Bab 1 : Pertemuan Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di sebuah sudut kota yang tenang, berdirilah sebuah kafe kecil yang menjadi tempat pelarian bagi mereka yang mencari kedamaian. Begitu melangkah masuk, pengunjung disambut oleh suasana hangat dan nyaman. Dindingnya terbuat dari batu bata ekspos yang memberikan kesan rustik, dihiasi dengan beberapa lukisan abstrak yang dipajang dengan rapi. Meja dan kursi kayu tersebar di seluruh ruangan, dengan beberapa sofa empuk yang ditempatkan di sudut untuk pengunjung yang ingin bersantai lebih lama.

Cahaya dari lampu gantung yang temaram menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan atmosfer yang tenang dan mengundang. Jendela-jendela besar di sepanjang dinding memungkinkan cahaya alami masuk di siang hari, tetapi pada malam hari, mereka menampilkan pemandangan jalan yang sepi dan tenang, menambah perasaan damai yang menyelimuti kafe.

Di sudut ruangan, sebuah speaker kecil memutar musik jazz lembut, dengan alunan piano dan saxophone yang mengisi udara dengan melodi yang menenangkan. Musik ini mengalir dengan halus, tidak terlalu keras, cukup untuk menciptakan latar belakang yang menenangkan tanpa mengganggu percakapan atau pikiran yang mengembara. Setiap nada tampaknya meresap ke dalam ruangan, membuat siapa pun yang duduk di sana merasa lebih tenang dan rileks.

Aroma kopi segar menyelimuti udara, bercampur dengan wangi manis dari kue-kue yang baru dipanggang. Barista di belakang meja bekerja dengan tenang, menciptakan seni latte yang sempurna untuk setiap cangkir yang disajikan. Pelanggan yang datang dan pergi melakukannya dengan tenang, seolah-olah memahami bahwa tempat ini adalah sebuah oasis dari kebisingan dunia luar.

Beberapa pengunjung duduk sendiri, tenggelam dalam buku atau layar laptop mereka, sementara yang lain berbincang dengan pelan, tertawa kecil di sela-sela percakapan mereka. Semua orang di kafe tampak menikmati momen mereka masing-masing, dibalut dalam suasana yang damai dan tenteram.

Di tengah ketenangan itu, waktu seolah melambat, membiarkan setiap pengunjung menikmati setiap detik yang berlalu dengan penuh kesadaran dan rasa syukur. Di kafe ini, seolah-olah semua masalah dunia luar tak lagi penting, digantikan oleh ketenangan yang dibawa oleh musik yang lembut dan aroma kopi yang menenangkan.

Seorang pria dengan penampilannya sederhana namun menarik, dengan rambut hitam yang acak-acakan dan kacamata tebal yang menambah kesan cerdas pada dirinya melangkah masuk ke dalam kafe tersebut. Meskipun tubuhnya tidak terlalu besar–bertinggi 167cm dengan berbat badan 57kilogram, Ortiz memiliki energi yang penuh semangat dan senyum yang ramah, membuatnya mudah disukai oleh orang-orang di sekitarnya.

Hari itu, Ortiz tiba di sebuah kafe kecil di sudut kota bersama dua sahabatnya, Bella dan Azmi. Bella, seorang perempuan dengan tinggi 165 cm dan rambut panjang bergelombang, selalu terlihat modis dengan pakaian yang sederhana namun chic. Dia memiliki kepribadian yang ceria dan mudah bergaul, sering kali menjadi penghubung dalam percakapan kelompok mereka. Di sebelahnya, Azmi, yang lebih tinggi dari Ortiz, dengan tubuh yang lebih berisi dan gaya yang santai, adalah tipe orang yang tenang dan bijaksana. Dengan rambut pendek dan senyuman yang hangat, Azmi adalah teman yang selalu bisa diandalkan.

Mereka bertiga masuk ke dalam kafe, menikmati suasana tenang dan alunan musik lembut yang mengisi ruangan. Sebagai sahabat dekat, mereka sering menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat seperti ini, berbagi cerita, tawa, dan canda. Ortiz, Bella, dan Azmi adalah trio yang selalu kompak, meskipun mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Kafe ini menjadi tempat baru mereka untuk menghabiskan waktu bersama, menikmati kopi sambil berbicara tentang berbagai hal, mulai dari mimpi hingga masalah sehari-hari.

Setelah beberapa menit menikmati kopinya, Ortiz merasa perlu ke toilet. Ia berjalan ke belakang kafe, di mana pintu toilet terletak. Tanpa berpikir panjang, ia membuka pintu toilet dengan cepat, tak menyadari bahwa pintu tersebut tidak terkunci.

Saat pintu terbuka, pandangan Ortiz langsung tertuju pada seorang pria yang sedang berdiri di depan kloset dengan air mengalir keluar dari tubuh pria itu ke arah kloset, wajahnya berubah seketika antara kaget dan malu. Pria itu yang merasa sangat terkejut, hanya bisa membeku di tempatnya, wajahnya memerah hebat. Air masih mengucur keluar dari tubuhnya.

Ortiz juga sama terkejutnya. "Astaga! Maaf! Maaf!" serunya gugup, buru-buru menutup pintu kembali. Detak jantungnya berpacu, dan ia merasa keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ortiz segera mundur beberapa langkah, menunggu di luar dengan rasa bersalah yang besar. Sementara di dalam toilet, mungkin pria itu sedang berusaha mengendalikan perasaannya yang campur aduk antara malu dan kesal.

Beberapa saat kemudian, pria itu keluar dari toilet dengan wajah yang masih merah, namun kali ini ia berusaha tersenyum walaupun canggung. Ortiz, yang menunggu dengan perasaan bersalah, langsung meminta maaf lagi. "Aku benar-benar minta maaf, aku nggak tahu kalau ada orang di dalam. Sumpah demi apapun aku tidak melihat barang kamu." Ortis mengacungkan dua jari di samping kepalanya.

"Barang?" Kedatipun demikian pria itu tau maksudnya meski ia masih merasa malu, mencoba merespons dengan tenang. "Tidak apa-apa. Itu bisa terjadi pada siapa saja. Aku yang ceroboh tidak mengunci pintu." Meski masih terasa canggung, pria itu dapat melihat bahwa Ortiz benar-benar merasa bersalah.

"Seharunya aku lebih peka kalau di dalam ada suara berarti pertanda ada orang," ucap Ortiz gugup.

Krisan mengulurkan tangannya. "Kita berjabat tangan sebagai tanda bahwa semuanya baik-baik saja."

Ortiz merasa lega dan langsung menjabat tangan Krisan. Namun, ketika jabat tangan itu terjadi, pikirannya mendadak tersadar. Krisan baru saja keluar dari toilet dan belum sempat cuci tangan!

Ortiz mencoba tetap tenang, tapi wajahnya berubah kesal. Ia segera menarik tangannya dengan cepat, mencoba menutupi rasa jijik yang mendadak muncul. Pria itu menyadari perubahan ekspresi Ortiz, langsung tertawa.

"Kenapa? Apa sekarang gantian kamu yang merasa canggung?" goda pria itu dengan nada menggoda.

Ortiz merasa tidak nyaman, tapi ia juga menyadari betapa konyol situasi ini. "Kamu belum cuci tangan, kan?" tanyanya dengan nada setengah kesal.

Pria itu mengangkat bahu dan tertawa lagi. "Hei, kamu yang setuju untuk berjabat tangan!"

Ortiz mencoba menahan senyum, meskipun rasa kesalnya belum hilang sepenuhnya. "Lain kali, aku bakal lebih hati-hati termasuk berjabat tangan dengan orang lain."

Keduanya akhirnya tertawa bersama, dan meskipun situasi itu sedikit aneh karena tidak saling kenal, mereka mulai merasa lebih nyaman satu sama lain.

Setelah kejadian memalukan di toilet, Ortiz keluar dengan cepat, masih merasa canggung dan jantungnya berdebar kencang. Dengan langkah terburu-buru, dia kembali ke meja di mana Bella dan Azmi sedang menunggu. Kedua sahabatnya langsung memperhatikan wajah Ortiz yang memerah, dan mereka tahu ada sesuatu yang terjadi.

"Kenapa, Tiz? Wajahmu merah banget," tanya Azmi dengan nada penasaran sambil menyipitkan mata.

Ortiz menghela napas panjang sebelum duduk di kursinya. "Kalian nggak akan percaya apa yang barusan terjadi," ujarnya dengan suara rendah.

Bella dan Azmi langsung mendekat, menanti ceritanya. "Ayolah, ceritain! Apa yang terjadi?" desak Bella, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Ortiz mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebelum mulai bercerita. "Jadi, aku pergi ke toilet, dan tanpa sadar aku buka pintunya... ternyata di dalam ada cowok! Dia lagi kencing. Benar-benar lagi berdiri dan kencing, kalian tahu gimana malunya aku!"

Bella langsung menutup mulutnya, berusaha menahan tawa, tapi matanya sudah menunjukkan tanda-tanda dia akan meledak. Azmi, yang biasanya lebih tenang, juga tak bisa menahan diri untuk tertawa kecil.

"Kamu serius?" tanya Azmi, sambil berusaha menahan tawanya. "Kamu lihat 'itu'?" Sambil nunjuk arah bawah.

Ortiz mengangguk pelan, masih merasa canggung. "Iya, dan kali ini dia lagi... yah, duduk di kloset. Aku nggak tahu harus gimana, jadi aku cuma minta maaf dan keluar secepat mungkin."

Bella akhirnya tidak bisa menahan tawanya lagi. "Oh my God, Ortiz! Gimana reaksi dia?"

Ortiz mengangkat bahu, mencoba mengingat kembali. "Ini memalukan. Kayaknya aku bakal terus inget kejadian ini. Argh! Aku benci tempat ini!"

Bella tertawa, "Mungkin ini pertanda, Ortiz! Dia bakal jadi bagian penting dalam hidupmu, makanya kalian dipertemukan dengan cara aneh."

"Aku nggak akan balik ke kafe ini lagi," kata Ortiz dengan tegas, mencoba menutupi perasaan malunya di depan teman-temannya.

Bella yang masih tertawa pelan, segera menghentikan tawanya dan menatap Ortiz dengan serius. "Ort, jangan gitu. Itu cuma kejadian kecil. Lagi pula, aku suka banget sama kopi dan suasana di sini."

Ortiz menghela napas panjang, merasa sedikit lega mendengar dukungan dari teman-temannya. "Mungkin itu lebih baik. Aku cuma butuh waktu buat melupakan semua ini."

Mereka pun sepakat untuk tidak membahas lagi kejadian itu, meski Bella dan Azmi tetap tidak bisa menahan senyum saat mengingat betapa canggungnya Ortiz. Namun, mereka menghargai keputusan Ortiz yang merasa lebih nyaman menghindari tempat yang kini membawa begitu banyak kenangan memalukan baginya.

Setelah perbincangan dengan Bella dan Azmi selesai, rasa malu masih terus menghantui Ortiz. Meskipun teman-temannya sudah berusaha membuatnya merasa lebih baik, dia tetap tidak bisa melupakan kejadian memalukan di toilet. Dalam hatinya, dia penasaran apakah pria yang tadi dia lihat masih ada di kafe atau sudah pergi.

Dengan hati-hati, Ortiz mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe, berusaha mencari tahu di mana pria itu duduk. Dia merasa tegang, tapi rasa penasarannya mengalahkan segalanya. Pikirannya terus dipenuhi oleh rasa malu dan takut kalau Krisan akan mengingat wajahnya sebagai orang yang tak sengaja membuka pintu toilet.

Beberapa saat kemudian, matanya menangkap sosok yang familiar di sudut kafe, duduk sendirian sambil menikmati kopi. Itu dia. Meski dari kejauhan, Ortiz bisa melihat dengan jelas wajah pria itu yang tampak tenang, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.

Ortiz menelan ludah, merasa dadanya sesak. Dia berusaha mencari keberanian untuk menghampiri atau setidaknya meminta maaf lagi, tapi kakinya terasa berat untuk bergerak. Di saat yang sama, dia merasa terlalu malu untuk menatapnya langsung, takut kalau kejadian tadi akan membuat segalanya jadi lebih canggung.

Akhirnya, Ortiz memutuskan untuk tetap di tempat duduknya, menyandarkan punggung ke kursi dan menarik napas dalam-dalam. "Enggak mungkin aku bisa ngomong lagi sama dia," pikir Ortiz, mencoba menenangkan dirinya.

Ortiz kembali fokus pada obrolan yang terputus dengan teman-temannya, meski pikirannya terus-menerus kembali pada pria itu. Dalam hatinya, dia berharap pria itu tidak terlalu mengingat kejadian tadi, dan jika memungkinkan, bisa melupakan semuanya sama seperti yang dia ingin lakukan. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan malu yang terus menyelinap setiap kali dia memikirkannya.

***

Hari berikutnya, pria yang ditemui Ortiz yakni bernama Krisan, dia mengunjungi rumah sepupunya, Jaka, seorang pria muda yang selalu menjadi tempatnya berbagi cerita. Mereka duduk di teras rumah, ditemani angin sepoi-sepoi dan segelas teh hangat. Krisan, yang biasanya ceria, tampak agak bingung hari itu, membuat Jaka penasaran.

"Ada apa, Krisan? Kelihatan bingung banget," tanya Jaka sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Krisan menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. "Jadi kemarin aku ke kafe, dan ada kejadian konyol. Ada cowok yang nggak sengaja membuka pintu toilet pas aku lagi di dalam. Lagi kencing. Ya Tuhan, itu malu banget!"

Jaka tertawa, "Wah, itu gila banget sih. Tapi kenapa kayaknya kamu kepikiran terus? Malu yah itu sudah dilihat dia?"

Krisan tersenyum malu, termasuk mengingat insiden bersalaman mereka. "Setelah itu, dia minta maaf. Aku bilang oke, dan kami berjabat tangan. Tapi masalahnya... aku lupa cuci tangan!"

Jaka tertawa terbahak-bahak mendengar cerita itu. "Wah, Krisan! Gimana reaksi dia?"

"Dia kelihatan kaget dan sedikit jijik, tapi aku lihat dia juga berusaha nggak nunjukkin itu," jawab Krisan sambil tersenyum kecil. "Yang aneh, sekarang wajahnya terus muncul di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti mikirin betapa lucunya dia."

Jaka tertawa kecil, tapi dengan nada yang bersahabat. "Krisan, mungkin itu karena situasinya benar-benar nggak biasa. Ketemu seseorang dalam keadaan kayak gitu pasti bikin terbayang-bayang. Tapi kenapa kamu kayaknya mikirin ini lebih dari sekadar kejadian lucu?"

Krisan terdiam sejenak, mencoba merangkai perasaannya. "Aku sendiri nggak tahu. Di satu sisi, aku malu dan merasa bersalah karena kesan pertama yang buruk. Tapi di sisi lain, aku... entahlah, aku penasaran sama dia. Dia terlihat begitu berbeda dan... menarik, mungkin."

Jaka tersenyum, mencoba memahami perasaan Krisan. "Mungkin ini caramu mencoba mengenal dia lebih jauh. Kadang-kadang, sesuatu yang memalukan bisa jadi awal dari sesuatu yang tak terduga."

Krisan tertawa kecil, merasa sedikit lega setelah mengungkapkan perasaannya. "Mungkin kamu benar. Aku cuma berharap aku bisa berinteraksi sama dia tanpa mengingat kejadian itu terus."

Jaka menepuk bahu Krisan dengan lembut. "Kalau jodoh pasti akan ketemu lagi."

Malam itu, Krisan merasa sedikit lebih tenang setelah curhat dengan Jaka. Meskipun perasaannya masih campur aduk, ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini. Dan mungkin, seiring waktu, ia bisa melihat pria lucu dengan cara yang berbeda—tanpa bayang-bayang kejadian canggung itu terus menghantui.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro