah singgah yang akan mereka tempati selama 40 hari ke depan. Jarak balai desa ke posko tidak begitu jauh, mereka berjalan dan menggeret koper masing-masing. 

Sepanjang jalan, semua orang yang mereka temui langsung menyunggingkan senyum ramah, bahkan sampai ada yang menawarkan diri untuk membawa koper mereka. Nala jadi terharu, ia kini mengakui kalau julukan orang Indonesia ramah, benar adanya. 

"Kita sudah sampai. Gubuk ini akan dijadikan posko dan rumah tinggal untuk anggota laki-laki, sedangkan yang perempuan, bisa tinggal di rumah seberang."

Nala hampir tercengang karena pemandangan yang ada di hadapannya. Sebutan gubuk sepertinya tidak tepat karena bangunan yang kini berdiri di hadapan mereka adalah bangunan permanen yang terlihat seperti rumah di perumahan bagus dekat kampus. Tembok sudah dicat dengan warna krem, lantai keramik dengan corak kayu dan langit-langit yang sudah dibalut gypsum. Rumah ini terlihat kontras dengan berbagai rumah sederhana yang ada di sekitarnya.

"Gubuknya memang baru jadi, makanya nggak ada isinya. Nanti sore, warga akan datang untuk bantu lengkapi kebutuhan di sini." 

"Terima kasih, Pak." Hawu menjabat tangan Kepala Desa.

"Yang punya rumah ini pengusaha di kota, begitu dengar mau ada anak KKN, beliau sukarela meminjamkan rumahnya sebagai posko. Supaya adek-adek betah katanya." 

Mereka mengangguk. Hawu lanjut bertanya, "Untuk perkenalan ke perangkat desa dan warga, sudah bisa dilakukan hari ini, Pak?" 

"Oh, boleh. Sebentar lagi juga warga pasti pada datang. Mereka senang karena ada anak KKN. Untuk perangkat desa, besok pagi kita ketemu di balai."

Tidak lama setelah bapak kepala desa mengatakan kalimatnya, beberapa warga desa datang membawa kasur, ambal, bantal, bahkan dispenser dan kompor. Nala masih dibuat shock dengan kebaikan dan keramahan warga desa ini. Ketika mereka sibuk beramah tamah dan menerima semua kiriman dari warga, tiga anggota kelompok mereka tiba. 

Petang belum muncul ketika ruang tamu posko sudah penuh dengan makanan. Berbagai jenis pisang, olahan singkong hingga lauk pauk sudah tersaji di ruang tamu posko tersebut. Sambil menerima tamu, Nala jadi delegasi yang digunakan untuk meladeni semua tamu yang datang karena ia mudah akrab dengan semua orang. Selain jadi delegasi dalam bidang beramah tamah, Nala juga sangat bisa menghargai semua pemberian warga. 

"Seneng, ya, lo. Makan gratis." Hawu meledek Nala begitu ia selesai memasang spanduk posko.

"Nggak nyangka gue, KKN se-asyik ini ternyata." Nala menjawab dengan bisikan. Tidak lupa ia menyunggingkan senyum pada warga yang ada di depannya.

"Belum aja lo ketemu espektasi mereka. Semakin banyak mereka kasih ke kita, itu berarti semakin tinggi espektasi mereka ke kita." Hawu berbicara dengan suara lebih pelan.

Nala sempat terdiam. Ia memandang Hawu yang kelihatan serius, kemudian gadis berambut pendek itu menginjak kaki Hawu sekuat tenaga dan hal itu sempat membuat sedikit kehebohan.

"Lo kenapa, sih?"

"Mereka memang temanan, Bu. Memang begitu. Oh, enggak, enggak berantem. Memang begitu kalau ngobrol." Salah satu rekan kelompok Nala berusaha menjelaskan pada warga.

"Iya, Bu. Saya nggak apa-apa. Kami emang biasa begini." Hawu berusaha menyunggingkan senyum, tetapi ujung matanya tetap mengawasi Nala.

Menjelang tengah malam, barulah warga berhenti mendatangi posko. Nala duduk di teras posko, sedangkan dua anggota perempuan lainnya sudah menyiapkan tempat tidur di rumah singgah yang ada di seberang. Hawu datang dengan dua gelas teh dan memberikan salah satunya pada Nala. 

"Gue nggak pernah nyangka kalo gue bakalan ada di daerah yang nggak pernah gue kunjungi sebelumnya dan ketemu orang-orang baik di sini."

"Gue cuma mau ngingetin, jaga sikap. Mau gimana juga, kita bawa nama besar Jatayu. Usahain yang terbaik, walau nanti mungkin kita bakal capek. Tetep inget tujuan awal kita."

Nala menghela napas. "Tujuan awal gue mau pdkt sama Pangeran Dua Ratus Rupiah." 

Hawu berdecak. "Lo emang aneh. Mana, tuh, niat buat jadi dewasa sama mandiri?" 

Nala tidak menjawab. Ia malah cengar-cengir. Ia menyeruput tehnya ketika satu panggilan masuk ke ponsel Hawu. Laki-laki mungil itu langsung tersenyum dan mengangkat panggilan itu dengan semangat. Gadis berkaus biru itu sudah menduga kalau panggilan itu dari pacar Hawu. Nala tersenyum dan melihat ponselnya yang sepi. Namun, tiba-tiba sebaris nama muncul di layar. Nala langsung menjawab panggilan itu.


"Gue kira doa gue bakalan terkabul, ternyata enggak. Sinyal di sana, aman?"

Suara tawa terdengar. "Aman, dong. Gue udah ganti kartu yang sinyalnya oke. Gimana hari pertamanya, Nala?"

Nala bercerita dengan semangat. Ia berkeluh kesah karena keterlambatan penjemputan, tetapi ia memuji kebaikan warga yang menyambut mereka. "Gitu, deh. Untung gue satu kelompok sama Hawu, jadi ada yang bisa gue jailin."

"Kasian banget Hawu. Jangan sampe berantem sama Hawu, kalo marah, dia serem."

"Oh, gitu? Gue belom pernah liat dia marah, patut dicoba." 

Suara tawa kembali terdengar. "Jangan lupa pake jaket kalo ke luar. Tidurnya juga pake selimut, lo gampang sakit kalo kedinginan. Di sini dingin banget soalnya."

Nala berdecak. "Nggak usah sok perhatian. Gue bisa ngurus diri gue sendiri."

"Bukannya perhatian, gue nggak mau ya kalo dipaksa ngampirin lo cuma karena sakit. Inget jaket!"

Nala akhirnya tertawa. "Iya. Iya. Lo juga, jangan kebanyakan godain cewek."

"Kalo itu, gue nggak bisa janji." 

Nala langsung memutuskan panggilan itu. Ia bangkit berdiri, melambai pada Hawu yang masih berbicara di telepon dan berjalan menuju rumah singgah. 

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Arka yang nggak nongol di bab ini 😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro