18. Rumah Orang Kaya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit sudah gelap ketika Nala sibuk dengan kopernya. Gadis berambut pendek itu sudah sibuk sejak pukul lima. Ia sudah mandi dan berpakaian rapi. Namun, Nala masih belum berhasil menemukan benda yang dicarinya. Hal ini membuat gadis berlesung pipi itu cemberut.

"Lo nyari apa, sih? Dari tadi nggak selesai-selesai."

Nala menoleh. Ia cukup terkejut melihat Hawu yang sudah berdiri di pintu ruang tamu sambil melipat tangan di dada.

"Gue nyari name tag. Kan, lo bilang harus pakai name tag. Kalo nggak ketemu, nanti gue nggak diajak tempat Pak Ketut." Nala masih berusaha mencari benda itu di dalam kopernya. Hampir saja Nala mengeluarkan semua bajunya, tetapi Hawu menghentikan gadis itu dengan gerakan yang mirip pesulap.

"Lo cari ini?" Sebuah name tag dengan nama Queenala menggantung di tangan Hawu.

Nala berseru heboh. Ia hampir menangis karena terharu. "Ketemu di mana?"

"Makanya, jangan sembarangan naro. Ingatan lo udah kayak Dory, tahu nggak? Ingatannya cuma tahan tiga detik." Hawu menggeleng.

"Hah?" Nala masih tidak mengerti kata-kata sahabatnya itu.

"Tadi lo titip ke gue. Pas pulang penyuluhan di sekolah. Nih, pake." Hawu melemparkan name tag Nala.

Dengan sigap, Nala menangkapnya. "Makasi, bestie aku."

Nala bangkit dari duduknya dan menghambur ke Hawu. Tahu kalau sahabatnya sedikit gila, Hawu langsung menghentikan gerakan Nala dengan menahan kepalanya dengan sekuat tenaga.

"Gue tahu, lo berterima kasih, tapi jangan peluk-peluk."

Nala cengar-cengir. "Lupa. Lo bukan Gara."

"Jangan bilang lo sering peluk Gara?" Hawu jadi posesif.

"Kadang." Nala menjawab santai.

Hawu ingin mengamuk. Pantas saja Buaya Darat itu senang mepet-mepet Nala. Ternyata gadis ini sering memberikan pelukan gratis. "Kurang-kurangin, deh. Nggak pantes. Lo berdua cuma temen."

"Justru karena temen."

Hawu menghela napas panjang. "Terserah, lo, Nala. Terserah."

Nala langsung menutup kopernya dengan semangat. Tidak lupa ia meminta bantuan Hawu untuk menekan kopernya agar bisa ditutup.

"Jadi, kita pergi berdua aja?" Nala mengikuti Hawu yang berjalan keluar.

"Ya, kalo dari kelompok kita cuma kita aja."

Nala naik ke motor yang sudah dinyalakan oleh Hawu. "Kalo kelompok sebelah?"

"Kayaknya Gara sama satu cewek."

"Yah, kok, nggak Pangeran Dua Ratus Rupiah gue, sih?" Nala cemberut sampai tidak lagi bicara sepanjang jalan.

Begitu tiba di posko kelompok Gara, Nala tambah kecewa berat karena melihat Gara yang sudah siap di atas motor.

"Pindah lo, sini." Gara melihat Nala dengan tatapan serius.

Hawu yang memahami Gara, langsung meminta Nala pindah. Akhirnya, gadis berambut pendek itu pindah ke motor yang dikendarai Gara. Baru saja Nala pindah, ia mengerutkan dahi. Yang keluar dari rumah ternyata bukan teman perempuan Gara, tetapi Arka. Kalau Nala lupa diri, ia mungkin bisa berteriak kegirangan karenanya.

"Gue sama lo, ya?" Arka bertanya pada Hawu.

Hawu sempat melirik Gara yang kelihatan tidak peduli. Akhirnya, ia mengangguk.

"Oke, kita berangkat." Hawu berbicara sambil mengamati situasi.

Motor Gara memimpin perjalanan karena satu-satunya yang tahu rumah Pak Ketut hanya Gara. Sambil mengikuti motor Gara, Hawu berusaha berbicara dengan Arka. "Gue kira cewek yang bakal ikut. Ternyata, lo."

"Sorry, kalo lo kecewa." Arka menjawab santai.

"Nggak sama sekali. Tadinya gue berharap lo emang bisa ikut. Soalnya lo, kan, lumayan akrab sama asistennya Pak Ketut."

"Itu yang jadi alasan kenapa gue di sini."

Hawu berdeham. "Lo ribut sama Gara?"

Arka terdiam.

"Gue tahu kalian berdua nggak akrab, tapi suasananya agak beda tadi."

"Gue nggak ngerti kenapa dia marah? Yang gue lakuin cuma naruh pisang goreng di piring dia dan liat sekarang dia nggak mau negor gue sama sekali."

Bukannya prihatin, Hawu malah tertawa. "Anaknya emang gitu. Agak gila sedikit. Sama, tuh, sama sahabatnya."

Arka jadi semangat. "Nala?"

"Iya, siapa lagi? Kan, baru aja dibilang." Hawu tertawa karena melihat Nala memukuli punggung Gara dengan keras, bahkan suaranya bisa mengalahkan suara mesin motor butut yang mereka pakai. Motor Gara sempat oleng, tetapi kembali berjalan normal dengan segera.

"Lo deket sama Nala?"

Hawu sempat terkejut, tetapi ia menjawab dengan suara setenang mungkin. "Lumayan deket, tapi nggak bisa dibandingin sama Gara yang udah sahabatan 6 tahun."

"Lo tahu, Nala suka kucing?"

"Ye, itu orang nggak cuma sekedar suka kucing. Nala udah mengabdi jadi pelayan setia kucing-kucing liar."

"Lo tahu gantungan pokemon punya Nala?"

Hawu mulai curiga. "Snorlax? Dia bucin banget sama karakter itu. Nggak cuma gantungan kunci, dia punya banyak pernak-pernik Snorlax."

Diam-diam, Arka tersenyum.

"Lo suka sama Nala?" Hawu bertanya tanpa basa-basi.

Arka diam, tetapi ia segera menjawab, "Iya. Lo bisa bantu gue?"

Hawu hampir oleng. Ia tidak menduga kalau cinta Nala tidak bertepuk sebelah tangan. Perasaan sahabatnya ternyata berbalas. "Tentu. Gue bakal bantuin kalian."

Rasanya Hawu sudah ingin buru-buru laporan di grup Pejantan Tangguh yang isinya ia, Sion dan Gara.

***

"Lo ngapain nyuruh gue pindah?" Nala bertanya sambil menahan emosi.

"Nggak apa-apa." Gara menjawab singkat.

"Heh! Kampret. Lo, ya, sebagai temen gue, harusnya bantuin gue biar gue bisa bersama dengan Pangeran Dua Ratus Rupiah. Ini lo malah buat gue terpisah sama pangeran gue!" Nala sewot.

"Berisik, tahu nggak?"

"Lo nyebelin banget, sumpah."

Gara tertawa. "Emang dari dulu, 'kan? Suruh siapa lo temenan sama gue?"

Nala memukul punggung Gara kuat-kuat. Ia tidak peduli dengan erangan dari sahabatnya. Nala menghentikan pukulannya ketika motor mulai oleng.

"Jangan ngambek. Emang salah kalo gue pengen bonceng sahabat gue yang paling cantik?"

"Paling cantik? Preet. Lo ngomong gitu karena gue satu-satunya cewek di muka bumi ini yang tahan temenan sama lo!" Nala masih berbicara dengan penuh emosi.

"Diem lo. Kita udah mau sampe."

Gara melambatkan laju motornya. Namun, Nala sedikit bingung karena yang ada di depan mereka hanya gerbang besar di tengah kebun.

"Jangan kaget. Pertama kali ke sini gue kaget soalnya." Gara berbicara pelan. Ia turun dari motor dan berjalan ke pintu kecil yang ada di samping gerbang besar. Setelah itu, gerbang besar itu terbuka.

Nala menganga. Ia melihat sebuah jalan aspal mulus dengan lampu taman yang berjejer. Tidak lupa, di kiri dan kanannya ada pohon-pohon besar yang tidak kunjung habis sampai Nala melihat sebuah pemandangan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah rumah besar dengan cat berwarna putih berdiri kokoh di depan mereka. Penampakannya lebih mirip istana kepresidenan daripada menjadi rumah orang kaya di kampung.

Lagi-lagi, Nala dibuat kaget dengan garasi super besar yang ada di samping rumah tersebut. Gadis itu hampir menangis karena tidak percaya.

"Bapak lagi mandi, nanti langsung ke sini." Pelayan yang menyambut mereka mempersilakan mereka untuk duduk di gazebo yang ada di halaman rumah.

Setelah pelayan itu pergi, Nala berbisik pada Gara. "Tajirnya tujuh turunan kayaknya."

Gara hanya menanggapi dengan senyum tipis.

Nala melihat sekeliling. Gazebo yang kini mereka tempati, memiliki bantal empuk dan meja berkaki pendek. Nala jadi ingat cottage yang ada di brosur liburan ke Bali.

"Selamat malam." Seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap datang menghampiri. "Lho, belom dikasih minum?"

Pria itu langsung memerintahkan asistennya untuk memesan minum melalui Handy Talky. Tanpa sadar Nala berseru kagum. Sebelumnya, gadis itu hanya bisa melihat hal seperti ini di film, tetapi hari ini ia melihatnya secara langsung.

"Saya harusnya memohon maaf. Begitu mendengar ada mahasiswa KKN, saya berniat mengundang kalian untuk makan malam bersama, tapi ternyata jadwal saya belum sesuai."

"Terima kasih atas niat baik Bapak." Hawu mengangguk sopan.

"Jadi, kalau Sabtu ini kita makan malam bersama, gimana? Atau kalian ada jadwal lain?" Pak Ketut bertanya dengan ramah.

"Boleh, Pak." Nala menjawab dengan cepat.

"Oke, saya suka yang cepat begini. Kamu?"

Nala langsung tersenyum. "Perkenalkan, saya Nala. Kebetulan saya dan teman saya Hawu, bukan mahasiswa KKN desa ini, tapi desa sebelah."

"Oh, begitu. Nggak masalah. Kalau kalian?" Pak Ketut mengalihkan pandangannya pada Arka dan Gara.

"Saya Arka, yang sebelumnya menghubungi Mas Made." Arka tidak berniat menyebutkan nama Gara.

"Saya Gara, Pak."

"Oke, berarti nanti ada dua kelompok KKN yang akan makan bersama. Kalau boleh tahu berapa jumlah orangnya?"

"Tiga belas, Pak." Kecepatan menjawab Nala membuat Pak Ketut tertawa.

"Nala, saya suka kesigapan kamu."

Pujian dari Pak Ketut membuat tiga laki-laki yang ada di sana heran. Benar kata Hawu, Nala punya kemampuan membuat orang lain nyaman berada di sekitarnya. Ia juga cepat akrab dengan orang lain.

"Sudah cantik, pintar juga. Ada pacarnya di sini?" Pak Ketut bertanya pada Nala, tetapi yang panik justru Gara dan Arka.

"Pacar, sih, belum ada, Pak. Doain aja." Nala tersenyum malu.

Hawu dan Gara sudah menggeleng ketika Nala menatap Arka.

"Oh, saya mengerti. Nak Arka, kalau gadis seperti Nala ini disia-siakan, awas kecewa seumur hidup, lho."

"Belom tahu aja barbarnya ini anak." Gara bergumam pelan.

Tanpa terduga, Arka malah mengangguk. Hal itu membuat Pak Ketut tertawa semakin kencang.

"Saya dengar dari Made, kalian mau mengantar proposal?"

"Iya, Pak." Nala kembali bersikap profesional. Gadis itu menyerahkan proposal yang sudah mereka buat.

Pak Ketut membuka proposal tersebut dan langsung tersenyum. "Ide kalian bagus, tapi saya rasa hadiahnya terlalu sedikit."

Pernyataan Pak Ketut membuat keempat mahasiswa yang ada di sana bingung. Pak Ketut mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari sana.

"Ini bisa dipakai untuk persiapan, nanti sisanya akan saya kasih kalau kalian sudah melaporkan perkembangan serta persiapannya."

Tidak seperti menjawab pertanyaan, kini Nala tidak langsung mengambil uang itu. Ia malah menoleh pada Hawu untuk meminta izin.

"Nggak apa-apa. Persiapan kalian juga butuh dana. Nanti hadiahnya dikali tiga saja. Saya yang kasih." Pak Ketut memaksa membarikan uang yang ada di tangannya pada Nala.

"Terima kasih, Pak."

"Kalian sudah makan?" Pak Ketut bertanya setelah minum yang tersaji habis.

"Sudah, Pak." Nala menjawab cepat.

"Kalau ngobrolnya kita lanjut hari Sabtu, gimana? Istri saya sudah telpon." Pak Ketut menunjukkan ponselnya yang berdering.

"Baik, Pak. Kalau begitu, kami pamit pulang." Hawu mengawali mereka semua. Ia bangkit berdiri dan menyalami Pak Ketut serta Mas Made. Setelah itu, mereka bergerak menuju motor.

"Mas Arka, itu Nala dibonceng, dong!" Pak Ketut berseru.

Hawu langsung melemparkan kunci motornya pada Arka, kemudian ia menaiki motor Gara. Nala tersenyum dan mengacungkan jempol pada Pak Ketut. Akhirnya, Arka membonceng gadis berambut pendek itu.

Nala tidak pernah menduga kalau ia akan mendapat rezeki nomplok. Ia naik ke boncengan Arka dengan malu-malu. Malam hari yang disinari terang bulan, dibonceng pangeran impian plus restu dari orang paling kaya di kampung ini. Nala tidak tahu lagi, apa akan ada hari yang lebih membahagiakan dari hari ini.

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Ekspresi Nala setelah Pak Ketut nyaranin Arka bonceng dia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro