16. Tetangga Masa Gini

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari baru muncul ketika Nala dan dua teman perempuannya sudah selesai menyiapkan sarapan. Mereka bertiga menyiapkan sarapan tanpa bantuan dari tiga laki-laki yang saat ini sedang menjelajah alam mimpi. Sambil menunggu lampu indikator merah Magic Com yang dipinjamkan warga berubah menjadi hijau, Nala diberi misi untuk membangunkan tiga anggota yang masih tertidur. Nala sebenarnya sangat malas membangunkan temannya yang tidur seperti mayat, tetapi ia tetap melakukan hal itu karena hanya Nala yang bisa membangunkan ketiganya.

Hari ini adalah hari ketiga. Kemarin, dua teman perempuan Nala sudah bergantian membangunkan para laki-laki yang masih tertidur, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang berhasil membuat ketiga laki-laki itu beranjak dari tempat tidur. Akhirnya Nala mengeluarkan jurus jitu untuk membangunkan ketiga rekannya tersebut.

Nala memasuki kamar yang ditempati oleh Hawu terlebih dahulu. Salah satu keuntungan menjadi ketua kelompok ternyata ada hak khusus dalam memilih kamar. Nala iri dengki melihat Hawu yang tidur di kamar luas itu sendirian, sedangkan ia harus berbagi kamar dengan dua temannya yang lain.

Nala memilih untuk membangunkan ketua lebih dahulu agar Hawu yang melanjutkan misi untuk bangunkan dua rekannya yang lain. Begitu melihat penampilan laki-laki yang tertidur itu, Nala langsung tersenyum jail. Ia mengeluarkan ponsel dari saku, kemudian mengambil foto Hawu yang sedang tertidur dengan mulut menganga. Setelah selesai mengambil foto yang merupakan aib bagi Hawu, barulah Nala membangunkan laki-laki itu dengan cara yang barbar.

Nala menarik selimut yang membungkus tubuh Hawu dengan kasar, kemudian ia mundur dua langkah. Setelah menarik napas panjang, Nala berteriak. "Bangun!"

Suara Nala yang sangat nyaring membuat Hawu langsung melonjak dari ranjangnya. "Apaan, sih, Nala? Ini masih pagi."

Nala berdecak sambil berkacak pinggang. "Pagi dari mananya? Lo nggak liat itu matahari sudah mulai nongol? Bangun enggak lu!"

Bukannya beranjak dari kasurnya, Hawu malah kembali berbaring dan menarik selimutnya. "Setengah jam lagi, gue semalam tidur jam dua karena ngeronda."

"Kalo nggak bangun, dalam hitungan ketiga, gue bakal laporin ke cewek lo kalau lo godain kembang desa sini." Nala melipat tangannya di depan dada dan menatap Hawu sinis.

Kata-kata Nala berhasil membuat Hawu bangkit berdiri dengan cepat. "Lo emang juara, ya, kalo soal ngancem."

Nala malah cengar-cengir. "Sekarang tolong bangunin dua anggota lo, biar kita sarapan terus cepet ke sekolah. Inget, hari ini kita harus udah di sekolah sebelum jam 8."

"Iya, iya. Gue ke kamar sebelah dulu." Hawu berjalan dengan gontai sambil mengucek mata.

Kedatangan Nala bersama tiga laki-laki di belakangnya, membuat dua teman perempuannya menoleh tidak percaya.

"Biasa aja dong, liatnya. Kemaren juga gue yang bangunin mereka."

Kedua teman perempuan Nala kompak mengacungkan jempol. Salah satunya melanjutkan "Memang Nala bisa diandalkan."

Mereka menyelesaikan sarapan dengan cepat. Para gadis kembali ke rumah singgah untuk bersiap sebelum berangkat ke sekolah. Nala tidak lagi melakukan konser seperti biasanya. Ia sedang berusaha menyesuaikan agar bisa mengoptimalkan waktu mandinya tanpa bernyanyi. Gadis berambut pendek itu sengaja memilih untuk mandi lebih dulu agar bisa membersihkan posko.

Nala sudah mengenakan jas almamater dan topi KKN, kemudian ia bergerak ke posko dan mulai menyapu ruang tamu dan membersihkan beberapa gelas yang dari kegiatan ronda semalam.

Baru saja Nala memegang sapu, Hawu sudah muncul dengan rambut basah. Laki-laki itu mengucek matanya hingga 2 kali. "Lo kesambet apa?"

Nala langsung menatap Hawu sinis.

Hawu menyandarkan tubuhnya di tembok. "Tumben amat lo bersih-bersih? Kata Gara, kosan lo aja nggak pernah diberesin."

Nala kembali menyandarkan sapunya ke tembok. "Mulutnya Gara emang nggak bisa ngomong yang baik-baik." Gadis berambut pendek itu kini sudah berkacak pinggang. "Memangnya siapa kemarin yang ceramahin gue suruh baik-baik di sini? Lo kalau enggak mau bantuin, mending pergi. Lo ganggu jalan gue."

Hawu masih melongo karena melihat Nala mulai menyapu ruang depan. Hingga gadis itu selesai menyapu, Hawu tidak beranjak dari sana.

Hari itu, mereka menjalankan program kerja pertama yaitu, kunjungan ke sekolah dan berdiskusi dengan guru mengenai program les yang rencananya akan dimulai hari ini juga. Setelah pulang dari sekolah, kelompok Nala makan di warung pecel dekat sekolah. Seusai makan, mereka bergegas untuk memulai kelas. Tanpa terduga, banyak anak-anak yang sudah menunggu mereka di teras. Hawu sampai menghela napas berkali-kali karena jumlah anak yang datang terlalu banyak.

Begitu pintu dibuka, kelima anggota kelompok lainnya langsung menyiapkan kebutuhan belajar. Nala sengaja ditinggalkan sendiri di luar untuk mengontrol anak-anak yang sudah tidak sabar untuk masuk ke posko.

"Oke, para bocil. Sekarang ayo kita baris sesuai kelas." Nala berseru pada gerombolan anak yang kini ada di depannya.

"Aku bukan bocil. Aku Agus, Mas." Salah satu anak yang berdiri paling dekat Nala mengajukan protes.

Nala menghela napas. Dengan wajah yang menyerupai anggota girl grup Korea Selatan, ia ingin murka karena dipanggil dengan sebutan 'Mas'. Harga diri Nala terluka, tetapi ia berusaha maklum karena yang mengatakan hal itu adalah anak kecil. Ia membalik topi KKN-nya dan menepuk tangannya keras-keras. "Perhatian anak-anak. Ayo, berbaris sesuai kelas. Yang kelas satu, ke sini. Nah, ayo yang kelas dua di sini. Oke, Pinter. Setelah ini, kita masuk ke posko ya."

"Iya, Mas."

Hawu keluar dari posko dan berniat membantu Nala. Namun, seruan kompak dari anak-anak yang ada di depan posko, mampu membuat Hawu tertawa keras. "Lo kelewat berkarisma kayaknya sampe dikira cowok."

Nala melotot hingga mata bulatnya terlihat semakin besar. Kemudian, tatapannya kembali melunak ketika melihat anak-anak yang sudah berbaris dengan rapi. "Panggilnya Kakak aja, ya. Saya ini cewek, lho."

Salah satu anak yang berdiri di barisan kelas satu mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Cewek itu apa, Mas?"

Nala hampir mengumpat saking kesalnya. Hawu hanya bisa menahan tawanya. Namun, ketika melihat Nala yang sudah sebal, Hawu berusaha membantu dengan menjelaskan. "Cewek itu artinya perempuan. Kakak ini perempuan, jadi jangan dipanggil Mas, ya."

Anak-anak yang ada di sana terlihat memperhatikan, tetapi ketika mereka mulai masuk ke posko, ada satu anak yang masih memanggil Nala dengan sebutan 'Mas'.

"Udah terima aja. Lo emang kayak laki." Hawu masih tertawa geli karena kejadian itu.

"Sialan lo."

"Sialan itu apa, Mas?" Salah satu anak yang masih berdiri di dekat Nala bertanya dengan tatapan polos.

"Gue nggak tanggung jawab. Jelasin sono." Hawu langsung melarikan diri begitu semua anak masuk.

Nala berjongkok dan menepuk puncak kepala anak perempuan itu. "Sialan itu panggilan sayang buat temen Kakak."

Anak tadi mengangguk. "Berarti aku panggil Mamas sialan aja, ya?"

Nala menghela napas panjang. Ia ingin menghilang dari sana. Memberi penjelasan pada anak kecil ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Akhirnya, gadis berambut pendek itu hanya tersenyum kaku dan menggandeng anak perempuan tadi masuk ke posko.

Suara adzan magrib berkumandang. Akhirnya, kegiatan mereka hari itu berakhir. Nala kira, anak-anak yang datang tadi adalah semua anak yang berminat untuk ikut les, tetapi dugaannya salah. Setelah petang, ada beberapa anak SMP yang datang minta diajari mengerjakan PR. Untungnya Hawu yang anak teknik berhasil mengerjakan soal fisika yang bisa membuat Nala pusing hanya dengan melihatnya.

Hari itu terasa panjang karena kegiatan padat yang mereka lalui. Setelah mereka mendapatkan kesempatan beristirahat sejenak, Hawu tiba-tiba mengumpulkan mereka di posko. Tidak peduli dengan gender, semua anggota kelompok kini sudah membaringkan tubuh di atas karpet karena kelelahan.

"Jam 8 nanti, gue sama cowok-cowok mau main ke posko sebelah." Hawu membuka pembicaraan.

"Oh, iya. Kita ada janji ketemu kelompok sebelah, ya?" Anggota kelompok Nala bertanya setelah menguap.

"Wah, dalam rangka apa?" Nala bertanya dengan nada sinis.

Hawu berdecak. "Dalam rangka melebarkan sayap perdamaian. Ya, ngapain lagi? Mau bahas progja gabungan. Kata bapak ronda, di desa sebelah tuh ada donatur yang suka bagi-bagi uang. Siapa tau kita bisa ajuin proposal."

Nala mengubah posisinya menjadi duduk. "Wah, gue suka nih, yang begini. Gue ikutan, deh."

"Kalian nggak mau ikut sekalian?" Hawu bertanya pada dua gadis lain.

Pertanyaan Hawu dibalas anggukan oleh kedua teman perempuannya. Akhirnya, mereka pergi ke kelompok sebelah dengan menggunakan tiga motor yang dipinjam dari warga. Kadang Nala memang harus mengakui kemampuan lobi seorang Hari Wulangan. Dalam waktu kurang dari setengah jam, Hawu berhasil meminjam tiga motor sekaligus.

Perjalanan yang mereka tempuh tidak begitu jauh. Jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, itu kalau pakai niat. Untungnya Hawu berhasil meminjam motor. Setibanya di posko tetangga, Nala langsung disambut dengan seruan dari suara berat yang jelas ia kenali.

"Kuin!"

Nala mau sewot, tapi senyumnya Gara batal buat Nala merepet.

"Lo nggak ngomong ini kelompoknya Gara?" Nala menepuk bahu Hawu yang tengah memarkirkan motornya.

"Emang lo nggak tahu?"

Salah satu hal yang paling disukai Nala dari Hawu adalah kejujurannya, tetapi kadang laki-laki itu jadi menyebalkan. Apalagi pertanyaannya tadi ditambah tatapan tidak percaya yang bisa digolongkan ke tatapan mengejek.

Entah karena kelewat rindu atau memang sifat barbar Nala sedang merasuki tubuh Gara, laki-laki jangkung itu langsung memeluk Nala singkat dan mengacak rambut gadis itu.

Nala sudah berontak sejak tangan Gara mendarat di bahunya, tetapi aksi laki-laki itu masih tetap berlanjut ke mengacak rambut Nala dan menyandarkan salah satu tangannya di pundak gadis berambut pendek itu.

"Lo kira bahu gue parkiran? Minggir." Nala menyingkirkan tangan Gara yang mendarat di pundaknya.

"Galak amat." Gara berdecak, tetapi senyumnya tak kunjung hilang.

"Tega banget lo nggak ngomong sama Nala kalau posko kita deketan? Gue kira lo udah bilang." Hawu melanjutkan percakapan. Kebetulan hanya Gara yang sedang berada di teras. Jadi, mereka bisa berbicara dengan leluasa.

"Biar dia latihan hidup tanpa gue." Gara menjawab enteng sambil membantu anggota kelompok Nala untuk parkir.

"Ujungnya nyusahin gue." Hawu mendengkus.

Otomatis Nala langsung melayangkan pukulan ke lengan ketua kelompoknya itu. "Lo juga nyusahin gue, ya."

Nala masih adu tatap dengan Hawu ketika sesosok laki-laki berkulit pucat dan hidung mancung yang menduduki peringkat satu di daftar hidung terbaik versinya muncul. Nala sempat terpaku. Hal itu membuat Hawu jadi serupa dengan tokoh korban friendzone di drama yang menatap Nala tanpa balas.

Gadis itu sadar ketika Gara menepuk pundaknya dan berbisik, "Muka lo udah merah kayak udang rebus. Jangan bikin malu!"

Kalau Nala ada di dunia dua dimensi, pasti kakinya sudah lunglai seperti jeli. Rasanya Nala ingin punya kekuatan magis yang bisa membuatnya berpindah tempat. Ia tidak bisa bertemu Arka dengan tampilan super kumelnya kini. Sialnya lagi, tatapan laki-laki itu juga terkunci pada Nala.


Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Yang dipanggil Mas 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro