Balonku Ada Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kata Queen sukiikagawa jangan bilang-bilang kalo cerpen ini yang buat dia. 😂😂😂

--

Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya ....

Kupikir, unsur elemen bukan hanya ada tanah, air, api, dan udara. Bagiku, asap adalah elemen kelima. Dan Farah-lah satu-satunya orang yang bisa mengendalikannya.

Mendengar namanya disebut, membuatku otomatis mencocokkannya dengan kata ‘bualan’.

Karena dia tak lebih dari sebuah tong kosong. Tanpa isi maupun bobot.

Omongannya seperti asap, terlihat besar dan tebal. Tapi tak dapat dipegang. Tidak bisa ditangkap, apalagi didekap. Berdekatan dengannya membuat sesak dengan penapasan yang terganggu dan mata yang berair. Menghalau pandangan. Berada di tengah kepulan asap sama saja dengan mati.

“Davin!”

Pikiranku teralihkan oleh panggilan ketua kelas dengan suaranya yang sedikit bergetar. Aku menatapnya.

“Kamu khayalin apa sampai panggilan keempat baru kamu respons? Farah mau ngajuin diri jadi partner debat kamu.”

Apa? Aku mengangkat alis. Apa telingaku bermasalah?

“Ya ampun. Masa kamu lupa? Minggu depan, kan, ada lomba debat antar-sekolah. Ibu Nadiyah tahu kamu yang paling jago ngeles tapi suka baca,” katanya, “untungnya, Farah ngajuin diri jadi partner debat kamu.”

Tipikal ketua kelas. Saking seringnya mengumumkan sesuatu, ia jadi kebiasaan mengulang-ulang kalimatnya.

Aku tidak lupa. Ketua kelas hanya salah menafsirkan reaksiku. Hanya saja ... Farah?

“Iya. Kamu bener, kok. Farah yang itu,” katanya lagi, lalu menunjuk cewek bergigi gingsul satu yang duduk tidak jauh dari tempatku. “Masa teman kelas sendiri lupa?”

Aku tidak sadar menyuarakan kata terakhir di kalimat terakhirku. Lagi-lagi, ketua kelas salah tangkap.

“Mohon bantuannya, ya,” ucap Farah tiba-tiba, “aku bisa kok—“

“Dor!” seruku tiba-tiba sambil berdiri dan menggebrak meja, beberapa teman berjengit kaget. Aku kemudian bersenandung, “hatiku sangat kacau ....”

Daripada ‘melihatnya mengendalikan asap’, sepertinya lebih baik mendengarku bernyanyi. Meski hanya lagu anak-anak. Daripada mengalihkan perhatian dengan menyenandungkan lagu Beautiful in White-nya Westlife untuk gadis itu. Pasti aku akan disoraki lebih heboh dari ini.

Aku menyeringai, menoleh ke tempatnya. Cewek itu menulis sesuatu di atas kertas. Mencoba tidak peduli, heh? Padahal aku mengharapkan tatapan kecewa atau wajah tersinggung darinya. Atau ... cewek itu memang bebal? Tidak peka? Kalau dia memang tidak peka, berarti Farah bukan termasuk makhluk hidup.

Hmm ... boleh juga. Aku tertawa jahat dalam hati. Ini kisahku. Aku pemeran utamanya. Mau sejahat apapun, pemegang peran protagonis tetaplah aku.

Tapi bukan berarti Farah tidak jahat. Cewek dengan mulut berbisa mana ada yang baik? Aku, sebagai pahlawan, datang untuk membalas perbuatan jahat medusa dengan menjadi lebih jahat lagi.

“Masih membencinya, hm?” bisik Renaldi, teman sebangkuku.

Aku meninju bahunya main-main, tidak menjawab. Seharusnya dia tidak perlu bertanya lagi. menerima makhluk seperti Farah sama saja dengan melanggar prinsipku, berkata jujurlah walau sepahit apapun. Mungkin terdengar klise, tapi setidaknya di masa depan aku tidak perlu merasa menyesal telah membohongi seseorang ataupun sibuk membuat sederet kebohongan lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya.

Aku selalu menyeringai dalam hati mendengar keluhan orang-orang kalau aku terlalu berterus terang, telingaku sudah kebal. Meski begitu, temanku tetap banyak. Mereka pasti merasa aman berteman denganku. Mau tidak mau ikut berterus terang juga.

“Davin,” panggil Farah. Sejak kapan dia di depanku? “Dipanggil Ibu Nadiyah—“

Aku segera berdiri, mengucapkan terima kasih sekilas lalu keluar dari kelas. Sebelum dia berbicara lagi. Suaranya itu ... ya ampun, bikin telinga panas saja.

“Davin, tunggu!”

Hah, kenapa pula dia menyusulku? Aku meneruskan langkah, mengabaikan panggilannya.

“Davin!” Dia menangkap lenganku.

Hei—hei , aku kenal adegan ini. Hanya saja pemerannya terbalik. Bukan cewek yang harus mengejar cowoknya. Eh, aku bukan cowoknya. Oke, oke. Ini sama sekali sudah tidak relevan.

“Bukan di ruang guru. Ibu Nadiyah ada di kantor dengan bapak kepsek,” katanya, “ayo.”

Mau tidak mau aku mengekorinya.

Dia melambat, menyejajari langkahku. Terlihat ingin bicara sesuatu.

“Balonku ada lima... “ Aku mulai bernyanyi. “Rupa-rupa warnanya... merah, kuning, kelabu... merah muda, dan biru ...."

“Meletus balon hijau, DOR!” Aku bertepuk keras di dekat telinganya, “Hatiku sangat kacau,“

“Balonku tinggal empat.. kupegang erat-erat...” sambung Farah, aku berhenti di kata pertama. Tidak kusangka dia akan menyanyikan bait terakhir denganku.

“Kamu kok seneng banget nyanyiin itu?” Farah tertawa. “Mana liriknya salah. Harusnya hijau, bukan merah.”

Yes, perhatiannya teralihkan. Aku ikut tertawa. Tapi bukan mentertawakan hal yang sama. Sebenarnya aku tahu liriknya. Hanya saja, itu caraku meledek Farah secara tidak langsung. Lagu itu, jika liriknya diubah, menjadi identik dengan dirinya. Pembohong.

Bukan balonmu yang pecah, jadi untuk apa bersedih? Bukan balonmu yang pecah, seharusnya masih jumlahnya masih utuh. Atau kau berbohong menyebut warna salah satu balonmu?
Ambigu.

Oh, metaforaku payah sekali.
Intinya, aku menjaga jarak dengan gadis ini.

Farah berhenti berjalan. “Davin, aku ... minta maaf.”

“Soal apa?”

“Soal ... entahlah. Aku enggak tahu pasti tapi aku minta maaf, ya. Please,  jangan marah lagi.”

“Lihat mukaku,” kataku sambil menunjukkan wajah datar, “kamu lihat ekspresiku kayak gimana?”

“Biasa aja.”

“Bingo. Jadi aku enggak marah. Udah,” Aku meneruskan langkah. “ Ibu Nadiyah menunggu.”

“Davin!” panggilnya. “Sebenarnya ... sebenarnya—“

Aku tidak peduli. Tetap berjalan ke ruangan kepala sekolah.

“Loh, Ibu enggak manggil kamu.” Itu reaksi pertama Ibu Nadiyah ketika aku menghampiri dan hanya mematung di dekatnya, menunggu instruksi.

Aku keluar dengan lesu, marah pun sudah tidak punya tenaga. Tadi, demi menyelamatkan wajah dan harga diriku, aku meminta arahan tentang materi dan sistem debat nanti. Belum lagi, Ibu Nadiyah membahas hal-hal yang tidak perlu setelah itu. Maslah bolosku, salah satunya.

Terpaksa, aku menyeret langkah ke kelas dengan daun telinga yang sudah layu ketika bel pulang. Aku tidak tahu energi bisa terkuras banyak hanya dengan mendengarkan. Seandainya aku tidak mengacuhkan gadis itu ....

Farah, kau ... parah!

Persis dugaanku, kelas kosong, kalau si Parah-Parah itu tidak dihitung. Gadis itu terlihat resah. Dia seperti sedang menunggu ... ku?

“Maaf!” Dia bergerak-gerak gelisah. “Aku enggak bermaksud begitu. Aku manggil kamu ke luar karena mau bicara empat ma—”

“Ah, sudahlah.” Aku mengibaskan tangan, “ Kamu enggak usah lurusin apapun, Pembohong.”

Aku menggandeng tas, kemudian membelakangi gadis itu. Lega rasanya mengucapkannya. Meski ada sedikit rasa bersalah. Tidak. Tidak boleh. Farah memang pantas dengan kata itu.

“KAMU YANG ENGGAK PERNAH DENGERIN AKU SELESAI NGOMONG!” teriaknya saat aku sudah di ambang pintu. Aku sedikit terlonjak, baru pertama kali mendengar suaranya sekeras itu.

“Ngapain aku denger kamu kalau semua isinya dusta?”

“Dusta? Kapan aku bohong sama kamu?”

“Tadi pas kamu bilang aku dipanggil Ibu Nadiyah di kantor. Terus akun game yang aku pinjemin ke kamu dengan syarat namanya enggak boleh diganti buktinya kamu ubah. Itu kalau bukan bohong apa namanya? Melawak?” Aku mendengus. “ Sampai ke tier ace itu enggak semudah main sudoku, loh.”

“Maksud kamu ganti nama ap— oh,” Farah tertawa, “ yang kamu lihat waktu itu bukan akunmu, loh. Itu punyaku. Aku push terus sampai tier kita sama. Yang pake akunmu itu adikku. Sampai sekarang username-mu masih itu kok.”

Aku melongo. Jadi selama ini ....

“Astaga. Jadi kamu ngambek terus kayak cewek PMS cuma karena salah paham kayak gini?” Ia tertawa lagi. “Harusnya aku yang ngambek sekarang.”

“ENGGAK. Kamu bohong. Adik kamu masih bayi, kok main PUBG. Kalau mau bohong, plis, pake logika juga.”

“Eh, kamu enggak tahu aku punya adik yang setahun di bawahku—“

Aku tidak mendengarkannya lagi, melenggang keluar dari kelas dengan menyembunyikan wajahku yang sudah memerah. Aku tentu saja tahu. Fariz sering main dengan adikku di rumah.

Tapi, tetap saja. Aku protagonis di sini. I’ll do what I want to do.

Jadi, seminggu kemudian, dalam lomba debat kami, para juri hampir pingsan karena kebingungan. Aku terus menyanggah dan menyerang kalimat Farah meski kami berada di satu tim yang sama.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro