30. Ingin Mengamuk, tapi Harus Sabar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pertandingan babak penyisihan selesai dalam tiga hari. Kini, mereka tengah sibuk untuk mengatur area pinggir lapangan agar tetap aman untuk penonton. Pertandingan kali ini pasti akan memakan banyak tempat untuk penonton karena sudah memasuki bagian semifinal. Nala sangat kerepotan karena ia harus bertanggung jawab untuk bagian lapangan bersama dengan Arka.

Untungnya bantuan dari karang taruna kedua desa sangat membantu. Tenaga yang mereka miliki jadi semakin banyak. Pekerjaan mereka juga jadi semakin cepat. Tingkat kepusingan Nala jadi jauh lebih rendah karena ia bersama dengan Pangeran Dua Ratus Rupiahnya.

Nala berjalan menuju tenda panitia dan ia mendapati beberapa kursi panitia yang bergeser ke tenda lain. Dengan tingkat inisiatif yang tinggi, gadis berambut pendek itu langsung mengikat rambutnya tinggi, lalu menggulung lengan bajunya. Kemudian, ia berjalan untuk mengumpulkan kursi-kursi tersebut dan memisahkannya menjadi beberapa tumpukan.

Tanpa sadar, ada seseorang yang mengikuti pergerakan Nala. Laki-laki berkulit pucat itu langsung mengangkat tumpukan yang sudah Nala buat dan memindahkannya ke tenda panitia. Gadis berponi itu sempat tercengang, tetapi ia langsung tersenyum begitu matanya bertemu dengan mata cokelat milik Arka.

"Jadi terharu." Nala mengangkat tumpukan kursi lain.

Arka langsung mengambil alih tumpukan kursi yang diangkat oleh Nala, kemudian ia mencegah gadis itu untuk melanjutkan kegiatannya. Arka menahan Nala dengan gerakan tangan.

"Makasih, Ka." Nala berjalan di belakang Arka yang tengah mondar-mandir untuk memindahkan kursi. Tingkahnya kini sudah mirip anak bebek yang mengikuti induknya.

"Cie, makin nempel aja, nih, berdua." Hawu langsung meledek begitu sampai di tenda. Ia membawa beberapa botol minuman ke tenda panitia.

Begitu mendengar kalimat Hawu, Nala langsung salah tingkah. Ia tidak bisa berdiri diam di tempatnya. Matanya juga berusaha untuk tidak bertatapan dengan Arka.

"Kalo diliat-liat, kalian berdua cocok juga." Sion yang entah muncul dari mana, malah meramaikan ledekan tersebut.

"Dari dulu, gue emang udah ngerasa mereka cocok, sih. Gue yang bakalan kasih restu paling depan." Hawu menyambut umpan dari Sion.

Tidak lama kemudian, beberapa panitia mulai memasuki tenda untuk mengambil perlengkapan persiapan pertandingan.

"Kalo menurut kalian, gimana, nih, kalo Nala sama Arka cocok nggak?" Hawu sudah berubah fungsi menjadi kompor dengan api biru yang panasnya merata.

"Cocok." Seruan keras dari panitia membuat mereka terlihat kelewat kompak.

Nala yang sudah salah tingkah, kini semakin kebingungan. Wajahnya sudah menyerupai udang rebus. Ia hanya bisa menunduk malu.

Tanpa terduga, bukannya mengelak, Arka malah tertawa kecil.

"Tuh, udah direstuin sama banyak orang. Masa nggak jadian, sih?" Hawu yang memang sudah siap untuk menggoreng gosip antara Nala dan Arka, langsung menyerang ke intinya.

"Ditunggu pajak jadiannya!" Sion ikut-ikutan meramaikan suasana.

Seruan Sion disambut oleh teriakan setuju dari panitia yang ada di tenda. Suara mereka mampu menarik perhatian banyak orang yang ada di sana.

Tiba-tiba, Gara berseru dengan suara yang cukup tinggi dan wajah yang tidak menyenangkan. "Barusan gue dapet telepon dari Pak Ketut. Katanya beliau bakal nonton pertandingan hari ini. Jadi, lebih baik kalian nggak ngumpul-ngumpul di sini, tapi siap-siap!"

Setelah mengatakan kalimatnya, laki-laki berkulit cokelat itu langsung berlalu dari tenda panitia langkah yang tergesa-gesa.

Nala yang tidak memperhatikan kepergian Gara, langsung mendapat colekan dari Sion.

"Pas jam istirahat, gue perlu ngomong sama lo."

Nala langsung menyipitkan mata. Kalau yang mengajaknya bicara adalah Hawu atau Gara, itu adalah hal yang biasa, tetapi kini, Sion mengajaknya bicara dengan nada yang kelewat serius. "Tumben, kenapa? Jangan bilang lo mau nembak gue?"

Sion tertawa. "Pokoknya penting. Kita harus tes apa lo lebih bego dari Gara."

"Dih, ganteng-ganteng, kok, ngomongnya gitu?" Nala mendekat dan berbisik, "Apaan, woy?"

Sion menyeringai. "Kayaknya lo lebih bego dari Gara, sih."

"Lo belajar di mana, sih, ngomong begitu?" Nala langsung sewot.

"Kerjaan lo udah beres belom? Sini gue bantuin." Sion menawarkan diri meski ia malah duduk-duduk di kursi panitia.

"Inget, istirahat." Nala memelototi Sion yang masih duduk santai di kursi panitia.

Begitu jam istirahat tiba, Nala langsung buru-buru menarik Sion ke tempat yang lebih sepi. Rasa penasarannya berhasil membuat ia tidak fokus bekerja.

"Nah, sekarang lo harus ngomong. Apa?  Ngomongin apa yang serius?"

"Keliatan banget kalo lo itu nggak sabaran, ya." Sion sempat tertawa ketika melihat Nala yang kelihatan buru-buru.

"Bisa cepet dikit nggak, Anak Ganteng?" Kini Nala kesal betulan.

Sion menyeringai. "Menurut lo, Gara, tuh, orangnya gimana?"

"Ye, lo tanya gue. Lo juga, kan, temennya. Masa harus nanya gue?"

Sion menghela napas. "Gue butuhnya menurut lo, Nala. Jawab aja."

Tanpa berpikir lebih lama, Nala langsung menjawab, "Gara awalnya nyebelin, terus jadi nyebelin banget, lama-lama baru ketauan kalo dia super nyebelin."

Dahi Sion berkerut. "Kalo dia nyebelin, kenapa lo masih temenan sama dia?"

Nala terdiam.

"Oke, pertanyaannya gue ganti. Lo sayang nggak sama Gara?"

"Pertanyaan lo, makin ke belakang, makin aneh."

Sion tersenyum. "Jawab aja."

Nala berkacak pinggang. Ia sudah menarik napas berkali-kali. "Ya, sayang, lah. Emang, lo nggak sayang sama Gara?"

Laki-laki berambut gondrong itu  mengangguk. "Terus, pernah nggak lo, walau sedikit banget, naksir sama Gara?"

"Gue pengen bohong, tapi yang dihadapin adalah lo." Nala berhenti sejenak untuk meninbang-nimbang keputusannya. "Pernah, sih. Dulu banget, waktu zaman gue nggak tahu seberapa bangsatnya dia. Sukanya kayak cuma akses sekali lewat gitu, doang. Mirip kayak waktu gue naksir lo dulu."

Sion kembali mengangguk, kemudian ia menepuk bahu Nala. "Ayo, balik ke lapangan."

"Lo nggak jelas banget. Sumpah." Nala menepuk lengan laki-laki berambut gondrong itu dengan sekuat tenaga.

***

Gara masih kesal ketika melihat Arka memasuki kamar. Sepertinya ia benar-benar terkena karma. Ia baru tahu kalau membenci tanpa alasan itu ada. Kini, ia benci setengah mati pada laki-laki yang ada di sampingnya.

"Gar. Lo lagi sibuk nggak?" Arka bertanya setelah duduk tepat di samping Gara yang masih sibuk dengan isi kopernya.

Gara ingin mengamuk. Jelas-jelas ia masih menyusun pakaian di kopernya, lalu Arka malah melontarkan pertanyaan basa-basi yang superbasi padanya.

"Gue mau tanya sesuatu sama lo." Arka berbicara dengan hati-hati. Gara tahu betul hal itu ketika melihat laki-laki berkulit pucat di hadapannya menjeda tiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Kayak ujian aja. Ya, tanya aja kali." Gara menjawab sesantai mungkin.

Arka kelihatan ragu, tetapi pertannyaan yang tidak diduga malah keluar dengan mulus. "Lo suka sama Nala?"

Gara terdiam. Ia langsung menghentikan gerakan. Pertahanannya seolah-olah telah diobrak-abrik oleh pertanyaan sangat sederhana. Kalau Gara masih tidak menyadari perasaannya, ia pasti akan menjawab dengan penuh canda. Namun, kini berbeda. Ia tahu pasti perasaannya.

Merasa pertanyaannya tak kunjung mendapat jawab, laki-laki bermata sipit itu kembali bertanya. "Lo suka sama Nala?"

Suara dan penekanan yang semain jelas, membuat Gara kehilangan kata-kata. Tangannya mengepal dengan erat. Ia bisa merasakan panas yang mengalir di sekujur tubuhnya.

Arka berdeham, menuntut jawab. Namun, yang didapat hanya diam.

Dalam diam, Gara dibawa kembali ke acara final sepak bola, siang tadi.

Gara tengah mengipasi dirinya yang berdiri di tenda panitia. Tidak lama kemudian, Nala muncul di sana dan berdiri di sampingnya untuk turut menikmati angin yang berasal dari kardus bekas air minum yang dikibas Gara kuat-kuat.

"Enaknya kalo dapat angin gratisan gini." Nala cengar-cengir sambil menunduk mencari posisi ternyaman.

Gara tersenyum. Kemudian, ia membuat gerakan tangannya semakin cepat dan lebar supaya Nala bisa merasakan angin yang ia usahakan. Suasanya di sana damai tanpa pertikaian biasa.

Tidak lama setelah itu, Arka muncul entah dari mana dan membawa satu buah kipas bertenaga baterai dan memberikannya pada Nala. Dengan senyum yang bisa dipastikan tulus pakai hati, Nala langsung berpindah ke samping Arka.

Gara diam saja ketika Arka dan Nala bercanda dan tertawa di depannya. Namun, emosinya hampir pecah ketika, tanpa sengaja, Arka hampir membuat Nala terjatuh karena menempatkan gadis itu di ujung selokan. Untungnya, Nala berhasil menahan gerakan Arka yang hampir membuatnya tersungkur.

Gara langsung memindahkan Nala ke posisi yang lebih aman. Perpindahan itu disertai dengan adegan tarik menarik karena Arka menahan Nala yang sudah diraih tangannya oleh Gara, tetapi seruan dari Nala berhasil membuat mereka berhenti.

"Gue bisa sendiri! Nggak usah pake tarik-tarik! Drama banget." Nala menghempaskan genggaman Arka lebih dulu. Kemudian mengempaskan tangan Gara setelahnya.

"Di sana bahaya. Lo berdiri dekat selokan." Gara berbicara dengan nada lembut, ia masih berusaha menahan emosi yang siap meledak.

Kata-kata Gara membuat gadis itu berpindah dari samping Arka ke samping Gara.

Gara bisa melihat kalau laki-laki berhidung mancung yang ada di hadapannya, mendengkus.

Bukannya berhenti, Arka malah ikut-ikutan pindah ke samping Gara. Ia berniat menyentuh puncak kepala Nala, tetapi gerakannya langsung ditahan oleh Gara. Sebuah pukulan cepat di tangan Arka membuat ada tensi yang menebal di antara keduanya. Mereka bertukar tatap yang seolah-olah mampu mengeluarkan laser. Namun, Nala malah melenggang keluar dari tenda panitia.

"Kalo lo nggak bisa jawab, gue bakalan anggep kalo jawabannya iya." Arka akhirnya menyimpulkan sendiri.

Kesadaran menghantam Gara. Ia bisa saja egois dan menyatakan genderang perang dengan Arka, tetapi ia tahu betul kalau Nala menyukai laki-laki ini. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat sebelum menjawab dengan lantang. "Enggak, gue nggak suka sama Nala lebih dari sahabat."

Arka kelihatan terkejut. Mata sipitnya membelalak. Kalau dalam situasi normal, ingin rasanya Gara meledek teman sekamarnya itu. Namun, kini mereka terjebak dalam situasi kelewat serius.

Arka tertawa getir. "Jujur, gue nggak percaya sama lo."

Gara menghela napas. Kini kepalan tangannya sudah terurai. Emosinya juga menguap entah ke mana, seolah-olah kalimat Arka berhasil melucuti semua pertahanannya. Dengan keberanian yang tinggal setitik saja, Gara berkata, "Gue nggak minta dipercaya."

"Oke, kalo gitu. Sebenernya enggak penting lo suka atau nggak sama Nala." Arka sempat menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kalo gue jadian sama Nala, lo rela?"

Seolah tengah dihujani peluru, hati Gara hancur berantakan. Ia ingin mengamuk, tetapi ia juga sadar kalau ia tidak memiliki hak sebanyak itu untuk marah. Nala punya kebahagiaannya sendiri. Nala berhak bahagia dengan laki-laki pilihannya, tetapi suara hatinya meronta-ronta menuntut pembebasan.

"Kalo lo emang suka dan sayang sama Nala, gue nggak keberatan. Silakan aja." Gara mengucapkan kalimat itu dengan susah payah. Ia harus melawan suara hatinya sendiri. Yang jelas, ia tidak mau merusak persahabatannya dengan Nala hanya karena perasaan yang mungkin bisa hilang jika ia bekerja sama dengan waktu.

"Gara, oh, Gara."

Suara seruan di depan pintu kamar mereka membuat dua laki-laki yang tengah berbicara serius itu menoleh.

"Gara KW, buka, elah. Gue tau lo belom tidur." Nala berbicara dengan suara yang pelan.

Setelah lelah bertukar tatap dengan Arka, Gara akhirnya berdiri. Ia mendapati gadis yang menjadi topik utama pembicaraan muncul di hadapannya.

"Ngapain lo ke sini malem-malem?"

Nala mengangkat kotak besar yang berisi beberapa makanan rumah. "Dari Mama. Katanya buat anak kesayangan."

Mata Gara tiba-tiba panas. Ia merasa kalau keran di matanya bisa bocor. Namun, ia memaksakan diri untuk tersenyum, sebelum mengambil alih kotak tersebut. "Oke, makasih."

"Kata Mama, lo harus telepon. Mama sama Papa kangen."

Gara hanya mengangguk.

Nala yang menyadari keanehan dari sahabatnya itu langsung bertanya, "Lo ada masalah?"

"Enggak, kok." Gara mengangkat tangannya untuk menepuk puncak kepala Nala, tetapi gerakannya tertahan begitu ia ingat kalau ia sudah memutuskan untuk menyerah.

"Oke, jangan lupa dimakan. Mama buatin telur dadar favorit lo, tuh. Lumayan banyak, kok. Makan sama anak-anak. Harus dimakan malem ini, soalnya takut basi."

"Iya, iya, cerewet."

"Senyum lo, aneh banget. Sumpah. Kenapa, sih?"

Gara menarik napas dalam, sebelum menjawab. "Enggak apa-apa."

Gara memilih untuk kalah, bukan karena ia tidak mau berjuang. Gara memilih untuk kalah karena ingin mempertahankan hubungan mereka yang terlalu indah. Namun, Gara tidak tahu, apakah ia sanggup melihat Nala bersama orang lain?

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro