|3|

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Name] ingat bagaimana pertemuannya dengan sosok sahabat dari Tomioka Giyuu. Tidak seperti drama-drama yang ada pada televisi, pertemuannya tak ada kata romantis sama sekali. Karena waktu itu mereka masih berusia di bawah 13 tahun, masih anak-anak, tak kenal arti kata romantis.

Waktu itu, [Name] kecil yang saat itu usianya masih 8 tahun, tengah berjalan-jalan di luar. Salju melapisi semua permukaan tanah, pohon ataupun atap-atap rumah. Saat itu, [Name] ingat dia merasa berada dalam dunia serba putih. Imajinasi khas anak-anaknya mendominasi, [Name] berjalan cepat ke taman bermain yang dekat dengan rumahnya. Dia ingin melihat taman bermain itu pasti dilapisi salju yang sangat banyak.

Ketika [Name] sampai, saat itulah dia bertemu dengannya. Sabito, itulah namanya, anak kecil bersurai peach yang memiliki luka di dekat mulutnya. Senyumanya secerah matahari dan kedua matanya selembut salju. Dia menghampiri [Name] yang memandang takjub pada taman bermain serba putih.

"Mau main bola salju?"

[Name] memandang Sabito sedikit takut. Anak itu masih tersenyum ramah, tak ada kecurigaan sedikitpun yang tergambar darinya. [Name] dengan kepolosannya, akhirnya tersenyum lalu mengangguk. Dia ingin main bola salju.

Sabito tersenyum lebih lebar, dia mengajak [Name] ke sisi dimana salju lebih banyak. Ternyata Sabito tak sendirian, di sana ada orang lain, anak kecil bersurai hitam dengan manik mata yang memandangnya polos. Tomioka Giyuu.

"Giyuu, ini teman baru kita. Dia mau main bola salju."

Giyuu memandang [Name] dan mengangguk senang. Waktu itu Tomioka Giyuu masih belum merasakan kepahitan dunia, masih polos dan suci seperti malaikat. Tidak seperti sekarang yang sudah depresi 24/7 karena iblis bernama kehidupan. Ah sudahlah lupakan paragraf ini, kembali ke asal.

"Giyuu Tomioka. Namamu siapa?" Giyuu bertanya dengan suara khas anak-anaknya. Sabito yang berdiri di sebelahnya langsung tersentak, dia baru menyadari bahwa dia belum memperkalkan dirinya. Bodoh sekali.

"Namaku Sabito. Giyuu benar, namamu siapa?" tanyanya kembali tersenyum lebar.

[Name] ingin tertawa melihat tingkah Sabito. Ia tersenyum kecil dan memperkenalkan dirinya. "[Fullname]. Namaku [Fullname]! Salam kenal Kak Sabito! Kak Giyuu!" [Name] menambahkan embel-embel 'kak', karena Sabito dan Giyuu dilihat dari penampilannya sepertinya lebih tua darinya.

"Kalau begitu ayo kita main—"

Pluk!

Sabito belum menyelesaikan kalimatnya, ketika Giyuu sudah melempar bola saljunya duluan ke wajah sahabatnya. [name] tertawa keras melihatnya, tanpa aba-aba gadis kecil itu ikut menyerang Sabito dengan bola salju miliknya sebelum anak itu melontarkan protes.

"Giyuu! [Name]!" Sabito berteriak protes. Tangannya membentuk bola-bola salju dan melemparkannya balik kepada Giyuu dan [name] yang tertawa.

Mereka diam sejenak, kemudian tak lama saling berbagi tawa di bawah lazuardi yang pucat.

_________________

Setelah bermain perang bola salju habis-habisan, [Name] pamit untuk pulang. Ketika itu Sabito menyadari ada yang aneh dari ekspresi [Name], wajahnya pucat dan gadis kecil itu terlihat seperti menahan sakit.

Sabito menyambar lengan [Name], membuat anak itu menoleh bingung kepadanya. "Kau baik-baik saja? Kau terlihat kesakitan. Aku dan Giyuu bisa mengantarkanmu."

[Name] menggeleng dengan cepat, membuat Sabito maupun Giyuu saling melirik. Sebenarnya dia memang tidak baik-baik saja, kecurigaan Sabito benar. Perutnya sakit akibat ia sepertinya salah makan tadi pagi, tetapi ia tidak ingin merepotkan Sabito maupun Giyuu.

Sabito tak mengatakan apa-apa lagi. Dia tiba-tiba berjongkok di hadapan [Name] dan tersenyum tipis ke arahnya. "Naiklah."

[Name] tidak tahu harus apa. Dia bingung dan hanya memandang Sabito dengan tatapan polos khas anak-anaknya. Perutnya sudah sakit sekali dan [Name] tidak tahu haruskah ia menerima bantuan Kak Sabito ini?

"[Name] naiklah. Sabito gak gigit kok," celetukan Giyuu membuatnya kembali tersenyum lebar. Menurutnya kakak-kakak ini sungguh konyol sekali.

"Kalau begitu aku naik."

Dengan perlahan dan sedikit ragu-ragu, [Name] naik ke punggung Sabito. Kedua tangan kecilnya mengalungkan diri ke leher Sabito dan kepalanya bersandar nyaman pada salah satu bahu. Dia bisa menghirup aroma bunga dari sini.

"Ayo Giyuu."

Ketiganya berjalan dalam diam. Sekali-kali Giyuu dan Sabito akan berbicara satu-dua kata, tetapi kemudian diam lagi. Sebaliknya [Name] hanya terdiam nyaman di gendongan Sabito.

Aneh. Perutnya tak terasa sakit lagi.

Ketika itulah dia baru menyadari, bahwa hatinya sudah mengukir sebuah nama di sana. Dan [Name] yakin, nama itu tidak akan pernah bisa hilang sehebat apapun ia menghindarinya.

Karena [Name] telah jatuh cinta, dan perasaan itu masih ada hingga sampai kini. Meski sederhana awalnya, namun dapat membuat gadis itu hampir gila sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro