8. Ceritanya Gagal Move On

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seumur hidupnya, Nala memang tidak pernah memiliki pacar, tetapi ada beberapa laki-laki yang menunjukkan ketertarikan padanya. Nala memang sering mengagumi beberapa laki-laki tampan, menurutnya itu adalah salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Namun, rasa suka itu tidak pernah bertahan lebih dari dua bulan. Salah satu contohnya adalah rasa tertarik Nala pada Gara saat pertama kali bertemu. Nala benar-benar jatuh hati pada Gara karena laki-laki itu kelihatan keren dengan pakaian berantakan. Saat itu, cowok badboy memang jadi idola. Bukan hanya badboy, tetapi juga harus tampan.

Gara adalah laki-laki yang mudah membuat orang lain nyaman di sekitarnya. Meski laki-laki itu punya tingkat kejahilan melebihi manusia pada umumnya, tetapi laki-laki itu adalah teman yang sangat baik dan pengertian. Mungkin itu salah satu pesona yang membuatnya jadi buaya kampus. Memang, kulitnya tidak secerah Arka, tetapi fitur wajahnya tidak bisa disepelakan. Mata sipit yang bisa berubah seperti bulan sabit kembar jika ia tersenyum. Hidung mancung yang pernah dinobatkan Nala sebagai hidung terindah, sebelum bertemu Arka tentunya. Kerutan di wajahnya bisa membuatnya mirip kucing jika tersenyum. 

Seminggu setelah kenal Gara, Nala langsung menyesal. Ia bahkan bersumpah untuk menghapus nama Gara dari daftar suci calon pujaan hatinya. Gara sungguh tidak mencerminkan satu pun kriteria Nala. Gara memang lumayan tampan, tetapi tidak setampan itu jika ditambah dengan tingkah jahilnya yang bahkan bisa membuat setan minder. Gara memang pintar, tetapi tidak sepintar itu jika ditambahkan dengan tingkat lambannya untuk memahami Nala. Satu hal paling penting, Gara alergi kucing. Namun, semua kekurangan itu bisa ditoleransi karena statusnya hanya sahabat.

"Gantungan kuncinya udah ketemu. Gue jalan ke parkiran." Nala berbicara dengan suara bergetar.

"Lo nangis?" Gara langsung panik dan segera berlari ke area parkir, tanpa memutuskan teleponnya.

Nala membuka siakad dan tangannya bergetar ketika mendapati nilai yang baru muncul menampilkan huruf D. Ini artinya, tahun depan ia harus mengulang mata kuliah Taksonomi. 

Gara tiba dengan napas yang terengah. Ia berlari dan melambatkan langkahnya ketika posisinya sudah dekat dengan Nala. "Lo nangis beneran?"

"Nilai gue D. Harus ngulang tahun depan." Mata gadis berambut panjang itu sudah berkaca-kaca.

Gara mendekat dan menepuk bahu sahabatnya. "Nggak apa-apa. Ngulang mata kuliah bukan dosa besar. Cuma tetep dosa, sih."

"Kampret, lo!" Air mata Nala akhirnya jatuh, tetapi ia tersenyum karena candaan Gara.

"Kayak nggak pernah ngulang mata kuliah aja. Nggak apa-apa. Ngulang nggak bikin lo mati." 

Nala tersenyum. "Gue ditolak Arka."

Gara melihat ekspresi Nala yang tidak ada sedih-sedihnya, tetapi ia tahu kalau gadis itu kecewa. Mata Nala tidak bisa berbohong. Meski wajahnya tersenyum, mata gadis itu sayu, seolah menyimpan banyak luka. 

Gara tidak bertanya adengan detailnya. ia malah kembali menepuk pundak gadis itu. "Bagus, dong, jadi lo bisa fokus belajar. Ayo, dong. Lo pasti bisa cari yang lain, Arka nggak sebagus itu juga."

"Kayaknya ini karma, deh." Nala menghapus air matanya yang sudah terlanjur jatuh.

"Kenapa, gitu?"

"Dulu gue banyak nolak cowok soalnya." Nala cengar-cengir.

Gara tertawa. "Di mana? Dalam mimpi? Gue nggak pernah lihat lo dekat sama cowok selain gue sama Benny."

"Ada. Banyak. Lo aja yang nggak tahu." Nala menjawab sensi.

Arkasa Dio Giantara adalah satu-satunya laki-laki yang berhasil menarik perhatian Nala untuk waktu yang sangat lama, tetapi Nala sudah ditolak terang-terangan. Ia merasa mungkin ini adalah saatnya untuk menyerah.

***

Gara bisa bernapas lega setelah Nala mengatakan kalau gadis itu sudah ditolak oleh Pangeran Dua Ratus Rupiahnya. Penderitaan Gara untuk mendengar segala pujian dan kekaguman Nala pada laki-laki yang menurut Gara tidak lebih tampan darinya itu akhirnya berakhir. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, tetapi dengan berani, gadis itu mengatakan kalau dirinya sudah ditolak. Gara masih tidak tahu detail kejadian penolakan itu hingga suatu hari setelah UTS berlangsung, gadis itu datang ke kantin Fakultas Teknik.

"Sion, lo masih betah jomlo aja nih?" Nala berbicara sambil mengaduk kuah baso yang tersaji di depannya.

Hawu memutar bola matanya malas. Laki-laki mungil itu menggeser mangkuk untuk menjauhi Nala. "Mulai, deh. Untung gue nggak pernah digodain."

Nala berdecak, kemudian menatap Hawu dengan tatapan layaknya ibu tiri sadis di sinetron televisi yang tayang di saluran ikan terbang. "Sorry, lo bukan tipe gue."

Sion tertawa melihat kelakuan dua orang yang ada di depannya. 

Ketika melihat Sion, tatapan Nala berubah drastis. Tatapan gadis itu tiba-tiba menjadi berbinar dan senyumnya mengembang. Setelah bergidik ngeri, Hawu juga ikut menatap Sion.

Merasa dituntut jawab, akhirnya Sion menunda kegiatannya untuk meminum es jeruk. "Gue belum ngerasa butuh, sih."

"Yah, sayang banget muka cakep lo nggak dimanfaatin, tapi bagusan jomlo, sih. Lo bisa jadi milik bersama dan nggak haram buat dihaluin." Nala mengangguk untuk mendukung pernyataannya sendiri. "Nah, dateng nih buaya rawa." 

Gara yang baru datang dengan piring berisi nasi goreng langsung menatap heran karena tiga orang yang ada di hadapannya kini tengah tertawa. Laki-laki dengan telinga bertindik itu meletakkan piringnya sambil berusaha memahami situasi.

"Gue beneran penasaran, cowok secakep lo, pernah ditolak, nggak?" Gadis berambut panjang itu kembali bertanya pada Sion setelah membiarkannya meminum es jeruk.

Pertanyaan Nala berhasil membuat Sion terperangah. 

"Pernah." 

Sion menjawab dengan santai dan kalimatnya ditutup dengan senyum yang menurut Nala bisa membuatnya terkena serangan jantung saking tampannya senyuman laki-laki itu. Namun, setelah senyumnya memudar, Sion menghela napas berat dan wajahnya berubah muram.

Jawaban Sion berhasil membuat bukan hanya Nala, Gara dan Hawu juga turut menganga sejenak. Detik demi detik berlalu. Nala diam. Gara diam. Hawu juga diam. 

Beberapa detik lainnya lewat dan Sion mulai merasa awkward. "Bukannya itu biasa, ya?" 

Nala melirik Gara dan Hawu, lalu ia berusaha mencairkan suasana. "Biasa, kok. Emang siapa yang nggak pernah ditolak? Gue juga pernah, kok, ditolak sama cowok yang udah lama banget gue suka."

Hawu yang paham situasi, langsung lanjut menimpali, "Arka yang anak Sipil itu, ya, kan?"

Gara yang masih kesulitan memahami situasi malah melirik Nala dan Hawu bergantian.

"Iya, asli. Malu banget gue pas ditolak, tuh." Nala memperhatikan perubahan ekspresi Sion yang terlihat mulai penasaran.

"Gimana emang nolaknya?" Gara bertanya.

Nala berdecak. Ia menceritakan kejadian tertolaknya lolipop yang ia berikan pada Arka. Nala kira, ketiga temannya ini akan prihatin dan menghiburnya, tetapi mereka malah tertawa. Sion yang menurut Nala paling punya tata krama, juga turut tertawa.

"Aduh, kawan gue pinternya kelewatan." Hawu sampai bertepuk tangan saking senangnya.

"Kayaknya itu bukan penolakan, deh." Sion tertawa kecil sambil menatap Nala yang kini sudah sangat kesal.

"Terus, apa? Penistaan? Lo, mah." Nala cemberut, tetapi kemudian ia sadar. "Bukan penolakan gimana maksudnya?" Nala mengerjapkan matanya dan bertanya pada Sion.

Bukannya menjawab, Sion malah mempersilakan Hawu untuk bicara.

"Ya, siapa tahu dia emang nggak suka manis. Lo aja yang terlalu pede, emang lo ngapain? Cuma ngasih lolipop doang udah ngerasa tertolak."

"Oh, gitu? Emang nggak diragukan kualitas lo sebagai orang yang sering ditolak dan tetep bertahan pake pikiran positif." Nala menjawab sambil meledek Hawu yang memang berhasil mendapatkan pacarnya kini melalui penolakan enam belas kali. Namun, akhirnya laki-laki mungil itu berhasil di percobaan ke tujuh belas.

"Menurut gue juga, gitu sih." Sion menimpali.

Nala mengerutkan dahi, kemudian ia menatap Gara.

"Gue enggak tahu apa-apa, sumpah. Jangan tanya gue."

"Dasar, Kampret! Lo tahunya apa, sih? Ayo, anak ganteng coba jelasin." Nala menatap Sion.

"Lo sadar nggak, sih? Ibarat kata, nih, ya. Arka itu pangeran dan lo cuma rakyat jelata. Wajar, dong, dia nggak terima pemberian lo." Hawu menjawab dengan semangat.

Nala bangkit dari duduknya, kini ia berkacak pinggang. "Sejak kapan lo jadi anak ganteng? Sion, silakan." 

Sion tertawa. "Gue sepikiran sama Hawu."

Gadis berambut panjang yang satu-satunya kaum hawa di sana akhirnya kehabisan kesabaran. Nala menggebrak meja. Gebrakan di meja membuat ketiga laki-laki yang ada di meja itu menoleh pada pemilik tangan mungil yang kini mendengkus kesal sambil melotot. Gara yang menjadi korban karena ia kebanyakan diam dan tidak memberikan kontribusi apa pun pada rapat darurat yang tidak sengaja mereka lakukan. 

"Ya, kalo kondisinya gitu, ini termasuk penolakan, sih. Permen lo aja udah ditolak, apalagi hati." 

Nala mengangkat alis. Dari tiga orang laki-laki yang ada di hadapannya kini, hanya Gara yang pro pada kesimpulan Nala ditolak. "Masuk akal, sih. Gue juga mikirnya gitu. Kayak apa, ya? Gue nggak pantes aja gitu buat dia."

Sion kembali menyunggingkan senyum. "Kenapa nggak pantes?"

"Yah, liat aja kelakuan barbarnya udah melampaui semesta. Oh, jangan lupa, nilainya juga rantai karbon. Arka, tuh, mahasiswa kebanggan Teknik Sipil, jangan sampe, deh, nama baiknya tercemar cuma karena lo." Hawu kembali menjawab dengan penuh semangat.

Nala sudah ingin marah, tetapi ia tahu diri. Semua yang dikatan Hawu adalah kebenaran. Salah satu keuntungan berteman dengan Hawu adalah kejujurannya yang tanpa disaring. Bahkan kadang laki-laki mungil itu mengatakan hal-hal yang tidak harus dikatakan. Namun, itulah gunanya teman. Teman yang sesungguhnya pasti mampu mengatakan hal menyakitkan untuk membuat kita lebih baik.

"Nala udah banyak belajar, kok. Dia rela minta ajarin adek tingkat, lho. Biar nilainya nggak parah-parah amat." Gara membela.

Nala menendang kaki Gara. "Kampret, lo! Gue minta ajarin bocah adek tingkat pake barter kali. Gue kan ngajarin mereka Matematika Dasar sama Statistika."

"Yakin? Lo nggak sesat, kan?" Kini Hawu turut meledek setelah melihat Nala yang tidak lagi emosi. 

Nala menyunggingkan senyum. Jenis senyuman yang mewakilkan satu kata, yaitu kesombongan. Gadis itu mengangkat dagu lebih tinggi dari seharusnya, kemudian berkata, "Nilai Matdas sama Statistika gue A, ya. Sekedar informasi, nilai akhir gue yang tertinggi di angkatan."

Sion dan Hawu sampai menganga karena tidak percaya. Nala memang tidak lamban, ia juga selalu cepat tanggap jika membahas suatu topik pembicaraan tertentu, tetapi mereka tidak pernah menduga kalau Nala sejago itu pada Mata Kuliah Matematika. 

"Lo nggak lagi halu, kan?" Hawu masih tidak percaya. 

Nala mengambil ponsel dan segera menunjukkan bukti transkrip miliknya. Ia sengaja hanya menunjukkan nilai Matematika dan menutupi nilai lain dangan tangannya. "Gue kalo ngomong, mah, pake bukti, ya. Maaf aja."

"Bagus, dong, kalo gitu. Lo nggak perlu minder masalah nilai, itu bisa lo perbaiki. Semester depan, jadi ikut KP?" 

"Lho, nggak KKN kayak kita?" Hawu menatap Sion dan Nala bergantian.

Gara menghela napas kasar. Ia tampak sudah lelah dengan kelakuan semua orang yang ada di meja ini. Ia tidak banyak berkomentar, tetapi mengarahkan Nala untuk menjawab.

"Tradisi prodi gue, sih, KP dulu sebelum KKN." 

"Sayang banget, padahal gue denger, Arka bakalan ambil KKN. Kan, lo punya kesempatan besar buat pdkt sama dia."

Kata-kata Sion membuat Nala semangat dan antusias ketika membicarakan Arka, tetapi ia baru sadar kalau ia gagal move on.

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Pelaku yang bikin Nala gagal move on.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro