6. Jangan yang Itu!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tangan mungil milik Nala masih sibuk menari di atas kertas ketika suara dosennya memerintahkan untuk mengumpulkan lembar jawaban. Gadis itu langsung mengumpulkan lembar jawabannya meski tidak semua soal berhasil ia jawab. Nala tidak mau mengulangi kesalahannya yang mendapat korting nilai karena terlambat mengumpulkan lembar jawaban.

Nala segera keluar dari ruangan itu tanpa peduli tentang teman-temannya yang masih sibuk dengan kertas dan berusaha menawar waktu. Gadis berambut panjang itu merasa beruntung karena berhasil melewati satu minggu yang mengerikan. Nala akhirnya terbebas dari kewajiban belajarnya di semester ini. 

Untuk mahasiswa yang sangat menjunjung tinggi metode SKS atau sistem kebut semalam, seperti Nala, hari terakhir ujian adalah hari yang layak dirayakan. Nala dan Gara punya kebiasaan untuk makan mi pedas level setan setelah menyelesaikan ujian, tetapi mereka tidak bisa melakukannya kini. Menurut Nala, mereka tidak dalam kondisi yang baik untuk makan bersama. Gadis itu masih memendam dendam pada Gara yang meninggalkannya di saat penting.

"Pasti mau makan mi pedes sama Gara, nih." Benny muncul setelah Nala berhasil mengambil tasnya dari rak.

"Enggak, kok. Sok tahu, deh." Gadis itu mengenakan jaket kebesaran favoritnya. Awalnya, jaket itu bukan miliknya, tetapi setelah empat puluh hari, ia sudah mengambil alih hak kepemilikan jaket itu dari Gara.

"Kemana, tuh, budak lo? Seminggu ini nggak keliatan. Kayaknya lo berangkat bareng Setia mulu. Jangan-jangan ribut, ya?" Jiwa-jiwa julid Benny mulai muncul.

Nala berdecak. Ia mengepalkan tangannya, kemudian satu pukulan mendarat di kepala Benny. Berhubung tubuh laki-laki itu lebih tinggi dari Nala, gadis itu harus repot berjinjit karenanya.

"Ribut betulan berarti." Benny menggangguk sambil memasang wajah berpikir.

"Udah, ah. Gue mau ke Teknik." Gerakan Nala terhenti karena Benny menarik tasnya. Gadis itu langsung berbalik dan memandang Benny sengit. "Gue nggak mau ketemu Gara. Lepas, nggak!"

Laki-laki jahil itu tidak langsung menyerah, ia melepaskan tas Nala, tetapi kini menarik ujung tudung jaket gadis itu. "Gue nggak bilang, lo mau ketemu Gara. Lo ribut sama Gara bukan karena cemburu, kan?"

Kontan gadis itu tertawa keras. "Gue cemburu sama Gara? Please, deh. Nggak ada yang bagusan dikit?"

"Bagus, deh, kalo nggak. Soalnya gue denger dia lagi bucin banget sama anak FEB."

"Bukan urusan gue!" Nala menyentak pegangan Benny. Lalu ia berjalan dengan langkah besar.

Kaki kurus Nala terlihat kesusahan menopang tubuh yang membawa tas berukuran besar. Gadis itu berjalan dengan napas yang terengah. Peluh sudah membasahi dahi, tetapi senyumnya langsung mengembang ketika melihat laki-laki yang ia kenali menghampirinya.

"Siang-siang gini, lo pake jaket buat apa?" Laki-laki berambut panjang terikat itu bertanya sambil melemparkan senyum. "Udah lama lo nggak main ke sini."

"Buat penyamaran. Sibuk jadi kuli laporan. Mana barang gue?"

Dahi Sion berkerut. Ia bisa melihat kalau tubuh Nala sudah berkeringat banyak, tetapi sepertinya gadis itu tidak berniat untuk duduk sejenak. "Bahasa lo, Nala. Ini bukan barang haram, ya."

"Udah mana, buruan. Gue males ketemu Gara." Gadis mungil itu berusaha menutupi wajahnya dengan tudung jaket yang ia kenakan.

Sion merogoh sakunya, kemudian selembar kertas keluar dari sana. Kertas itu berwarna biru dongker dengan tulisan putih dan beberapa logo yang familiar. Begitu Sion mengulurkan tangan, Nala langsung menyambar kertas itu dengan cepat. Namun, gerakan tangan laki-laki itu jauh lebih cepat.

"Gue bakal kasih tiket ini kalo lo kasih tahu gue, kenapa lo ribut sama Gara?"

Nala mendengkus. Ia menyibak tudung jaketnya dan segera meluapkan emosinya. "Lo nggak dibayar Gara buat ini, kan? Gue sebel banget sama itu anak."

Sion malah tertawa. "Maaf aja, ya, gue lebih kaya dari dia. Gue cuma penasaran, kenapa seminggu ini lo nggak berkeliaran di sini?"

"Lagi males." Nala memutar bola matanya. Ia berdecak, kemudian tangan kanannya menengadah ke arah laki-laki itu.

Sion yang sudah gemas akhirnya memberikan tiket itu pada Nala. "By the way, ini tiket dari Gara, lho."

Nala membeku di tempat. Setelah menjatuhkan tiket itu, ia membiarkan tangannya mengambang di udara. Angin yang berembus membuat selembar tiket itu bergerak jatuh dengan dramatis.

"Nggak usah lebay gitu. Ini gue dapet pake usaha, jadi bukan barang haram." Gara memungut tiket itu dan memasukkannya ke saku jaket Nala.

Punggung Nala serasa dialiri air es karena melihat Gara yang sudah ada di hadapannya. Kini gadis itu tengah merutuki dirinya sendiri karena memasuki area perang lawan dengan sukarela. Usahanya tidak menginjakkan kaki di Fakultas Teknik jadi sia-sia karena ambisinya untuk hadir di seminar yang diketuai oleh Pangeran Dua Ratus Rupiahnya. Nala juga sudah susah payah menahan diri untuk tidak melihat Meong secara langsung, ia hanya melihat Meong secara virtual lewat Instagram Meong Penguasa Teknik. 

"Kata Gara, kalian punya agenda makan mi pedas bareng hari ini. Gue cabut duluan." Sion sempat tersenyum penuh arti. Nala ditinggal berdua dengan laki-laki yang saat ini memiliki status sebagai musuhnya.

Nala baru saja ingin melarikan diri, tetapi tangan Gara sudah merangkul bahunya.

"Udahan, kek, ngambeknya. Gue udah tebus kesalahan gue pake tiket. Bonusnya, mi pedes hari ini, gue yang traktir."

Bukan Nala namanya kalau harus tawar-menawar masalah perut. Mi pedas adalah menu favoritnya setelah ayam goreng. Kesempatan makan gratis ini tidak boleh ia lewatkan begitu saja. Kalau kata orang tua, pamali kalau menolak rezeki. Jadi, gadis itu menurut saja ketika Gara membawanya ke tempat mi pedas.

"Gue maafin lo bukan karena perkara mi, ya. Gue maafin lo karena berhasil dapet tiket seminar ini. Kuotanya terbatas, gue udah cari ke mana-mana dan semua abis." Nala memelankan suaranya. "Makasih."

"Apa? Gue nggak denger? Coba bilang apa tadi?" Gara meletakkan tangannya di belakang telinga kemudian mengarahkan telinganya mendekati Nala.

"Bodo amat. Nggak jadi."

Jawaban gadis itu membuat Gara tertawa. Laki-laki berkulit cokelat itu menatap Nala, melihat wajah kesal gadis itu selalu berhasil membuatnya senang.

***

Seminar yang diadakan Jurusan Teknik Sipil itu akhirnya tiba. Arka sudah dibuat sibuk sejak dua hari lalu. Semakin dekat acara, semakin banyak masalah yang muncul. Bahkan, semalam laki-laki berkulit pucat itu harus menghabiskan malamnya di sekretariat bersama dengan beberapa anggota tim dekorasi dan publikasi.

Arka masih mengenakan kaus dan celana training ketika ia melihat gadis aneh yang ia temui di minimarket. Gadis itu tengah berdiri di depan gedung seminar. Ia bisa melihat kalau gadis itu tidak lagi menggulung rambutnya asal. Kini rambut panjang gadis itu sudah diikat rapi dan pakaian gadis itu juga terlihat lebih baik dari sebelumnya. Gadis itu mengenakan kemeja berwarna putih dengan celana jeans biru. Namun, tas besar di punggungnya tetap sama.

"Arka, katanya mau mandi."

Suara dari belakangnya membuat Arka terkejut. Ia segera melanjutkan langkahnya ke kamar mandi yang ada di belakang sekretariat. Kamar mandi itu memang berada di luar sekretariat, jadi Arka harus melewati taman untuk menuju ke sana.

Laki-laki berkulit pucat itu sudah mengenakan PDH Teknik Sipil ketika keluar dari kamar mandi. Ia sempat menoleh ke tempat gadis tadi dan tidak mendapati siapa pun di sana. Entah mengapa, Arka malah menghela napas kecewa karenanya.

Suasana di depan gedung tempat seminar itu semakin ramai. Tiga puluh menit sebelum acara dimulai, peserta mulai memasuki ruangan. Sebagai ketua pelaksana, Arka keluar untuk memeriksa pergerakan peserta acara. Namun, mata Arka malah terkunci pada gadis yang tengah berjalan dari arah gedung Teknik Mesin bersama tiga orang laki-laki. Kemeja putih gadis itu kelihatan mencolok dibandingkan dengan tiga laki-laki yang mengenakan PDH berwarna hitam. Arka mengenali salah satunya. Laki-laki berambut panjang terikat di belakang gadis itu adalah teman SMA-nya.

"Lo ngapain, dah, pake baju putih gini?" Laki-laki bertindik di sampingnya bertanya sambil menyentuh kerah baju gadis itu.

Gadis itu langsung menginjak kaki laki-laki yang menarik kerah bajunya. "Lo norak banget. Tahu istilah beautiful in white nggak, sih?"

"Itu buat orang nikahan, Kuin." Laki-laki itu menepuk puncak kepala gadis itu. Dua laki-laki lainnya tertawa di belakang gadis itu.

"Lihat siapa, sih? Eh, cewek baju putih cakep juga." Salah satu panitia yang merupakan teman seangkatan Arka berbicara di telinga laki-laki itu.

"Jangan yang itu."

Kata-kata Arka berhasil membuat laki-laki di sampingnya heran. Tidak hanya laki-laki itu, tetapi hampir semua mahasiswa yang mengenakan name tag panitia yang mendengar itu langsung terdiam dan menghentikan kegiatan mereka.

"Tapi gue suka, gimana, dong?" Panitia lain mendekati Arka dan mulai menggodanya.

Gara segera menjawab, "Jangan yang itu!"

"Ini pertama kalinya Arka nunjukin kalau dia tertarik sama cewek. Gue harus sujud syukur nggak, sih?" Laki-laki di samping Arka berseru heboh.

Arka baru menyadari kalau kata-katanya pasti akan menjadi perhatian karena sebelumnya laki-laki itu telah mendeklarasikan kalau ia tidak tertarik berkencan. Arka menunduk, ia segera meninggalkan teman-temannya yang terlihat siap untuk meledeknya. Laki-laki berbaju hitam itu berjalan cepat menuju kamar mandi di gedung itu. Ia membasuh wajahnya dan menatap pantulan wajahnya di cermin. Tanpa sadar, ia tersenyum.

Takdir memang selucu itu, baru saja Arka menenangkan diri dengan membasuh wajah, kini ia kembali ingin melarikan diri karena gadis berbaju putih itu ada di hadapannya. Mata mereka bertemu, Arka bisa melihat warna cokelat muda di mata gadis itu. Gadis itu terlihat sedikit kebingungan, mata besarnya sibuk melihat sekeliling. Tangan gadis itu juga sibuk meremas tali tasnya yang menggantung.

Arka berusaha bersikap setenang mungkin. Ia melangkah maju, tanpa terduga, gadis itu juga melangkah dan mereka hampir bertabrakan. Mereka kompak bergerak mundur. Arka mengusap tengkuknya dan bergerak ke arah berlawanan, tetapi gadis itu juga bergerak ke arah yang sama. Akhirnya Arka mempersilakan gadis itu untuk berjalan lebih dulu.

Gadis itu berjalan melewati Arka dan tanpa sengaja, ujung mata laki-laki itu mendapati sesuatu yang familiar. Gantungan kunci boneka Snorlax menggantung di tas gadis itu. Warna biru boneka itu terlihat cukup kontras karena gadis itu mengenakan tas berwarna merah marun. Benar saja, dugaannya tidak salah. Gadis ini adalah gadis yang ia cari selama ini.

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bapak Ketua Pelaksana Seminar, nih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro