7. Tiket Perdamaian dan Lolipop Perpisahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara tepuk tangan meriah mengakhiri seminar hari itu. Acara berlangsung dengan sukses. Sesi tanya jawab dipenuhi dengan antusias peserta, bahkan pemateri sampai meminta panitia untuk menunda penutupan. Acara seminar kali ini memang dipenuhi dengan orang-orang dari berbagai macam latar belakang.

Gara banyak menghela napas selama berlangsungnya acara tersebut karena Nala terus saja berbisik padanya.

"Pangeran Dua Ratus Rupiah gue, ganteng banget." Ini adalah seruan Nala ketika laki-laki berkulit pucat itu memberikan sambutan.

"Emang perhatian banget." Seruan kali ini terdengar ketika gadis itu melihat Arka bergegas menukar mikrofon yang bermasalah.

"Gila, sih. Sayang banget kalo dia nggak dijadiin suami, peka gitu." Celotehan Nala semakin random ketika pemateri mulai berbicara.

Nala selalu berkomentar untuk setiap gerakan kecil yang dilakukan Arka. Gadis itu benar-benar tidak bisa menahan segala seruan kagum yang ia lemparkan ketika Arka bergerak di sekitar panggung.

Tingkah Nala mulai semakin menyebalkan ketika ia meminta pendapat Gara tentang Arka. Laki-laki bertindik itu akhirnya menyerah dan memohon agar Nala diam. Namun, gadis itu masih saja melontarkan komentarnya meski volume suaranya sudah mengecil.

"Nyesel banget belum bisa kasih hadiah buat Pangeran Dua Ratus Rupiah gue. Menurut lo, gue kasih apa, ya? Tadi gue ketemu pas mau ke kamar mandi, terus saking gugupnya, gue nggak bisa nyapa. Menurut lo, dia inget gue nggak?"

"Gue bayarin juga, nih. Cuma perkara dua ratus perak doang, lo berisik!" Kalimat ini adalah teguran terakhir dari Gara dan hal ini berhasil membuat Nala diam.

Setelah seminar hari itu selesai, Gara baru menyesali tindakannya yang secara sukarela memberikan tiket seminar itu pada Nala. Gara jadi ingat bagaimana sulitnya ia mendapatkan tiket tersebut. Seminar kali ini diisi oleh salah satu pemateri yang menarik banyak perhatian mahasiswa karena itu, tiket acara ini sengaja dibuat terbatas untuk menambah kesan eksklusif.

"Gue dengar, sipil buat acara abis UAS nanti." Gara berbicara pada Sion dan Hawu yang berada di meja yang sama dengannya.

Laki-laki bertubuh mungil yang ada di samping Gara mengerutkan dahi, kemudian menatap laki-laki itu dengan tatapan penuh tanya.

"Iya, gue juga denger. Emang mereka mau buat acara." Sion yang masih sibuk dengan laptopnya menjawab tanpa melihat Gara.

"Katanya, si Arka jadi ketua pelaksana, ya?"

"Gue nggak tahu, sih." Sion masih menjawab tanpa menoleh.

"Langsung ke intinya aja, Bos. Jangan muter-muter, kejauhan." Hawu yang ada di samping Gara pun menggebrak meja karena tidak sabar.

"Hima kita dapet undangan. Jumlahnya maksimal sepuluh orang. Nama kita semua masuk, sih." Gara mencoba menjelaskan dengan caranya sendiri, tetapi ia tidak kunjung menyampaikan maksudnya.

"Muter lagi, deh. Intinya apa?" Hawu sudah mulai emosi.

"Gue butuh tiket umum seminar itu. Soalnya mau ngajak Nala." Gara menghela napas sebelum cengar-cengir.

Sion menghentikan kegiatannya di depan laptop. Ia menatap Gara, kemudian berkata, "Ngomongin soal Nala, udah beberapa hari ini dia nggak makan bareng kita di kantin. Ke mana itu anak?"

Mata Gara bergetar. Ia berusaha menghindari tatapan Sion yang jika semakin lama dilihat mampu membuatnya mengakui semua dosa.

"Gue udah chat, katanya, sih, lagi sibuk jadi budak laporan." Hawu menjawab dengan cepat dan menunjukkan bukti pesan balasan dari Nala.

"Gue kira, kalian ribut."

Kalimat Sion berhasil membuat Gara salah tingkah. Ia sibuk melipat kertas yang entah sejak kapan sudah ada di tangannya.

"Soal tiket umum, gue punya dua, nih. Dapet dari temen gue." Sion mengeluarkan dua lembar tiket berwarna biru dongker dari tasnya dan menyerahkan salah satunya pada Gara.

"Wah, kalo tahu lo punya, gue nggak perlu cari ini tiket sampe ke calo segala." Gara senang, tetapi ia juga kesal karena ternyata tiket itu sudah ada di dekatnya.

Satu pukulan yang berasal dari botol air mineral kosong mendarat di kepala Gara.
"Heh! Kampret! Gue ngomong sama lo. Malah ngelamun."

Gara kembali ditarik dari ingatannya beberapa hari lalu.

"Enak banget, ya. Mukul kepala orang sembarangan."

Nala berdecak. "Ini. Yang begini ini, suka bikin gue kesel. Lo sering mukul kepala gue, kali! Makanya IP gue nggak bagus, pasti lo berkontribusi jadi tersangka penurunan kemampuan otak gue!"

"Terusin aja ributnya. Gue sama Sion mau cabut makan duluan." Hawu bergerak melewati Gara dan Nala yang masih belum kehabisan bahan untuk bertengkar.

Gara mendengkus, kemudian ia kembali melanjutkan debatnya. "Ngomong-ngomong soal IP, nilai lo udah keluar semua belom? Gue curiga lo nggak bakal bisa KKN tepat waktu, deh."

Nala langsung memukul lengan laki-laki berkulit cokelat itu. "Omongan, tuh, doa. Jangan ngomong macem-macem, dong. Sejauh ini, sih, lulus semua. Masih ada dua mata kuliah yang belom keluar nilainya."

"Lulus, tapi rantai karbon? Makanya belajar yang bener! Jangan rajin pemujaan oppa, tapi nilai terjun bebas!"

"Please, deh. Jangan kudet, gitu. Nilai Statistika gue A, lho. Ya, yang lain sih, nggak jauh-jauh dari C." Nala cengar-cengir.

***

Setelah mengantar pemateri keluar dari aula, Arka mendapati gadis berkemaja putih itu kini tinggal duduk berdua dengan laki-laki yang sebelumnya menarik kerah gadis itu.

"Kayaknya itu cowoknya, deh." Salah satu panitia yang ada di dekat Arka berpendapat ketika mendapati ketuanya kelihatan seserius itu melihat ke arah gadis yang sudah jadi trending topic di kalangan panitia selama seharian.

"Menurut lo, gitu?" Arka bertanya sungguh-sungguh.

"Nggak cuma menurut gue, sih. Menurut anak-anak yang lain juga. Perlu gue tanya mereka satu-satu, nggak?"

Arka tidak menjawab. Perhatiannya masih terkunci pada sepasang anak manusia yang besar kemungkinannya berstatus sebagai sepasang kekasih.

"Belom maju, udah jadi sadboy aja, nih. Kasian Bapak Ketua kita." Sebuah tepukan di bahu membuat perhatian Arka teralih.

"Nggak apa-apa, Pak. Nanti gue cariin yang modelan begitu lagi. Yang penting lo beneran suka sama cewek."

Arka tidak menanggapi kata-kata rekannya, tetapi ia mulai memikirkan kemungkinan yang sebelumnya tidak ia duga. Laki-laki yang mengenakan name tag Ketua Pelaksana itu masih sibuk dengan pemikiran yang ada di kepalanya, ketika gadis berkemeja putih dan teman laki-lakinya beranjak dari kursi mereka.

"Nilai udah komplit, nih. Cek siakad, deh." Arka mendengar celetukan itu dari salah satu rekannya.

"Wah, Arkasa Dio Dirgantara dapet IP tertinggi lagi semester ini. Selamat." Rekan panitia lain menghampiri Arka dan menyalaminya.

Hal itu membuat antrean ucapan selamat dari hampir semua panitia, ada yang mengacungkan jempol, menjabat tangan, hingga memeluknya. Arka kesulitan menangani semua perhatian yang tertuju padanya. Akhirnya, diam-diam ia menghilang sejenak dari sana.

Ketika anggotanya mulai sibuk membicarakan nilai masing-masing, Arka melangkah keluar gedung.
Arka memilih duduk di tangga yang ada di luar gedung. Ia membuka Sistem Akademik yang memuat nilainya, kemudian ia mengembuskan napas lega.

Jari laki-laki berkemeja hitam itu segera bergerak mencari satu nama dan membuat panggilan telepon. Dering yang terdengar membuat jantungnya berdegup semakin kencang. Kakinya mulai bergerak mengetuk lantai. Namun, panggilan itu tidak dijawab. Arka kembali menjelajahi kontaknya dan mencari satu nama lain, ia segera menelepon nomor itu, tetapi yang ia dapati adalah hal serupa. Teleponnya tidak diangkat.

Tidak lama setelah itu, satu pesan masuk ke ponselnya.

Mama : Mama lagi rapat.

Arka menghela napas berat. Selalu seperti ini, semua pencapaiannya tidak akan berpengaruh pada sikap orang tuanya. Kadang Arka menghibur diri dengan berasumsi kalau orang tuanya memang sibuk. Ditambah lagi, Mama dan Papa adalah tipe orang yang tidak banyak bicara. Ia sudah cukup bersyukur karena setidaknya Mama mau meneleponnya dua kali seminggu, meski templat pembicaraan mereka tidak jauh dari masalah uang jajan.

Arka memasukkan ponselnya ke saku sebelum menekuk kaki dan menunduk dalam. Tiba-tiba ada sebuah suara yang menyapanya.

"Kata temen gue, kalo lagi sedih harus makan permen."

Sebuah lolipop kini ada tepat di depan wajah Arka. Ia mendongak dan mendapati senyuman seorang gadis yang familier. Hal itu membuat Arka cukup terkejut, hingga ia hampir lupa bernapas.

***

Aula yang berada di gedung Jurusan Teknik Sipil itu sudah hampir kosong ketika Nala kembali ke sana. Salah satu panitia sempat bertanya, ketika gadis itu meminta izin untuk masuk. Nala ke sana karena harus mencari gantungan kuncinya yang hilang. Ia yakin kalau gantungan kuncinya pasti jatuh di dalam gedung itu karena terakhir dia ingat, gantungan kunci berbentu Snorlax miliknya masih ada ketika acara baru dimulai.

Nala kembali ke sana seorang diri karena Gara mencari di sekitar area parkir dan area jalan yang mereka lalui. Gadis itu menyusuri setiap baris kursi. Ingatan Nala soal tempat dan jalan sangat buruk, ia kesulitan menemukan tempat duduknya tadi karena tidak ada patokan orang-orang yang menarik perhatiannya. Gadis itu biasa mengingat posisi dengan beberapa hal yang menarik perhatiannya, seperti warna pakaian orang di sebelahnya atau gaya rambut orang di depannya. Namun, kini yang ada hanya deretan kursi kosong dan beberapa orang panitia yang mengenakan pakaian serupa.

"Cari apa, Kak?" Seorang gadis menghampiri Nala.

"Gantungan kunci. Bentuknya kayak gini." Nala langsung menunjukkan wallpaper ponselnya yang menampilkan sosok karakter berwarna biru.

"Saya coba bantu, ya, Kak." Gadis itu langsung menggulung lengan bajunya dan mulai menunduk untuk mencari di bawah kursi.

"Terima kasih." Nala tersanjung karena telah dibantu oleh orang yang tidak dikenalnya.

Mereka bergerak menyusuri satu per satu barisan kursi. Butuh waktu tiga puluh menit hingga gadis yang membantu Nala tadi berlari menghampirinya. Sebuah benda berwarna biru sudah ada di tangannya. "Yang ini bukan?" 

Nala tersenyum, menerima gantungan kuncinya dan langsung mengucapkan terima kasih berkali-kali. 

Melihat senyum Nala, gadis di depannya turut tersenyum. Ia segera pamit dan setelah beberapa langkah, gadis itu berbalik. Lalu gadis itu mengucapkan satu kalimat dengan suara pelan dan tidak bisa didengar oleh Nala. "Kayaknya aku tahu, kenapa Kak Arka suka sama dia."

"Kenapa cewek yang ditaksir Kak Arka balik lagi?" Salah satu panitia menghampiri gadis yang membantu Nala. 

"Gantungan kuncinya ilang. Lo tahu hal yang lucu? Kak Arka punya gantungan kunci yang sama persis di tasnya. Gue pernah lihat waktu ketemu di sekretariat."

"Mungkin kebetulan aja, kali."

"Nggak mungkin kebetulan. Jarang banget orang suka sama karakter itu."

Nala berjalan keluar dari aula itu. Ketika melewati pintu keluar, gadis itu sempat menyunggingkan senyum pada panitia yang membantunya tadi. Nala berjalan sambil memasang gantungan kuncinya kembali. Ia memastikan kalau ikatannya kuat sebelum menyampirkan tasnya kembali. Langkah gadis itu terhenti ketika melihat sosok yang ia kenali dari kejauhan.

Nala mendekati laki-laki berkulit pucat itu. Ia bisa melihat kalau Arka menghela napas dan menunduk begitu dalam. Nala membuka tasnya dan mengambil satu lolipop. Ia mengembuskan napas cepat, kemudian ia meyakinkan dirinya sendiri dengan seruan semangat yang tidak ia suarakan.

Gadis bermata besar itu menyodorkan permen lolipop. "Kata temen gue, kalo lagi sedih harus makan permen."

Jantung Nala berdegup kencang saat Arka mengangkat kepalanya. Laki-laki yang sudah ia doakan selama dua tahun terakhir ini, menatap matanya dengan jarak yang begitu dekat. Senyum tipis di wajah laki-laki itu membuat Nala merasa kehabisan napas, tetapi kesadaran menghantamnya ketika laki-laki itu malah melontarkan satu pernyataan yang membuat Nala malu setengah mati. 

"Gue nggak suka makanan manis." Wajah Arka berubah dingin dan tanpa ekspresi.

Nala menyentuh tengkuknya dan menurunkan tangannya yang memegang lolipop. Namun, gadis itu kembali menyodorkan lolipop itu ketika mengingat sesuatu. "Anggep aja ganti dua ratus rupiah yang waktu di minimarket. Gue nggak suka punya utang. Terserah, mau lo buang juga nggak apa-apa." 

Nala meletakkan lolipopnya di samping laki-laki itu, kemudian pergi dari sana dengan terburu-buru. 

Tanpa Nala ketahui, Arka menatap punggungnya yang bergerak semakin jauh dari jangkauan pandang. Setelah Nala tidak terlihat, laki-laki berhidung mancung itu berdecak dan mulai membuka bungkus lalipop itu. Ia menatap permen berwarna biru yang mengingatkannya pada Snorlax. Arka tersenyum, kemudian memasukkan lolipop itu ke mulutnya.


Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro