17. Download Keberuntungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gara sudah berjalan mondar-mandir selama lebih dari setengah jam. Mata cokelat gelap itu terus menatap ke jalan utama. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Kakinya melangkah perlahan mengitari teras. Anggota kelompok yang melihat tingkah Gara hanya berlalu dan tersenyum karenanya. Arka melihat teman sekamarnya bergerak mondar-mandir dengan tatapan heran. Ia berhenti hanya untuk melihat dua putaran langkah Gara. Akhirnya, ia memilih untuk duduk di kursi yang tepat menghadap ke pintu depan.

"Udah biarin aja nggak usah diliatin gitu." Salah satu teman kelompok Arka berbicara ketika melewatinya.

Arka malah tambah penasaran. Ia melipat tangannya di dada dan mengamati tingkah Gara dengan saksama. Tiga hari yang ia lewati sekamar dengan Gara, tidak membantunya untuk mengetahui jalan pikiran laki-laki jangkung itu. Tentu saja begitu, bagaimana ia bisa tahu jalan pikiran seseorang ketika mereka tidak saling mengenal? Oh, mungkin tidak saling mengenal kurang sesuai dengan hubungan mereka. Mereka hanya tidak cocok.

"Dia lagi nunggu anak kelompok sebelah. Katanya, sih, mau bahas program kerja bareng." Laki-laki bertubuh tambun duduk di samping Arka.

"Cuma nunggu kelompok sebelah sampai segitunya? Lagian program kerja apa yang mau dibahas? Kok, gue nggak tahu?"

Laki-laki di samping Arka membuka keripik kentang, kemudian mengunyahnya dengan cepat. Arka masih menunggu jawaban dari laki-laki yang duduk disampingnya, tetapi yang ia dapati hanya sebuah seringai.

"Namanya aja baru program kerja. Belum tahu, sih, mau program kerja apaan, tapi yang jelas Gara nerima ajakan untuk program kerja gabungan." Laki-laki bertubuh tambun itu menyodorkan keripik kentang ke Arka.

Baru saja tangan Arka meraih bungkus keripik kentang, suara motor berhenti terdengar di depan rumah mereka. Suara sambutan dari Gara juga terdengar samar karena laki-laki jangkung itu sudah menghambur ke halaman.

"Kayaknya anak-anak kelompok sebelah udah nyampe. Gue mau ke kamar mandi dulu, lo temenin Gara sana ke depan."

Arka batal makan keripik kentang. Ia meletakkan bungkus keripik tersebut di meja dan berjalan ke pintu depan. Begitu langkahnya semakin dekat dengan pintu, Arka merasa familier dengan seseorang yang berdiri di sana. Laki-laki berkulit pucat itu langsung menghentikan langkahnya ketika melihat Nala yang melayangkan pukulan ke lengan laki-laki yang ia kenali sebagai salah satu teman Sion.

Arka tidak pernah menduga kalau kata-kata Sion semalam akan menjadi kenyataan.

"Sinyal aman?"

Arka menghela napas. "Kalo sinyal nggak aman, apa gue bisa angkat telpon? Lo mau ngomong apa? Kalau mau ngajak mabar, gue nggak bisa. Gue mau tidur, besok pagi ada kerja bakti."

"Padahal gue cuma mau basa-basi. Gimana sama Gara? Gue denger kalian sekamar. Gara udah sambat di grup. Lo dikatain kanebo kering."

"Kalau udah tahu, ngapain nanya?" Kini ia mengubah posisinya dari duduk menjadi berbaring.

Sion mengirim sebuah tautan. "Klik di situ. Download keberuntungan dulu sana."

"Makin malem, makin aneh, ya, lo!" Arka menggeleng.

"Percaya sama gue. Klik dulu."

Arka tidak meladeni Sion dan segera memutus sambungan telepon. Biasanya ia tidak suka meladeni candaan Sion, tetapi entah mengapa jarinya malah menekan tautan itu. Tampilan yang muncul setelah tautan itu diklik adalah sebuah pilihan untuk mengunduh atau mengunggah. Dengan ragu, Arka menekan tombol unduh. Ia kira akan mendapat video atau foto aneh dari Sion, tetapi ternyata yang ia dapati adalah sebuah kupon yang berisi tulisan.

'Selamat Anda Mendapat Satu Kupon Keberuntungan. Dalam 24 jam, Cinta Pertama Akan Menghampiri Anda.'

Setelah membaca tulisan yang ada di kupon itu, Arka menghela napas panjang dan mengabaikannya.

"Lo juga nyusahin gue, ya."

Mata Arka masih terkunci pada Nala. Sepertinya kupon keberuntungan dari Sion bekerja. Laki-laki berkaus abu-abu itu kembali dari lamunannya karena suara Nala yang cukup keras. Ia melihat kalau gadis berambut pendek itu menatapnya, disusul dengan tatapan dari dua orang lain yang juga tertuju padanya.

Hening sejenak. Arka memalingkan wajahnya ketika melihat Gara menepuk pundak Nala dan berbisik sambil menutupi mulutnya. Tidak lama setelahnya, dua motor lainnya tiba. Gara langsung menyambut mereka satu per satu dengan jabat tangan. Arka hanya bisa mengangguk melihat wajah-wajah baru itu.

"Ayo, masuk. Silakan, silakan. Anggap rumah sendiri." Gara benar-benar terlihat seperti pemilik rumah.

Dengan cepat semua anggota kelompok sudah duduk menyebar di tikar yang digelar. Jumlahnya tiga belas orang, ditambah Mbah yang juga turut antusias untuk menyambut tamu. Meski duduk di sisi yang berjauhan, mata Arka tetap memperhatikan Nala yang sudah bercengkrama dengan Mbah dan anggota kelompoknya.

Rapat dimulai setelah hiruk pikuk di dapur usai. Gelas yang diisi teh hangat serta pisang dan singkong goreng sudah tersaji dengan apik.

Tadinya yang akan memimpin rapat adalah Gara selaku tuan rumah, tetapi demi kebaikan bersama, akhirnya ia digantikan. Secara alami, Hawu memimpin jalannya rapat.

"Sebelum rapat dimulai, kita kenalan dulu, ya. Saya Hari Wulangan. Biasa dipanggil Hawu, saya dari teknik mesin." Hawu memulai rapat dengan penuh wibawa.

"Gue Nouvel Anggara. Bisa dipanggil Gara atau Angga, asal jangan dipanggil Sayang." Senyum Gara menyungging. "Prodi teknik mesin, kebetulan sekelas sama Hawu, ketua kelompok sebelah."

Jika dalam kondisi normal, Nala pasti sudah memukul atau mencubit Gara, tetapi karena gadis itu tengah disibukkan oleh hal lain, ia sampai melewatkan perkenalan Gara yang duduk di sampingnya.

"Nala, silakan." Hawu berbicara pada Nala yang kelihatan sibuk dengan pikirannya sendiri.

Akhirnya, Gara menyikut Nala sambil tersenyum canggung. "Anaknya lagi rada sakit. Maaf, ya. Nala, kenalan."

Setelah menyadari kalau semua mata tertuju padanya, Nala mengulas senyum dan melepaskan tautan tangannya. "Hai, gue Queenala Savina. Biasa dipanggil Nala."

"Atau Kuin." Gara menyambar tanpa permisi.

"Queen. Please, deh." Nala hampir lupa kalau ada Arka di sana. Ia malah meladeni Gara yang meledeknya. "Dari zaman dahulu kala, lo nggak lulus manggil nama gue!"

"Lho, itu namanya lokalisasi. Lo mau nyalahin lidah gue yang terlalu lokal?" Gara mengubah tujuannya. Kini ia siap berperang.

"Nouvel Anggara, skor TOEFL lo terlalu bagus buat bilang lidah lo lokal!" Nala menatap Gara sinis.

Posisi mereka yang bersebelahan membuat suara keras mereka hampir tidak berguna. Keduanya hanya berbicara keras karena tidak mau kalah. Semua mata kini fokus pada sepasang sahabat yang terus beradu argumen itu.

Hawu bertepuk tangan satu kali dan hal itu membuat Gara dan Nala berhenti. "Oke, cukup. Gue aja yang nambahin. Nala dari Prodi Biologi. Silakan yang berikutnya."

Melihat tingah Nala, Arka hampir saja tertawa. Untungnya ia berhasil menahan tawanya. Namun, Arka tidak mampu menahan senyum di wajahnya. Hingga gilirannya tiba, Arka masih saja tersenyum tipis karena Nala.

"Oke, lanjut."

Mbah yang duduk di sebelah Arka langsung tersenyum dan menatap Arka dengan penuh kasih sayang. Mbah adalah pemilik rumah yang ditempati kelompok Gara. Saat pertama kali datang, Mbah sudah menunjukkan perhatian lebih pada Arka karena katanya Arka mirip salah satu anak Mbah. 

"Kenalin gue Arkasa Dio Giantara, teknik sipil." Arka sempat melirik Nala yang kelihatan antusias melihatnya.

Rapat hari itu berlangsung hingga tengah malam. Akhirnya mereka memutuskan untuk melangsungkan pertandingan sepak bola dan lomba masak. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan solidaritas, sekaligus membuka peluang usaha bagi masyarakat selama pertandingan tersebut berlangsung. Nantinya, pemenang dari lomba masak akan diberikan satu stan khusus pada saat berlangsungnya pertandingan sepak bola. 

Setelah selesai rapat, para gadis mulai merapikan tempat dan mencuci piring. Kelompok Nala memaksa untuk mencuci piring dan gelas. Akhirnya, Nala mengumpulkan gelas kotor dari depan dan dua teman lainnya menunggu untuk mencuci dan membilas.

Nala sudah membawa gelas dan piring ke belakang, tetapi ia kembali lagi untuk mengambil beberapa piring yang masih ada di depan. Gadis berambut pendek itu mengumpulkan piring dengan cepat, tetapi gerakannya kurang hati-hati. Ketika ia berjalan, kakinya tersandung tikar yang tidak rata.

Kejatuhan Nala sungguh memalukan karena hanya tersisa para laki-laki di ruang depan. Begitu melihat Nala jatuh, tidak hanya satu, tetapi dua orang melesat menghampirinya.

"Lo nggak apa-apa?" Gara dan Arka bertanya bersama.

Nala menoleh bingung. Ia melihat Arka yang berjongkok di sisi kanannya dan Gara di sisi kirinya.

Gara menatap Arka sinis sambil mengambil alih piring yang ada di tangan Nala. Untungnya piring tersebut tidak terbentur atau jatuh ke lantai. Melihat Nala yang tidak menjawab, Gara jadi gemas.

"Gue tanya, lo nggak apa-apa? Nyusahin mulu bisanya. Coba lurusin kakinya, ada yang keseleo nggak?"

Nala masih membeku di tempat. Tidak peduli pada Gara yang sudah melontarkan pertanyaan, Nala malah menatap laki-laki yang ada di kanannya.

Adegan berlebihan dari Gara, Arka dan Nala membuat Hawu tidak sabar. Akhirnya ia menghampiri Nala, kemudian menarik gadis itu untuk berdiri.

"Ada yg sakit nggak?" Hawu bertanya setelah memastikan Nala bisa berdiri sendiri.

"Gue baik-baik aja." Nala tersenyum kaku.

"Lo bisa ke dapur." Tatapan Hawu beralih dari Nala ke Arka dan Gara bergantian. Tatapan itu ditutup sebuah gelengan.

Nala langsung menuju dapur dengan wajah memerah. Arka segera bangkit berdiri dan kembali ke tempatnya, tetapi Gara malah membawa piring yang ia amankan ke dapur.

Hawu menghela napas ketika melihat tatapan Arka ke Gara. "Gara emang gitu. Mereka udah sahabatan lama. Ngomong-ngomong, kapan mau ke rumah Pak Ketut?"

Arka berusaha kembali fokus. Ia menyadari kalau semua orang menatapnya. "Gue bakal pastiin dulu. Nanti gue kabarin."

"Oke, kalau gitu nanti kita buat grup bareng aja, ya. Untuk urusan jadwal pertemuan dan lokasi, gue serahin ke kelompok kalian, nanti kelompok gue bakalan buat proposalnya." Hawu menyampaikan idenya.

"Siapa yang bakal buat proposal?" Gara duduk di samping Hawu setelah kembali dari dapur.

"Kelompok gue." Hawu menjawab sinis.

Gara melipat tangan di dada. Ia menatap laki-laki bertubuh mungil di sampingnya dengan tatapan menyelidik. "Lebih tepatnya, siapa, tuh? Lo, kan, tukang nyuruh doang."

Hawu berdecak. "Nggak usah sok nanya kalau udah tahu jawabannya."

"Emangnya siapa yang bakal buat proposal?" Salah satu rekan kelompok Hawu bertanya.

"Ya, tentu saja Nala. Walau absurd begitu, Nala jago buat proposal. Pas acara himpunannya, proposal mereka bisa tembus di banyak tempat."

"Lo nggak tahu aja itu bocah pakai templat dari tahun sebelumnya. Gue yang revisi itu. Nala, tuh, jago ngomong doang." Gara tersenyum mengejek.

"Kenapa bawa-bawa nama gue?" Nala bertanya setelah mendengar namanya disebut oleh Gara.

"Lo sama anak-anak buat proposal untuk Pak Ketut, ya. Nanti kelompok Gara bakalan atur untuk pertemuannya." Hawu berbicara dengan nada yang berwibawa.

"Oke." Nala menjawab singkat.

Jawaban gadis berambut pendek itu membuat Gara terperangah. "Yakin?"

Satu pukulan berhasil mendarat di bahu laki-laki berkulit cokelat itu. "Lo meragukan gue?"

Tatapan Nala yang membulat sempurna, batal membuat Gara protes. Gadis itu langsung memberikan kode pada Hawu kalau para gadis sudah selesai mencuci piring dan sudah siap untuk pulang.

"Oke, kalo gitu kami pamit pulang dulu. Kalau kita lanjut ngobrolnya, bisa sampai pagi. Nggak enak sama warga." Hawu mengawali kepulangangan mereka dengan menjabat tangan semua anggota kelompok Gara.

Tingkah Hawu membuat kelompoknya turut berbaris untuk berpamitan. Akhirnya, mereka bersalaman serupa kegiatan maaf-memaafkan di hari raya.

Ketika Nala berhadapan dengan Gara, gadis itu tidak mengulurkan tangannya, ia malah berjalan melewati Gara begitu saja. Akibat tindakan Nala, Gara menyeret gadis itu ke belakang ketika semua barisan selesai.

"Maksud lo apa?"

"Lo nggak peka banget, sih? Buat proposal bisa bikin gue makin deket sama Pangeran Dua Ratus Rupiah. Lo harusnya dukung dong!" Nala merepet, tetapi dengan suara yang sangat pelan. "Lagian gue bisa. Beneran bisa."

"Asal lo bisa tanggung jawab, ya, gue dukung." Gara turut berbicara dengan suara pelan.

"Oke. Nanti lo bantu revisi, ya." Nala mengangguk, kemudian tersenyum lebar.

Gara berdecak. Ia sampai mundur satu langkah dari tempatnya. "Sudah gue duga. Ujung-ujungnya gue juga yang kena."

"Makasih, sahabat kesayangan akuh." Nala berjinjit dan mengacak rambut Gara yang mulai terlihat panjang.

Tanpa mereka tahu, ada sepasang mata yang terus mengawasi mereka dari jauh.

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Arka sama Gara
(Yo, dipilih, yo!)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro